Share

4. Suatu Pertanda

24 Februari 2019

"Kalau boleh tahu, apa yang Pak Biru rasain setelah cutting? Dan kenapa cutting-nya di bagian dada?"

Biru tampak ragu-ragu untuk memberikan jawaban sebab takut dihakimi. Orang tuanya saja selalu menghakimi, apalagi orang lain, kan? Biru menunduk, memperhatikan kuku ibu jarinya yang kini tengah menggoreskan luka pada pergelangan tangan kiri berulang kali hingga berdarah.

Menyadari itu, Ersa pun mengatakan, "Nggak papa, Pak. Saya nggak akan menghakimi."

Biru gemetar ketika perlahan dia memberanikan diri mengangkat kepala. "Nggak banyak pria seumuran saya datang kemari. Saya malu," ujarnya tidak percaya diri. "Masalah saya juga masalah sepele, tapi saya lebay.."

"Nggak ada masalah yang sepele ataupun lebay saat orang sudah berani melukai dirinya sendiri," Ersa memotong langsung dengan nada tegas. Berusaha menarik Biru untuk berani mengungkapkan semuanya. "Nggak penting juga untuk jenis kelamin, umur, status sosial, atau apapun. Saya di sini untuk membantu Pak Biru merasa lebih baik. Nggak papa, Pak, nggak perlu malu. Saya menaati kode etik dan cerita Bapak aman di saya."

Pandang Biru memburam tapi air matanya susah keluar. Ada yang menahan. Untuk pertama kali dia mendengar seseorang mengatakan bahwa masalahnya bukan masalah sepele. Selama ini, Ayah dan Bunda selalu menyepelekan masalah—mengatakan bahwa dirinya belebihan.

Biru mendongak, memandang langit-langit ruangan serba putih itu dengan hati yang berat.

"Saya ... saya cutting di bagian dada karena rasa sakitnya emang numpuk di sana. Saya nggak tahu bagaimana cara mengatasi rasa sakit itu. Selain itu, supaya nggak dilihat orang lain juga."

"Lalu?"

Biru menarik napas dalam-dalam seraya berdeham guna menstabilkan nada bicaranya. "Saya juga merasa lega kalau sudah cutting di bagian dada. Lega setelah lihat darah. Saya juga lega, karena saya pantas mendapatkan itu."

"Kenapa merasa pantas?"

"Karena saya cengeng, saya selalu mengeluh diam-diam saat ada masalah kecil yang nggak mampu saya hadapi. Padahal, di luar sana banyak sekali orang yang lebih kesulitan dari saya. Saya mudah sakit hati. Makannya, nggak banyak yang mau berteman sama saya. Saya pengecut."

Ersa diam agak lama seusai mendengar pengakuan dari Biru. Ersa mengamati kliennya yang kini kembali menunduk, takut dihakimi, dan tampak cemas. Pergelangan tangannya berdarah.

"Oke, Pak Biru pernah dengar soal represi?"

Biru menggeleng pelan setelah mendengar pertanyaan dari Ersa. Terdengar asing. Ersa kemudian menjelaskan. "Represi itu adalah saat di mana memori, perasaan, atau kejadian buruk itu di tekan ke alam bawah sadar. Itu salah satu bentuk dari defense mechanism,"

"Nah, masalah yang dimiliki Pak Biru ini sudah menumpuk dari kecil. Menurut saya, kasusnya Pak Biru ini berat, bahkan tadi sempat bilang ingin bunuh diri dan sudah cutting sejak lama. Sejak SMA ya tadi?"

Biru menganggukkan kepalanya pelan.

"Semua masalah yang sudah didapat dari kecil itu direpres semua ke alam bawah sadar dan termanifestasikan atau muncul dalam bentuk cutting itu sendiri," Ersa masih tetap bicara tanpa mengalihkan pandang dari Biru yang tidak menatapnya. "Karena kesepian, karena merasa nggak mampu, dan itu merupakan wujud dari Pak Biru yang sebenarnya mengharapkan kasih sayang dari sekitar tapi nggak bisa didapatkan. Pak Biru ingin disayang, ingin diperhatikan, ingin didengarkan pendapatnya oleh orang tua,"

"Tapi orang tua nggak memberikan itu sejak kecil dan bahkan menyebabkan luka. Apa ya ... " Ersa menghela napas berat. "Pak Biru itu seperti gunung merapi yang siap meletus tapi disumbat sehingga efeknya itu malah ke dalam dan nggak bisa keluar, karena sejak kecil dibiasakan seperti itu,"

Biru tidak bisa bersuara. Tenggorakannya tercekat sebab ada suatu rasa sakit yang tidak bisa dideskripsikan. Sakit sekali sampai Biru ingin berlari, bersembunyi di kamar mandi, dan menyayat dadanya menggunakan benda tajam.

"Pak, sudah, tangannya sudah luka."

Ersa menyerahkan beberapa lembar tisu pada Biru. Biru mengangkat kepala tapi tidak menatap Ersa. Rasa malu, takut, bercampur sedih luar biasa sungguh mendominasi.

"Terus saya harus gimana?" tanyanya putus asa. Nadanya bergetar hebat. "Sebentar lagi saya menikah. Saya nggak bisa menunjukkan tubuh yang penuh luka dan juga alat kelamin saya. Saya ingin kabur tapi saya nggak mau mengecewakan Ayah dan Bunda."

"Bapak dijodohkannya dengan paksa?"

"Iya."

"Ada alasan lain selain nggak mau mengecewakan orang tua? Lagipula, kenapa takut orang tua kecewa?"

"Kalau mereka kecewa, saya juga ikut sakit hati. Kalau mereka marah, bisa-bisa saya dimusuhi."

'Dia terlalu pengertian, terlalu berusaha memahami orang lain, menuruti segala apa yang disuruh. Submisif, itu caranya untuk mendapatkan kasih sayang dari orang tua.'

***

[17 September 2019

06.36

Khansa Pratista: Runallaaa!!

Khansa Pratista: Gue hamil!]

Biru melirik ke arah Runalla yang tengah sibuk membalas pesan. Biru tak tahu itu siapa. Tapi, senyum lebar Runalla membuat Biru bisa menebak kalau itu adalah istri dari Kakak Runalla—Khansa.

Biru mengunyah rotinya selai cokelatnya dengan tak selera.

"I-I-itu." Issy menunjuk ke arah gelas berisikan susu putih hangat buatan Runalla yang terletak di tengah-tengah meja. Biru menatap Issy yang duduk di sampingnya. "Issy mau susu?"

Issy menganggukkan kepala setelah beberapa detik berlalu. Biru tersenyum lalu meletakkan gelas itu tepat di depan Issy. Perempuan kecil itu yang tampak rapi dengan seragam sekolahnya itu langsung menegaknya tanpa sisa.

"Enak?"

"I-iya."

Biru mengusap rambut Issy setelah melahap potongan terakhir rotinya. Biru bangkit berdiri dan mengatakan, "Udah siap? Ayo Om antar ke sekolah. Nanti pulangnya dijemput sama Tante Runa."

Mendengar namanya disebut, Runalla mengangkat kepala dan menatap dua orang di hadapannya bergantian. Senyum penuh kebahagiaan itu tak luntur dari bibir. "Eh? Udah mau berangkat? Ayo aku antar ke depan."

"Runa," lelaki itu menghela napas pelan. "Kamu daritadi chat sama siapa?"

"Sama Kak Khansa."

Tuh, kan. Biru membawa Issy ke dalam gendongannya tanpa mengalihkan tatapan tak suka pada ponsel Runalla. Perasaan Biru tidak enak dan biasanya apa yang ia takutkan sering kali terjadi. Kedua alis Biru bertaut.

"Memang Kak Khansa kenapa lagi?"

"Kak Khansa hamil, Mas! Aku senang banget, akhirnya dia bisa mengandung setelah lima tahun nikah sama Kak Tias!"

Kok kamu malah senang, sih?! Biru menjerit frustasi dalam hati. Wajahnya tampak kesal ketika memperhatikan Runalla yang tampak begitu tulus. "Mas, lima tahun itu nggak sebentar. Akhirnya perjuangannya Kak Khansa terbayar tau!"

Biru jelas memiliki alasan tersendiri mengenai ketidaksukaannya pada berita ini. Bukan berarti Biru iri. Biru sama sekali tidak iri. Dia hanya tidak suka kalau nantinya saat datang ke acara keluarga, Runalla ditanya ini-itu oleh keluarga dan tidak bisa menjawab. Biru juga merasakan sesuatu yang janggal ketika pertama kali bertemu dengan Khansa.

Ada sesuatu yang perempuan itu sembunyikan.

Bermuka dua, seperti itu istilah yang bisa Biru berikan untuknya.

Runalla tulus disaat Khansa tidak. Senyum Khansa tampak dipaksakan setiap kali mengobrol dengan Runalla. Biru masih ingat saat Khansa diberi ratusan pertanyaan oleh keluarga mengapa dirinya tak kunjung hamil. Runalla membela dan Khansa hanya bisa tersenyum tak suka.

Biru menangkap sinyal yang jelek.

"Kamu jangan dekat-dekat sama si Khansa-Khansa itu," ucap Biru memperingati kala melangkah keluar dari pintu rumah. Kunci mobil sudah berada dalam genggaman tangannya. "Tapi itu balik lagi ke kamu. Kamu mau nurut sama aku atau enggak."

"Kak Khansa baik kok. Jangan berpikiran negatif gitu. Aku sudah kenal dia dari jaman kuliah."

Biru menghela napas panjang. "Oke. Kalau gitu, aku sama Issy berangkat dulu," dia menoleh ke arah Issy. "Salam ke Tante, Nak."

Runalla itu selalu lemah kalau melihat Biru dan Issy bersama, apalagi kalau Biru sudah seperti sosok Ayah. Sama ponakan aja baiknya setengah mati. Kalau ke anak makin ambyar deh. Runalla tersenyum salah tingkah saat mendaratkan ciuman pada pipi tembam Issy.

"I-I-Issy berangkat, T-Tante." pamit Issy terbata dengan senyum lebar di bibir. Tak lupa, dia melambaikan tangan pada Runalla. Tampak begitu manis. "Iya, Issy nanti Tante jemput kayak biasanya,"

"Mas."

"Apa?"

"Nggak mau dicium pipinya juga?"

Kedua alis Biru langsung bereaksi—naik-turun tak terduga. Biru memalingkan wajah lalu menggeleng cepat. "Nggak, nggak usah," sahutnya dengan nada sok judes. "Aku sama Issy berangkat dulu."

"Hehe, iyadeh."

'Perasaan gue nggak enak..'

***

12.35

"Mbak Mutia!"

Runalla menyapa ramah ketika mendapati Mutia tengah menggendong Issy di depan sekolah. Runalla tidak tahu kalau Kakak Biru akan datang kemari. Biru juga tidak mengatakan apa-apa sebelumnya.

"Mbak Mutia mau main ke rumah?" tawarnya tulus tanpa menghilangkan senyum di bibir. Mutia yang sudah kurus, kini bertambah kurus—terlalu pusing memikirkan soal perceraiannya dengan sang suami beserta anaknya.

"Hmm, nanti aku ngerepotin. Nggak usah."

"'Ngerepotin' gimana? Nggak papa. Lagian di rumah aku cuma berdua bareng Mbok sama Issy aja. Ayo, ngobrol sekalian sama aku. Mbak udah makan?"

Cerewet adalah ciri khas Runalla kala sok kenal dan sok dekat. Mutia mengudarakan tawa kecil. "Hmm yaudah kalau kamu maksa. Aku belum makan. Kamu sudah?"

"Belum juga. Mbak Mutia mau makan apa? Oh, iya, tadi ke sini naik apa, Mbak?"

Runalla memeluk erat tangan kiri Mutia. Lagi-lagi Mutia tertawa. Dia memang membutuhkan orang seperti Runalla. Ceria, mengimbangi energinya yang sangat terbatas. Mutia menjawab, "Aku ngikut aja. Biasanya kamu sama Issy makan apa? Terus aku ke sini naik ojol."

Sepanjang perjalanan pulang, mereka mengobrol mengenai makanan dan memutuskan untuk menggunakan layanan pesan-antar dari salah satu resto. Runalla menghubungi duluan agar nanti saat sampai di rumah tidak perlu menunggu terlalu lama. Mutia sudah lama tidak tertawa seperti ini. Rasanya menyenangkan, bisa melepas stress sejenak.

Dan sesampainya di rumah, Runalla langsung memberi kabar pada Biru. Senyum lebar terlukis di bibir.

[ 13.20

Runalla: Mas, Mbak Mutia main ke rumah nih tadi aku ketemu pas jemput Issy di sekolah. Nggak mau pulang lebih awal?

Suami: Iya, tunggu ya

Runalla: Hehe okee, kangen aku, nggak?

Biru: Enggak.

Runalla: Jutek amat sih suamiii? ]

Beberapa detik setelah chat-nya dibaca, Runalla dikejutkan oleh nama Biru yang muncul pada layar ponsel. Menghubunginya. Runalla tersenyum salah tingkah, berdeham, sebelum menggeser tombol berwarna hijau.

"Cie, Mas tumben telepon aku. Kenapa? Kangen ya?"

"Ngaco kamu," sahutnya sok judes. Runalla bisa membayangkan bagaimana datarnya ekspresi si suami. "Tawarin ke Kak Mutia buat nginap di rumah. Perasaanku nggak enak. Ini aku serius."

"Gampang, abis gini aku sampaikan ke Mbak Mutia. Tapi, Mas beneran nggak kangen sama aku?"

"Nggak. Yaudah, aku tutup dulu."

"Ih, Mas, bilang kangen dulu kek baru ditutup."

Tut.

Sambungan telepon terputus secara sepihak. Kedua alis Runalla bertaut diiringi bibir yang mengerucut samar. Bisa-bisanya nutup telepon dari aku?! Runalla menjerit dalam hati. Tapi, nggak papa deh, yang penting ditelepon.

"Telepon siapa?" tanya Mutia ketika tiba-tiba muncul dari belakang. Dia membawa dua kantung belanja berisikan makanan yang baru saja diantar oleh pelayan restoran dan meletakannya di atas meja makan.

"Telepon sama adiknya Mbak."

"Biru?"

Runalla menganggukkan kepala. "Iya."

"Sini sayang. Duduk di sebelah Mama," Mutia menepuk-nepuk kursi kosong di sampingnya kala Issy berjalan menghampiri. Mutia menoleh kemudian menatap Runalla dengan penuh sayang.

"Aku bersyukur Biru menikah sama perempuan sebaik kamu," ujarnya tulus. "Aku nggak tahu gimana jadinya kalau Biru nikah sama perempuan lain. Kamu baik, cantik, sayang juga ke Issy. Nggak banyak orang yang mau nerima Issy di lingkunganku Cuma karena dia lambat dan mudah terdistraksi saat diajak bicara."

"Aku jadi pengen peluk Mbak Mutia."

"Makan dulu, baru peluk aku."

"Oh, iya, Mbak. Nginep di sini mau, nggak? Kayaknya Mas Biru kangen."

Mutia itu banyak tertawa kalau berada di dekat Runalla. Dia tak banyak bertemu orang setelah rumah tangganya berantakan. Rasa percaya dirinya tergerus habis, hanya tersisa penat serta ingin menyerah karena tidak mampu membendung seluruh kalimat yang Rey lontarkan padanya. Ada pula simtom post traumatic stress yang mengakibatkan kesejahteraan psikologisnya sangat rendah, Mutia menjadi: tidak bisa menerima diri apa adanya, sulit memiliki relasi positif dengan orang lain, masih berusaha keras untuk mandiri, sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan, tidak tahu harus hidup ke arah mana, dan bingung harus mengembangkan diri seperti apa.

Mutia terlalu pesimis semenjak menerima pukulan dan makian.

"Mau, sekalian nanti tidur sama Issy."

Selama makan, Runalla mengamati Mutia cukup lama. Mutia itu penyayang tapi sayangnya mendapatkan suami yang brengsek. Paras, tubuh, serta sifatnya cantik. Tak ada kekurangan. Keibuan juga. Melihat Mutia yang menyuapi Issy membuat Runalla berpikir; gimana sih rasanya punya anak? Aku juga pengen jadi Mama.

Beberapa menit kemudian, Runalla dikejutkan oleh dering dari ponsel Mutia. Wajah Mutia tampak muram saat melihat nama Rey tertera di layar.

"Sebentar, ya. Kamu bisa tolong suapin Issy? Maaf ya aku ngerepotin."

"Oh, iya, nggak papa, Mbak. Nggak ngerepotin kok."

Kemudian, hari itu, untuk pertama kalinya Runalla melihat kekerasan dalam rumah tangga tepat di depan mata serta Biru yang marah hingga memukuli orang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status