"Mama pergi, Fi. Dia sama sekali tak menyayangiku. Papa bahkan tak tahu saat anak-anak lain mengejekku. Mama memang jahat. Dia memang seperti yang orang-orang katakan. Aku benci Mama," rengekku saat itu, dengan linangan air mata.
"Nanti juga kembali," sahutnya lembut. Saat itu dia masih memakai seragam SMA yang baru beberapa bulan dipakainya.
"Kata Papa, Mama tidak akan kembali. Kalaupun kembali, mereka selalu saja bertengkar. Aku bosan. Mereka berdua selalu berucap kata-kata kasar. Mereka sama sekali tidak peduli, meski aku berteriak."
"Tidak usah dipedulikan. Harusnya kau berada di dalam kamar saja. Kau bisa membaca buku atau belajar. Kalau nilaimu membaik, mungkin mereka akan lebih memperhatikanmu."
"Papa bahkan tidak tahu, kalau hari ini aku menerima rapor. Bertanya pun tidak. Perhatian apanya?"
"Sudah, tidak apa-apa. Bukankah Ayahku sudah mengambilkan rapor untukmu?"
"Hm." Aku mengangguk. "Aku ingin menjadi anak Ayahmu saja.
Siang ini aku datang ke kios Kahfi membawakan makan siang. Memberikan senyuman kepada seorang wanita paruh baya yang sedang menunggui anak laki-lakinya memotong rambut.Aku meletakkan rantang yang sudah disiapkan Ibu mertua di atas meja kecil, di samping kursi bambu. Hari ini, dengan senang hati aku membantunya memasak. Meski hanya mengupas bawang dan memetik sayuran. Karena hal itu, aku jadi menuai banyak pujian dari para netizen, tentu saja karena aku melakukannya sambil melakukan live di akunku. Keren bukan?"Ayo makan!" Aku memeluk pinggang Kahfi dari belakang."Haish...." Dia begitu terkejut hingga sisir yang dipegangnya terjatuh. "Apa yang kau lakukan?" Dia menggeram, dengan setengah berbisik.Aku melirik wanita itu dari pantulan cermin, matanya melotot sebentar, lalu berkedap-kedip melihat adegan kami. Bibirnya dimiringkan ke sana kemari. Aku tersenyum, dan memutar tubuh tanpa melepaskan suamiku."
"Di sini saja. Tak apa. Nanti pun Abang akan ceritakan juga padanya."Aku mengulas senyum. Not bad. Kahfi akhirnya bisa menghargai perasaanku.Gadis berkulit kuning langsat itu, melangkah dengan ragu. Lalu masuk sambil menyodorkan boneka itu."Apa ini?" Suara khas Kahfi bertanya dengan nada heran."Ara mau mengembalikan ini." Kulirik mata Kahfi yang sedikit terpejam. So, boneka itu dia yang berikan? Sialan. Sudah sejauh apa rupanya hubungan mereka?"Buat Ara saja. Kenapa dikembalikan?""Tidak mau. Ara tidak mau lagi menyimpannya.""Tidak apa-apa. Sudah Abang berikan. Tak baik mengembalikan barang yang sudah diberi. Kalau tidak suka, Ara bisa berikan pada orang lain.""Tidak mau. Abang jahat. Ara benci sama Abang." Dia meletakkan boneka itu di pangkuan Kahfi, lalu berlari pergi. Sambil menangis tentunya. Hanya itu saja senjatanya.Coba saja kejar dia, Fi. Biar kupatahkan kakimu itu. Bitchi!
Sudah hampir pukul sepuluh malam. Tak lama dia muncul dari balik pintu. Aku menyambutnya dengan penuh senyuman."Kau sudah makan?" tanyanya, begitu masuk."Sure. Aku bahkan mencuci piring," sahutku penuh kebanggaan."Oh, ya? Pelangganku ramai saat malam. Aku tak sempat melihat siaran langsungmu kali ini," sindirnya."No, kahfi. Aku memang tidak melakukannya. Kau sedang mengejekku, ha?" Dia tertawa. "Kau mau mandi?""Ya.""Oke. Buka pakaianmu. Aku akan mengambilkan handuk.""Berikan saja handuknya. Aku akan ganti di kamar mandi.""Why? Kau masih malu membuka celana di depanku?""Ada-ada saja kau ini.""Aku sudah pernah melihatnya dulu. Apa ukurannya tidak bertambah, hingga kau harus malu jika aku melihatnya?""Hei! Kau bicara apa? Jangan bicara sembarangan. Kau tidak punya rasa malu, ha?" Dia menunjuk-nunjuk wajahku."Kau tidak perlu malu. Meski ukurannya masih seperti dulu, ak
Saat ini adalah hari yang begitu membuatku tak bersemangat. Jika teringat saat Kahfi benar-benar menolakku, membuatku kembali berpikiran buruk tentang dia yang sedang menyia-nyiakan wanita idola sepertiku.Bagaimana dia bisa melakukan itu? Bahkan seorang pria bisa melakukan hal intim, dengan wanita yang baru saja ditemuinya, jika terus-terusan digoda seperti ini. Aku sudah seperti kehilangan harga diri di depan sahabat yang kini sudah menjadi suamiku itu.Kuputuskan untuk berbenah kamar saja. Menggulung karpet, dan meletakkannya di atas ranjang. Membersihkan debu-debu di lantai, untuk kemudian kembali membentangnya. Ya, aku punya aktivitas rutin sekarang.Kulihat ada beberapa lembar uang di atas meja belajar. Meja yang kini sudah kupakai sebagai meja rias. Mungkin itu hasil kerjanya malam tadi. Aku tersenyum, menghitung berapa penghasilan yang ia terima selama seharian penuh. Bahkan jumlahnya masih kurang jauh dari biaya salonku s
"Kenapa kelinci itu masih di situ? Kau ingin menjadikannya maskot kedaimu?" Aku melirik boneka yang dikembalikan Ara yang masih terletak begitu saja di atas meja."Lalu, harus kuapakan lagi?""Buang saja. Seleramu jelek. Aku tidak akan mungkin menerimanya, jika kau membelikanku boneka seperti itu."Dasar brengsek!Dia bahkan tak pernah sekalipun membelikanku sebuah boneka. Lebih kecil dari itu juga sebenarnya tidak masalah. Dasar gadis sialan. Bisa-bisanya dia mendapatkan itu dari suamiku."Ya, aku tahu. Aku juga tidak ingin membelikannya untukmu," sahutnya, dengan santai."Kau memang selalu seperti itu padaku." Aku berdecih."Kau sudah punya banyak, Key. Aku melihat puluhan boneka saat ulang tahunmu yang ke sepuluh. Untuk apalagi aku membelikannya. Benda-benda itu tidak akan habis meski sudah puluhan tahun berlalu.""Alasan!""Bagaimana pertemuan dengan Mamamu tadi? Kau tidak
"Key baik-baik saja, Pak. Anda tidak perlu khawatir.""Ya, ya, ya. Aku bisa melihatnya. Kurasa hanya denganmu dia bisa bersikap manja, dan tertawa seperti tadi, kan?" Tawanya kembali terdengar. Aku sedikit tertegun, seperti melihat Papa yang dulu aku kenal.Papa yang dulu. Dulu sekali.Lalu, sudah sejak kapan mereka berada di sana memperhatikan kami. Memalukan. Kulirik sekilas wajah Erik, dia tampak begitu kecewa.Oh, good. Setidaknya aku bisa melihat hatinya hancur saat melihat aku tertawa bersama Kahfi."Maaf, lain kali aku akan datang membawa Key, jika anda memanggil kami.""Baiklah. Tak apa. Aku mengerti. Aku dan Erik hanya sedang melihat-lihat tanah di sekitar sini, jadi kami putuskan untuk singgah. Kau juga membuka kedaimu saat hari Minggu, ya. Kau sangat gigih rupanya," puji pria yang menggunakan busana santai itu."Benar, Pak. Biasanya hari Minggu pelanggan lebih ramai yang datang. Sayang kalau tidak di
"Apa kau tidak punya pertanyaan lain, ha?" Dia melepaskan tubuhku, dan mulai menjauh.Berpindah tempat untuk duduk, dimana biasanya kami berada. Dia meletakkan bokongnya, dan menyandarkan diri dengan santai. Lalu, langsung mengeluarkan sebungkus rokok, yang kini selalu tersimpan di kantong celananya. Licik sekali dia."Kau tak ingin menjawab?" tanyaku lagi."Itu pertanyaan konyol. Aku tak mau ketularan sakit jiwa dengan menjawabnya." Dia mulai menyulut api."Baiklah! Aku juga tak mau berlama-lama bicara dengan orang yang terlampau waras sepertimu. Kurasa aku mulai nyaman hidup sendiri dengan kegilaanku.""Kau mulai lagi!"Shit!Selalu saja seperti itu. Apa sedikit pun dia tidak punya hati? Ah, tidak. Tentu saja dia punya. Tapi sayangnya, itu bukan untukku."Oke. Kurasa aku harus pergi. Ada sesuatu yang ingin kukerjakan."Aku berbalik, dan melangkah keluar."Hei, kau mau kemana?"
"Ya. Aku cemburu. Kau puas?"Oh, shit."Lalu kenapa kau tak ingin menyentuhku. Bukankah cemburu itu, artinya kau juga menginginkanku? Apa kau jijik karena kau pikir aku sering tidur dengan sembarang pria? Kau pikir aku seorang jalang, ha?""Jaga ucapanmu, Key. Kapan aku pernah menuduhmu seperti itu?" ucapnya setengah berbisik."So, why?"Dia memejamkan matanya perlahan, dan aku paham maksud dari reaksinya itu. Dia mungkin merasa lelah, dan enggan untuk berdebat dan menjawab semua pertanyaanku."Kau izinkan aku masuk ke rumah, dan tidur di kamarmu atau tidak?" Aku juga mulai menurunkan nada bicaraku.Dia melonggarkan pegangannya dari bahuku."Itu kamar kita. Masuklah."Aku menepis sentuhannya, dan bergegas masuk tanpa menoleh lagi.Brengsek kau Kahfi!Aku melempar asal tas mungil yang kujinjing tadi. Lalu menghempaskan diri ke ranjang. Tubuhku menelungkup dan membena