"Satu lagu persembahan dari Dewa19 dengan judul Separuh Napasku mengiringi cerita-cerita yang akan kita dengarkan malam ini. Bisa dibilang malam ini, saya lagi seneng gitu kan. Lagi bahagia. Karena apa? Karena malam ini, Temu baru saja dibuka dengan cerita yang normal. Yang tidak membuat emosi sampai ke sumsum tulang belakang. Ya walau tadi agak sedih ya denger cerita cinta temen kita yang naksir sahabatnya tapi si cowok naskir orang lain. Tapi tetap saja cerita itu masih normal. Nor-mal."
Sepulang sekolah, seperti biasanya aku berjalan sendirian. Aku tidak lagi mengejar punggung Kak Rengga seperti hari-hari sebelumnya. Tidak lagi memiliki keinginan untuk satu bus dengannya. Kak Rengga sudah tidak tergapai.Aku melewati lorong sekolah yang tidak begitu sepi lantaran masih ada beberapa murid yang duduk di depan kelas mereka. Ada juga yang sedang piket membersihkan kelas. Aku berjalan menyeberang lapangan.
Hujan sudah reda saat matahari hanya menampakkan mega kemerahan yang bercampur dengan warna langit. Perpaduan warnanya sangat cantik. Tidak perlu jauh-jauh mendaki gunung atau pergi ke pantai hanya untuk melihat matahari terbenam. Nyatanya dengan menatap langit saja, aku sudah bisa menikmati keindahan yang disajikan oleh alam.
Seminggu lagi ulang tahun Melinda yang ke tujuh belas akan digelar di rumahnya. Ia mengundang banyak orang. Sedari pagi dia sibuk berkeliling sekolah menyebarkan undangan perayaan pertambahan umurnya. Senyum terus terkembang sempurna. Aku yang ikut membagikan undangannya, mengekor dan memandangi rambutnya bergoyang heboh saat ia berjalan setengah meloncat dengan Sukma."Eh, Sekar-Sekar. Undangan Mira mana? Buruan siniin," ujar Melinda saat berdiri kelas sebelas Bahasa dua.
Sudah seminggu sejak kejadian Melinda memutuskan hubungannya dengan Anggara. Dan sejak itu pula lah setiap hari Melinda menceritakan perihal hubungannya dengan Kak Rengga. Hanya Sukma dan Nike saja yang tampak antusias. Sedangkan aku lebih memilih acuh. Hari ini, Melinda kembali menceritakan kisah asmaranya."Kalian dong ini apaan?" tanya Melinda dengan nada riang. Dia mengangkat tinggi rambutnya, memperlihatkan leher jenjangnya. Aku kira dia memamerkan kalung yang dibelikan oleh orang tua atau Kak Rengga. Tapi ternyata aku salah.
Ibu baru saja pergi ke rumah saudara Bapak yang sedang sakit karena kecelakaan motor. Aku yang pertama kali mengalami skorsing, bingung hendak melakukan apa. Padahal jika aku sedang di sekolah, aku selalu berharap cepat-cepat pulang. Namun setelah setengah hari di rumah tanpa hiburan dan melakukan apapun, aku merasa sedikit jenuh.Aku melihat jam dinding di ruang televisi. Sudah masuk jam makan siang ternyata. Ibu pergi dari pagi dan sampai sekarang belum juga kembali. Aku bangkit dan berjalan menuju meja makan. Perutku sudah keroncongan.
Aku dan kedua orang tuaku duduk bersama di satu meja makan. Makan malam kali ini terasa berbeda karena mereka mau menemaniku makan. Biasanya meja ini hanya diisi olehku sendiri saat Bapak dan Ibu tidak bertengkar. Karena kalau mereka bertengkar aku akan makan di kamarku. Kalaupun mereka tidak bertengkar, biasanya Bapak lebih dulu dibanding aku. Kemudian disusul Ibu."Makan yang banyak, Sekar. Mumpung lauknya enak," kata Bapak.
Selama masa skorsing, aku melakukan rutinitas yang sama. Membaca buku, belajar, menonton televisi, makan, membersihkann rumah, lalu tidur. Dua puluh empat jam yang kulakukan adalah hal monoton kecuali membaca buku. Tidak ada radio yang menemaniku rasanya ada yang kurang. Aku jadi tidak lagi bisa mendengar cerita lucu dari penelpon laki-laki yang sering membuat Bento marah dan lagu-lagu yang diputar untuk menemaniku.
"Kok makan di sini sendiri?"Aku mendongak ketika mendengar suara bariton yang mulai terdengar familiar di indera pendengaranku. Narendra duduk di kursi Melinda dengan tubuh menyamping serta kepala yang ditopang di atas meja dengan sebelah tangannya."Iya."