Dari sekian banyak wajah yang ada dalam mimpi Senja, wajah seorang laki-laki berusia lima puluh tahunan muncul dalam alam bawah sadarnya. Ekspresi yang ditunjukkan lelaki itu saat bertemu dengan Senja terlihat puas dan bahagia.
Gadis itu sama sekali tidak menyukainya, lelaki itu datang bersama Rutger tepat saat Senja ingin meraih batang lilin di dekat pintu sel. Ia yang saat itu sedang tidak fokus dan dalam suasana hati yang kacau, tidak menyadari kedatangan dua orang yang sangat ia benci sampai ke urat nadinya.Rutger mencengkram pergelangan tangan Senja dan membuang lilin sejauh yang ia bisa, rencana untuk bunuh diri pun kandas.Si lelaki tertawa melihat Senja yang menderita—padahal, dulu ia sangat mendambakan gadis itu untuk menjadi bagian dari keluarganya. Meskipun sudah menduga, Senja masih saja merasa sakit di bagian jantungnya, bagai ada sebuah pedang yang menghujam dan menembus berkali-kali. Gadis itu sampai tidak bisa menangis lagi karena terlalu kecewa dan marah."Kamu pasti senang melihatku lagi, Senja," ucap lelaki itu sambil terkekeh.Sedangkan Senja—gadis itu diam tidak bisa berkata-kata."Sudah kubilang, seharusnya kamu dan keluargamu menurut saja dengan apa yang sudah kukatakan. Inilah akibat dari sifat keras kepala dan terlalu naif! Kamu pikir ancamanku hanya sekedar kata-kata?"Lelaki itu berjalan mendekati sel Senja dan memperhatikan gadis itu dengan seksama.Senja mundur sampai punggungnya menyentuh dinding."Lihat saja, aku akan membuatmu hancur! Aku akan membalas dendam untuk orang tua dan saudara-saudaraku! Akan aku buat kamu dan anakmu lebih sengsara dari apa yang sudah aku alami!" ancam Senja dengan nadanya berapi-api.Kedua orang itu tertawa terbahak-bahak, Rutger memberikan isyarat berupa tepukan tangan. Tiba-tiba beberapa orang mendekat membawa tandu. Senja dapat melihat kalau di atas tandu itu ada seseorang, tetapi tubuhnya tertutup oleh selembar kain putih.Saat Rutger membuka pintu sel Senja agr lebih lebar, tandu berisikan orang itu ikut dimasukkan, dan ketika kainnya disingkap, Senja menjerit ngeri melihat sesosok mayat dengan luka bakar."Bagaimana caramu membalas dendam Senja? Katakan padaku bagaimana caranya? Kamu lebih baik berdoa, karena setelah ini, hidupmu akan lebih sengsara!"Lelaki itu mengeluarkan sesuatu dari palik beskapnya."Pergilah dengan tenang Senja, aku akan mengurus seluruh hartamu dengan baik."Setelah si lelaki mengatakan itu semua, badan Senja diseret keluar hingga tersungkur-sungkur. Saat Senja menengok, api sudah berkobar di satu titik dalam selnya, Senja berteriak ingin menyebut nama lelaki itu. Namun, ia terbangun dari tidurnya dengan terengah-engah.Keringat membanjiri setiap inchi dari tubuhnya, nama itu terus terngiang di dalam kepalanya, Senja mengedarkan pandangan, ketika sudah sepenuhnya sadar—ia mendapati sedang berada di sebuah kamar yang rapih dan bersih. Gadis itu menampar pipinya guna memastikan, sakit."Ini bukan mimpi! Di mana aku?"Senja bangun dari kasur yang membuatnya tertidur semalaman. Ia berlari ke arah jendela dan membukanya, saat ini ia berada di lantai dua di sebuah rumah, ia bisa mengira dari jarak kamarnya ke tanah cukup tinggi.Hamparan rumput hijau dan beberapa macam bunga mawar mampu menyegarkan mata Senja setelah berhari-hari dalam penjara, jauh di sana, ada hutan senyap dengan pohon pinus berjejer rapi. Kendati udara dingin dan lembab, langit begitu cerah.Matahari bersinar terang, tenang dan indah. Sadar dari ketakjubannya, ia segera waspada dan kepalanya dipenuhi pertanyaan. Terakhir kali, yang gadis itu ingat adalah ia sedang berada di kereta kuda.Di ruangan lain di rumah yang sama. Xander dan Leenjte duduk dekat jendela kaca besar, mereka menikmati kopi hitam yang masih mengepulkan uap panas. Xander sibuk dengan kertas-kertas yang ada di tangannya, lelaki itu membaca lembar demi lembar dengan seksama.Fokusnya teralihkan dengan suara pintu yang dibuka, mucul Leon dengan baju santainya—memakai setelah piyama biru dengan mantel berwarna senada, sangat kontras dengan kedua temannya yang masih memakai seragam militer lengkap. Leon membawa Senja saat hendak dipindahkan ke rumah Rutger yang ada di batas kota selatan."Gadis itu sudah bangun?" tanya Leenje membuka obrolan.Leon mendekat dan duduk di tepat di hadapan Xander."Sepertinya belum, tapi aku sudah menyuruh pelayan untuk memberi kabar seandainya gadis itu sudah bangun.""Kau ingin melihatnya, Leenjte?" tanya Leon seraya menuangkan satu sendok gula ke dalam kopinya.Leenjte memperhatikan Xander untuk sesaat, temannya itu mulai meletakkan kertas-kertas yang dibacanya ke atas meja."Tidak, aku tidak tertarik."Leon hanya mengendikkan bahunya, kemudian beralih pada Xander."Je bent gek, Kapten Xander!" umpat Leon."Ik ben gek, Leon. Je weet precies hoe ik ben!"Bukannya tersinggung, Xander bersikap santai dan membenarkan apa yang dikatakan oleh temannya."Je krijgt grote problemen als je in deze zaak wordt gepakt, Xan!"Kali ini Leentje yang mengingatkan betapa seriusnya kalau Xander terlibat lebih jauh lagi dalam kasus ini."Sejak kapan kau memperdulikan kaum pribumi, Xan, Setahuku, Maximilian Xander Van Dijk tidak akan pernah mau berurusan dengan masalah mereka," tambah Leon dan membenarkan perkataan Leenjte."Je hebt gelijk, Leon. Aku memang tidak suka dengan kaum pribumi, tapi aku lebih tidak suka memiliki hutang budi pada mereka."Xander memasukkan pipa rokok dari bahan perak dengan ujung yang terbuat dari gading gajah. Ia menghisap lama dan dalam dengan mata terpejam, sementara asap keluar melalui lubang hidungnya membentuk bulatan-bulatan kecil yang sirna terbawa angin.Seketika tercium lah aroma cengkeh dan rempah-rempah manis di ruang kerja Leon. Leon dan Leenjte saling pandang, meski enggan, keduanya tetap membantu rencana Xander yang memiliki risiko tinggi. Sejak memutuskan untuk berteman, mereka bertiga selalu ada saat saling membutuhkan."Jadi, kau mengancam mayor Rutger dengan bukti tindakan korupsinya?" tanya Leenje."Ja, itu adalah cara yang ampuh, bukan?"Leon hanya menggelengkan kepala mendengar jawaban Xander."Tugasku sudah selesai, Xander. Aku sudah menyiapkan apa saja yang akan aku titipkan padamu."Ia mengambil sebuah kotak yang ada di meja kecil di sampingnya."Aku akan membawanya, tapi apa kau yakin dia akan menerima pemberianmu?" tanya Xander seraya mengernyitkan dahinya."Ik heb er alle vertrouwen in!"Leon tersenyum lebar, ia memang lelaki dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi."Kau masih mengejar dia, Leon?" tanya Leentje yang ikut menghisap rokok bersama Xander."Gadis itu pantas diperjuangkan, Leentje," jawab Leon santai, wajahnya berseri-seri.Seorang pelayan datang dan membungkuk hormat, memberikan kabar kalau Senja sudah bangun dari tidurnya, Leon hanya mengangguk dan menyuruh pelayannya untuk ke kamar gadis itu lebih dulu. Ia memandang temannya yang kini tengah memakai mantel dan siap-siap untuk pergi."Kau tidak ingin menemui gadis itu, Xan?""Aku tidak tertarik, aku harus segera pulang dan mengurus banyak hal untuk keberangkatanku lusa nanti."Xander bangun dari duduknya, diikuti dengan Leenjte. Mereka berdua berlalu dan meninggalkan ruang kerja Leon. Tanpa membuang waktu, Xander segera mengendarai mobilnya ke suatu tempat. Butuh satu jam perjalanan untuk sampai ke salah satu desa yang letaknya di kota Buitenzorg itu."Setelah masalah ini selesai, aku dapat menyelesaikan pekerjaanku dan kembali ke Rotterdam dengan tenang."Xander melihat keluar, ke rumah-rumah sederhana yang dikapur putih dengan serambi depan yang lebar. Pagar-pagarnya hanya terbuat dari bambu atau tanaman. Sampai ia tiba pada rumah yang paling besar dengan halaman yang sangat luas.Saat ia turun dari mobilnya, seorang gadis cantik terlihat berdiri dengan bersandar di salah satu pilar, Xander tersenyum lembut seraya memperhatikan. Gadis itu memakai gaun putih dari bahan satin lembut tanpa lengan, rambutnya ikal dan pirang kecoklatan, diikat sebagian menggunakan pita yang menjuntai.Sepasang mata hitamnya menatap Xander dengan sangat antusias dan binar bahagia, seulas senyuman menambah kecantikannya.Gadis itu memeluk Xander dengan hangat."Selamat datang di rumah.""Ik mis je echt, Xera." Lengan kekar Xander melingkari pinggang ramping Xera—saudari satu ayah beda ibu. "Ik mis jou ook, Kakak." Xera membalas pelukan kakaknya dengan kaki yang berjinjit. "Apa yang, Kakak, bawa?" Ia memandang dengan mata yang berbinar pada kotak berwarna merah muda yang Xander bawa, berharap kakak pertamanya yang sangat tampan ini, membawakan ia hadiah seperti biasanya."Dit is een cadeau voor jou, van Leon." Xander menyerahkan kotak itu pada Xera. Namun, adiknya memasang wajah cemberut yang cendrung menggemaskan di matanya. "Ada apa, hmm?" "Aku kira hadiah ini dari, Kakak, belakang ini kau jarang membawakan aku sesuatu." Xera mengeluh, tetapi ia tetap menerima hadiah yang diserahkan kepadanya."Maaf, Liev, belakang ini aku senang banyak pekerjaan, lain kali aku akan memberikan apa pun yang kamu inginkan." "Benarkah? Dank je, Broer." Xera menggelayut manja di tangan Xander. Bahkan, gadis berparas cantik nan ceria itu mengerlingkan matanya beberapa kali, membuat
Leon memijit pelipisnya yang terasa pusing, kali ini sahabatnya—Xander, telah memberikan tugas yang sulit. Membawa tahanan ke rumahnya, dan sekarang gadis itu baru saja berulah dengan rencana ingin melarikan diri. Leon bersandar pada tembok berkapur putih bersih, memandangi Senja yang tidk sadarkan diri dan kini berbaring di atas kasur, rambut panjangnya terurai di bantal.Beruntung kain yang membebat tubuh ramping Senja terikat kuat, sehingga Leon berhasil menarik gadis itu kembali. Namun, kepala Senja cukup keras membentur dinding batu, sehingga gadis itu tidak sadarkan diri—untuk kedua kalinya. Leon berharap agar Senja tidak mengalami amnesia. Lelaki itu mengambil sebuah kotak cigarettes dari saku piyamanya, menghidupkan satu batang dan menghisapnya.Leon telah mengabarkan kejadian ini kepada Xander, dan sahabatnya itu berpesan untuk menyampaikan sesuatu pada Senja, agar gadis itu tidak melakukan hal-hal yang ceroboh dan tidak berguna. Leon menyipitkan matanya saat melihat gerakan
Ananta berdiri di tengah kebun teh yang terlihat bagai permadani hijau membentang tiada ujung, tetapi ia merasa sedang berdiri di tengah Padang gurun. Dari luar, tampilannya tampak rapi—memakai setelan jas dan sepatu kulit mengkilap. Namun dari dalam, hatinya hancur bak sebuah guci yang terpecah beberapa bagian. Fokusnya terganggu oleh rambut Senja yang berkibar tertiup angin musim kemarau, dan berkilau diterpa sinar matahari. Untuk beberapa waktu, mereka berdua hanya berdiri bergeming tanpa suara. Namun, isi kepala mereka dipenuhi dengan pertanyaan dan penjelasan yang tertahan di ujung lidah.Ananta mengusap tengkuknya yang sedikit berkeringat karena gugup. Setelah menormalkan tekanan perasaannya yang naik-turun, sekali lagi ia menatap ke dalam bola mata milik Senja. Tangan Ananta refleks menyelipkan rambut Senja ke belakang telinga karena sedikit menutupi waja. Gadis itu segera menunduk, kelopak matanya sedikit bergetar."Apa benar kalau ayahmu membatalkan pertunangan kita?" Suara
Eeden menelisik penampilan wanita yang ada di hadapannya. Dari kepala hingga kaki, tanpa melepaskan cengkraman dari rambut Senja, wanita berpempilan anggun itu sangat kontras dengan wanita lainnya, ia berjalan mendekat dan mencoba mengalihkan perhatian."Mijn naam is Sundari, Meneer. Ik ben een zanger dan saya diundang langsung oleh Kolonel Damyon Van Devivere," jelas Sundari."Benarkah hanya penyanyi? Atau kau juga seorang gundik papan atas milik kolonel Devivere?" Eeden berkata seraya menyeringai, melontarkan kalimat ejekan.Sundari masih memasang wajah tenang. Bukan sekali dua kali ia menerima penghinaan seperti itu, apa yang dikatakan Eeden tidak sepenuhnya benar. Tetapi, tidak sepenuhnya salah. Bukan tanpa alasan Sundari melakukan semua ini. Ada alasannya yang tidak bisa ia ungkapkan. Saat tadi ia melihat Senja yang melawan tanpa rasa takut para tentara, Sundari seperti melihat sosok adik perempuannya—Mentari, yang telah hilang sepuluh tahun silam. Sundari mendekatkan bibirnya
Tidak langsung menjawab, Xander memaksa Senja untuk mengikuti langkahnya. Sampai tiba di sebuah ruangan yang paling ujung, Xander membuka pintunya dan melemparkan Senja ke atas kasur."Kau ingin menjadi pahlawan? Harusnya kau urus saja dirimu sendiri, jangan campuri urusan orang lain!" bentak Xander."Seharusnya itu yang kau lakukan, Tuan. Aku tidak mengenalmu, tapi kau tiba-tiba menyeret dan mengatakan hal-hal yang tidak aku pahami!""Kalau bukan karena kepedulian nyai Asna, mungkin kau saat ini sudah mati atau menjadi tawanan mayor Rutger! Bahkan sudah dijual ke pria hidung belang!""Ba–bagaimana kau bisa tahu?""Karena aku yang merencanakan semua ini! aku yang membebaskanmu, dan aku yang mengirimmu kemari!"Senja mencoba mencerna setiap kata yang diucapkan Xander, dan satu hal yang ia sadari, kalau ini bukan rencana nyai Asna, seperti apa yang dikatakan oleh Leon. Senja berdiri tegap di depan Xander, ia menatap Netra biru keabu-abuan Xander."Jadi ini semua bukan rencana nyai? Kau
Xander menoleh pada suara yang menyapanya, kemudian ia mendapati seorang pria yang diperkirakan berusia lima puluhan, mengenangkan seragam Koninklijke Marine berwarna putih. Pada bagian lengan terdapat empat garis stripe, juga sebilah pedang tersemat di sisi pinggangnya. Xander menundukkan kepala sebagai tanda penghormatan kepada sang nakhoda."Anda terlalu sungkan, Kapten. Xander ... Anda dapat memanggilku dengan nama itu," jawab Xander.Sang nakhoda terkekeh dan mengeluarkan sebatang cigarette dari kotaknya yang terbuat dari kaleng segi empat, mengambil satu batang—menghidupkannya, lalu menawarkan pada Xander. "Pindah tugas juga?""Saya akan di tempatkan di pabrik gula Marienburg selama beberapa bulan. setelah itu akan ke Netherland.""Keluargamu cukup terkenal Groningen, Xan. Apakah kau akan berkunjung ke sana?" tanya nahkoda."Tidak, Kapten. Saya akan ke Deen Haag untuk menjalankan beberapa formalitas." Xander mengambil satu batang dan ikut menyalakan cigarettenya."Aa, begitu rup
Seorang gadis yang lebih muda dari Dara datang dan menghampiri, ia mengulurkan tangan kanannya. "Namaku Diah, terima kasih karena telah membantuku, dan maaf karena sudah membuat, Mbak, susah. Aku berhutang budi pada, Mbak."Dara menatap gadis yang ada di sampingnya, mencoba mengingat. Saat ia mendapat ingatannya, ia tersenyum tipis dan menerima jabatan tangan gadis itu. "Senj–" Dara menghentikan kalimat yang akan dia ucapkan.Dara menghela nafas. "Dara, namaku Dara. Tidak usah sungkan, mungkin kemarin hari sialku." Saat menyebutkan nama lain yang bukan namanya, ada rasa sakit dan perasaan tidak nyaman dalam hatinya."Tidak ... tidak, kemarin itu, Mbak, telah menolongku dengan sangat berani.""Sudah kubilang, kemarin adalah hari sialku," jawab Dara malas. Ia terlalu lelah untuk mengingat dan membahas peristiwa kemarin."Ahh, ngomong-ngomong tentang nasib sial. Kita semua yang terkurung dan terombang-ambing selama enam puluh hari belakangan ini semuanya bernasib sial, Nona–" Seorang le
Saat Stien berusaha mencumbu Dara lagi, gadis itu membenturkan kepala mereka dengan kuat sehingga Stien bangun dari atas tubuh Dara. Melihat kesempatan itu, ia segera berlari ke arah pintu dan berhasil membukanya. Baru satu langkah keluar dari kamar. Kulit kepala Dara terasa perih karena dijambak dengan kuat, rupanya Stien berhasil meraih rambut Dara.Tubuh Dara di hempas dengan sangat kuat dan membentur dinding kapal. Rasa nyeri dan linu seketika menjalar seluruh tubuhnya. Stien yang belum puas, segera mencengkram rahang Dara dan hendak menamparnya. Baru saja tangannya di angkat, sebuah tangan dengan cepat menahan gerakannya. Ia menoleh untuk sekedar memastikan."Kau?""Begitu terkejut, Mayor?"Xander mencengkram dengan kuat tangan kanan Stien. Tadi, saat ia hendak kembali ke kamarnya setelah berjalan-jalan, ia mendengar suara gaduh seperti orang yang tengah bertengkar. Xander mencoba untuk acuh. Tapi saat melihat gadis yang ia kenal di ujung lorong, rasa penasaran pria itu tiba-tiba