Rena mengumpat keras saat laju mobil yang menggila di jalan bebas hambatan ini, semakin menambah rasa pusing di kepalanya. Usus di perutnya serasa melilit, ingin berontak memuntahkan apapun yang sempat singgah di sana. Terlebih efek alkohol keparat yang mendominasi setengah kesadarannya, justru semakin menambah perasaan tersiksa gadis itu.
Sangat berbanding terbalik dengan pria yang sibuk menyetir di sampingnya. Andreas justru tak menampilkan perasaan terganggu sedikitpun, meski entah sudah berapa kali makian dan umpatan Rena menggema mengisi ruang besi sempit ini. Berbagai macam kutukan dan nama-nama hewan tak lupa ia sematkan di sepanjang jalan, semenjak Andreas menariknya paksa keluar dari pelataran parkir gedung acara perusahaan diselenggarakan.
Setelah menciptakan drama yang luar biasa mengguncang bagi beberapa orang yang menyaksikan ciuman panas mereka---ralat, maksudnya ciuman panas sepihak Andreas, Rena harus kembali disuguhi masalah baru ketika pria gila itu m
Dibandingkan dengan apartemen bertipe studio dan tipe satu kamar tidur yang paling sering dihuni para kalangan menengah ke bawah, ruangan besar yang tersaji di hadapannya ini jauh lebih luas berkali-kali lipat dibandingkan hunian apartemen biasa pada umumnya. Desain langit-langit tinggi dan bukaan jendela besar membentangkan horizon, semakin menambah kesan lapang dari interior di dalam ruangan.Rena mengedar pandangan ke ruang tamu yang didominasi aksen monokrom modern hitam dan putih tersebut. Sedikit sentuhan vintage lampu gantung dan ornamen lukisan dinding, memberikan perpaduan klasik modern yang saling selaras. Di tengah ruangan pula, terdapat meja bundar berunsur logam dan sofa berbahan kulit yang melingkarinya, sehingga tak henti-henti membuat gadis itu berdecak kagum di dalam hati.Untuk ukuran seseorang yang terlahir dengan sendok emas di mulutnya dan tidur di atas lantai marmer seharga ginjal, merasa was-was mendengar bunyi token listrik akibat tunggaka
"Ya, ampun, Ren! Astaga, Ren! Kamu kemana aja, sih? Kamu tahu aku sampai migren pusing tujuh keliling cuma buat nyari---" Rena menjauhkan sedikit ponsel dari telinga sesaat suara lantang dan histeris Mala melengking di seberang panggilan, sekejap setelah gadis itu mendapati Rena sendiri yang menghubunginya dengan nomor asing entah milik siapa. Setelah pergulatan dan kemelut yang menambah sakit kepalanya, Rena memutuskan untuk membagi kegusaran ini dengan orang lain yang bisa dipercaya, karena mungkin saja kepalanya bisa meledak detik itu juga kalau terus dipaksakan menanggung beban ini sendirian. Dan Mala adalah satu-satunya orang yang sekarang ini mampu ia pikirkan. "Aku lagi di keadaan yang nggak membutuhkan omelan panjang lebar kamu, Mal. Jadi tahan dulu apapun yang menjadi pertanyaan histeris kamu itu, karena ada keadaan yang jauh lebih mendesak." "Ma-maaf, Ren," cicit Mala yang mulai menurunkan volume suaranya. "Aku cuma ... Ya, kamu tahu,
Rena mendongak saat mendengar derit pintu kamar terbuka dari arah koridor tak jauh di depan, sosok Andreas yang baru saja keluar dari dalam sana menyita kembali atensinya. Pria itu sudah tak lagi mengenakan setelan formal kemeja dan celana bahan yang tadi dipakainya di perayaan ulang tahun perusahaan, tapi sudah berganti kaos polo berkerah dan celana hitam berbahan katun sebagai pakaian santainya.Rambut yang masih basah dan aroma sampo yang menguar di baliknya, menunjukkan bahwa Andreas secara total membersihkan seluruh badannya dari kepenatan. Berjalan santai, lelaki itu menghampiri sofa tempat Rena masih duduk membungkam. Sebelah tangannya menenteng seprai bercorak garis dan sepasang piyama berwarna biru tua. Yang kemudian diletakkan ke atas meja bundar, tepat di hadapan Rena."Ada selimut tambahan di lemari gantung kamar tamu yang bisa dipakai kalau kamu memang berniat tidur di sana. Dan untuk pakaian ganti, kamu bisa pakai piyama Namira."Rena melirik
Mala memperhatikan dalam diam Rena yang masih membungkam duduk di sampingnya. Semenjak kendaraan yang dikemudikannya melaju meninggalkan apartemen puluhan lantai yang sempat membuatnya jantungan ketika mengetahui siapa yang tinggal di sana, rekan kerjanya itu masih saja menampilkan raut yang sama. Mengatup bibir rapat-rapat, dengan pandangan kosong menatap keluar kaca mobil cooper yang tengah melaju.Bahkan saat pertama kali Mala menjumpainya di pintu masuk apartemen tersebut, Rena hanya mengulas senyum samar diiringi ucapan terima kasih sekilas karena ia sudah mau merepotkan diri datang sejauh ini menjemputnya. Kemudian tanpa mengundangnya dalam pembicaraan basa-basi apapun, gadis itu sudah berjalan lebih dulu mendahului Mala."Kamu ... baik-baik saja?" putus Mala akhirnya, memilih bertanya setelah kesenyapan yang menggantung cukup lama di antara mereka. Ia tidak bisa terus menyetir dalam keadaan luar biasa canggung seperti ini."Nggak." Diluar dugaan, Rena jus
Rena kembali menyampingkan tubuh menghadap ke sisi kiri, setelah posisi tidur sebelumnya tak membantu banyak untuk ia terlelap. Waktu yang sudah menunjukkan pukul tiga dini hari, masih belum mampu memanggil rasa kantuk membawanya berlabuh ke dunia mimpi. Ia masih terjaga di tempat tidur bersamaan dengan perasaan gusar yang sedari tadi menggelayut di dada.Usai kepergian Mala beberapa jam lalu setelah menurunkannya di depan kontrakan, hal pertama yang Rena lakukan ketika memasuki kamar adalah melemparkan tubuh letihnya ke atas kasur, menelungkup menenggelamkan seluruh wajahnya ke permukaan bantal demi mengurai sedikit saja sesak yang ada.Ia bahkan mengabaikan dress putih brokat yang masih melekat di tubuh penatnya. Memberi sedikit ruang untuk setiap rasa lelah dan pikiran carut-marut mendapatkan pelepasan sekilas. Namun apa yang ia cari selama berjam-jam waktu bergulir itu, tak kunjung menemui titik terang. Alhasil, ketika malam semakin beranjak larut hingga menjelang
"Kay udah bilang kemarin-kemarin, untuk kali ini biar jadwal cuci darah Ibu jadi tanggung jawab Kay dulu. Mbak Rena nggak perlu memaksakan diri kalau memang sedang kosong. Uangnya mungkin hanya cukup untuk dua sesi hemodialisis, tapi setidaknya bisa sedikit berguna daripada nggak sama sekali, kan? Nanti untuk pengobatan Ibu berikutnya, baru kita pikirkan kembali dengan cara lain."Rena meneruskan langkah menyusuri trotoar dari perhentian bus yang dinaikinya, seraya mengapit ponsel yang terhubung dengan sang adik erat-erat di telinga. "Mbak cuma merasa gagal sebagai kakak kalau membiarkan kamu bertanggung jawab pada apa yang belum seharusnya jadi bagian kamu.""Sejak kapan berbakti pada orang tua harus terkotakkan menjadi bagian siapa yang boleh dan enggak? Lagian Kay bukan lagi anak kecil, Mbak. Pekerjaan sampingan yang Kay ikuti punya penghasilan lumayan untuk membantu tanpa membuat Kay merasa terbebani, apalagi sampai mangkrak dari kewajiban kuliah kalau itu hal yang
Meskipun tidak dilakukan secara terang-terangan, Rena masih bisa merasakan tatapan penuh minat dan ingin tahu dari orang-orang yang tanpa sengaja berpapasan dengannya, terhitung sepanjang jalan ia kembali ke ruang marketing sehabis jam makan siang.Keberadaan Mala sebagai teman makan yang ia akrabi satu-satunya di divisi ini juga terpaksa absen menemaninya karena dua jam sebelum waktu istirahat, gadis itu harus disibukkan oleh pertemuan dengan klien agensi periklanan, bekerjasama merealisasikan promosi peluncuran brand makanan ringan yang sedang timnya kerjakan. Alhasil, berakhir sendirian menyantap sepiring soto betawi dan jus alpukat di kafetaria adalah pilihan yang Rena lakukan.Toh, sebelum-sebelumnya ia juga memang terbiasa makan siang sendirian. Lingkup pertemanan cukup sempit sebelum bertemu Mala, menjadikannya sosok penyendiri dan minim pergaulan. Padahal pekerjaan yang ia tekuni saat ini adalah bidang yang berpeluang tinggi mewajibkannya berinteraksi den
Jika orang itu bukan Namira Sanjaya, mantan bintang ternama yang pernah begitu bersinar bahkan sehari sebelum memutuskan waktu pensiunnya di dunia hiburan, mungkin situasinya tidak akan sesulit ini.Jika orang itu bukan Andreas Pramoedya, keturunan salah satu raksasa bisnis manufaktur, yang juga merupakan suami seorang Namira Sanjaya dan sekaligus menantu politikus tersohor, mungkin neraka itu tidak akan semengerikan ini.Jika nama Pramoedya dan Sanjaya hanya sekedar nama keluarga biasa, tanpa diiringi embel-embel jabatan, kekuasaan, martabat, dan atensi orang banyak, mungkin mimpi buruk menakutkan yang menjelma menjadi kenyataan tidak akan terasa semenyiksa ini.Betapapun banyak pengandaian yang Rena canangkan, tetap saja nasi yang sudah terlanjur menjadi bubur, tak dapat menyelamatkan hidupnya dari kematian kedua. Seberapa pun kuat Rena berkeras membangunkan diri dari cengkraman mimpi buruk, luka yang terlanjur menyembilu perih di hati seolah menjadi alarm kes