"Anu pak...hmm....apa...""Anu-anu!" sentak Vin menyela. "Itu mulut kalau ngomong pake saringan, jangan asal ngablak aja!"Lea menunduk takut.Vin berdecak kesal, karena selalu saja Lea lakukan hal yang sama."Mau nangis?" pertanyaan Vin tanpa perlu jawaban Lea. "Ck. Sudah hentikan. Sudah telat, tahu!" Vin raih tangan Lea, lalu di tarik agar mengikutinya. "Kita lewat samping sini saja, biar pipi kamu jangan sampai ketampar lagi. Sama saja, sok-sokan bilang wanita tangguh, tapi aslinya cengeng!"Lea kerutkan dahi. Pada awalnya, merasa kesal pada Morgan, yang ternyata memang bermulut ember, tapi tertutupi oleh rasa penasaran akan salah satu bagian kalimat yang di ucapkan Vin.Sama saja? Bukankah ini lebih tertuju pada orang lain dengan model sama dengan Lea, tapi siapa? Dan apa yang sebenarnya di maksudkan oleh Vin?Setelah beberapa detik, Lea menyadari hal baru lagi, sehingga tatapannya beralih pada apa yang dia rasakan. Tangan Vin yang menggenggamnya terasa dingin seperti es, tapi ti
"Anda pasti gugup, dalam hitungan menit anda akan menjadi istri dari pria pembuat banyak wanita patah hati."Tanpa keluarga, teman, bahkan orang-orang di sekitarnya kini baru di kenal, tentu membuat Lea tak nyaman dengan pertanyaan dari asisten Giovanni ini."Gugup?" pertanyaan ini lebih tertuju pada diri Lea sendiri. "Tidak. Saya santai.""Benarkah? Tapi sewaktu anda memakai baju pengantin, saya bisa rasakan anda bergetar.""Begitukah menurut anda? Tapi saya nggak merasa seperti itu," sahut Lea masih berusaha menutupi."Sudah 10 tahun lebih saya jadi asisten di Versace. Anda pasti tahu, seperti apa klien-klien kami."Lea merasa tak enak, lalu buru-buru mengalihkan pembicaraan, karena asisten Giovanni ini terlihat tersinggung."Hum...apa anda punya kenalan pengacara perceraian?" keraguan Lea, tapi rasa ingin tahu lebih besar daripada urat malunya.gcmtkv66c6gg"Buat apa? Anda tidak sedang berpikir untuk...""Tidak tidak, bukan. Hanya..." Lea bingung sendiri. Sekitarnya seperti berpiha
Lea dan Vin saling bertatap dalam ketegangan. Tentu saja hal semacam ini tidak ada dalam skenario rencana mereka berdua."Ayo Tuan Vincenzo, cium pengantin anda!" pekik MC acara riang.Tak menunggu lama, Vin lebih maju lalu meraih pinggang ramping Lea, lalu menariknya mendekat. Kini tubuh mereka saling menjerat, saat satu tangan Lea beringsut menyentuh dada Vin lalu ke arah pundaknya."Sebaiknya kamu turuti maunya MC, " ujar Vin santai. Semakin di rengkuh lebih erat tubuh langsing Lea, begitu juga wajahnya yang terdongak jadi lebih menyatu dengan Vin.Bau mint, khas dari mulut Vin tercium segar, sontak membuat Lea refleks menutup kedua matanya. Sebuaj sapuan lembut menyentuh bibir mungil Lea berhias lipstick warna merah muda mengkilat. Lea masih bisa rasakan hawa hangat dari tubuh, seperti di lorong tadi, namun kali ini di sertai bonus berupa bibir penuh, beraroma khas mint dari Vin.Vin apit bibir tipis Lea di antara lumatan kilat namun dalam, penuh gelora ini. Tepukan tangan yang s
"Baiklah kalau begitu, Pak. Anda tidur di kasur, saya di sofa," putus Lea sepihak, sebelum berpamitan keluar ruangan.Gerak memutar balik, kemudian di iringi suara ujung heels yang di lakukan Lea, diam-diam membuat Vin terkesima.Bagian punggung Lea terlihat, ketika Vin berposisi di belakangnya seperti ini. Kenangan Vin akan mendiang ibunya kembali mengganggu pikirannya. Bila rambutnya tergerai seperti ini, bagi Vin, Lea benar-benar seperti reinkarnasi sosok mendiang Letizia, ibunya. Hal ini semakin membuat Vin merasa punya ikatan tak terkatakan dengan Lea.Lea yang tak menyadari kegalauan batin Vin ini sudah berada di dalam kamar utama yang sebenarnya di siapkan untuk Vin."Bau minyak wangi ini. Kenapa seperti selalu mengikutiku," gumam Lea saat melihat botol berisi cairan khas harum tubuh Vin tersebut, di meja nakas.Tidak seperti biasa, sengaja menghempaskan tubuh di atas kasur sebagai luapan mood hari ini, kali ini Lea duduk di pinggir kasur dengan hati-hati, sembari mencari keb
Lea melengos, tak menhindahkan perintah Vin, meskipun dia atasan dan pemberi fasilitas fantastis untuk hidupnya ke depan."Saya ganti di kamar mandi tamu saja," ucap Lea, sekaligus sebagai bentuk kata pamit. Kesal sih, tapi Lea masih berusaha bersikap sopan dengan ucapan lembutnya.Lea keluar kamar utama mansion dengan ekspresi dongkol bukan kepalang."Emangnya Presdir Vin ngira gue salah satu mainan dia!" gerutu Lea. "Enak saja. Awas saja kalau malam ini dia coba aneh-aneh sama gue lagi. Kalau perlu tendang, gue bakal lakuin beneran!" umpat Lea berkobar-kobar.Setelah sampai di lorong samping, sampailah Lea di depan kamar mandi tamu berukuran lumayan besar.Lea mengintip ke dalam terlebih dulu, sebelum akhirnya masuk dengan gerak takut-takut."Masa ada hantunya beneran, sih? Setan-setan please. Hantui orang itu aja, jangan gue. Kayaknya, dosa dia lebih banyak daripada gue," harap Lea, mengkambing hitamkan atasannya sendiri.Baru usaha pertama Lea membuka resleting, tapi langsung di
Lea buru-buru menggantungkan baju pengantinnya di ruang wardrobe.m, lalu mengganti pakaian dengan lebih santai, yaitu T-shirt dan rok pendek selutut, pakaian harian ala Indonesia.Tujuan utamanya adalah beranda samping antara dua bangunan, tempat kamar-kamar para tamu berada. Disana terlihat tiga pria sedang duduk bercakap-cakap santai, termasuk Vin dengan kemeja pengantinnya, namun tiga kancing atasnya di biarkan terbuka."Selamat sore," sapa Lea pada ketiganya. Ketiga pria tersebut segera memutar kepala, dan sempat terkejut dengan kedatangan Lea."Sore," jawab dua pria asli orang Italia, kecuali Vin yang hanya diam dan menatapnya dingin."Humm..." Lea tautkan kedua tangan dan saling meremas karena gugup yang datang tiba-tiba.Untaian kalimat yang sudah Lea rangkai selama berjalan menyusuri tiap ruangan mansion tadi, seketika jadi hilang, gara-gara tatapan tajam Vin padanya."Iya, Nona? Apa anda ingin bicara dengan Vin, ataukah dengan kami bertiga sekaligus?" sela salah seorang pri
"Apa yang kamu inginkan?"Lea gunakan pertanyaan Vin dengan nada kalemnya ini sebagai kesempatan untuk ungkapkan keinginannya."Saya tidak bersedia mendampingi anda di pesta nanti malam, karena kapasitas saya sebagai istri anda, dan bukannya asisten secara profeional.""Lalu?""Saya juga ingin kita batasi waktu berdua, termasuk itu keharusan menginap di rumah anda. Semua itu akan saya sanggupi hanya sebagai kebutuhan secara profesional saja.""Hmm. Aku mengerti.""Tolonglah, Pak Presdir Vin. Semua ini tidak mudah bagi saya," curahan hati Lea. "Hal berharga yang saya jaga selama ini hilang, karena kecerobohan kita berdua. Saya sudah berusaha berdamai dengan kenyataan, tapi saya butuh waktu juga untuk memaklumi akibatnya. Kontrak pernikahan, orang-orang di sekitar anda, dan anda sendiri. Tolonglah, beri saya waktu juga untuk beradaptasi dengan semuanya.""Dengan cara?""Seperti kesepakatan awal, dimana besok setelah di kantor kembali, sandiwara kita ini harus benar-benar di jaga. Saya a
Setelah malam tersiksa dengan pikiran sendiri, Lea akhirnya terpejam, sampai ke esokan pagi terbangun, karena alarm dari ponsel yang sengaja dia taruh di samping bantal.Dalam kondisi mata setengah terpejam, Lea raih ponselnya."Kayaknya baru aja tidur, kok sudah pagi aja," gerutunya.Lea singkap selimut, kemudian beringsut dari kasur. Di kedipkan kedua matanya berulang kali, saat menyadari ada seseorang tidur di salah satu kursi single sofa.Salah satu kekurangan kamar utama nan mewah itu, bagi Lea adalah tidak adanya sofa berukuran panjang yang bisa di buat alternatif tempat tidur, hanya 2 kursi berlengan berukuran besar model klasik jaman Victorian saja."Presdir Vin?" tebaknya setelah mengucek-ucek mata. "Sejak kapan dia ada di sini?"Lea tatap atasannya sejenak. Penampilan kusut dengan dengkuran halus, benar-benar bukan seperti seorang Vincenzo dengan segala kesempurnaan di kala sebagai seorang presdir di kantor.Lea melangkah berjingkat, agar tak sampai membuat Vin terbangun, k