Suara ketukan terdengar jelas ditelinga nya, namun rasa kantuk dan lelah telah menyelimuti tubuhnya. Walaupun hati kecilnya seolah memperingatkannya untuk bangun, akan tetapi hal itu sangat sulit ia lakukan. Lana mendengar dengan samar suara wanita di luar kamarnya.
"Tuan, pintunya tidak terkunci."
"Benar-benar ceroboh, bagaimana bisa seorang gadis tidur tanpa menutup pintu! Bangunkan dia sebelum aku yang kesana dan membangunkannya!"
Itu suara ayahnya, Lana segera membuka matanya dengan susah payah. Namun suara teriakan wanita itu berhasil mengalihkan perhatiannya.
Matanya yang melotot kaget tertangkap jelas di penglihatan Lana. Satu persatu orang-orang mulai datang, namun ia belum menyadari apa yang salah hingga wajah mereka terlihat begitu kecewa.
Ayahnya terlihat memerah dan berteriak keras. Entah apa yang beliau ucapnya, Lana tak bisa mendengarnya. Hal yang ia lihat adalah wajah kecewa sang ibu. Ada air mata disana dan ia ingin menghapusn
"Lana? Nama yang cukup bagus untuk ukuran gadis kampung."Pieter tersenyum melihat sebuah nama yang tertulis di kertas itu. Ia terus menatap kertas itu lalu tertawa setelahnya."Aku sudah banyak melakukan pengorbanan untuk posisiku saat ini. Aku akan membunuh siapa pun yang mencoba merebutnya dariku. Bukan begitu Jiwana?"Jiwana langsung tersenyum sumringah. "Tentu saja Tuan. Tidak ada yang bisa menggoyahkan kedudukan Tuan saat ini."Mendengar jawaban Jiwana, Pieter kembali tersenyum."Kau tau apa yang paling aku sukai dari dirimu Jiwana?""Hamba tidak tau tuan ku." Ucapnya rendah hati."Aku menyukaimu karena kamu pandai memuji. Walaupun itu sedikit memuakkan, namun itu cukup efektif untuk menenangkan pikiranku. Selain itu, aku cukup terkesan dengan loyalitasmu. Kita sudah berteman selama bertahun-tahun dan ayahku selalu memujimu, tapi kamu tidak melupakan posisimu dan ingat bahwa aku adalah Tuanmu."Jiwana menunduk dalam, ia ing
Ruwan dan ayahnya terus berdiri di depan rumah mereka sambil melihat Jiwana yang mulai menghilang. Sang ayah menatap Ruwan dengan heran dan khawatir."Tuan Jiwana datang melamar Lana untuk Tuan Pieter, kenapa kita tidak menolaknya?"Ruwan pun menatap ayahnya dengan senyum lembut andalannya."Ayah, bukankah Tuan Jiwana mengatakan pada kita bahwa ia datang bukan untuk mendengar penolakan.""Ayah tau, tapi dengan kondisi adikmu saat ini, pemuda bodoh mana yang mau menikahinya. Ia hanya memiliki kecantikan yang akan memudar tapi tidak memiliki kehormatan.""Ayah, itu hanya berlaku pada masyarakat kita. Bagi para bangsa kulit putih keperawanan bukan sesuatu yang berharga. Jika mereka ingin gadis perawan, mereka bisa mencari dengan sekejap mata bahkan tanpa harus menikah.""Begitukah?""Tentu saja."Ruwan tersenyum sambil meninggalkan ayah
Sina terus menatap bosan pada dua pasangan labil di depannya. Ia memutar matanya dengan malas."Jika kalian ingin berkelahi, jangan disini!"Suara Sina yang menggema di seluruh hutan seolah terdengar seperti hembusan angin lembut. Mereka mengabaikannya dan terus berdebat siapa yang paling benar. Hal itu membuat Sina semakin kesal."Inilah alasan kenapa aku benci manusia. Mereka benar-benar tidak peka."Tanpa memerdulikan jeritan kesakitan adiknya, Ruwan terus menggenggam tangan Lana dengan keras."Lepaskan!""Tidak!!"Ruwan terus menggenggam tangan itu seolah-olah tangan Lana adalah tali harapan terakhirnya. Terlihat wajah Lana yang kesakitan, namun hal tersebut belum mampu membangkitkan simpatinya."Diam!"Gerakan Lana langsung berhenti, matanya yang memerah menatap Ruwa
Hembusan angin seolah berhenti dan hujan seolah menahan airnya untuk tidak turun lagi. Rasa dingin di kulit seolah hilang entah kemana. Hanya ada perasaan kosong di dalam hatinya.Suara cangkul yang mengeruk tanah terdengar jelas, namun ia tetap diam dan menghiraukannya. Sina terus menatap ke depan, menatap seorang gadis yang menangis di depannya.Gadis itu terlentang dengan pasrah, hanya dengan bermodalkan kain batik basah. Ia terlihat menyedihkan namun luar biasa di saat yang sama."Apa yang kamu inginkan?"Suara Sina terdengar pelan, ada rasa simpati terkandung di dalamnya. Namun siapa pun yang mendengar itu, niscaya akan terkagum-kagum tentang betapa anggun dan cantiknya saat ia bertanya. Seperti seorang dewi."Redakan amarahku. Biarkan tubuh ini membusuk dan menyatu dengan tanah karena Tuhan menghendakinya. Rasa cinta ini membunuhku, tapi aku tak menyesal kar
Sina membersihkan badannya yang di penuhi lumpur di sungai. Air yang dingin menambah kesegaran di tubuhnya. Matahari yang mulai terlihat membuat suasana semakin menyenangkan. Setelah badannya bersih dan kembali segar, ia segera bangun dan bersiap kembali ke rumah Lana. Ia mendapatkan ingatan samar mengenai kehidupan sehari-hari gadis itu. Kehidupan gadis itu ia anggap sebagai kehidupan membosankan dan bodoh. Walaupun kebodohan dianggap sebagai kecantikan yang polos dan murni, namun ia enggan untuk melakukannya. Harga dirinya terlalu tinggi untuk bertingkah seperti seorang rendahan. Ia adalah penguasa api biru, mahluk yang di puja-puja. Ia tidak akan merendahkan dirinya barang setitik pun. Ia berjalan di jalan setapak menuju rumahnya. Dari kejauhan terdengar suara gadis-gadis yang bercengkrama. Mereka hendak menuju sungai sambil membawa pakaian kotor. Suara mereka yang nyaring membuat telinga Sina terganggu. "Sangat berisik, apa gadis-gadis jaman sekar
Jiwana duduk di teras rumah Tuan Pemusungan, dengan alas tikar daun pandan. Ia menghirup sedikit demi sedikit kopi hitam yang telah ditawarkan sang tuan rumah.'Mungkin aku datang terlalu pagi'Ada rasa sungkan di hati Jiwana, apalagi jika melihat sang Tuan rumah yang kaget saat melihat ia datang. Hanya saja akhir-akhir ini ia tidak bisa tidur. Ia selalu mimpi buruk dengan alur yang sama. Hal itu membuat ia harus terbangun lebih awal dari biasanya.Jiwana menghirup kopi itu sekali lagi, dan putaran mimpi itu kembali menghampirinya.'Saka? Siapa dia?'Nama itu terus terngiang di telinganya, seolah-olah nama itu adalah miliknya. Ia merasa setiap kali memikirkan mimpi itu, ada yang memanggilnya dengan sebutan Saka. Ia berfikir bahwa itu mungkin adalah ingatan milik orang lain. Atau mungkin itu adalah ingatan dari kehidupan lampaunya.Reinkarnasi?Apakah mungkin hal semacam itu ada?Jiwana adalah orang yang percaya tahayul, hanya s
"Apa? Coba kau ulangi sekali lagi!" Ucap Pieter tak percaya."Adat dan mahar diserahkan sepenuhnya pada kita. Mereka akan menerima apapun yang kita berikan." Ucap Jiwana jelas.Saat mendengar hal itu, Pieter menekan tangannya pelan. Urat-urat ditangannya terlihat jelas, dan wajahnya perlahan memerah. Sudah jelas Tuannya itu terlihat sangat marah. Jiwana segera diam, ia enggan berkomentar. Tentu saja ia takut menjadi sasaran amukan sang tuan."Bukankah mereka termasuk golongan bangsawan?""Benar, tapi hal itulah yang di sampaikan oleh ayahnya."Pieter langsung tertawa keras. Ia tak habis pikir dengan pemikiran para bangsa budak itu."Apa mereka pikir aku tak mampu membayar mahar? Aku adalah Pieter Willemsen, hal apa yang tidak bisa aku dapatkan. Bahkan jika gadis itu meminta emas satu kotak serta perhiasan dengan permata, aku berikan saat ini juga!"Pieter terus mengomel, ia berbicara mengenai keluhannya pada keluarga calon istrinya. I
Suara hiruk pikuk manusia yang bercengkrama di luar, mereka terus menumbuk padi dan mengiris rempah-rempah sebagai bahan sambal. Rempah-rempah itu akan mereka campurkan sebagai sambal untuk hajatan pernikahan anak dari tuan pemusungan.Mereka terus bergotong-royong, bahu-membahu untuk membantu, baik sebagai seorang tetangga, saudara ataupun hanya simpati. Karena bagaimana pun berita pernikahan anak dari tuan pemusungan telah menyebar luas hingga ke desa-desa tetangga.Mereka seolah prihatin atas apa yang telah dialami oleh Lana, sambil diam-diam bersyukur anak mereka tidak terlahir cantik. Bagi rakyat kecil seperti mereka, wanita cantik adalah sebuah kutukan. Karena akan sulit di jaga dari pandangan laki-laki, terutama bangsawan.Dari sekian banyak orang, hanya segelintir orang yang tahu bahwa Tuan Pieterlah yang patut untuk dikasihani. Karena ia akan mendapatkan istri bekas dari laki-laki lain.