Djuwira mencoba menjawab dengan hati-hati, mencari cara untuk tidak mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi di ruangan peralatan dengan Uwais. "Oh, Pak, kami hanya membicarakan pekerjaan dan beberapa hal terkait tugas-tugas yang perlu diselesaikan," jawabnya seraya berusaha menahan ketegangan.Namun, Key menatapnya tajam, seolah mencoba melihat melalui jawabannya. "Pekerjaan, huh?" ucapnya dengan nada skeptis. "Kau tahu, Djuwira, aku sangat menghargai kejujuran di sini. Jadi, aku harap kau akan memberitahuku jika ada sesuatu yang perlu diungkapkan."Djuwira merasa semakin terjepit. Dia tidak ingin menyembunyikan apapun dari Key, tapi juga tidak ingin memperburuk situasi dengan memberitahunya tentang kejadian yang sebenarnya. "Tentu, Pak. Saya akan menginformasikan jika ada sesuatu yang perlu Pak Key ketahui," jawabnya hati-hati.Key mengangguk singkat. "Baiklah, aku ercaya padamu, Djuwira. Tapi, jangan ragu untuk memberitahuku jika ada masalah, baik itu terkait pekerjaan maupun hal
Key menggaruk kepalanya dengan ragu. "Ah, ya ... itu karena aku sangat lapar," jawabnya sambil mencoba menutupi ketidaknyamanan saat Uwais muncul di jam makan malam bersama Djuwira.Uwais tersenyum lebar. "Baiklah, aku akan ikut makan. Kapan lagi bisa makan pizza gratisan. Lagi pula ini terlalu banyak kalau kau habiskan sendiri."Key menggelengkan kepala dalam hati, berharap Djuwira sudah aman di dalam kamar. "Tentu, silakan." Dia mencoba menjaga agar suasana tetap santai.Djuwira, dari balik jendela, mendengar percakapan mereka dengan perasaan campur aduk. Dia berharap Uwais tidak bertanya tentangnya. Tetapi, dia juga penasaran dengan apa yang akan mereka bicarakan.Dari jendela, Djuwira bisa melihat bagaimana Key dan Uwais duduk di meja makan sambil berbincang-bincang. Mereka tertawa dan berbicara dengan akrab, membuat Djuwira semakin penasaran.Tiba-tiba, Djuwira teringat bahwa dia seharusnya tidak berada di dekat jendela. Dia ada di rumah Key sebagai penolong terapi, bukan untuk m
Key mengerti dan meminta Djuwira turun dan duduk di karpet seperti dirinya sekarang. Mereka berhadapan dan saling berpandangan."Terus, Dok?""Tarik napasmu dalam-dalam, persiapkan mental. Katakan pada dirimu kalau mau berubah. Kontrol otakmu jangan sampai berpikir negatif. Tanamkan juga kalau kau ingin melupakan trauma itu."Key menarik napas panjang, lalu mengembuskan udara pelan-pelan dari mulut. Dia memejamkan mata dan mengucapkan kalimat-kalimat positif agar tubuhnya merespon. Perlahan dokter Vino meminta Djuwira membuka maskernya. Meski ia ragu, tapi janjinya membantu Key harus dijalani.Key membuka kedua kelopak matanya yang mengayun pelan. Sedikit demi sedikit sosok Djuwira bisa dilihat. Awalnya pandangan Key tidak mengarah ke tompel. Ia berusaha mengalihkan fokus ke kening, mata dan hidung. Alisnya mulai berkerut saat meluaskan fokus tersebut ke semua wajahnya.Key memejamkan matanya kembali secara refleks. Djuwira sadar kalau bosnya belum bisa menerima situasi dan segera mem
Ketika mereka selesai sarapan, Key memperhatikan Djuwira yang sibuk membersihkan meja dan mencuci piring. Sejenak, tatapannya terfokus pada wanita itu yang begitu terampil dan teliti dalam pekerjaannya. "Djuwira, aku punya sesuatu untukmu," ucap Key tiba-tiba, membuat Djuwira menoleh ke arahnya dengan rasa penasaran."Apa itu, Pak?" tanyanya, mencoba menyembunyikan kegembiraannya.Key tersenyum lembut, lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku celananya. "Ini untukmu," ujarnya sambil memberikan kotak tersebut pada Djuwira.Dengan hati-hati, Djuwira membuka kotak tersebut dan terkejut melihat sebuah liontin cantik berbentuk bunga di dalamnya. Dia memandang Key dengan tatapan terharu. "Pak, ini terlalu berharga bagiku," ucapnya dengan suara gemetar.Key mengangguk. "Aku tahu hari-harimu belakangan ini tidak mudah, dan aku ingin memberikan sedikit kebahagiaan bagimu. Terima kasih atas semua yang sudah kau lakukan," ujarnya tulus. Key merasa ada perubahan sejak melakukan terapi tadi
Key sepertinya tidak terlalu keberatan dengan pelukan itu. Dia menganggapnya sebagai ungkapan kebahagiaan Djuwira atas kemajuannya. Sepertinya hubungan mereka sebagai atasan dan bawahan semakin dekat setelah melewati masa-masa sulit bersama.Key masih sedikit terkejut dengan pelukan tiba-tiba itu, namun dia mencoba menenangkan diri. Dia menepuk punggung Djuwira pelan. "Tidak apa-apa, Djuwira. Aku mengerti perasaanmu," ujarnya sambil tersenyum.Setelah pelukan singkat itu, mereka kembali duduk di bangku taman. Suasana menjadi sedikit canggung setelah kejadian barusan. Namun, Key berusaha mencairkan suasana dengan membicarakan hal lain."Ngomong-ngomong, Djuwira, kau sudah berencana akan melakukan apa setelah sembuh nanti?" tanya Key mencoba mengalihkan pembicaraan.Djuwira tampak berpikir sejenak. "Saya belum terlalu memikirkannya, Pak. Yang pasti saya ingin kembali bekerja dan bisa cari pekerjaan sampingan lagi," jawabnya."Bagus kalau begitu. Kau masih muda dan masih banyak kesempata
Djuwira merasa tegang mendengar nama itu. Dia ingat betul bagaimana Andre sering membuatnya merasa tidak nyaman dengan ejekan-ejekan kasarnya tentang tompel. Namun, dia mencoba untuk tetap tenang."Dia ada di dalam? Terima kasih, Pak," jawab Djuwira singkat sambil mencoba menutupi kecemasannya.Pria itu mengangguk pelan, memahami situasinya, lalu kembali ke posnya dengan wajah yang masih memancarkan kekhawatiran. Dengan langkah-hati, Djuwira masuk ke dalam rumah.Di dalam, suasana terasa berbeda. Djuwira bisa merasakan ketegangan atmosfer sekitar. Andre duduk di ruang tamu dengan sikap yang terlihat agak gelisah. Ketika mata mereka bertemu, Andre tersenyum pahit."Hei, Lu masih di sini?" tanyanya dengan nada yang agak kasar.Djuwira menelan ludah sebelum menjawab, mencoba menenangkan dirinya sendiri. "Iya, Kak. Pak Key belum pulang, dia pergi ke kantor lagi."Andre mengangguk, tapi ekspresinya masih gelisah. "Gua butuh uang, Dju. Bisa Lu pinjami Gua sedikit?"Meskipun hatinya tidak n
Djuwira melangkah dengan hati-hati keluar dari kamarnya, berusaha untuk tidak membuat suara berisik yang bisa menarik perhatian Andre. Setiap langkahnya dipertimbangkan dengan cermat, seperti seorang prajurit yang berusaha untuk tidak terdeteksi oleh musuh.Napasnya keluar dengan lega, lalu menuju gerbang. Satpam melihat Djuwira terengah-engah kemudian meminta tolong agar dibukakan pintu."Nona, ada apa?""Pak, saya mau keluar," jawabnya."Iya, tapi kenapa, Nona? apa Tuan Andre membuat Nona gak nyaman?"Djuwira mengangguk cepat. "Ya, Pak.""Ya, ampun! kalau gitu Nona ke ruangan saya aja, tunggu Tuan Muda di sana," tawarnya.Sebelum Djuwita menjawab, teleponnya berdering. Key langsung menghubungi Djuwira begitu membaca pesan singkatnya."Halo, Pak!" sapanya."Djuwira, maaf aku baru baca. Andre masih di sana?" tanya Key."Ya, Pak. Tuan Andre masih di sini. Bapak lama lagi pulang?" tanya Djuwira."Oh, aku sudah dalam perjalanan pulang. Kau tunggu saja di sana.""Ya, Pak." Djuwira menurut
Djuwira duduk termenung di sofa, memutar-mutar pilihan yang harus diambil. Menjadi supir pribadi Key tentu merupakan kesempatan yang menggiurkan dari segi finansial. Namun, dia juga menyadari bahwa pekerjaan itu akan membawa konsekuensi sosial yang cukup besar baginya.Setelah berpikir sejenak, Djuwira memutuskan untuk menerima tawaran tersebut. Dia membutuhkan uang tambahan untuk melunasi utang-utangnya, dan gaji tiga kali lipat dari pekerjaannya sebagai cleaning service di kantor Key merupakan kesempatan yang tidak bisa dia lewatkan begitu saja.Keesokan harinya. Dengan langkah mantap, Djuwira melangkah ke ruang kerja Key untuk memberikan jawabannya."Pak Key, saya bersedia menerima tawaran untuk menjadi supir pribadi Anda," ucap Djuwira dengan tegas begitu dia memasuki ruangan.Key tersenyum puas mendengar keputusan Djuwira. "Bagus sekali. Aku yakin kamu akan melakukannya dengan baik," ucapnya ramah."Terima kasih, Pak. Saya akan berusaha sebaik mungkin," jawab Djuwira sambil meras