"Duchess, aku bukan .."
"Puas! apa Tuan sudah puas? Apa salah Emelin sampai di hukum seperti dan merenggang nyawa." Duchess Anabella menutup mulutnya, air matanya membasahi tangannya. Ia tidak sanggup harus kehilangan Emelin.
"Aku menghukumnya karena ..."
Duchess Anabella berbalik, kilatan api muncul di kedua matanya. Dadanya naik turun merasakan pisau yang mengiris hatinya. "Hanya karena wanita itu," Duchess Anabella menghapus air matanya. "Hanya karena wanita itu, Tuan sampai membunuh Emelin."
"Dia bersalah ..."
"Apa dia mati? Tidak kan," Duchess Anabella tertawa. "Kamu kejam Tuan, Emelin hanya berusaha membela ku, tetapi Tuan." Duchess Anabella memutar tubuhnya kembali. "Aku ingin keluar dari rumah ini."
Deg
Duke Alex tersentak, sesuatu menjalar di dadanya, ia merasa panas. "Apa maksud mu? Jangan kamu pikir, hanya karena seorang pelayan kamu meninggalkan kediaman Duke."
Duchess Anabella menyunggingkan bibirnya. "Bukankah ini yang Tuan mau, seharusnya Tuan sangat senang bukan. Aku pergi tidak menunggu saat melahirkan."
Duke Alex mengepalkan kedua tanganya. Benar, dia menginginkan kepergian Duchess Anabella, tapi hatinya tidak menginginkan kepergiannya. "Aku minta maaf masalah ini, tapi kamu masih mengandung."
"Maaf mu tidak bisa menghidupkan Emelin. Aku tidak sudi berada di kediaman mu lagi. Jangan khawatir, secepatnya kita akan bertemu di pengadilan. Aku tidak perlu menunggu setelah melahirkan." Ucap Duchess Anabella dengan tajam. Dunianya sudah runtuh dan semakin runtuh saat dirinya harus berada di kediaman Duke. Lebih baik pergi, ia tidak sanggup lagi. Wanita yang selalu menguatkannya telah pergi.
"Sampai kapan pun, Duchess tidak akan meninggalkan kediaman Duke. Tunggu saja setelah melahirkan." Ucap Duke Alex yang menahan amarahnya. Ia tidak suka istrinya mengatakan akan meninggalkan kediaman Duke. Dadanya terasa perih melihat dan mendengarkan Duchess Anabella yang seakan berubah dalam sekejap.
"Aku membenci mu, aku sangat membenci mu. Jika perlu saat ini juga kamu menikah dengan Floria. Tidak akan ada lagi yang mengganggu mu. Tenang saja, anak ku tidak akan menganggap mu sebagai ayahnya. Dia tidak akan mengganggu kebahagiaan mu. Aku bisa menjamin hal tersebut."
Duke Alex menggertakkan giginya. "Aku sudah bilang, aku tidak akan menceraikan mu sampai kamu melahirkan." Duke Alex pun meninggalkan Duchess Anabella tanpa mendengarkan bantahannya lagi. Entah karena apa? Hatinya tidak kuat mendengarkan Duchess Anabella membencinya. Ia yakin, istrinya masih marah. Jika dia memberikan beberapa ruang, mungkin istrinya perlahan akan sadar.
Selepas kepergian Duke Alex. Tiba-tiba seorang wanita datang. Ia merasa bersalah pada Duchess Anabella. Baru saja ia tahu tentang kematian Emelin dari pelayan yang menjaganya.
"Nyonya, di luar ada nona Floria ingin bertemu dengan ..."
"Aku tidak ingin di ganggu." Potong Duchess Anabella, mendengarkan namanya saja sudah membuatnya sakit. Apa lagi bertemu dengannya, mungkin hatinya akan hancur.
Zoya mengangguk, ia mengerti. Keadaan ini majikannya untuk saat ini tidak bisa di ganggu oleh siapa pun.
"Maaf, Nona. Nyonya tidak bisa di ganggu."
Floria menarik nafasnya dalam-dalam. Ia langsung menerobos masuk ke dalam.
"Nona, apa yang kamu lakukan?" Bentak Zoya. Ia memegangi lengan Floria supaya pergi dari kamar majikannya.
"Aku minta maaf, ini salah ku. Bukan maksud ku mencelakainya."
"Aku," Floria menoleh saat lengannya di paksa keluar.
"Maaf mu juga aku tidak butuh, maaf mu tidak bisa membuatnya hidup. Keluarlah,"
"Aku mohon, maaf kan aku."
"Keluar !" Teriak Duchess Anabella.
Duke Alex yang berada di ambang pintu menatap dingin. Ia melangkah dan memutar tubuh Duchess Anabella. Hingga Duchess Anabella tersungkur ke lantai. Pipinya panas dan perih, ia memegangi bibirnya yang keluar darah.
"Duke,"
Duke Alex tersadar, ia menatap wanita yang berada di depannya. Lalu beralih melihat tangannya. Ia tidak bisa mengontrol emosi sampai harus melayangkan tangannya.
Sementara Zoya, ia membeku. Dan sejenak kemudian ia berlari melihat keadaan Duchess Anabella. "Nyonya,"
"Duchess,"
Tangan Duke Alex bergetar, ia hendak memegangi bahu Duchess Anabella.
"Berhenti!" Duchess Anabella mendongak. Matanya memerah seiring dengan air mata yang terjatuh. Bola matanya memancarkan aura kebencian.
"Tangan mu sudah kotor, jangan menyentuh ku."
Floria menganga, ia tidak menyangka Duchess Anabella meninggikan suaranya pada Duke Alex. Bukan ini yang ia mau, ia datang bukan menghancurkan hubungan mereka.
"Aku yang akan pergi." Ucap Floria.
Duke Alex menghampiri Floria, ia menggeleng. "Tidak, kamu tidak boleh pergi. Ini bukan salah mu."
"Berarti aku yang akan pergi." Sanggah Duchess Anabella tersenyum miring. Ia berdiri dan menyentuh sudut bibirnya yang terasa perih. Ada sebuah darah di tangannya. "Dia memang tidak memiliki hati."
"Tidak ini salah ku. Aku tidak ingin kalian seperti." Ucap Floria dengan berlinang air mata.
"Sudah aku bilang, ini bukan salah mu." Bentak Duke Alex.
"Berarti ini salah mu dan juga salahnya. Dia datang kesini dan ingin kembali pada Tuan Duke kan. Maka aku akan mengabulkannya. Dengan senang hati aku akan memberikan Duke Alex. Lagi pula aku sudah tidak menginginkannya. Dulu aku mencintainya, tapi tidak sekarang. Aku sadar, dialah penyebab kematian Emelin. Seandainya aku mendengarkan Emelin. Dia tidak akan meregang nyawa seperti ini. Ini juga salah mu Floria. Kamu datang bukan ingin mengambilnya, silahkan. Aku akan ingat setiap luka yang kamu torehkan Duke Alex dan Nona Floria." Tunjuk Duchess Anabella dengan nafas memburu. "Aku tidak akan pernah memaafkan mu. Aku akan mengingat semuanya. Aku Anabella adalah kesalahan menikah dengan mu, Duke Alex." Imbuhnya dengan nada menekan. Ia sangat membenci Duke Alex sampai ke darah dan meresap ke urat-uratnya. Jika perlu, mati pun dia tidak akan pernah memaafkan atau pun menoleh.
Bagaikan ribuan anak panah, tepat menancap di hati Duke Alex. Hatinya seakan remuk, nafasnya terasa tercekat. Wanita yang dulunya penuh dengan senyumannya, menyapanya dengan hangat dan menghormatinya. Kini menunjuk padanya.
"Duchess." Ia melangkah, bermaksud ingin menenangkan hati wanita di depannya. Ia menyesal telah melukai wanita di depannya. Ia tidak bermaksud menamparnya. Hingga darah dari sudut bibirnya keluar. Sama sekali, hatinya tidak ingin menyakitinya.
"Matipun aku tidak akan menoleh pada mu."
"Nona Floria, kamu sudah puas. Tertawalah sesuka hati mu. Pergi dari kamar ku sekarang, pintu kamar ku terbuka lebar untuk kalian dan akan tertutup untuk kalian."
Duchess Anabella memutar tubuhnya, hatinya remuk seolah tidak bisa di pulihkan kembali.
Air matanya terus-menerus mengalir seakan tidak bisa berhenti. Dalam hatinya, ia terus menyebut nama Emelin. Perkataan pertama yang ia ingat. Emelin menyuruhnya bahagia dan keluar dari rumah ini.
Duke Alex mengentikan langkah kakinya. Mungkin butuh waktu membuat istrinya sadar dan mau memaafkan kesalahannya. "Floria, ayo. Dia butuh waktu."
Duke Alex pun membawa Floria keluar dari kamar istrinya. Sepanjang perjalanan Floria menangis dan sesekali menyeka air matanya. "Aku mau pergi, tolong. Biarkan aku pergi Duke."
"Floria, aku tidak ingin membahasnya. Istirahatlah." Duke Alex mencium kening Floria. Ia butuh ketenangan diri.
"Kesatria Luis, panggilkan Dokter kediaman Duke dan periksa keadaan Duchess."
"Baik Tuan," ujar Kesatria Luis. Ia merasa pusing memikirkan majikannya. Melihat sisi perhatiannya. Ia merasa Duke Alex mulai menyayangi Duchess Anabella. Namun masa lalunya tidak bisa di lupakan, dia masih terbelenggu dengan masa lalu. Ia pikir Duke Alex harus memikirkan hati dan pikirannya yang sama. Jika dia tidak bisa memilih salah satu di antara keduanya. Mungkin akan saling menyakiti. Apa lagi saat mendengarkan perkataan Duchess Anabella. Sepertinya Duchess Anabella memang sangat membenci tuannya.
Kesatria Luis mengantarkan Dokter pribadi kediaman Duke ke kamar Duchess Anabella. Sesampainya di sana, ia mengetuk pintu kokoh itu. Dari dalam kamar, terdengar langkah tergesa-gesa mendekati mereka."Tuan," ujar Zoya seraya membuka pintu. Ia menoleh. "Maaf, Nyonya tidak ingin di ganggu.""Tapi, Nyonya harus di periksa." Ucap Kesatria Luis."Aku tidak butuh pemeriksaan Dokter. Biarkan luka ini terlihat. Luka ini tidak sebanding apa yang Tuan Duke perbuat." Ucap Duchess Anabella seraya berjalan menghampiri Kesatria Luis dan pria paruh baya itu."Nyonya, biar saya memeriksa keadaan Nyonya." Sanggah pria berjas putih itu. Ia merasa iba melihat kondisi Duchess Anabella. Semua orang pun sudah mendengar rumor tentangnya. Apa lagi dirinya, tentu ia merasa prihatin. "Tolong, Nyonya.""Pergilah, aku tidak ingin di ganggu. Emelin yang akan mengobati ku." Duchess Anabella tersadar apa yang ia ucapkan. Bi
Ke esokan harinya.Sinarnya matahari menyeludup memasuki jendela kaca itu, membuat sang empu menggeliat. Ia meraba seseorang di sampingnya. Namun tidak ada siapa pun. Bunyi burung yang bertengger pun di pohon cemara memasuki telinganya. Ia membuka matanya, silaunya cahaya matahari membuatnya mengucek matanya."Emmm,"Ia menoleh, tidak melihat siapa pun. Ia beringsut duduk. Lalu menggelengkan kepalanya. Pikirannya mulai tenang, semenjak berpisah ranjang dengan istrinya karena kedatangan Floria. Ia harus berpisah ranjang. Ia takut membuat Floria cemburu dan selama itu pula ia susah untuk tidur, biasanya Duchess Anabella akan mengelus kepalanya sampai ia tertidur pulas. Namun sekarang tidak lagi. Entah, pernikahannya bahagia atau tidak dengan Floria. Ia yakin akan bahagia. Saat itu ia akan memeluk mesra wanita yang ia cintai. Namun, bukannya wajah Floria, tetapi wajah Duchess Anabella yang menghantuinya. Ia menggeleng, mungkin karena sem
Pantas saja aku merasakan sesuatu ternyata ini penyebabnya batin Kesatria Luis menunduk.Ia melepaskan nafas beratnya, ada rasa tak suka di hatinya. Semenjak kedatangan wanita ini lah Duchess Anabella sering menangis. Ia paham, bukan kematian Emelin yang membuatnya sedih, tapi kedatangan Floria. Duke Alex cerdas dan pintar dalam strategi perang. Namun bodoh dalam mengerti perasaan wanita.Apa aku coba saja mendekati Duchess dan membuatnya cemburu? Dengan begitu kan aku bisa tau isi hati Duke Alex batin Kesatria Luis."Kesatria Luis.""Ah, iya." Kesatria Luis langsung menunduk. "Maaf mengganggu waktunya Tuan dan Nona Floria. Tuan diminta untuk ke Istana.""Tunggu aku." Duke Alex mencium kening Floria dengan sangat dalam.Keduanya pun keluar dari kediaman Duke. Namun sampai di halaman istana. Matanya melihat Duchess Anabella. Rambutnya torambang ambing terbawa angin. Matanya sendu, tersimpan beribu kesedihan."Dengan cara apa aku menghi
"Cukup!" Bentaknya. Semua bangsawan bungkam, mereka saling melirik satu sama lainnya. Ada yang mengeluarkan kipasnya dan menoleh ke arah lain. "Ini masalah keluarga ku." Duchess Anabella memejamkan matanya. "Tidak ada urusannya dengan kalian. Aku menderita atau pun bahagia, sama sekali tidak ada urusannya dengan kalian semua." Duchess Anabella langsung pergi meninggalkan tempat menyesakkan itu. Ia berjalan dengan langkah berat. Seakan tubuhnya tak bisa ia tumpu. Ia langsung terduduk di tanah berumput itu. "Nyonya," ujar Zoya seraya membantu memapah tubuh majikannya. Sama hal dengan dirinya, air matanya tak bisa ia tahan. Sudah ia duga, semuanya akan seperti ini. Sudah cukup penderitaan bagi majikannya. Sampai kapan majikannya bisa hidup bahagia. Duchess Anabella di papah oleh Zoya sampai ke kereta. Selama di perjalanan, air matanya terus membasahi pipinya. "Ayah." Flasback "Anabell," seru seorang pria paruh baya dengan memp
Hurt eps 9."Uh, Romantisnya."Serentak keduanya melihat ke arah Duchess Anabella yang tersenyum."Duchess."Selangkah Duke Alex memundurkan langkahnya. Ia seperti seorang suami yang tertangkap basah berselingkuh. "Itu Duchess, tidak seperti yang Duchess pikirkan.""Oh, iya." Duchess Anabella mengerutkan keningnya. Ia tidak peduli dengan penjelasan basi dari Duke Alex. Telinganya sudah penuh dengan kisah mereka berdua."Duchess itu,""Kalungnya cantik Tuan Duke dan Nyonya Duchess. Tidak perlu menjelaska
"Aku tidak bisa menghidupinya. Setidaknya aku berusaha ...""Berusaha apa? Berusaha apa?" Duchess Anabella memegangi dadanya. "Dengan tangan ini. Aku merasakan darah segar Emelin. Wanita yang selalu mendampingi ku. Sedih atau pun senang dia tau. Makanan apa kesukaan ku,minuman apa kesukaan ku. Dia tau semuanya. Dan pada saat itu, dengan teganya Tuan menghukumnya layaknya binatang. Aku bisa meminta maaf atas nama Emelin. Seandainya Emelin masih hidup. Dia hanya ingin membela ku. Hatinya tidak tega melihat ku menangis. Setidaknya kamu memahaminya.""Duchess aku tidak bermaksud ...".Duchess Anabella memberikan kode agar Duke Alex menghentikan tangannya yang ingin menyentuhnya. "Aku muak dan sudah bosan tinggal di rumah ini."Duchess Anabella melangkah dengan cepat. Zoya pun berlari mengikuti langkah sang majikan. "Zoya, cepat bereskan semua pakaian ku. Aku tidak mau tinggal di sini lagi.""Baik, Nyonya." Zoya mengambil sebuah kotak besar penyim
"Bagaimana keadaannya?" tanya Duke Alex dengan cemas. Kali ini, dapat ia rasakan. Ia tidak bisa melihat wanita di depannya terbaring lemah."Nyonya Duchess terlalu banyak pikiran dan stress. Sepertinya Nyonya tertekan." Jelas sang Dokter.Duke Alex mengusap kepalanya secara kasar. Ia sadar, akhir-akhir ini telah membuat Duchess Anabella tertekan. Seandainya dia tidak menghukum Emelin, kehidupan rumah tangganya tidak akan seperti ini."Tuan, jangan khawatir. Keadaan Duchess pasti baik-baik saja." Ucap Floria. Ia meraih lengan Duke Alex untuk meyakinkannya.Pria ber jas putih, itu melirik dan menggeleng pelan. Hidupnya saja sudah susah menahan kemarahan istrinya. Apa lagi dua istri, mungkin telinganya akan meledak."Baiklah, saya pamit Tuan Duke."Duke Alex pun mengangguk, ia melepaskan tangan Floria. Lalu menghampiri ranjang Duchess, ia duduk tepi ranjangnya. "Duchess, aku minta maaf." Duke Alex mencium kening Duchess Anabella.Floria la
"Apa maksud mu? Pungutan orang lain apa?" tanya Duke Alex seraya melangkah ke arahnya.Duchess Anabella menutup bukunya dengan kasar, ia menaruhnya di atas meja. Lalu menoleh, "Apa Tuan memberikannya karena tidak di sukai oleh nona Floria atau jangan-jangan Tuan merasa tidak cocok pada nona Floria."Duke Alex memegangi dadanya, tuduhan itu membuatnya nyeri. Sekalipun ia tidak pernah meminta pendapat Floria tentang gaun itu. Semuanya itu murni pilihannya sendiri, tanpa bantuan orang lain."Semuanya itu aku yang membelinya, tidak ada campur Floria sedikit pun."Duchess Anabella berdiri, benar atau tidak. Hatinya tidak percaya. "Aku tidak mempercayainya. Silahkan bawa semua barang itu ke tempat semestinya.""Duchess, aku memilihnya sendiri, tangan ku sendiri yang merasakannya. Floria tadi membeli gaun sendiri tanpa aku menemaninya. Aku yang memilihnya sendiri tanpa campur tangan siapa pun.""Zoya,""Saya Nyonya." Zoya sedikit melihat ke ar