Share

Perubahan Keina

Meski Keina sudah bersikeras bahkan hampir memohon untuk ikut dengan orang tuanya saja, semua orang menentang keinginannya dengan keras. Tepat setelah ia dipulangkan dari rumah sakit, Keina tetap diserahkan kepada Alden dan memintanya kembali ke rumah tinggal mereka.

"Ingat Alden, jangan pernah menyakiti Keina dan jaga dia baik-baik. Keina sedang mengandung penerus perusahaan kita. Ingat, Papa akan selalu mengawasi kalian berdua,"

Keina menghela nafasnya panjang mendengar banyak wejangan yang diperuntukkan oleh Alden dan juga dirinya dari orang tua mereka. Bahkan saat Keina hendak bangkit dan berjalan sendirian saat turun dari mobil setelah diantar oleh mertuanya, Reyman dan juga Audrey malah berteriak mengagetkan dirinya dan juga Alden.

"Apa yang kamu lakukan, Alden? Cepat papah istrimu ke dalam!"

Keina terlihat melebarkan matanya saat Alden menarik tubuhnya lalu melingkarkan tangannya ke arah pinggang Keina sementara tangannya yang lain memeluk pundak Alden.

"Aku bisa jalan sendiri, tidak usah memapahku." Protes Keina tidak terima. Ia memalingkan wajahnya dengan gugup, mencoba sekuat tenaga untuk tidak bertatapan langsung dengan Alden.

"Kau tidak dengar mereka sedang berteriak padaku? Diamlah, ini hanya sebentar. Aku tidak mau mendengar teriakan yang kedua kalinya karena telingaku sudah pengang dengan omelan mereka."

Keina hanya bisa berpasrah saat Alden semakin mengeratkan pegangan di pinggangnya lalu membawanya masuk ke dalam rumah kemudian mendudukkannya di sofa.

"Kalau begitu Papa dan Mama pamit, ingat apa yang Papa katakan padamu, Alden."

Helaan nafas panjang seketika keluar dari mulut Alden, Keina dapat menebak sepertinya Alden sangat bosan diceramahi oleh orang tuanya sejak kemarin.

"Tentu Pa. Bila perlu Alden akan menulis semuanya di kepala." balas Alden dengan sebal.

"Bagus." Reyman terlihat mengalihkan tatapannya ke arah Keina, "Bilang pada Papa jika Alden menyakiti kamu lagi. Dia harus menjaga kamu dengan baik,"

Keina mengangguk kecil, "Terima kasih karena Papa dan Mama sudah merawat Keina,"

"Mama dan Papa pamit dulu, baik-baik ya Sayang," timpal Audrey.

Setelah berkata seperti itu, Audrey dan juga Reyman terlihat beranjak lalu pergi ke arah pintu diantar oleh Alden. Keina menghela nafasnya melihat dimana dirinya saat ini, setelah ia berpikir bahwa ia tidak akan menginjakkan kakinya kembali ke rumah ini, bagaimana bisa ia kembali kesini dengan situasi yang tidak terduga?

"Kurasa ada banyak hal yang perlu kita bicarakan."

Keina mengangkat wajahnya saat mendengar ucapan Alden yang baru tiba setelah mengantar orang tuanya.

Keina mengangguk membenarkan, "Ya kurasa begitu."

"Apa ini sudah kau rencanakan sebelumnya?"

Alis Keina berkerut mendengar ucapan Alden, "Apa maksudmu?"

"Maksudku kehamilanmu, kau sengaja melakukannya agar kita gagal bercerai dan kembali menjadi istriku?"

Keina seketika terhenyak mendengar ucapan Alden, "Kau menuduhku? Hei Tuan, apa kau lupa siapa yang melempar pil pencegah kehamilan dan menyetubuhiku secara brutal malam itu?" sindir Keina geram.

Alden terdiam, seketika merasa tertohok dengan ucapan Keina. Ia menghela nafasnya panjang, menyadari kesalahannya yang malah balik menuduh Keina. Bukankah sedari awal Keina yang menginginkan perceraian ini?

"Baiklah, kau benar. Aku memang brengsek malam itu. Bagaimanapun kita terpaksa menjadi suami istri kembali karena kesalahanku."

Keina mendengus, enggan membahas malam itu lebih lanjut. Ia sudah terlalu sakit dan enggan membicarakannya lagi.

"Kita akan tetap bercerai."

Alden terlihat tersentak mendengar ucapan Keina. Raut wajah kecewa yang ia tampilkan malam itu seketika kembali. Alden hanya terdiam, menunggu Keina melanjutkan perkataannya.

"Kita akan bercerai setelah anak ini lahir. Kau tidak perlu cemas,"

Alden mengerjapkan matanya lalu mendengus, "Terserah,"

Keina bangkit berdiri, Alden hendak membantunya, namun Keina seketika mengangkat tangan menolak perhatian dari Alden.

"Kurasa pernikahan kali ini harus berbeda." ujar Keina kembali.

Alden mengerutkan keningnya tidak mengerti, Alden menegakkan tubuhnya mempersiapkan diri untuk tidak terkejut. Mengingat kali ini Keina tengah hamil, sepertinya akan banyak meminta bantuan dan perhatiannya. Namun ternyata, tebakan Alden seluruhnya salah besar.

"Kau tidak perlu mencemaskan aku, kau juga tidak perlu menjagaku seperti yang diucapkan oleh orang tuamu. Meski sedang hamil, aku bisa mengurus diriku sendiri."

Alden mendengus kecil, tidak percaya bahwa Keina akan mengatakan hal ini setelah pingsan kemarin, "Kau bisa mengurus diri sendiri? Kau yakin?" sindirnya tidak percaya.

"Ya, aku bisa mengurus diri sendiri. Aku tidak perlu bantuanmu."

Keyakinanan yang tersirat kukuh di mata Kania membuat Alden tercengang. Keina sepertinya benar-benar serius dengan ucapannya. Alden tersenyum kecil, rupanya perubahan Keina cukup banyak setelah memutuskan bercerai. Luar biasa.

"Baiklah jika kau berpikir seperti itu. Aku seharusnya bersyukur karena kau tidak akan merepotkan aku, bukan?"

"Ya kau benar. Ah, ngomong-ngomong kau juga bisa berhubungan dengan Shiren kembali. Kalian kembali berpacaran, bukan?"

Kali ini ucapan Keina sukses membuat Alden tidak dapat berkata-kata. Apa ini? Sejak kapan Keina mendukung dirinya untuk berhubungan dengan Shiren kembali?

"Apa kepalamu terbentur saat pingsan kemarin? Aku mulai merasa merinding karena kau terlihat aneh, Keina Nayara."

Keina terlihat menggeleng, "Kepalaku baik-baik saja dan aku sedang serius, Alden. Bukankah kalian sangat saling mencintai? Kenapa aku harus bermasalah dengan hubungan kalian sementara kita akan bercerai? Kau boleh berhubungan dengannya asal tidak ketahuan oleh keluarga kita."

Alden menatap tajam ke arah Keina. Ini sungguh aneh, Keina selalu terlihat emosional tiap kali mereka membahas Shiren, namun kali ini berbeda, Keina terlihat sangat santai dan bergembira seolah itu adalah hal yang ia tunggu. Namun, bukan hanya Keina yang terasa aneh saat ini, perasaannya juga terlihat janggal setelah melihat sikap yang Keina tunjukkan. Anehnya ia merasa kesal, ia merasa kesal karena Keina terlihat biasa-biasa saja saat mereka membahas Shiren.

Alden segera menggeleng, ia seharusnya merasa senang dengan hal ini, bukan? Kenapa ia harus merasa kesal dan merasa bersalah?

"Sepertinya kau cukup tahu diri sekarang dan enggan merecoki hubungan kami. Baiklah, apa aku harus berterimakasih karena kebaikan hatimu ini?"

Keina terlihat mengulas senyuman tipis, "Tidak perlu karena kau juga akan melakukan hal yang sama. Selama setahun ini aku merasa tertekan karena mencampuri urusan pribadimu, namun kali ini berbeda. Sebaiknya kita tidak saling mencampuri dan bertanya tentang urusan pribadi kita masing-masing sekarang karena semuanya akan berakhir setelah anak ini lahir. Bukankah itu lebih mudah?"

Alden terlihat tercengang melihat perubahan Keina yang terlalu banyak. Terlalu banyak hingga ia tidak mampu berkata-kata. Keina mengulurkan tangannya ke arah Alden, dengan raut wajah bingung Alden menyambut uluran tangan wanita itu.

"Mohon bantuannya selama sembilan bulan ke depan, Alden Nathaniel Syarakar." ucap wanita itu dengan senyuman yang melebar sempurna.

Tepat setelah itu, ponselnya berdering dengan nyaring menampilkan kontak Shiren. Alden terlihat menatap bingung ke arah Keina, namun wanita itu hanya tersenyum kembali.

"Kenapa kau menatapku? Angkat saja telepon itu."

Alden terlihat tersentak melihat tanggapan Keina di hadapannya. Hatinya seolah terusik, benarkah Keina sudah tidak peduli lagi akan hubungannya dan juga Shiren saat ini?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rifatul Mahmuda
bagus kei, buat si Alden ketar-ketir
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status