No edit.
Ternyata, Alvis tidak mati.
Sesaat setelah Nadiar menangis kencang, Alden datang dengan mobilnya dan menghampiri Nadiar yang masih sesegukan. Sadar ada orang lain di sana, Nadiar mengangkat kepalanya, dan tangisnya semakin kencang. "Abang!! Bos Diar meninggal, Bang!"
Alden lalu berjongkok dan mengulurkan jarinya ke bawah hidung Alvis. "Dia masih hidup!" ucap Alden sambil berdecak dan menjitak kepala Nadiar kencang. "Lo kenapa lama banget, sih?! Gue di marahi nyokap, tau!"
Nadiar sesegukan dan menyedot ingusnya kuat-kuat. "Abang mau marahin Diar? Sedangkan di sini ada orang yang lagi sekarat gara-gara Diar."
Alden berdecak, lalu menarik tangan Alvis, kemudian menopang tubuh Alvis dengan punggungnya. Kepala Alden mengedik pada mobil yang ternyata sudah terparkir di sisi jalan. "Masuk!"
Nadiar mengangguk, lalu buru-buru masuk ke dalam mobil.
"Eh, onta!" Alden berseru, membuat pergerakan Nadiar yang ingin menutup pintu terhenti. "Jangan dulu masuk! Bantuin gue masukin ini orang."
"Abang! Gak boleh ngomong jorok, ih!"
Alis Alden terangkat sebelah. "Apaan?"
"Itu!! Tadi bilang masukin gitu."
Alden melotot. "Ih! Itu mah lo yang mikirnya mesum! Maksud gue tuh, lo jangan masuk dulu dan bantu gue masukin orang ini ke dalem mobil."
"Oohh gitu. Ngomong yang jelas, dong!"
"Bisa jelaskan apa yang gak jelas dari perkataan saya?"
"Abang jangan debat mulu! Cepet masukin!"
"Eh, astagfirullah. Istighfar, nak! Istighfar!"
"Bukan masukin yang itu, abang!!"
"Iya, gue ngerti," ujar Alden sambil memasukan tubuh Alvis di kursi penumpang.
Buru-buru, Nadiar menarik sabuk pengaman untuk Alvis, lalu melangkah dan duduk di kursi samping pengemudi.
Alden menyusul dan langsung menjalankan mobilnya. "Lo tadi ke mana aja, sih? Nyokap omelin gue karna biarin lo pergi sendirian."
"Sori. Tadi ada orang yang godain. Kiarin cuma godain biasa. Eh, ternyata malah megang-megang. Dan yah gitu deh."
Alden berdecak sebal. "Ngomong yang bener!"
Nadiar menghela napas lelah, lalu mulai menceritakan kembali kejadian yang barusan di alaminya dengan detail. Tanpa melewatkannya sedikitpun. Dan untuk tambahan, Nadiar bahkan mengatakan belanjaan yang di belinya di supermarket.
Alden mengangguk mengerti, lalu mendengus. "Kayaknya, lo emang bener-bener gak boleh di biarin keluar malem sendiri."
Nadiar mengangguk sambil cemberut. "Iya. Pake piyama aja gue hampir di culik, apalagi pake gaun?" ujarnya, lalu menghela napas lelah. "Resiko orang cantik mah gini."
Alden mendelik sebal. "Terserah."
"Abang, tau gak, tempat gedung berlantai 100 di Indonesia?"
Alden melirik sekilas pada Nadiar, lalu kembali fokus ke jalanan. "Emang kenapa?"
Nadiar menghela napas panjang, lalu menjedotkan keningnya di dashboard beberapa kali. "Abang tau, kan, yang di belakang itu bosnya Nadiar?"
"Iya ...," jawab Alden, terdengar sedikit ragu. "Trus? Lo ngapain nanyain itu?"
Nadiar kembali menghela napas panjang. Kali ini, lebih lama dan sangat berlebihan. "Kali aja ntar bosnya Nadiar malah minta Nadiar bunuh diri di tempat. Nadiar mau di gedung berlantai 100 aja biar langsung mati dan gak kerasa sakitnya," ucapnya panjang lebar, lalu di susul dengan ringisan saat Alden menjambak kencang rambut Nadiar. "Sakit, abang!"
"Lagian, lo tuh ngomong ada-ada aja!" Alden berucap sambil mendelik sebal. "Siapa dia, sih? Cuma bos doang, kan? Lo gak usah takut!"
Nadiar cemberut, lalu mengangkat wajahnya dengan ekspresi sebal. "Abang, ih! Karna dia bos Diar, dia bisa aja nuntut Diar! Kalo Diar di pecat, gimana? Ini bahkan baru hari pertama Diar kerja!"
Alden mendengus sebal. "Lo tenang aja. Dia gak bakal berani apa-apain lo selama masih ada gue."
Mata Nadiar berbinar senang mendengar ucapan Alden. "Abang bakal lindungi Nadiar?"
"Enggak," jawab Alden sambil menggeleng. "Gue bakal sembunyiin lo aja. Gue kurung biar gak nyusahin gue lagi."
Nadiar cemberut lagi mendengarnya. "Abang, ih!"
Alden tertawa kecil. "Ya iyalah. Gue pasti bakal lindungi lo! Itu bukan rahasia umum lagi. Secara, lo kan adik yang paling gue sayangi."
"Itu sih karna lo gak punya adek lain selain gue," balas Nadiar dengan mendelik sebal.
Alden hanya tertawa.
***
Alvis membuka kedua kelopak matanya yang tertutup saat sadar tubuhnya terasa sakit di mana-mana. Alvis meringis, lalu memijat pelipisnya saat rasa pusing menyerang kepalanya. Wangi bunga lavender di ruangan itu membuat Alvis sadar jika ia kini berada di tempat asing. Mata Alvis menelusuri sekitaran, dan sadar kini ia berada di sebuah kamar minimalis yang sangat rapi dan feminim.
Alvis meringis. Kepalanya menoleh saat ia mendengar deritan pintu di sampingnya. Mata Alvis memincing saat pintu kamar itu di buka dengan pelan dan hati-hati oleh seorang. Mata Alvis menyorot datar saat melihat wajah Nadiar di sana, dan perempuan itu langsung memekik kala pandangan mereka bertemu. Alvis mendengus saat Nadiar malah berdiri dengan kepala tertunduk dalam. "Ngapain?"
Nadiar terlihat menggigit bibir bawahnya. "Maaf, Bos."
Saat itu juga, Alvis memutar otaknya, dan mengetahui apa maksud dari kata-kata Nadiar. Kejadian semalam, yang tidak di mengerti oleh diri Alvis sendiri. Sejujurnya, Alvis bukan tipe orang yang suka menolong. Apalagi, dengan orang yang baru ditemuinya 1 hari atau bahkan hanya beberapa jam. Semalam, Alvis dalam perjalanan pulang ke Apartemennya setelah menemui orangtua Alvis yang tinggal terpisah dengannya.
Alvis memilih jalan tercepat, dan jatuh pada jalan perumahan sepi dan tidak macet yang langsung terhubung dengan jalan ke Apartemennya. Alvis memang jarang melalui jalan itu. Bisa di hitung dengan jari, dan malam itu adalah yang ke-4 kalinya Alvis mengambil jalan itu.
Dalam perjalanan, Alvis mendengar orang berteriak. Awalnya, Alvis tidak peduli. Namun, saat sadar bahwa perempuan itu Nadiar, Alvis menghentikan mobilnya dan menarik Nadiar yang sudah menjauhi mobil Alvis itu ke sebuah gang. Tadinya, Alvis akan kembali ke mobil. Namun, Nadiar lagi-lagi menghalangi niatannya dan menyuruh Alvis menolong Nadiar yang ponselnya tertinggal bersama belanjaan.
Anehnya, Alvis setuju. Padahal, Alvis sama sekali tidak mengusai bela diri. Makanya orang yang mengejar Nadiar itu langsung memukul Alvis dimana-mana karena Alvis sama sekali tak dapat melawan.
Mengingatnya, membuat Alvis benar-benar gondok. Tak sadar, mulutnya menggeram dengan kesal. Dan entah untuk apa, Nadiar tiba-tiba berteriak, "ABANG!!" sambil berlari kencang. Alis Alvis bertaut dalam melihatnya.
Tak ingin lama-lama dengan wangi bunga lavender di ruangan itu, Alvis meloncat turun dari kasur dan keluar dari kamar itu dengan langkah yang terseok. Alvis sempat celingukan ingin kemana. Namun, saat melihat tangga yang tak jauh letaknya, Alvis melangkah turun ke lantai 1.
"Eh, kamu sudah bangun?"
Suara itu membuat Alvis menolehkan kepalanya ke samping, dan mendapati seorang Ibu yang berjalan menghampiri Alvis sambil tersenyum ramah. Alvis langsung membalas pertanyaan Ibu itu dengan mengangguk sopan.
Tatapan Alvis kemudian beralih pada Nadiar yang menarik-narik baju seorang lelaki, sedangkan Nadiar sendiri bersembunyi di punggung lelaki itu. Dari teriakan Nadiar tadi, Alvis menyimpulkan bahwa lelaki itu Abang Nadiar.
"Ayo, sini! Kamu duduk dulu," Ibu yang tadi menyapanya itu menarik tangan Alvis pelan, lalu mendorong bahu Alvis hingga Alvis terduduk di sofa. Sadar jika ada orang selain dirinya di sana, Alvis menolehkan kepalanya ke samping, dan mendapati seorang lelaki paruh baya yang menatapnya tajam.
Di saat Ibu yang menariknya itu pergi, Bapak yang di samping Alvis kini malah mencodongkan kepalanya mendekati wajah Alvis, dan terlihat menilai Alvis.
Alvis yang masih bingung hanya mengangguk sopan.
Bapak itu akhirnya menjauhkan wajah dari Alvis, lalu bersidekap. "Saya merasa kenal kamu."
Alvis hanya mengangguk sopan sekali lagi.
Bapak itu diam sejenak, sebelum memberikan seringai jahil pada Alvis. "Jadi, punya hubungan apa kamu sama anak saya?"
Alvis menahan napas, sedangkan Nadiar di sana sudah menjerit kesal.
"AYAH!!" Nadiar berteriak kencang mendengar pertanyaan Ayahnya yang sangat membuat Nadiar ingin menenggelamkan diri sekarang juga. Apa-apaan itu?! Kenapa Ayahnya bertanya seperti itu kepada bos Nadiar? Dan pertanyaannya tidak melihat situasi dan kondisi.Itu anak orang sedang babak belur, dan baru saja bangun dari pingsan. Bisa-bisanya bertanya hubungan Nadiar dan Alvis yang jelas sekali tidak penting di pagi ini.Pak Sultan menoleh sambil nyengir lebar pada Nadiar. "Bercanda, sayang," katanya, lalu kembali menatap pada Alvis. "Maafkan saya, dan terima kasih karena telah menolong anak saya kemarin."Alvis hanya tersenyum tipis. Amat tipis, lalu di susul anggukan kepalanya."Sombong amat," komentar Alden dengan suaranya yang pelan. Dan Nadiar yang berada di belakang Alden mendengar dengan jelas kalimat tersebut.Nadiar mendengus. "Iyalah! Makanya, gue blacklist dia."
Gaada inspirasi lain. Hampura pisan ie mahSudah lebih dari seminggu sejak kejadian di mana Alvis dipukuli oleh para brandalan dan berakhir di rumah keluarga Nadiar. Masih hangat di ingatan Alvis saat Bunda Nadiar menyuruh Alvis pergi ke toilet akibat air yang disemburkan oleh Pak Sultan ke wajah Alvis.Alvis tahu itu adalah reaksi yang tidak disengaja akibat kaget yang berlebihan. Jadi, Alvis tidak mempermasalahkannya. Namun, Pak Sultan terus saja meminta maaf pada Alvis dengan menyesal. Alvis mewajarkan sifat Pak Sultan, karena ternyata Pak Sultan merupakan Wakil Direktur di perusahaan besar yang merupakan sekutu perusahaan Alvis.Alvis hanya menenangkan dan terus berkata bahwa ia tak apa. Pak Sultan sudah memberi hormat pada Alvis, namun, Nadiar ternyata bermasalah juga.Alvis masih ingat saat ia keluar dari toilet dan menemukan Nadiar yang menunduk takut sambil berkata, "Jangan suruh s
Tolong kasih gue recommended cerita yang rame dan memorable dongs~Happy reading~Suara ketukan di pintu membuat Alvis mengalihkan pandangan dari laporan di dokumennya, lalu mendongak untuk menatap pintu ruangannya yang barusan diketuk dari luar. "Masuk." seru Alvin pada siapapun yang ada di balik pintu itu.Pintu terbuka sedikit demi sedikit dan berjalan lambat saat celahnya menampilkan kepala menunduk Nadiar yang terlihat gugup. "B-bos ..." cicitnya.Alvis hanya berdeham untuk membalasnya.Nadiar terlihat menggigit bibir bawahnya saat mencoba masuk lebih dalam dengan kepala yang masih menunduk dalam. "B-bos ...," panggilnya lagi.Alvis harus menahan diri untuk tidak mendengus sebal pada Nadiar. "Ada apa?""S-saya ...," ucap Nadiar gugup, dan Alvis tetap diam tanpa menjawab saat Nadiar bergerak tidak nyaman ditempatnya. "S-saya
Nadiar sedang duduk dengan pipinya yang di simpan di permukaan meja kerjanya, membuat Nadiar harus membungkuk agar kepalanya tersimpan di atas meja. Mulutnya terus berkomat-kamit, sedangkan tangannya mengelus perut rampingnya dengan miris. Nadiar lapar. Nadiar butuh makan. Waktu sudah menunjukan pukul 12 lebih 46 menit, dan sudah seharusnya cacing-cacing di perut Nadiar diberi makan. Namun, apalah daya. Nadiar mempunyai bos yang kepekaannya amat sangat rendah. Lebih rendah dari hanya sekedar kata rendah. Jika ada kata yang lebih rendah daripada kata rendah, itulah kata yang tepat untuk kepekaan Alvis pada keadaan Nadiar.Nadiar merasa ingin menangis sekarang juga. Kejam sekali ketidakpekaan Alvis.Membuat Nadiar lapar adalah kejahatan.Makanan adalah hal yang amat sangat tidak boleh alfa di hidup Nadiar. Jika harus memilih antara ditikung atau tidak di beri makan, Nadiar lebih memilih ditikung daripada tidak
Alvis sedang memakan potongan terakhir pizza yang dipesannya. Disampingnya, Nadiar sedang mencoba berbagai gorengan yang baru saja dibeli oleh satpam kantor Alvis. Jujur saja, Alvis baru sekali melihat perempuan yang amat sangat demen makan. Seharusnya, Alvis sudah dapat menebak dari camilan di belanjaan Nadiar yang sangat banyak pada malam itu. Tapi memang benar apa yang di katakan Nadiar jika Alvis tidak pekaan orangnya."Bos, ini kamsathank's gazaimuch banget loh yah," Nadiar berucap sambil tersenyum pada Alvis. Kepalanya terangguk sopan. "Sering-sering ya bos. Hehe."Alvis mengerutkan alisnya mendengar kalimat awal Nadiar. "Tadi kamu ngomong apaan?""Sering-sering, hehehe," Nadiar menjawab asal sambil nyengir lagi. Bibirnya agak berminyak, dan lipstik merahnya sudah tidak terlihat di bibir Nadiar.Alvis menggeleng pelan. "Bukan yang itu. Sebelumnya.""Kamsathank's goza
Besok, gue gak apdet dulu, yaahh. Gaada stok, soalnya. Ntah sampai kapan. Orang sibuk, biasa. Apalagi ane orang penting. HAHAHAHAAPPY READING~Nadiar menghela napas panjang sesaat setelah keluar dari ruangan Alvis. Telapak tangannya bergerak naik turun mengusap dada sebelah kirinya. Melihat penampilan Alvis yang jarang sekali itu, membuat Nadiar merasa jantungnya dag-dig-dug lebih cepat. Memang, sih, jantung selalu dag-dig-dug. Kalau tidak, ya Nadiar sudah wafat. Tapi ..., tadi itu, Nadiar hampir saja tidak bisa mengontrol dirinya. Iya, sih, Nadiar terlihat biasa saja. Ya itu karena Nadiar sudah profesional dikelilingi oleh laki-laki. Tapi, jika melihat 2 kancing teratas Alvis lepas dan membuat Nadiar dapat melihat sedikit celah kulit dada Alvis, sih ..., itu beda lagi.Ya lord, kenapa sih, gue punya Bos gak ada jelek-jeleknya sama sekali? Kasih satu kejelekan, lah ... Pesek, kek, gendut, kek. Lah ini?
Alvis tidak bisa fokus. Sesaat setelah Nadiar pergi dan Alvis kembali berbincang dengan kliennya, ia tak bisa fokus sama sekali.Alvis benar-benar tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Sebenarnya, Alvis menyadari ketidaknyamanan Nadiar. Dan Alvis juga menyadari tatapan lapar yang laki-laki itu berikan pada Nadiar. Makanya, Alvis menyuruh Nadiar membeli makanan ke kasir. Namun, lelaki itu tak berhenti menatap Nadiar. Dengan senyum miringnya, dan dengan tatapan laparnya.Sesuatu dalam diri Alvis terasa bergejolak, saat itu. Alvis tidak suka. Alvis merasa benci dengan tatapan laki-laki itu. Dan tidak ada korban untuk pelampiasan kemarahan Alvis, sehingga, saat Nadiar berbuat ceroboh seperti tadi, Alvis melepaskan segalanya keresahannya kepada Nadiar. Namun, Alvis tidak menyangka bahwa hal sekecil itu dapat membuat Nadiar menangis.Alvis menghela napas panjang, namun kemudian mengerenyit heran saat rasa ngilu menghampiri jantungnya. Al
"JEPRI! JEPRI! JEP βeh, Bang Sat." teriakan Nadiar yang membahana itu terpotong saat matanya menangkap visualisasi seorang lelaki yang duduk di karpet dengan stik PS di tangannya. Lelaki itu setengah berbaring dengan siku yang menopangnya bertumpu pada karpet. Nadiar nyengir lebar saat laki-laki itu menatap malas ke arahnya. "Bang Sat ngapain disini? Si Jepri mana?"Satria mendelik sebal. "Dia ada operasi bentar, katanya," jawabnya, yang membuat Nadiar mengangguk dengan mulut yang membulat mengerti. "Dan jangan panggil gue Bang Sat. Biasain panggil gue Andra."Nadiar kembali nyengir. "Gak ah. Lebih enak manggil Bang Sat.""Lo ini, ya!" seru Satria kesal, lalu mengubah posisinya menjadi duduk di karpet. "Kenapa, sih, lo selalu ngasih nama panggilan yang jelek ke orang? Nama gue itu Satria Inandra! Orang-orang manggil gue Andra!""Ah enggak. Bang Alden manggil lo Sat mulu."Satria mendelik lagi, lalu