Share

Pelampiasan Mas Abi 3

Setelah cukup lama berjimbaku dengan barang-barang dapur beserta isinya, aku memutuskan untuk menyudahinya dan pulang ke kontrakan. 

Sepanjang perjalanan aku memikirkan bagaimana hubungan mas Abi dan Elisa yang sepertinya menjadi rumit karena aku. Tapi, aku juga tidak sepenuhnya salah sebab mas Abi tidak terbuka dengan apa yang ada. Seburuk apapun itu, setidaknya dalam hubungan tidak boleh ada yang disembunyikan. Aku bukan berarti memaksa mas Abi untuk mengakui kalau kita berdua sudah menikah, hanya saja setidaknya dalam pertengkaran mereka tidak boleh membawa-bawa namaku, apalagi sampai menyebutku dengan panggilan 'jalang' di tempat umum. 

"Maaf, mbak. Sudah sampai di alamat tujuan."

Suara sopir yang menginterupsi membuatku sadar. "Pak, boleh minta tunggu sebentar, gak? Saya cuman mau mengambil barang-barang saya saja, setelahnya saya mau naik taksi bapak lagi. Boleh, kan?" Tanyaku. 

"Iya, boleh mbak. Saya tunggu." Katanya. 

Aku beranjak masuk ke kontrakan sudah aku tempati selama kurang lebih 2 tahun, terhitung dari semenjak aku menjadi sekretaris mas Abi. Alasan utama aku memilih kontrakan ini adalah karena sangat dekat dengan lokasi kantor sehingga aku tidak perlu merasa repot kalau tidak ada kendaraan. 

Mulai memasukan barang-barang yang masih tertinggal, seperti ada beberapa baju-baju kantor yang belum dibawa ke rumah baru, pakaian dalam yang tak boleh kelupaan, serta laporan yang harus aku perhatikan penuh seakan-akan sudah menjadi anakku sendiri. 

Mengemas mereka dengan sangat baik dan tentunya tidak sampai memakan banyak waktu, sebab di luar sana ada sopir yang bersedia menungguku. 

Aku mendengar suara pintu yang di buka. Tidak mungkin sopir itu yang mencoba masuk tanpa izin, kan?. Dia tidak mungkin sampai se-kurang ajar itu, kan?. 

Tidak, aku tidak bisa membiarkannya. 

Aku segera melepas baju-baju yang masih belum aku masukkan dan beranjak menuju depan. Namun, aku tidak menemukan sopir taksi yang sebelumnya, melainkan mas Abi yang memasukan barang-barang yang tadi sudah aku beli di mall. 

"Loh, mas?. Kenapa kesini?. Aku pikir mas pulang ke rumah Elisa. Ada keperluan apa, mas?." Tanyaku. Rasa khawatir itu tergantikan dengan helaan lega. 

"Sebentar lagi aku selesai mengemas barang-barangku dan pulang." Lanjutku. Tersenyum padanya seakan melupakan apa yang sudah terjadi sebelumnya. 

Seketika membuatku tersadar. Kalau mas Abi bisa membawa barang-barang ini masuk, berarti taksi yang tadi hendak aku tumpangi lagi sudah pergi?.

Aku beranjak keluar untuk memastikan dan benar saja kalau di depan kontrakan sudah kosong. Tidak ada mobil taksi yang terparkir, hanya mobil mewah mas Abi saja. 

"Mas, taksinya kemana?. Aku belum bayar dan sudah janji dengannya kalau aku akan pulang dengan taksi." Kataku. 

Bukannya menjawab, mas Abi malah menutup pintu, bahkan menguncinya. Aku bingung dengan tingkah lakunya saat ini, namun enggan untuk bertanya. Apa yang mau dia lakukan?. 

"Aku sudah membayarnya dan menyuruhnya untuk pergi. Nanti kamu akan pulang bersamaku." Ujarnya. 

Mas Abi berbalik, namun tatapannya begitu berbeda dengan sebelumnya. Entah, hanya saja aku memberingsut takut melihat sorot mata mas Abi yang seperti ini. Dia adalah mas Abi yang berbeda dibandingkan dengan yang aku temui dulu. 

"Mas..." 

Naas. Aku sudah tidak bisa mundur lagi karena sudah mentok dengan tembok. Langkah mas Abi semakin mendekatiku dengan sorot mata yang berbeda. Sangat berbeda. 

Seketika aku teringat dengan apa yang terjadi di mall. Apakah mas Abi akan menyalurkan perasaan kesalnya padaku karena bertengkar dengan Elisa?. Apakah dia akan tega melakukannya sedangkan ia sudah berjanji pada ibu untuk senantiasa menjagaku?. 

Aku langsung terkesiap. Aku pikir mas Abi akan menamparku karena ia yang mengangkat tangannya, namun ternyata tangannya ia labuhkan pada kedua bahu ku. Sesekali ia memijitnya tanpa suara. 

"Mas... Mau ngapain?" Tanyaku. 

Tiba-tiba saja rasanya seperti habis berlari dikejar anjing. Degupan di dadaku terasa begitu kencang. Apalagi ketika wajah mas Abi yang mendekat padaku. Berusaha menghindar pun rasanya mustahil sebab mas Abi yang sudah menaruh tangannya di kedua sisiku. 

"Aku meminta hak ku." Bisiknya, langsung membuat bulu kudukku berdiri. 

"Dan aku mau melakukannya sekarang. Tanpa penolakan." Tekannya. 

***

Aku pasrah. Aku mau menolak, tapi dia adalah suamiku. Mau menerimanya pun, sepertinya aku menyesal sekarang. 

Aku pikir dia akan memperlakukan ku dengan baik, mengingat apa yang sudah kita berdua lewati selama ini meski hanya sekadar atasan-bawahan. Memiliki hubungan baik, bahkan hingga kini mas Abi memintanya pun dengan cara baik-baik. Hanya saja, kenapa dia malah melakukannya dengan kasar dan tidak terkendali?. 

Tidak. Kesan pertama melepaskan keperawanan ku bukan dengan cara yang seperti ini. Aku memang bermimpi akan melakukannya dengan suamiku nanti, tapi dengan cara yang halus, yang mana nikmatnya kita berdua bisa rasakan bersama. Bukan dengan tamparan, pukulan, hingga bahkan salah menyebut nama. 

"Elisa..." 

Desah mas Abi menyebut nama Elisa, bukan aku, Alesha. Please, aku membutuhkan cukup tenaga untuk menyadarkan mas Abi kalau yang ada di bawahnya sekarang bukanlah Elisa, melainkan diriku, istrinya. 

Tapi apalah daya, aku dibuat pasrah olehnya. Meski bagaimana pun aku menolak sebab apa yang dia lakukan sangatlah kasar, namun tak bisa aku pungkiri kalau aku sedikit menikmatinya. Beberapa kali aku memang tidak bisa menahan lenguhku, namun sering kali aku melepas ringisan akibat sakit yang tiba-tiba terasa menyengat dari bagian bawahku tepat saat mas Abi memasuki ku. 

Mungkin ini karena kali pertamaku. 

"Kamu bilang kalau aku satu-satunya, tapi kamu malah meminta putus dariku. Kamu tahu kalau aku tidak akan menyetujuinya. Selamanya kamu akan tetap menjadi pacarku. Sampai kapanpun!" Gumam mas Abi. 

Aku tidak tahu apakah dia masih sadar saat mengadakannya atau bagaimana, tapi aku sungguh sangat kecewa. Hatiku rasanya dicubit habis-habisan, bahkan tanpa sadar aku rasa air mataku keluar tanpa diminta. 

"Tidak akan ku biarkan kamu menikah dengan pria lain. Karena hanya aku lah yang sangat pantas untuk itu!" Kata mas Abi lagi, semakin memperdalam dan memasuki dengan begitu kasar.

Tidak. Ini bukanlah mas Abi yang aku kenal. Ini jelas-jelas iblis penjahat kelamin. 

Seketika, tangisku pecah. Aku langsung membungkam mulutku sendiri. Tidak mau membiarkan mas Abi melihatku dalam keadaan rendah seperti ini. 

"Mas, pelan...." Kata ku. 

Tidak. Mas Abi tidak mendengarkan ku. Dia semakin kasar dan keras. Please, apakah ada yang bisa membantuku saat ini?. Tolong pisahkan aku dengan mas Abi yang sepertinya kini sedang tidak sadar dengan apa yang ia lakukan padaku.

"Hanya kamu lah yang pantas menjadi istriku, Elisa. Hanya kamu!" Serunya lagi. 

Lalu aku apa, mas?. Pernikahan kita kamu anggap apa?. Hatiku bahkan tubuhku bukan boneka yang bisa kamu beli dengan uang. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status