Waiting room
“Sialan! Ambilkan aku tissue basah!” bentakku sambil menendang pintu masuk.
Asisten pribadi sekaligus bodyguardku bernama Joke Leign, hanya dia yang tahan bekerja denganku selama 3 tahun belakangan.
“Bersihkan bahuku,” ucapku dengan volume suara sedikit diturunkan.
“Benar-benar membuat emosi, mood-ku kacau sekali. Biarkan aku sendiri,” terangku.
Joke berdiri dan mengusir mereka satu persatu. Lalu, menutup pintu dan duduk di sofa seberangku.
“Kau juga tidak ikut keluar?” bentakku sambil melempar setumpuk brosur ke samping.
“Sudahi aktingmu, tidak ada orang disini. Tidak ada kamera pengintai j
“Jadwal hari ini adalah penerbangan ke USA untuk acara lelang Antique Chicago di Galeri Fine Arts,” ucap Joke pagi-pagi membuat mimpi indahku terputus, fuck! Aku tidak kuat membuka kedua mataku, “Jam—berapa?” rintihku. “Jangan mengedipkan sebelah matamu, kau terlalu mempesona,” goda Joke yang membuat mood-ku membagus. “Baiklah, princess akan bangun,” kataku. Lingerie satin berenda lepas dalam sekali lucutan. Aku memiliki sebuah kaca besar dalam kamar mandi untuk memeriksa setiap inci tubuhku. Apakah ada bagian yang membengkak atau goresan kecil saja sudah mengangguku. Aku gemar menjaga bentuk tubuh dan telah menghabiskan banyak uang dan waktu demi h
Aku keluar dari acara pelelangan dengan muka masam, tidak ada yang menarik selain lukisan favorit Papa. Aku teringat dengan ucapan Papa saat pertama datang ke galeri ini. “Lukisan langit malam tanpa warna hitam gelap, betapa indahnya bermalam di teras kafe ini.” Sayangnya, galeri Fine Arts milik keluarga Rossi telah dijual Bilson dengan harga tinggi dua bulan yang lalu demi menutupi kerugian perusahaannya. “Anjing pengkhianat Rossi.” “Siapa?” sahut pria kaya raya tadi. Aku terkesiap oleh suara bass-nya yang menggoda, “Bukan siapa-siapa.” Aku menjawab spontan tanpa menatapnya lama. Pria itu mengejar dan menahan lenganku, “Namaku Eric Cassano, beritahu aku
Hotel Royal Crown. “Letakkan disini saja, thankyou.” Eric menutup pintu setelah lukisan seharga puluhan miliaran itu diantar ke rumahnya. “Buddy, kau membeli barang?” tanya Mars yang baru selesai shower. Ia bergegas keluar dengan handuk putih melingkari pinggangnya. “Yesss,” jawab Eric sedikit panik. “Apa itu? Berapa harganya?” “Tidak mahal haha,” balas Eric sambil tertawa palsu. “Cepat pergi tidur. aku lelah.” “Bukankah ini lukisan antik?” tanya Mars yang sudah mengoyak setengah kertas minyak pembungkus lukisan. “Oh
“Joa memiliki seorang tunangan?” keluhku pada gadis tomboy berperawakan tampan yang sedang duduk menyilangkan kaki jangkungnya. “Apa lebih baik aku jujur saja padanya? Bahwa aku bukan Joa yang asli?” usulku. “Kau tidak tahu jelas siapa pria itu,” balasnya. “Benar, belum satupun dari kartunya terbuka. Besok, dia akan datang kesini untuk mengirimkan lukisannya. Kau bantulah aku untuk mengamatinya sebentar.” “Ha—baiklah,” jawab Joke dengan malas. “Namun, ada satu hal yang mencurigakan darinya,” ungkapku. “Aku sudah lama memperhatikannya, namun aku tidak cukup bukti.” “Apa itu?” &nbs
“Dimana Joa?” Aku dan Joke saling bertukar pandang, “Apa—maksudmu?” tidak biasanya aku tergagap. Aku sengaja menaikkan daguku dan menyilangkan kedua lenganku agar tetap terlihat arogan. “Dimana Joa yang kukenal?” Joke mengerutkan dahinya padaku dan kedua bodyguard sudah bersiap-siap untuk menahan segala serangan. Eric menunduk sejenak, “Joa sudah banyak berubah. Dulu kau tidak seceroboh ini.” Aku menghela napas sejenak dan mengipaskan tanganku untuk membiarkan kami ruang pribadi. “Tentu saja, sudah berapa tahun berlalu, apa kau sendiri juga masih sama?” tantangku sambil berjalan mengelilinginya. “Aku masih sama,” jawabn
Shue’s Company. Aku berada di ruang kerjaku sambil memijat kedua pelipis mataku yang berdenyut sedari tadi. Laporan kosong dari Joke membuat emosi dalam diriku tidak stabil. Sudah tiga bulan berlalu, namun tidak ada informasi sama sekali tentang Eric Cassano. “Aku hanya tahu namanya Eric Casssano, blasteran Korean-Italia. Tunangan kecil Joa, ia pernah tinggal di bawah jembatan perbatasan Prancis, dan yatim piatu. Joa adalah malaikat penyelamatnya,” sunggutku mendikte segala ingatan yang kumiliki tentangnya. “Aku sudah mengirim pegawaiku berkeliling dan menetap di wilayah perbatasan Prancis-Italia. Kami juga pergi ke kantor dinas untuk menelusuri daftar nama belakang Cassano dan menemukan sembilan pria bernama Eric Cassano. Namun, wajah dan usia mereka tidak sesuai
“Aku, Vittoria Joa Shue yang akan menjadi interviewer user tahap kedua hari ini,” ucapku di depan puluhan peserta lolos interview tahap pertama. Nama peserta mulai dipanggil dan masuk ke dalam ruang interview secara bergiliran. "I like your style, but I want to know about your next idea, can I?” “Err…mm… ide baru ya?” “Aha," tanggapanku berusaha memacunya. “Ide baru..mmm.." “Next.” -- “Tolong jelaskan apa inspirasimu dalam membuat ball gown ini?” “Aku adalah tamatan luar negeri dengan IPK 3.9 di NY University selama 4 tahun belajar
“Sarah, how are you baby?” ucapku sembari memeluk gadis berdarah Rusia itu. Sarah Deelin adalah model utama, dan juga seorang muse yang kujadikan sebagai sumber inspirasi dalam merancang busana utama. Bola matanya berwarna biru langka dan sangat indah, totally the concept for today. Aku menyambutnya dengan penuh sukacita, “Tolong dandani Sarah dengan cantik ya.” Tepat hari ini, aku sudah kembali ke Italia untuk pameran busana bertajuk "Show Me 2023" yang diadakan sekali dalam setahun. Aku telah mempersiapkan semuanya dengan matang dan mendetail. “Sean,” panggilku pada kandidat yang lulus dalam sesi interview lalu. “Are you ready?&rdq