POV Arini
Jam 3 pagi Aku terbangun, setelah cuci muka. Aku melangkahkan kaki kedapur, sebelumnya kusempatkan untuk membangunkan Surti dan Inah membantu menyiapkan sarapan untuk semua penghuni rumah ini.
Entah kenapa hari ini Aku sangat senang sekali, mungkin karena kedatangan Anakku satu-satunya. Setelah sekian lama kami terpisah jarak dan waktu, kesempatanku bertemu dengannya hanya beberapa kali, itupun dalam waktu yang tidak lama ketika Aku pulang kekampung halaman. Sedih rasanya tidak bisa melihat bagaimana Ia tumbuh, bahkan untuk menyuapi makan aja ketika ia kecil bisa dihitung hanya beberapa kali saja. Untung ada Ayah dan Ibuku yang bantu merawat buah hatiku.
Ibu meninggal setahun yang lalu, beberapa bulan setelah itu Ayah ikut pergi menyusul Ibu, Aku ijin Pak Agus dan istrinya untuk pulang beberapa minggu lamanya. Perasaan sedih yang sangat mendalam kurasakan kehilangan sosok orang tua yang telah melahirkanku, mereka adalah sosok orang tua yang sangat sederhana. Teringat, ketika masih remaja Aku salah melangkah dalam menjalani sebuah hubungan, Aku bahkan sampai tega meninggalkan kedua orang tuaku hanya demi ikut pria tersebut, Aku menjalani nikah siri dengannya, karena ternyata orang tua lelaki tersebut tidak setuju kalau anaknya akan menikahiku, yang hanya dari keluarga sederhana. Disamping itu, orang tuanya juga telah memilihkan pasangan sendiri untuknya. Namun karena kebulatan tekad cinta kami, kami nekad menjalani hidup berdua, walau hidup di sebuah kontrakan yang sangat-sangat sederhana. Setiap hari kami lalui dengan kebahagiaan, walau hidup dengan apa adanya. Karena bagi kami, bisa menjalani setiap detik waktu bersama pasangan yang dicinta adalah kebahagiaan yang tiada duanya.
Aku masih ingat, saat tahu pertama kali Aku hamil, tidak terbayang betapa bahagianya wajah suamiku. Bahkan semua penghasilan suamiku hari itu yang didapatnya dari kerja serabutan, dihabiskan untuk membelikan kue-kue kering yang sangat banyak, kemudian dibagikan ke tetangga-tetangga sekitar dan setiap orang yang dijumpainya ketika dijalan. Kami sangat bersyukur dengan berkah kehamilanku, Aku masih ingat dengan sangat jelas, tidak pernah lepas senyum dari wajahnya seharian itu.
Katika perutku semakin membesar, Aku dibuat syok dengan sebuah kenyataan yang paling pahit dalam hidupku, yaitu kabar hilangnya suamiku. Dari sore Aku menunggu kepulangan suamiku, bahkan hingga larut malam tidak juga kujumpai sosoknya. Aku sangat cemas, khawatir dengan keadaannya, kenapa sampai larut suamiku masih juga belum pulang.
Untungnya Aku punya tetangga-tetangga yang baik, mereka ikut menghibur dan menguatkan Aku. Bahkan, mereka banyak yang ikut mencari suamiku ketempat kerjanya karena hingga esok harinya Ia masih belum pulang kekontrakan kami. Kecemasanku makin menjadi-jadi, karena beberapa hari setelahnya suamiku masih belum juga pulang ke rumah. Para tetangga ikut membantu melaporkan hilangnya suamiku ka kantor polisi, namun hingga beberapa minggu setelahnya, beritanya masih juga nihil, Suamiku seolah hilang begitu saja ditelan bumi.
Melihat keadaanku yang semakin lemah, uang ditangan juga sudah tidak ada. Untuk kebutuhan makan sehari-hari para tetangga sepakat untuk membantuku. Hingga akhirnya mereka mengusulkan agar Aku untuk pulang sementara, kekampung halaman biar ada keluarga yang menjaga jelang kelahiranku. Sementara mereka terus mencari kabar keberadaan suamiku.
Ketika pulang ke kampung. Awalnya, kukira orangtuaku tidak akan mau menerima kehadiranku, karena bagaimanapun Aku menikah tanpa restu dari mereka. Tapi begitulah orang tua, sesalah-salahnya anak melangkah, namun kasih sayang orangtua pada anaknya tidak pernah tergantikan, sebesar apapun salah anaknya. Itulah yang kulihat dari kedua orangtuaku, bahkan mereka tidak pernah mengungkit-ungkit kesalahanku sedikitpun. Mereka menyambutku dengan penuh kasih sayang.
Bahkan ketika anakku lahir kedunia ini, mereka yang paling sibuk sendiri, mulai dari memanggil dukun beranak (saat itu belum ada bidan desa), serta mengurus semua keperluanku. Tidak terlukis, betapa bahagianya mereka saat itu.
"Lihat Yah, cucu kita laki-laki.. kesampaian juga nih Ayah punya keturunan laki-laki." tatap ibuku penuh haru.
"Iya Bu, ini akan jadi penerus keluarga Abu Fikri, dia akan kuat dan tangkas seperti Kakeknya." kata Ayahku penuh bahagia.
Begitulah kebahagiaan Ayah dan Ibuku saat itu.
"Coba deh Bu, dah pas belum bumbunya nih ?" tanya Inah membuyarkan lamunanku.
"eh.. iya nah." kataku sambil mencicipi nasi goreng yang sedang dibuatnya.
"hmnnn kurang garamnya dikit ini, bumbu olahan tadi sudah dimasukan ?" tanyaku. Karena seperti biasanya, Aku yang mengolah bumbu masakan, jadi mereka berdua ini yang bagian memasaknya.
"Sudah kok Bu." jawab Inah sambil menuangkan sedikit garam kedalam nasi goreng yang sedang dimasaknya.
"hmmmnn si Ibu, jadi senang banget sampe melamun gitu!" celetuk Surti disamping Inah sambil senyum-senyum tengil.
"loh Aku lo belum lihat anak bu Arini." sela Inah sambil masak.
"hmmn anaknya bu Arini ganteng baanget loh Nah!" puji Surti sambil mencuci piring disamping bu Arini.
"Beneraan ?" tanya Inah penasaran.
"ihh benerrr, Aku aja jadi pengen nikah lagi begitu lihat wajah gantengnya." Cerita Surti makin bersemangat.
"ihh mau dong lihat orangnya!" ucap Inah sambil senyum-senyum.
"eeleh eleehh, kalian ini, kerja-kerja masih sempat aja ngerumpiin cowok, gak lihat apa Ibunya masih disini malah ngomongin anaknya." jawabku sambil ketawa lihat tingkah mereka.
"Ibuuuu.." jawab mereka kompak sambil tersenyum
"hadeeehhh ada-ada aja kalian nih, dasar ABG lawas."
"ihh Ibu, ABG lawas kita dibilangnya." jawab Inah manyun.
POV Awan Hoaammm.. pagi ini Aku terbangun dengan badan sedikit pegal. Kulihat sekeliling, Aku sedikit kaget, kok tidur diatas tempat tidur yang bagus dan sangat empuk begini ? Dengan ruangan yang sangat asing bagiku, astaga Aku baru ingat kalau saat ini tidur di rumahnya majikan Ibuku. Kulihat jam di dinding kamar jam 3.40 dini hari. Aku siap-siap dulu. Sejenak Kulihat hape jadulku, ada beberapa sms dan panggilan tidak terjawab, Aku lupa kalau dari kemarin hape kusilent. From Kak Rini 081xxxx "Awan jadi dijemput ibumu ?" "Jadi ketemu ibunya ?" "Awaann kok g di bales ?" "Kamu gak apa" kan, gak nyasar kan dek?" Ada beberapa sms dari kak Rini ternyata, kusempatkan balas pesannya. "Udah sampai Kak, ini baru bangun. Maaf yah kemaren hpnya di silent jdnya gak tau kalau kk sms", balasku. send. Ting tingg.. Loh cepat kali balasnya ? gak tidur nih apa si mbak-mbak, pikirku. "hmnnn kk kira kamu kenapa-napa ? :(" "hehee aman kok kk cantik :)" balasku. "Ya udah siap-siap sana gih!
"Kamu kemana sih Awaan ? baru juga hari pertama dah main ngilang-ngilang aja ?" ujar Renata sewot saat Aku sudah didepannya. "Itu,, tadi lagi ngobrol sama Ibu dibawah." jawabku agak kikuk didepan Ren. "hmmnn kamu mandi dulu gih, tuh pakaiannya dah Ren tarok diatas tempat tidur." Ucap Ren sambil menunjuk keatas tempat tidurku, dan disana terlihat satu stel pakaian sekolah yang sudah dilipat dengan rapinya. "Awas yah kalau dalam 10 menit kamu belum siap." tunjuknya kehidungku sambil dengan gaya sedikit melotot gemas menatapku. "Oke siap bos!" jawabku pake pose hormat. "Ingat, yang cepat yah!" katanya sebelum keluar dari kamarku, terlihat Renata seperti menahan senyumnya ketika keluar dari kamarku. Ketika dikamar mandi Aku sempat bingung, aduh mana bak airnya, mana cuma ada tempat duduk (closet) begini, gimana mandinya ? pikirku bingung. Cuma ada tempat cuci tangan kecil (westafel) gak mungkin kalau mandinya dari air sini ? hmnnn Aku buka tempat duduk (closet) yang ada didekatku, te
Pagi itu kami makan, tanpa didampingi oleh pak Agus dan Istrinya, ternyata pas Aku mandi tadi, mereka telah pergi duluan. Kata Ibu, pak Agus dan Istrinya pergi ke Singapur untuk mengurus pekerjaan mereka yang disana.Setelah sarapan, Aku pamit dan salim sama Ibu. Anehnya Ren, kulihat juga ikutan salim pada Ibu dengan cara yang sama, entah karena biasa begitu atau hari ini aja karena mengikutiku, entahlah! Aku hanya tersenyum saja melihatnya.Kami diantar oleh Pak Usman supir pribadi keluarga Wijaya ke sekolah. Ketika sampai digerbang sekolah, sekali lagi Aku dibuat terkagum dengan kemegahan sekolah tempat Aku akan menimba ilmu ini. Dari dalam mobil kulihat gedung sekolah ini yang terdiri dari beberapa lantai."Udah ahh, jangan gitu banget lihatnya." tegur Ren yang duduk di sebelahku."eh iya..""oh ya, nih!" kata Ren sambil memberikan sebuah amplop berwarna coklat kepadaku."Apa nih Ren ?" tanyaku heran"tau tuh, Papah yang nitip tadi, buat Kamu." katanya kalemKetika kubuka, kulihat i
"Saktiawan S. Wijaya," terdengan suara staff TUnya memanggil namaku. "eh iya, saya Mbak." jawabku berdiri dengan mendekat ke depan mejanya. "Ini persyaratanya sudah lengkap yah. nanti kamu langsung masuk aja kekelas, sesuai rekomendasi dari pak Kepala kamu masuk kekelas 2 IPA 1. Untuk kelasnya tar di antar sama pak Ujang, satpam sekolah." sambil menyerahkan beberapa lembar kertas, kulihat ada map sekolah lengkap dengan kelasnya. "eh gak usah Mbak, biar saya sendiri aja gak apa-apa." tolakku ramah. "oh ya udah kalau begitu, dan ini kunci loker kamu." sambil menyerahkan 2 buah kunci yang ada nomornya padaku. "Didalamnya sudah ada seragam olah raga, dan satu stel seragam sekolah." lanjutnya. "Ada pertanyaan lagi ?" tanyanya tersenyum ramah. "hmnn gak ada Mbak, sementara cukup jelas infonya. Nanti kalau ada yang ragu, saya tanyakan sama Mbak lagi aja." "Oke deh. selamat bergabung di sekolah ini yah!" katanya sambil tersenyum manis padaku. "oh oke mbak... Aku masuk kelas dulu yah."
Kemudian tampak Bu Shinta memperhatikan jawabanku dengan seksama, serta dengan raut wajah seakan tak percaya. "Jawabannya tepat, tapi kok rumusnya begini ?" tanya Bu Shinta heran. "Ada yang salahkah memangnya Bu ?" jawabku dengan balas tanya pada Bu Shinta . "Gak salah, selama jawabannya benar. Tapi, Saya heran saja, karena selama ini belum pernah Ibu belajar rumus matematika manapun seperti yang kamu tulis didepan, rumus apa yang kamu pakai ?" tanya Bu Shinta heran. "Trachtenberg." jawabku singkat dan padat. "Hah apa ?" tanya Bu Shinta seolah ingin memastikan kembali jawaban yang didengarnya. "Trachtenberg." Ulangku dengan sedikit penekanan. "Apa itu ?" tanya Bu Shinta , merasa asing dengan istilah yang kugunakan. "Metode Trachtenberg lebih tepatnya bu." "hmnnn..." gumam Bu Shinta sambil agak mengernyitkan alisnya sambil berfikir apa Ia pernah belajar atau mendengar metode seperti yang Aku sebutkan barusan. "itu adalah sebuah metode matematik dalam memecahkan setiap permasal
"Asem ngejek loe bray, sekali nyeletuk pedes lu ah." Umpat Novi kesal. "hahaha.." Aku dan Radit tertawa. "Novi.. Radiitt, kalian yah! berani-beraninya melarikan Awan dari kami." kata salah seorang cewek dikelasku tadi sambil berdecak pinggang tepat berdiri dibelakang Novi. Dibelakangnya disusul oleh 4 orang teman-teman geng-nya. "Awas Dit, sana jauh-jauh... hussshh husss, gue mau duduk sebelah Awan." kata temannya mengusir Radit untuk menjauh, si Radit jadi manyun begitu jadinya, hahaha. Tiba-tiba dua orang cewek langsung duduk mengapitku dari kiri dan kanan, sontak Aku kembali dikelilingi cewek-cewek centil dari kelasku. "eh Sherla ngapain masih berdiri disitu, duduk sini!" Panggil salah seorang cewek disampingku. Dari mereka berlima, baru Sherla yang Aku kenal karena ia teman semejaku, walau belum sempat berkenalan dan hanya tahu lewat nama yang ada diseragamnya. "eh iya, jawabnya pelan." kalau kuperhatikan, Sherla ini tipikal gadis yang pendiam. "Awas Novi, geser sana, kasih
POV Author "Kamu yakin nak ?" Ucap seorang wanita diseberang telphon. "Belum 100% mom, perlu aku pelajari lebih lanjut". "Dekati dia, terserah bagaimanapun caranya. Yang jelas jangan sampai papah atau.. kakekmu mu tahu, kalau tidak kita tidak akan bisa mengorek tentang dirinya lebih jauh, atau lebih parahnya, 'dia' akan disingkirkan". jelas wanita diseberang telphon dengan intonasi yang serius. "Ya mom, akan kulakukan" "Tapi, satu pesan mami. Jangan sampai dia tahu tujuanmu yang sebenarnya, mengerti ?" "okay mom, noted it" "Satu lagi, sekali-kali pulanglah. Jenguk nenek, dia kangen dengan mu". "Ya mom, tar deh aku pulang. Sekarang lagi sibuk disekolah soalnya". "ya sudah, mami tutup telpnya, jaga kesehatanmu disana ya, bye", kata wanita diseberang mengakhiri percakapan mereka melalui telphon. "bye mom". Jawab si Wanita Sambil menutup panggilan telphonnya. POV Awan Gara-gara seorang Renata yang tiba-tiba memelukku siang itu di kantin sekolah, kini semua orang disekolahan men
Pagi ini, entah kenapa aku merasa canggung dan malu sendiri ketika datang kesekolah, walau aku masih terhitung sebagai anak baru. Tapi beda halnya dengan apa yang terjadi pagi ini, setiap orang jadi tiba-tiba kenal denganku."Kak Awaaann." Panggil segerombolan cewek-cewek kelas satu ketika aku lewat depan kelas mereka."Hai Awaann." Sapa beberapa anak kelas 2, yang tak kutahu kelas apa, ikutan menyapaku ketika jalan didekat mereka.Tak ayal, semua orang yang kulewati jadi menyapa sepanjang jalan menuju kelasku. Aku hanya menyapa sekedarnya. Njiirr, belum juga jadi pacarnya Ren, sudah begini tanggapan orang-orang padaku. Memang susah yah kalau dekat dengan orang se-populer Renata. Aku yang sudah terbiasa apa adanya dan paling tidak suka menonjolkan keberadaanku, tiba-tiba jadi seperti mendadak selebritis, jujur aku sedikit jengah dan merasa kurang nyaman dibuatnya. Jika seandainya ada pilihan antara menjadi orang yang terkenal atau pria yang biasa-biasa saja! Maka aku pasti akan lebih m