Oh iya, telepon.
Kamar mewah seperti ini pasti punya telepon. Aku berlari mencari telepon itu di ruang tamu dan mendapati meja tamu yang penuh dengan makanan yang masih terbungkus rapi, lengkap dengan beberapa biji obat dan secarik kertas.
'Jangan lupa makan dan minum obatnya. Setelah itu duduk manislah dan tunggu saya.'
Siapa?
Aku?
Ohhh tidak akan. Aku harus keluar dari sini secepat mungkin.
Aku mendapatkan telepon tepat di meja kecil di ruang tamu dan segera memencet nomor receptionist. Tidak butuh waktu lama aku segera mendapatkan balasan.
"Good Morning. May I help you, mam?"
Loh? Bagaimana bisa dia tau kalau perempuan yang berbicara? Padahal aku belum mengeluarkan suara sama sekali.
"Halo mbak, saya terkunci di kamar ini. Sepertinya pintunya rusak tidak bisa di buka dari dalam. Bisa tolong panggilkan teknisi untuk membantu memperbaiki pintu saya?" Pintaku.
"Baiklah, tunggu sebentar. Saya akan mengabari teknisinya segera mungkin. Maaf atas ketidak nyamanannya. Terima kasih." Balasnya kemudian menutup sambungan telepon.
Wow. Sangat ramah. Harus berapa lama lagi aku menunggu. Aku sudah sangat terlambat datang ke kantor hari ini. Lihatlah matahari sudah hampir di atas kepala seperti itu. Kakiku lemas. Kini aku hanya bisa duduk dengan malas sambil menatap makanan yang terlihat sangat lezat di meja seperti itu.
Sial, perutku lapar. Dari semalam aku belum makan sama sekali.
Demi bertahan hidup, kuputuskan untuk memakan makanan yang memang di peruntukkan untukku itu. Mubazir. Dari pada terbuang percuma. Tapi sebelum itu aku berlari menuju kamar mandi lagi untuk menyikat gigiku terlebih dahulu. Dan setelah kuperhatikan, perlengkapan mandi Liam ternyata lengkap sekali. Bahkan aku tidak sadar dia menggunakan collogne yang baunya sangat enak ini. Ini pasti sangat mahal.
Setelah yakin gigiku tersikat bersih, aku kemudian berlari kecil kembali keruang tamu dan menyantap sarapanku dengan sangat lahap. Astaga, makanan ini sangat lezat dan pas di lidahku. Bagaimana kau bisa tau seleraku, Liam?
Setelah makan, tidak lupa obat yang Liam persiapkan itu kuminum dengan dorongan air putih yang cukup. Rasanya lega sekali menikmati makanan enak di jam makan siang seperti ini. Tapi kenapa teknisi itu lama sekali ya?
Aku beranjak ingin mengambil gagang telepon itu kembali saat kudengar suara pintu sedang di buka oleh seseorang. Sepertinya mereka sudah memperbaikinya diam-diam sampai aku tidak mendengarkan bunyi alat apapun. Aku beranjak dari tempat dudukku dan berjalan mendekati pintu utama saat seseorang yang sangat kukenali itu berdiri di hadapanku dengan sangat gagahnya.
"Se-selamat siang, Tuan Rayes." Sapaku menunduk memberikan hormat.
'Astaga!! Mati aku! Apa yang Rayes lakukan di apartemen Liam?!!'
"Tuan? Kamu masih memanggil saya seperti itu, Anna? Bukankah semalam kamu sudah menyetujuinya? Kemana sikap manjamu itu?" Tanyanya.
Aku segera meluruskan badanku dan menatapnya bingung.
"Se-semalam Tuan?" Tanyaku bingung.
Aku bisa melihat dengan jelas mata Rayes yang bergerilnya menatap tubuhku dari atas hingga ke bawah. Namun tatapannya berhenti tepat di area pahaku yang polos karena kemeja putih yang kupakai ini tidak mampu menutupinya.
"Sepertinya seseorang sudah memakai kemeja saya tanpa izin." Smirknya lalu berjalan mendudukkan diri di sofa ruang tamu.
"I-ini kemeja anda Tuan? Bukannya ini apartemen Liam?" Tanyaku kaget dan segera menutup pahaku dengan bantalan sofa.
"Liam? Siapa dia?" Tanyanya sambil melonggarkan sedikit dasinya.
"Eh? Oh.. Ini apartemen bapak ya?" Mataku berputar melihat seluruh bagian sudut apartemen ini.
Aku mendengar suara Rayes yang tertawa cekikikan melihat tingkahku. Segera kuhentikan tingkah konyolku yang keluar tanpa kusadari barusan.
"Kamu masih saja lucu, Anna." Tawanya.
Aku menunduk menyembunyikan wajahku karena malu. Tentu saja apartemen ini miliknya! Ini terlalu mewah untuk seseorang seukuran Liam! Anna kau bodoh sekali, kenapa baru menyadarinya!
Belum selesai aku merutuki diriku sendiri, Rayes menyodorkan jasnya ke hadapanku.
"Pakailah, tutupi pahamu itu biar tidak masuk angin. Saya akan menyuruh seseorang untuk mengambil pakaianmu yang di laundry."
Kuberanikan diriku untuk mengambil jas yang Rayes sodorkan untukku dan mengalungkannya menutupi pahaku. Tentu saja Rayes menahan tawanya melihat penampilanku yang konyol saat ini. Astaga... Ini sangat memalukan!
"Maaf. Duduklah." Ucap Rayes dengan wajahnya yang menahan senyuman.
Aku duduk dengan patuhnya.
"Bagaimana? Apa kamu menyukai sarapannya?" Tanyanya dengan santai.
"Tentu, Tuan. Terima kasih atas kebaikan Tuan. Hm… Dan maaf sepertinya saya sudah banyak merepotkan." Tundukku tidak berani menatapnya.
"Bagaimana yaa...." Ucapnya mulai melepaskan kerah kemejanya.
Karena penasaran, aku melirikny tapi di saat yang tidak tepat. Sial! Apa baru saja dia menggodaku?!
"Ka-kalau boleh tau, apa saja yang sudah saya perbuat semalam Tuan?" Tanyaku penasaran.
"Boleh saja. Asal kamu memanggil nama saya seperti tadi malam. Tanpa embel-embel, hanya nama. Lagi pula sekarang sudah jam istirahat dan kita bukan di kantor, kan?" Tanyanya mulai melipat kerah lengan panjangnya.
Ta-tadi malam memangnya kita ngapain?!
***
Jantungku berdetak kencang seketika. "Apa yang sudah saya lakukan tadi malam Tuan?" Tanyaku penasaran Apa yang sudah kulakukan pada Rayes? Astaga, Anna... Siap-siaplah menjadi pengangguran sekarang! Rayes tersenyum. Dan itu semakin membuatku ketakutan. "Kamu memanggil nama saya dengan sangat santai. Tidak apa, karena itu memang yang saya mau. Selama ini saya memang memperhatikanmu karena mencurigai kamu sudah mempunyai suatu hubungan yang sepertinya, sudah di luar kewajaran." DEG!! Jantungku kembali berdetak kencang. "Menjadi selingkuhan Manajer Marketingmu? Dan melakukannya di kantor? Apa kau serius??" Mati aku! MATI!!!! "Awalnya saya mencurigai kamu melakukan itu semua demi kenaikan jabatanmu saja. Tapi setelah saya telusuri yang saya dapatkan, kamu memang berhak atas jabatan itu. Pekerjaanmmu sangat rapi dan tersusun, juga tepat waktu. Dan sepertinya kamu tipe yang tekun dan ulet. Tapi saya bingung, kira-kira apa alasannya sampai kamu mau menjadi selingkuhan orang semaca
"I-iya? Ada apa, Rayes?" Tanyaku penasaran. "Apa saya masih terlihat seksi di matamu?” "Hah?" Aku mengedipkan mataku berkali kali mendengarkan pertanyaannya barusan yang tidak pernah kusangka akan keluar dari mulut seorang pimpinan utama perusahaanku. Aku menelan ludahku kasar dan menutup mataku sebelum menarik nafas dalam dalam. "Tentu, Rayes." Senyumku menatapnya. "Tentu. Anda sangat seksi." Tambahku berbohong. Berbohong? Well, seorang pria dengan kemeja yang tidak terkancing rapi dengan lengan yang dilipat itu memang terlihat menarik perhatianku. Tapi bagaimana kalau yang memakainya itu orang seperti Rayes? Maksudku memang wajahnya masuk dalam kategori tampan untuk pria matang seusianya. Tapi apakah aku sopan baru saja menyebut pria dewasa yang mempunyai anak dan istri ini sebagai pria seksi? "Serius? Apa saya lebih seksi ketimbang atasan langsungmu itu?" Tanyanya dengan tatapan yang menyindir. "Tentu saja. Jangan menyamakan diri anda dengan bawahan anda seperti itu. Anda s
Ekspresi Rayes terlihat sedikit kaget namun ia terlihat berusaha menutupinya. "Oh, kamu sudah melihatnya. Yah, itu... Bagaimana ya menjelaskannya." Aku mempunyai firasat tidak enak. "A-apa kita me-melakukan itu? Rayes?" Tanyaku ragu. Rayes melotot menatapku. Firasatku semakin tidak enak. Rayes lalu mengusap tengkuknya yang kusadari tidak gatal sama sekali. Dia mencoba menyembunyikan sesuatu, atau sedang mencoba untuk menjelaskan sesuatu? "I-itu... Hm, begini..." Aku memperbaiki postur tubuhku untuk mendengarkan penjelasannya dengan baik. "Baiklah. Begini, waktu kita sudah sampai di apartemen ini... Kamu... Memuntahkan isi perutmu karena katanya kamu mual mencium wewangian di ruangan ini. Dan begitulah ceritanya kenapa pakaianmu berakhir di tempat laundry." Jelas Rayes sambil menahan tawanya. Wajahku merona padam karena malu. Segera kuambil bantalan sofa yang ada di sampingku lalu menutupi wajahku yang semakin panas ini. "Belum selesai Anna. Tolong dengarkan saya. Setelah puas
Kenapa Rayes berlebihan seperti itu? Oh astaga betapa bodohnya aku. Saking kagetnya aku melihat pakaian baru nan mahal ini, aku berlari pada Rayes tanpa mempedulikan tampilanku yang hanya terbungkus handuk putih dengan rambut basah sempurna berjalan begitu saja ke hadapannya dengan pakaian mahal pemberiannya itu di tanganku. Tentu saja Rayes akan menyemburkan air yang baru saja masuk memenuhi mulutnya itu sebelum mengomeliku dengan eksresi terkejutnya. "Ma-maaf, bukan begitu maksudku. Tapi ini?" "Ambil saja. Kamu berhak itu. Anggap saya yang sudah membuat pakaianmu menjadi kotor, okay? Lagi pula kemeja yang kamu pakai dan jas yang kamu ikat untuk menutupi pahamu tadi itu harganya melebihi pakaianmu sekarang. Jadi anggap saja itu hadiah, Anna." Pintanya. "Tapi saya-" Aku masih sangat tidak enak! "Anna, tolong." Rayes mulai berjalan mendekatiku. "Itu dari pemberian seorang teman. Okay?" Ucapnya menyentuh bahuku dengan kedua tangannya. Ada sensasi hangat yang menggeliat melalui ta
Sesampainya di rumah, segera kubuka pintu garasi dan memasukkan mobilku tepat di samping motor sport, Nathaniel, Kakak laki-lakiku yang sangat jarang pulang lebih awal dari jam pulang kantornya. Aku segera berlari masuk ke dalam rumah untuk mencarinya. Dan benar saja, dia sedang mengobrak-abrik lemari pakaianku. "YA AMPUN! KAKAK NGAPAIN?" Kagetku. Niel yang bingung melihat kehadiranku hanya bisa terdiam kaku menatapku yang sibuk menghentikan aktivitasnya. "Kantormu baru saja meneleponku karena mereka bilang tidak bisa menghubungimu karena ponselmu mati. Katanya kau akan berangkat besok pagi untuk mengikuti program-apalah itu. Jadi aku segera pulang dan membantumu berpacking. Karena kupikir kau akan pulang malam atau bahkan tidak pulang lagi." Jawabnya santai. "Iya ponselku mati, tapi aku pasti pulang. Aku tidak mau jadi anak durhaka." Segera kututup koperku yang masih berantakan itu. "Terus... Bisa kau jelaskan alasan kenapa tidak pulang semalam?" Tanyanya. "Aku lembur. Banyak ya
"Halo, Anna." "Ra-Rayes? Apa ini ulahmu?" Tanyaku bingung. Ia tersenyum. Pramugari tersebut mempersilahkanku duduk tepat di sebelah Rayes. Dan tanpa banyak bertanya, aku segera menuruti arahan pramugari tersebut. "Apa ini ulahmu?" Tanyaku memastikan. Rayes hanya memberikanku senyuman penuh maknanya. "Bagaimana kalau pegawai yang lain melihatnya?" Tanyaku panik. Yang mengikuti program itu bukan hanya aku saja, ada beberapa orang lagi dari departemen lain yang mengikutinya. Tentu saja aku khawatir dengan reputasi pimpinanku yang akan tercoreng hanya demi melindungi bawahannya yang baru saja dilecehkan oleh orang asing atau yang lebih buruk lagi, kalau ada gosip jelek yang beredar mengenai kami berdua. "Dan membiarkanmu terus digoda oleh mereka itu?" Ia balik bertanya. "Hm? Dari mana kamu tau?" "Insting pria memang seperti itu, Anna." Aku hanya terdiam tidak membalas sama sekali ucapan Rayes karena merasa tidak enak pada pria yang lagi-lagi menyelamatkanku ini. "Permisi." Sela
"Hah?! Kok bisa?" Pekikku kaget mendengar pertanyaan randomnya. "Permisi Mbak, ini minumannya." Ucap pramugari yang berhasil menghentikan kata-kata makian yang hampir saja kuucapkan pada pimpinanku sendiri. "Terima kasih banyak, Mbak. Tapi, seingatku aku cuma mesan air putih hangat. Kenapa yang datang teh hangat beserta camilan ini?" Tanyaku penasaran. "Captain’s treat, Miss." Balasnya tersenyum. "Oh. Hm, baiklah. Ucapkan terima kasihku pada sang Captain, dan maaf sekali lagi untuk kejadian tadi." Ucapku sopan. "Tentu, Mbak. Nanti akan saya sampaikan. Semoga lekas sembuh." Ucapnya menunduk pamit sambil tersenyum manis. "Something has already happened." Tegur Rayes mencurigai sesuatu. "Tidak ada apa-apa, Rayes." "Semoga kamu beneran tidak sedang hamil." Balasnya ketus. Aku hanya menatap pimpinan utamaku dengan ekspresi yang tersenyum memaksa karena aku sedang sibuk mencaci makinya di dalam otakku. Bagaimana mungkin aku bisa hamil, dasar pria tua! . . . 2 jam kemudian, pesaw
"Hai. It's so good to see you again, Anna." Sapa sang kapten yang berdiri tepat dihadapanku saat ini. Aku tersenyum kikuk atas situasi yang aneh ini. Kebetulan yang sangat luar biasa kami bisa bertemu kembali di tempat yang tidak terduga seperti ini. "Tidur di sini juga ya, Capt?" Tanyaku basa-basi. "Hotel ini homebase kami. Jadi, ya. Sepertinya saya akan tidur di sini." Balasnya tersenyum. Aku kembali tersenyum kikuk menjawab pertanyaannya. "Oh... Lantai berapa?" Tanyaku basa-basi mencoba mencairkan suasana yang sangat diluar ekspektasi seperti ini. "Sepertinya kita tidur di lantai yang sama." Balasnya menatap ke arah lampu tombol lift angka sebelas yang menyala. "Oh, i-iya." Aku menggaruk telingaku yang tidak gatal. "Ada acara apa di sini, Anna? Liburan?" Tanyanya basa-basi. "Apa? Oh? Tidak. Kenapa bisa berpikir aku akan liburan?" Aku mulai memberanikan diri menatap matanya. "Tebakan saja? Apa salah? Sepertinya kamu bersama dengan suamimu tadi. Kemana dia?" "Apa?! Suami ma