Share

Part 2. KEHIDUPAN BARU

“Dasar gadis pemalas! Jam segini belum bangun!”

Vellza begitu terkejut saat aliran air yang deras dan kuat menghantam tubuhnya dengan keras. Suaranya begitu jelas saat air menyerbu tubuhnya. Wajah Vellza tampak terkejut, mulutnya terbuka lebar seperti ikan yang kehabisan nafas.

“Ampun, Bu … ampun!”

Matanya masih terpejam, tapi ekspresinya penuh dengan kebingungan dan keheranan karena tidak mengharapkan hal tersebut sebagai hukuman dari ibu tirinya.

Apalagi Vellza baru bangun tidur, ia masih dalam keadaan mengantuk dan belum sepenuhnya sadar. Tiba-tiba, ia merasakan sesuatu yang basah dan segera menyadari bahwa ada air yang mengenainya dan pelakunya adalah Anne, ibu tiri Vellza.

“Ya, itulah hukuman yang pantas kau dapatkan karena bangun siang! Gadis kok bangun siang, mau jadi apa kamu!”

Vellza masih menggigil karena hal itu, tapi ia tidak bisa berontak. Apalagi ia hanya sampah di keluarga mereka. Baginya salah atau benar semuanya tidak berarti.

“Cepat bangun, calon suamimu sudah menunggu di luar, jangan sampai pernikahan ini batal!”

“Suami?”

Seketika ia terbangun dengan peluh bercucuran. Ia baru ingat jika ia bukan lagi tinggal di rumah ayahnya melainkan rumah suami, yaitu Alfa Mahendra.

Detak jantung Vellza berdetak sangat kencang. Bahkan terlampau kencang bagai melompat dari tubuhnya. Ternyata ia baru saja mimpi buruk. Kenangan pahit kemarin masih tergambar jelas di kepalanya.

Sementara itu, Alfa yang baru saja membuka laptop begitu terkejut melihat kondisi istrinya. Ia bahkan langsung duduk dan memperhatikan dengan seksama tingkah Vellza selama beberapa detik. Ada keanehan di sana, maka dari itu perhatiannya tak lepas dari laptop.

Keningnya berkerut, seolah dipaksa untuk memikirkan hal lain yang harus ia pecahkan dengan segera. Alfa paham jika itu adalah ekspresi trauma yang tersembunyi di dalam tubuh Vellza.

Beberapa saat kemudian, Devon masuk dan meletakkan secangkir kopi di atas meja kerja Alfa. Tanpa melihat, Alfa bertanya pada Devon secara langsung.

“Dev, apakah hal itu perlu aku bicarakan dengan dokter pribadiku?” ucapnya sambil menunjukkan rekaman cctv kamar Vellza.

Tatapan tajam Devon segera mengarah pada laptop milik Alfa. Memperhatikan secara seksama apa yang terlihat di sana.

“Menurut saya, itu perlu dilakukan, Tuan. Saya rasa nyonya memiliki trauma, tapi ia tidak sadar akan hal itu.”

“Baiklah kalau begitu, segera atur jadwal untuk Nyonya dengan dokter pribadiku. Jangan sampai aku memiliki istri gila!”

Ucapan Alfa terdengar frontal, tapi Devon sadar itulah sikap Alfa yang sesungguhnya. Devon hampir saja tergelak akan ucapan Alfa barusan, tapi ia tidak mampu melakukannya karena Alfa adalah bos sekaligus teman baiknya.

“Baik, Tuan.”

Selepas ia menyiapkan segala keperluan Alfa pergi ke kantor, kini saatnya ia mengurusi Nyonya mudanya. Devon segera keluar dari kamar Alfa untuk memberitahukan tentang tugas-tugas Vellza hari ini.

Dengan cepat Devon melangkahkan kaki menuju kamar Vellza. Betapa terkejutnya Vellza ketika pintu kamarnya diketuk dari luar. Beruntung ia sudah selesai mandi dan tinggal bersiap keluar.

Devon tersenyum lalu meminta ijin untuk masuk, tapi Vellza melarangnya dan meminta berbicara di luar. Meski ia miskin, tetapi masih menjaga harga diri sebagai wanita. Pantang baginya memasukkan lelaki di dalam kamar.

“Baiklah, kita bicara di ruang keluarga saja. Itu ruangannya terbuka.”

Vellza mengangguk dan mengikuti langkah kaki Devon.

“Silahkan duduk.”

“Ini adalah beberapa berkas yang harus Nyonya tanda tangani. Lalu mulai besok pagi, Nyonya akan bekerja sebagai sekretaris Tuan Alfa di kantor. Tenang, status kalian aman. Masih disembunyikan.”

Ketegangan Vellza yang semula nampak kini perlahan pudar. Bergantikan kebingungan membaca surat kontrak yang begitu tebal dan banyak pasal tercantum di dalamnya.

“Nggak usah takut, Tuan Alfa tidak akan menyulitkan Nyonya. Tanda tangan saja dan jalani seperti permintaan Tuan.”

Bagaikan kerbau dicocok hidungnya, Vellza menurut dan langsung tanda tangan tanpa membaca surat kontrak tersebut. Setelahnya, Devon mengambilnya dan pergi.

Bukannya menenangkan Vellza lebih dulu, Devon justru membuatnya gelisah. Tanpa mau menunggu Vellza paham, Devon justru berlalu meninggalkannya sendirian setelah mendapatkan apa yang ia mau.

Keesokan harinya.

Hari ini Vellza benar-benar harus beradaptasi dengan rutinitas barunya sebagai sekretaris Alfa. Baju kantor yang sudah dipersiapkan Devon sama sekali tidak disentuh, bahkan ia memakai baju kebesaran hingga nampak jelek.

Sepanjang perjalanan, Devon tampak menahan senyum, takut jika Alfa melihat penampilan Vellza yang lebih tampak seperti boneka. Beruntung Alfa hanya fokus pada lembaran kertas di depannya.

“Dev, kasih Vellza semua pekerjaan yang sudah aku siapkan kemarin.”

“Baik, Tuan.”

Alfa langsung naik dengan lift khusus, sementara Vellza mengekor Devon menggunakan lift biasa. Sesuai perintah Alfa, Devon memberikan semua berkas pada Vellza. Tentu saja Vellza menelan ludahnya dengan susah payah di hari pertama bekerja,

Tugas-tugasnya menumpuk sangat banyak. Vellza bahkan tidak sadar jika ada salah satu karyawati yang sedari tadi berdiri di dekat biliknya demi mencari celah agar Vellza segera dipecat.

“Serius pekerjaan sebagai sekretaris sebanyak ini?” keluh Vellza sambil membuang nafas kasar.

“Tentu saja, kamu kira bisa mendapatkan hal mudah di dunia ini. Aku heran kok bisa Pak Alfa menerima karyawan model badut seperti kamu?”

Seketika Vellza melotot pada karyawati itu, “Apa mbak bilang?”

“Saya manusia, bukan badut!”

“Oh, ya? Kalau begitu pasti kamu pake susuk atau pelet sampai Pak Alfa menerima kamu jadi sekretaris.”

Sedetik berikutnya, Vellza menunduk karena Alfa dan Devon melewati biliknya. Begitu pula dengan karyawati itu langsung diam tak bergerak.

Meski tidak melihat secara langsung, tapi Alfa juga geram karena ada karyawan yang santai hingga berhasil mengganggu istrinya. Otak Alfa dalam sekejap menyusun rencana licik.

Sesampainya di ruang kerja Alfa.

“Sejak kapan ada karyawan bebas bergosip ketika jam kerja?”

Kening Devon berkerut. Alis keduanya menyatu. Devon yang semula sedang merapikan beberapa berkas melirik aneh pada Alfa. “Maksud Tuan, karyawati yang nempel pada bilik Nyonya tadi?”

“Hm.”

“Kalau itu sepertinya sejak Nyonya masuk sini.”

Alfa memutar kursi kerjanya sambil menatap tajam ke aran Devon. “Kenapa bisa begitu?”

Devon mengulum senyum, “Tentu saja bisa, bahkan semuanya juga bisa.”

“Tak mengerti dengan jalan pikiran Tuan, tapi sepertinya itu karena Nyonya masuk atas rekomendasi Tuan dan hal itu berhasil membuat banyak karyawan lain cemburu.

“Ha-ah?” Tentu saja Alfa tidak paham arah pembicaraannya dengan Devon.

Dalam pikirannya mana mungkin Vellza membuat wanita lain iri padanya. Bentuk tubuhnya saja rata, sama sekali tidak ada tonjolan yang membuatnya bergairah. Alfa tampak termenung, sementara Devon jengah.

“Apa perlu saya perjelas lagi, Tuan?

“Katakanlah, jangan berbicara hal yang tidak jelas di sini!” tegas Alfa.

Tanpa membuang waktu, Devon mulai membisikkan sesuatu di telinga Alfa. Sukses hal itu membuatnya tergelak. Bahkan jari-jarinya langsung bergerak lincah pada layar monitor di depannya.

Dalam benda berbentuk persegi panjang nan pipih itu, Alfa dan Devon bisa melihat penampilan Vellza secara dekat. Jika dilihat memang Vellza mempunyai gaya berpenampilan aneh. Padahal kalau berdandan pasti sangat cantik.

“Aku ada ide,” usul Devon dengan tersenyum licik.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status