Share

Bab. 3.Mengejar mobil itu.

Mataku seketika berkunang-kunang ketika mobil bernomor plat BM 3 AI itu melaju dengan kencang. Ia meninggalkanku dengan sejuta malu yang harus kutanggung sendirian. Rasanya wajahku semakin memerah ketika beberapa orang menatapku kasihan. Tatapan mereka seolah memperingatkan bahwa aku telah kalah dalam perselingkuhan suamiku sendiri.

"Jangan patah semangat, ya, Mbak. Saya yakin Mbak pasti kuat."

"Sudah tinggalkan lelaki pengkihanat itu, Bu. Sekali selingkuh selamanya akan selingkuh. Ingat itu."

"Sabar, Mbak. Tetap semangat meninggalkan lelaki itu. Buat ia miskin dulu, lalu kamu tinggalkan. Itu balasan yang setimpal untuknya."

"Tetap tenang, ya, Bu. Balas lelaki itu dengan elegan dan sadis. Tuhan selalu membersamai istri sah yang dizholimi. Saya titip satu tamparan untuk lelaki itu."

"Santuy saja, Mbk. Saya siap menyediakan jasa persantetan dan pesugihan yang kejam."

"Tenang, Mbak. Perlakukan dan layani lelaki itu dengan lembut. Setelah ia terbuai, langsung kasih sianida kasih sayang pada minumannya. Dijamim koit setelahnya."

"Jangan mau rujuk lagi, Mbak. Selingkuh itu pasti dibarengi dengan perzinahan."

"Kuras habis hartanya, Mbak, lalu kau racun itu saran terbaikku."

"Jangan lemah, Mbak. Ikuti caranya yang selingkuh. Balas perselingkuhan dengan perselingkuhan. Pasti pro itu."

Nasehat demi nasehat terus mereka ucapkan untukku. Tak sedikit yang menatapku iba karena kejadian ini. Tatapan miris mereka sangat membuat hatiku tersayat-sayat. Aku hanya bisa menatap mereka tanpa berani menjawab apapun. Semua nasehat mereka akan aku ingat dalam kepala.

Mereka yang menyaksikan aksiku di lampu merah mulai membubarkan diri. Nyaliku semakin ciut ketika ada beberapa orang yang menggeleng. Mungkin menurut mereka, aku hanya mempermalukan diri sendiri.

Aku kehabisan kata untuk mengungkapkan rasa amarah dalam hati. Dengan tangan gemetar, kuambil ponsel yang ada dalam tas selempang yang aku pakai. Kuusap layar sentuhnya, kucari nomor lelaki yang telah menjadi suamiku selama sepuluh tahun terakhir itu.

Panggilanku tersambung. Namun, tak dijawab. Selanjutnya sambungan teleponku kembali ditolak tanpa sempat dijawab. Aku masih mencoba kembali untuk menghubungi nomor itu lagi. Dan nomor yang aku tuju sudah tak aktif kembali. Sepertinya lelaki itu sengaja mematikan ponselnya.

"Arman! Sialan kau, ya! Kau harus membayar semua ini karena sudah mempermalukan aku di depan umum! Sialan kalian! Kalian harus membayar semua ini! Tunggu pembalasanku!"

Umpatan demi umpatan terus aku lontarkan pada lelaki tak tau diri itu. Lelaki yang dulu aku angkat derajatnya, kini membalas semua itu dengan kotoran di wajah. Mau tak mau aku harus menelan rasa malu ini sendirian.

Baru saja tubuh ini berbalik, aku terlonjak kaget karena suara klakson di belakang yang saling bersahutan. Aku menatap marah pada para pengguna jalan yang telah mengklaksonku tanpa permisi. Aku acungkan jari tengah pada mereka sebentar, lalu bergegas menyalakan motor dan mengejar mobil itu.

Ponsel yang masih dalam genggaman, segera kumasukan ke dalam tas. Sayangnya usahaku nihil. Sudah jauh berkilo-kilo melajukan kuda besi ini, tersangkanya sudah hilang dari pandangan. Aku menepikan motor di bahu jalan untuk meluapkan emosi barang sebentar. Berulang kali kupukul kepala stang motorku yang retak dibagian lampu. Sungguh, aku kesal sekali. Saat emosi memuncak, tapi tak bisa tersalurkan dengan baik.

Setelah beberapa menit berhasil menguasai diri, aku kembali melanjutkan perjalanan ke rumah orangtua. Aku harus bergegas saat hari sudah semakin sore. Karena selain berkunjung ke rumah wanita yang sudah melahirkanku, aku harus ke butik untuk mengantarkan beberapa bahan yang sudah aku potong polanya.

Selain sebagai ibu rumah tangga, aku juga bekerja sebagai karyawan desainer butik ternama yang terletak di Parangtritis, Jawa Tengah. Rencananya setelah pulang dari butik, aku harus mengantarkan beberapa bahan baju pengantin ke tempat bordir. Ada beberapa titik pola yang perlu di bordir

Bekerja di butik dari seseorang yang aku kenal, ternyata bisa membuat waktuku menjadi tertata dengan baik. Aku bisa menyelesaikan pekerjaanku di rumah, jika tak sempat ke butik. Karena memiliki satu putri yang masih berusia tiga tahun, aku diberikan waktu kebebasan untuk menyelesaikan pekerjaan desainerku. Asal sebelum deadline, pesanan baju pengantin itu harus sudah selesai.

Drrt.

Drrt.

Ponsel di dalam tas bergetar kembali. Kuambil ponsel itu sebelum menyalakan motor. Ibu, satu nama yang selalu baik padaku yang menelpon.

Aku menarik napas sebentar, setelahnya menjawab telepon itu.

"Assalamualaikum, Bu."

"Apa?"

"Iya, iya. Aku sudah dijalan. Tenangkan sebentar, Bu. Bentar lagi aku sampai. Gendongin dulu, ya!"

Panggilan ponsel itu kumatikan sepihak. Penjelasan dari suara Ibu telah membuat emosi semakin naik.

Motorku telah melaju membelah jalanan yang masih ramai. Kabar dari ujung telepon tadi membuat hatiku ketar-ketir. Semoga ia baik-baik saja.

Bersambung......

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status