"Maap ya, Nad, hari pertama lo kerja gue nggak bisa nganterin."
Nadia melihat kalender. Ini bukan lebaran. Kenapa Agung terus mengucap maaf sejak tadi? Padahal Nadia sudah memaafkan.
"Sekali lagi minta maap, gue bawa Densus 88 ya kerumah lo, Gung!!"
Agung terkekeh di sebrang sana.
Ini hari pertama Nadia bekerja setelah sekian tahun menganggur. Nadia super excited. Pasalnya tiga hari ia gelisah tak tahu waktu menanti panggilan telpon dari HRD. Hari ketiga menjelang sore, Nadia mulai pupus harapan. Di pikirannya kala itu, mungkin ia kalah saing. Namun tak disangka, panggilan yang ia nanti itu muncul di ponsel berlambang apel tergigitnya tepat pukul 16.00.
Nadia mengucap syukur ribuan kali. Akhirnya, ia tak pusing lagi masalah biaya hidupnya kedepan.
"Tapi janji ntar sore gue temenin pulang."
"Nggak ngerepotin, nih?" tanya Nadia. Tangan kirinya sibuk melapisi bulu mata dengan mascara.
"Kayak sama siapa aja sih, lo!"
Nadia terkekeh. "Ya udah, ntar sore gue tunggu ya."
"Oke. Gue duluan ya, Nad-Nad. Takut telat."
"Oke, bye."
Agung Hendrawan.
Teman super karibnya sejak SMA. Ah, sebenarnya mereka dulunya sepasang kekasih. Namun hubungan yang dijalin sejak kelas 11 itu harus kandas saat Agung melanjutkan pendidikan di Universitas di Malaysia. Nadia tak suka LDR.
Tapi walaupun sudah putus, hubungan mereka masih terjalin amat baik seolah tak pernah terjadi apa-apa di antara mereka sebelumnya.
Lulus kuliah, Agung kembali ke Indonesia. Dan mereka pun menjadi semakin akrab dari sebelumnya. Agung sudah menemukan pengganti Nadia yang merupakan teman kuliahnya, gadis Malaysia bernama Ros.
Lain dengan Agung, Nadia hingga saat ini masih betah sendiri. Yeah, walaupun kadang-kadang dia ingin menikah, tapi Nadia masih betah sendiri. Setidaknya sampai saat ini.
Usai berdandan seadanya, Nadia pun bergegas. Mengunci pintu rumah dan mulai melajukan motor scoopy berwarna hitam milik almarhum papanya. Membelah jalanan ibukota yang mungkin sudah dipenuhi penduduk.
Di atas motor, Nadia masih terngiang akan suara si HRD ganteng di telpon tempo hari. Laki-laki sipit itu mempunyai suara yang super macho sekali di telinga Nadia. Bikin Nadia melted sendiri saat mendengar suara itu. Ya, tapi Nadia mencoba untuk tahu diri. Walaupun ia manis, tapi rasanya tidak mungkin ia bisa membuat Rendra jatuh hati padanya.
Nadia menggelengkan kepalanya kuat-kuat saat sampai di parkiran kantor.
"Kerja, Nad. Jangan ngebucin mulu otak lu!"
Nadia masuk lewat pintu utama. Saat di telpon, Rendra tak menyuruhnya langsung bekerja melainkan diperintah untuk menunggu dulu di depan ruang HRD kemarin. Dan saat di sana, ada satu orang laki-laki dan satu orang perempuan yang Nadia jumpai kemarin.
Yang artinya yang diterima sebagai Admin ada tiga orang. Dari sepuluh orang, hanya tiga yang diterima. Termasuk dirinya.
"Hai, dipanggil juga?" tanya si perempuan yang Nadia ingat bernama Acha. Untunglah gadis ini tidak terlalu menor seperti teman-temannya kemarin. Kalau Nadia lihat-lihat, Acha ini cantik. Mirip Ariel Noah. Eh, maksudnya Ariel Tatum.
"Iya nih, Alhamdulillah. Ditelponnya sore. Padahal udah nunggu dari pagi," jawab Nadia, tersenyum renyah.
"Masih mending lo ditelponnya sore, gue menjelang Maghrib tau, nggak? Tapi syukur deh, sekarang keterima. Soalnya sekarang susah nyari kerjaan, apalagi cuma tamat SMA."
Acha melirik si cowok yang nampak canggung berdiri di depan pintu HRD.
"Lo, ngelamar jadi Admin juga?"
Si cowok itu menggeleng. "Jadi CS."
Alis Nadia bertaut."Customer Service atau Cleaning Service?"
"Customer Service. Oh iya, kenalin, nama gue Danu."
Dan mereka pun saling berkenalan kemudian bercerita tentang apa saja yang mungkin nanti mereka kerjakan.
"Gue rasa sih di training dulu entah beberapa bulan gitu. Dan mungkin nanti kita nggak langsung kerja, paling cuma bahas kontrak kerja doang ama Pak Rendra," jelas Danu.
Acha dan Nadia saling menggumam kata "ooh". Ternyata Acha sama saja, minim ilmu dalam dunia kerja. Maklum, anak itu baru tamat sekolah dua bulan yang lalu.
"Gue juga gak habis pikir kenapa perusahaan ini nerima karyawan yang cuma tamat SMA. Padahal 'kan biasanya butuh sarjana," gumam Nadia.
"Mungkin CEO nya suka sama tamatan SMA yang gemesh-gemesh," balas Acha sembari terkekeh.
"Gue sih sebenernya bukan anak SMA tapi SMK, kebetulan jurusan Administrasi Perkantoran juga."
"Wah serius?" tanya Nadia dan Acha pun mengangguk.
"Bagi-bagi ilmunya sama gue ya ntar, Cha," rengeknya.
"Aman kalo itu, mah."
Nadia tersenyum. Bersyukur di hari pertamanya bekerja sudah mendapat teman sebaik Acha dan Danu. Semoga saja hubungan ketiganya semakin membaik nanti.
Tak lama, Rendra datang. Ia tersenyum tipis saat melihat tiga manusia yang sejak tadi menunggunya.
"Masuk."
Ketiganya pun mengikuti langkah kaki Rendra.
"Maaf saya telat. Jakarta ramai."
Ketiganya hanya merespon dengan anggukan kaku. Aroma parfum maskulin Rendra menyengat sekali di hidung mereka. Membuat Acha dan Nadia mabuk kepayang sementara Danu menggosok-gosok hidungnya. Danu benci aroma parfum yang terlalu menyengat seperti ini.
Rendra membagikan kontrak kerja yang akan ditanda tangani ketiga orang ini. Pria berusia 35 tahun ini memang seperti itu. Anti basa-basi dan langsung to the point.
Rendra hanya memberi sedikit wejangan untuk bekerja yang baik yang disambut ketiga manusia ini dengan anggukan kaku.Namun tidak dengan Nadia.
Ia tersenyum tulus disaat dua orang di sampingnya hanya mengangguk kaku. Dan lagi-lagi, senyum itu mampu menyedot perhatian pria didepannya.
Senyuman itu membuat hati Rendra tergelitik. Membuatnya ingin lebih jauh mengenal Nadia.
"What the hell!! Apa yang lo pikirin, Ndra? Dia baru 20 tahun!! Sadar goblok. Bisa-bisa lo dibilang pedofil sama orang-orang!! "
Rendra diam-diam menepuk pelan pipinya agar tersadar. Kesambet apa dia sejak kemarin? Kenapa gadis ini bisa merebut perhatiannya? Kenapa gadis ini bisa membuatnya mati-matian menyingkirkan calon karyawan lain yang nilai hasil psikotesnya lebih tinggi dibanding gadis ini hanya agar gadis ini bisa bekerja disini?
Kenapa?
Kenapa?
"Nanti ruangan dimana kalian akan bekerja akan ditunjukkan oleh asisten saya. Sekarang kalian boleh keluar dari ruangan saya."
Pusing.
Rendra ingin waktu sendirian. Karena jika Nadia masih ada di depannya, ia akan gila. Perasaannya akan semakin membuncah.
♥♥♥
"Pulang ama siapa lo ntar? "
Nadia menyeruput kopi nya sebelum menjawab pertanyaan Acha.
"Sama temen."
"Kapan-kapan pulang bareng gue,ya? " ajak Acha walaupun matanya tak lepas dari layar komputer dan jemarinya yang tak lepas dari keyboard.
"Sip. Gampang itu, mah."
Nadia melirik jam. Lebih kurang dua puluh menit lagi waktunya pulang. Gadis itu mengeluarkan ponselnya dan mengetik pesan untuk Agung.
Acha mendongak saat melihat Rendra mondar-mandir sejak tadi.
"Nad!"
"Oy?"
"Lo liat tuh!"
Nadia mengikuti arah pandang Acha. Rendra, si HRD ganteng yang masuk wishlist nya, terlihat sibuk mendatangi ruangan Finka yang tak jauh dari tempat mereka. Mundar-mandir sejak tadi. Entah apa yang dilakukannya di ruangan Finka.
"Pacaran kali dia sama kak Finka," jawab Nadia asal.
Acha berdecak."Ya nggak gitu juga kali. Kan bisa nanti pas pulang kerja, gak mondar-mandir kayak gosokan begitu."
Nadia terkekeh pelan. "Kenapa lo yang sewot? Cembokur? "
Acha mencibir.
"Yeee ... gue gak demen ya ama yang tua!"
"Tapi 'kan ganteng, Cha," goda Nadia.
Acha memutar bola matanya, membuat Nadia tertawa geli. Selesai menggoda Acha, ia kembali mendapati Pak Rendra mundar-mandir sambil sesekali melirik ke arah meja kerjanya.
Membuat Nadia bertanya-tanya.
Apa sih yang sebenarnya dilakukan pria ini? Sepertinya bukan hal pekerjaan. Pria itu nampak kikuk dan selalu melirik ke arah meja kerjanya tiap kali Nadia tak sengaja memergokinya.
Apa dirinya membuat kesalahan?
♥♥♥
Rendra kesal sendiri saat mendapati pemandangan yang tak ingin dilihatnya sore ini.
Incarannya, sedang mengobrol dengan seorang laki-laki di depan kantor. Pemandangan yang membuat hati dan matanya super panas.
Rendra mengalihkan pandangannya cepat-cepat. Berjalan ke parkiran mobil dengan tergesa-gesa. Pupus sudah harapannya saat melihat gadis itu tertawa dengan riangnya di atas motor dengan laki-laki muda itu.
"Shit. Gue mati-matian ternyata kayak gini hasilnya."
Rendra merasa bodoh sekarang. Ia sudah berbuat curang kemarin demi agar gadis itu bisa selalu dilihatnya dari dekat. Ia menukar rejeki orang lain demi gadis itu.
"Super idiot lo Ndra! "
Rendra memaki dirinya sendiri. Membanting pintu mobilnya kuat-kuat kemudian memukul setirnya juga keras-keras. Ia seperti orang gila di dalam mobil di basement yang sepi.
Baru saja ia ingin merasakan jatuh cinta, namun selalu saja dipatahkan.
Senyuman Rendra mengembang lagi setelah dua hari belakangan ia bermuram durja. Semangatnya seolah ter-charge lagi saat mendengar sesuatu yang menyenangkan pagi ini. "Bukan, pak. Dia teman saya. Lagi pula dia sudah punya tunangan, kok." Itulah yang dijawab Nadia saat Rendra menanyakan siapa laki-laki yang pulang dengan gadis itu tempo hari. Karena didorong rasa cemburu yang amat sangat, Rendra pun memberanikan diri untuk menanyakannya langsung saat mendapati Nadia diantar laki-laki itu lagi pagi tadi. Untunglah jawabannya membahagiakan, menyenangkan hatinya. Semangat itu bersemi lagi. Semangat untuk mendapatkan perhatian gadis berusia 20 tahun itu. Karena beberapa hari belakangan Rendra berpikir, ia tak mungkin semati-matian itu berusaha untuk memasukkan Nadia untuk bekerja disini kalau tidak punya perasaan lebih pada gadis itu. Dan kini di ruangan kerjanya y
Selepas salat subuh, Nadia yang biasanya tidur lagi tapi kali ini langsung buru-buru mandi. Gadis manis itu rindu papanya. Nadia ingin datang ke makam untuk sekedar menyapa dan menabur bunga kesukaan papanya. Terkadang di saat sunyinya malam mulai datang, Nadia meneteskan air matanya. Rindu ini berat sekali untuk ia tahan. Agung bilang, wajar, baru satu bulan lebih. Sakit atas rasa kehilangannya masih terasa. Tapi Nadia berani bertaruh kalau rindu pada papanya akan menghantuinya selamanya. Selang beberapa menit, ia sampai di pemakaman yang tak jauh dari daerah rumahnya. "Assalamualaikum, Papa." Segera Nadia meletakkan buket bunga melati itu di atas makam. Jemarinya kemudian mengusap batu nisan yang baru saja diganti dua minggu lalu. Dinginnya udara menjelang matahari terbit seperti ini tak Nadia gubris. Perhatiannya kini tertuju seluruhnya pada makam sang papa, cinta pertamanya
Rendra POV Udah satu minggu lebih Nadia ada di kantor itu dan kemajuan gue ngedeketin dia cuma gerak dikit. Itupun cuma sebatas ngirimin sarapan misterius doang sama ngajak makan malem. Itupun modus nganterin dia pulang. Malu gue sebenernya. Umur udah 35 tahun tapi cara ngedeketin cewek aja masih minim. Soalnya gini, gue dari dulu terbiasa ama cewek yang ngedeketin atau ngegoda gue, bukannya dorongan dari gue sendiri. Ya jadi wajar 'kan kalau sekarang gue begini? Ngedeketin cewek umuran Nadia aja gue gemeter. Dan sekarang, ini gue malu banget ngasih tau ke kalian. Percaya nggak kalau sekarang gue lagi minta saran Reza gimana caranya ngedeketin Nadia? Percaya nggak percaya kalian harus percaya. Buktinya ini sekarang gue lagi sama Reza di kamar gue sambil sesekali gue cek obrolan tentang rencana gathering di grup W******p kantor yang isinya gue dan staf petinggi-petinggi kantor. "Heran gue lo
Nadia POV Malem minggu. Hari dimana anak muda keliaran nggak tau arah, ketawa ngakak-ngikik nggak inget mati, pada keluar dari sarangnya. Atau tipe yang kayak gue yang kalo keluar di malem minggu itu karena emang ada yang ngajak dan kebetulan lagi gabut. Contohnya kali ini. Gue itu paling males ama yang namanya malem mingguan. Jaman pacaran sama Agung aja dulu ogah banget gue diajak dia saturday night nggak jelas begitu. Apaan. Kalo mau nge-date 'kan bisa di hari yang lain, nggak cuma malem minggu doang. Mungkin itu juga penyebab kenapa Agung sama gue itu putus dulu. Agung anaknya blingsatan, aktif kayak dede bayi dalem perut. Sementara gue kaku, pendiem, nggak banyak omong. Bagus deh tuh anak sama Ros sekarang. Cocok, sefrekuensi, sepemahaman. Dan malem ini karena gue gabut dan nggak tau mau ngapain, gue iyain ajakan Acha
Nadia POV "Ih, lo makhluk hidup apa bukan sih, Nad?? Masa nggak peka terhadap rangsangan.. eh, maksud gue, nggak peka sama keadaan sekitar. Dari ekspresi Pak Rendra semalem jelas banget tau nggak kalo dia tuh naksir elu." Sumpah demi apa, gue kepikiran ama omongan Acha pas kami mau pulang semalem. Ya Allah, masa sih Pak Rendra naksir gue? Dia ganteng, dewasa gitu masa demen ama gue yang masih bocil belum banyak pengalaman hidup gini??? Ceburin aja Acha ke Bengawan Solo! Dan karena kata-katanya dia itu, gue jadi gemeter mau pergi ke kantor pagi ini. Gila, cepet banget sih udah hari Senin aja. Perasaan baru kemaren malem minggu.Eh tapi, kalo gue nggak ke kantor, alamat bakalan kena SP. Ergghh, Acha sialan! Danu lagi, pake segala ngajak Pak Rendra buat gabung. Kalo nggak gitu 'kan nggak bakalan gini kejadian
"Emang ciri-ciri perempuan kalo udah pengen nikah apaan, Za? " Reza memandang adiknya tak paham. Kuno sekali adiknya ini. Sudah tua, tapi urusan perempuan masih nol besar. Tapi kalau urusan pekerjaan saja, nomor wahid berkuasanya. Tadi, Reza iseng masuk ke kamar Rendra saat anak itu sedang telponan dengan Nadia. Persis remaja labil yang baru mengenal cinta. Reza yang melihat itupun kontan mengejek Rendra dengan sebutan "tua-tua bocil". "Pertama ... " Rendra tersenyum antusias dan langsung melompat ke atas kasur."Apaan? " "Beliin gue mekdi dulu, gih. Komplit." Rendra yang tadinya antusias mendadak berwajah masam. "Udah bengkak masih aja makan pikiran lo! " "Ngasih saran ke lo tuh butuh tenaga, adik kecil! Buru! Gue laper!" Terpaksa Rendra menuruti. Pasalnya, abangnya itu saran percintaannya selalu berhasil. Apa-apa
Nadia POV Empat bulan berlalu. Di umur yang baru 20 tahun, 3 bulan, dan 45 hari, gue udah jadi ibu rumah tangga sejak dinikahin sama Mas Rendra empat bulan yang lalu. Gue nggak pernah nyangka bakal nikah di umur yang masih terbilang muda kayak sekarang. Apalagi nikah sama laki-laki yang umurnya beda lima belas tahun sama gue. Hubungan gue sama Mas Rendra itu kayak kereta super cepat yang ada di Jepang tau, nggak? Bayangin aja. Kenal di kantor baru seminggu dia udah nembak gue dan kita pun jadian. Dan baru pacaran dua minggu, Mas Rendra udah ngajak gue nikah. Dan satu setengah bulan setelahnya, kita pun resmi jadi suami istri. Gue pribadi sih sebenernya sah-sah aja ya ngejalanin hubungan ekspres kayak gini. Ya gue juga mikirnya, kalau cinta ngapain lama-lama 'kan? Apalagi gue bisa liat Mas Rendra itu udah mapan ekonominya. Plus, Mas Rendra juga udah dewasa yang bisa gue liat dari segi u
"Mas temenin ya, Nadia?" Nadia menggeleng. Suaminya ini terkadang keras kepala sekali. Sudah berapa kali Nadia menggeleng, menolak permintaannya sejak tadi. Tapi ia masih saja memaksa. "Temenin gimana? Jadi Mas batal pergi ke Bogor, terus dimarahin Pak Jerry cuma gara-gara mau temenin aku cari bahan buat usaha? Mas udah bosen kerja disana? Mas mau di pecat? Terus kita makan apa, kakanda?" Nadia itu memang jarang ngomong, tapi sekalinya dia ngomong, bisa sepanjang rel kereta api jurusan Cikampek-Tokyo. Panjang sekali. "Lagian itu Pak Jerry demen banget sih nyuruh Mas masuk weekend begini." "Lah 'kan biasanya juga begitu Mas?? Kenapa sekarang Mas ngeluh?" "Ya 'kan dulu sebelum Mas nikah, bebas mau pergi kapan aja, Mama pun jarang di rumah, jadinya Mas nggak khawatir mau ninggalin. Ini sekarang Mas udah ada tanggung jawab, kamu. Mana kamu lagi hamil."