"Hei, kamu! Ternyata ke sini." Rey ternyata mencari keberadaan Bianca. Dia menarik satu kursi lalu duduk beseberangan.
"Kamu, beneran tadi nolak ajakan bercinta dari Kak Danish?" telisik Rey. Bianca menatap laki-laki di depannya.
"Hei, aku gak kenal kalian itu siapa. Yang jelas kalian pasti ada hubungannya sama si Bandot tua itu."
"Bandot tua?" Kening Rey mengerut.
"Itu, orang yang menjualku sama kakak kamu," jawab Bianca polos.
"Apa? Kamu dijual? Wah gawat, berarti kamu harus melayani Kak Danish seumur hidup," ucap Rey mendekatkan wajahnya ke arah Bianca.
"Apa? No way! Buat aku, penghulu dulu baru tempat tidur!" jawab Bianca tegas.
"Lah, bapakmu juga sadis amat jual anak sendiri."
"Dia cuman bapak tiri. Orang yang tidak punya otak," jawab Bianca.
"Hahaha, kamu gadis pemberani ternyata."
"Tidak, aku justru penakut jika sudah berurusan dengan Bandot Tua itu. Aku takut karena ibuku sangat mencintanya." Bianca mengembuskan napas kasar.
"Lalu sekarang apa yang akan kau lakukan dengan Kak Danish?" Rey menatap lekat gadis itu.
"Entahlah, mungkin aku akan memintanya pekerjaan untuk melunasi uang yang sudah diambil oleh ayah tiriku," jawab Bianca gamang. Rey mengangguk pelan.
"Kak Danish itu orang yang baik, kok. Cuman dia memang ... doyan main perempuan," ujar Rey lirih.
***
Malam tiba, seorang pelayan menyampaikan jika Bianca diminta Danish menemuinya di ruang kerja. Tak punya pilihan, gadis itu pun menurut.
Ragu, Bianca mengetuk pintu itu pelan.
"Masuk!" Terdengar perintah dari dalam. Bianca membuka pintu itu perlahan. Rasanya seperti seekor ayam yang akan masuk ke sarang musang.
Bianca ragu-ragu melangkah. Danish mengangkat wajahnya dari buku yang dia baca. Bianca berdiri kaku. Dia benar-benar merasa kikuk diperhatikan seperti itu.
Danish bangkit dari kursinya. Dia mendekati gadis yang tampak gemetar.
"Kau begitu berani menolak keinginanku!" ucap lelaki itu seraya mengangkat dagu Bianca. Pandangan mereka bertemu.
"Kau tau? Tyo sudah menjualmu padaku. Jadi sekarang, aku berhak menikmati tubuhmu kapan pun aku mau." Danish berbisik di telinga Bianca, membuat gadis itu merinding seketika.
"Jangan coba-coba! Atau aku akan menendang selangkanganmu seperti pagi tadi!" jawab Bianca menggertak. Danish tertawa sinis. Tangannya terangkat, lalu mencengkeram wajah mungil itu.
"Kau tau? Tidak pernah ada perempuan yang menolakku," lirih Danish dengan tatapan nyalang. Bianca membalas tatapan itu dengan tak kalah nyalang.
"Dan kau juga harus tau, kalau aku bukan perempuan-perempuan itu!"
"Benarkah?" Danish makin mendekatkan wajahnya. Wajah Bianca memerah seketika.
"Prinsipku, penghulu dulu, baru tempat tidur!" ucap Bian tepat di muka Danish. Tawa Danish meledak.
"Jadi, maksudmu aku harus menikahimu dulu, begitu?" tanya Danish.
"Kau pikir, kau siapa ingin menjadi istriku? Masih banyak wanita yang lebih baik darimu yang bisa kujadikan istri." Mata Danish melotot seakan menahan amarah. Bianca membalasnya dengan senyuman hambar.
"Kau pikir aku mau menjadi istrimu, Tuan? Kau salah besar. Aku sama sekali tidak pernah berpikir memiliki seorang suami yang sudah dicicipi banyak perempuan. Membayangkannya saja aku jijik!" balas Bianca. Danish menyeringai lalu sedikit menjauh dari gadis itu.
"Sudahlah, Tuan. Kita tidak perlu membahas lagi soal tempat tidur. Aku sama sekali tidak tergoda seperti perempuan-perempuan yang kau sebutkan tadi.
"Aku bersedia menemuimu, karena aku ingin membicarakan uang yang sudah diambil bandot tua itu." Bianca meghentikan ucapannya. Kening Danish mengerut.
"Bandot tua? Tyo maksudmu?" Danish kemudian tertawa hambar.
"Aku bersedia bekerja padamu, sampai hutang bandot tua itu lunas," ucap Bianca percaya diri. Danish kembali mendekat.
"Dengan bekerja padaku, kira-kira berapa lama kau bisa membayar utang sebesar lima ratus juta." Ucapan Danish membuat mata Bianca terbelalak.
"Li-lima ra-tus ju-ta?" tanya Bianca meyakinkan diri. Danish mengangguk.
"Ta-tapi, kemarin lintah darat itu menagih utang, lima puluh juta saja," gumam Bianca. Rahangnya mengeras menahan emosi yang meluap. Danish kembali mendekat.
"Karena itu, sebaiknya kau layani saja aku di tempat tidur agar masalah ini cepat selesai," lirih Danish mencoba memeluk gadis itu.
"Jangan harap!" teriak Bianca kemudian kembali menendang lelaki di depannya. Danish meringis menahan ngilu.
Bianca tidak menyia-nyiakan itu. Dia segera berlari ke luar.
Bianca duduk termenung di kursi taman, memandang air mancur yang jatuh ke kolam dengan ikan koi di dalamnya. Gadis itu merasa bingung, antara ingin pulang karena rindu sang ibu, juga rasa jijik mengingat kelakuan sang ayah tiri.Rambutnya yang tergerai, sesekali melambai tertiup angin. Sebagian menutupi wajahnya yang cantik meski tanpa make up."Hei!" Sebuah suara menyadarkan lamunannya. Biancaca menoleh. Rey tersenyum sebelum mengempaskan tubuh di samping Bianca."Kenapa melamun?" tanya Rey sambil menatap gadis yang memandang kosong ke arah kolam."Aku ingin pulang, tapi ... bandot tua itu pasti akan menyerahkan aku lagi pada kakakmu. Jika aku kabur, kakakmu pasti tidak akan tinggal diam." Bianca menghentikan ucapannya lalu menoleh pada pemuda di sampingnya."Pilihanku hanya satu, aku harus bekerja pada kakakmu untuk melunasi hutang ayahku. Bukan demi dia, tapi demi ibuku." Bianca menghela napas panjang. Seolah ada sebuah beban berat di pundaknya."Kamu gadis yang kuat, Bianca. Aku a
Setelah kepergian Rey, Bianca segera masuk. Matanya terbelalak saat melihat interior kamar itu. Sebuah kamar yang begitu girly. Bianca seperti ada di sebuah kamar dalam drama korea yang sering ditontonnya. Semua perabotan terbuat dati kayu yang dicat putih. Ranjang berukuran sedang dengan sprei dan bed cover berwarna pink lembut. Kasurnya tampak begitu empuk.Sebuah pintu lagi ada dipojok. Saat Bianca membukanya, tampak kamar mandi dengan bathtub putih terdapat di sana.Bianca memang sudah merasa tidak nyaman, karena belum mandi lagi sejak datang tadi pagi. Dia segera membuka pakaiannya dan berendam dalam air hangat.Lima belas menit berlalu, Bianca bangkit dan meraih handuk yang sudah tersedia di sana. Dia keluar dari kamar mandi tepat saat pintu kamarnya pun terbuka. Dua pasang mata itu bertemu."Aaaaww!" Bianca refleks menjerit saat sadar siapa yang masuk. Dia ceroboh dengan tidak mengunci pintu kamar itu."Pergi kau! Dasar mesum!" teriak Bianca.Danish tersenyum sinis. Sebuah pape
Bianca berinisiatif untuk ikut membersihkan rumah. Sebuah vacum cleaner dia tenteng dan mulai menyedot debu di setiap inci ruangan itu. Walaupun pelayan yang lain memakai seragam sedangkan dia hanya memakai terusan selutut, tapi tidak menyurutkan semangatnya."Peduli amat yang punya rumah ini otaknya keruh kaya air comberan, aku tetap harus berpikiran waras," gumam Bianca sambil membungkuk dan terus menggerakkan alat penyedot itu ke sana sini.Duk!Ujung penyedot itu bertabrakan dengan ujung sepatu canvas putih. Bianca sontak menghentikan gerakannya, lalu tubuhnya dia tegakkan sempurna. Pandangannya mendarat pada senyuman manis yang tersungging di bibir Rey."Hai, rajin amat. Udah dikasih tugas tambahan sama Kak Danish?" celotehnya dengan wajah manis. Bahu Bianca mengendur."Aku kira si Tuan Mesum," ujar Bianca. Mendengar itu Rey tertawa renyah."Apa? Siapa Tuan Mesum? Kamu, lagi. Apa yang kamu tertawakan?!"Sebuah pukulan pelan mendarat di kepala belakang Rey. Melihat siapa yang data
"Bianca, tolong pilah setiap sayuran yang baru saja kau beli. Cuci lalu kau masukan ke wadah-wadah seperti biasanya. Jangan lupa langsung masukan ke kulkas," pinta sang juru masak saat melihat kedatangan Bianca dari pasar moderen. Gadis itu tersenyum dan mengangguk.Bianca segera duduk dan menaruh aneka sayuran itu di meja. Tangannya begitu cekatan memilah. Tak perlu waktu lama semuanya sudah selesai dipilah dan dicuci."Bianca, bisa minta tolong?" panggil Yuni. Bianca yang baru menutup kulkas langsung menoleh."Ya, Mbak?""Tolong masukan baju-baju Tuan Rey juga Tuan Danish ke lemari mereka. Baju-bajunya ada di ruang laundry. Tolong, ya, aku ada perlu dulu," jelas Yuni."Siap, Mbak!" jawab Bianca.Yuni melenggang, meninggalkan Bianca yang tampak malas harus memasuki kamar sang tuan walaupun mereka belum kembali dari kantor.Bianca mengambil setumpuk kaos dalam, celana dalam juga baju-baju yang biasa dipakai di rumah. Gadis itu menaruh ke dalam box agar lebih mudah membawanya."Ini sep
"Hei, aku bisa mendengar nada cemburu dari kalimatmu!" ujar Danish. Bianca melengos."Cemburu apanya? Aku justru merasa jijik!" sergah Bianca.Danish meraih bahu gadis itu dan memutar agar menghadapnya."Hei, kau menangis?" tanyanya lirih. Jempol kanannya mengusap air yang tanpa sadar berjatuhan di sudut mata Bianca. Gadis berseragam pelayan itu menunduk dalam, merasa malu. Seperti seorang maling yang kepergok sekuriti.Danish mengangkat dagu gadis itu dengan ujung jarinya."Lihat aku!" pintanya. Perlahan dua pasang mata itu bertemu. Danish seolah ingin menyelam ke dalam palung hati gadis di depannya, melalui sorot mata itu.Tangan Danish meraih tubuh mungil itu ke dalam dekapannya. Dia hirup puncak kepala Bianca dalam-dalam."Maaf, jika aku membuatmu terluka," bisik Danish lirih.Entah mengapa, dekapan itu begitu menenangkan hati Bianca.Beberapa saat Bianca mulai bisa menguasai diri. Dia dorong tubuh jangkung lelaki yang mendekapnya."Hei, kau jangan coba-coba mengambil kesempatan d
Danish menghampiri Bianca yang sedang asyik membersihkan kaca jendela kamarnya. Seragam putih dengan aksen renda di ujungnya begitu pas menempel di tubuh mungil gadis itu. Danish menutup pintu yang tadinya terbuka. Suaranya membuat Bianca kaget dan menoleh. Gadis berkuncir kuda itu kembali menghadap jendela dan menghela napas panjang, menyadari masalah apa yang akan segera dihadapinya. "Bianca." Terdengar suara berat agak serak dari lelaki yang selalu saja menghantuinya. Gadis itu bergeming. Dia menatap ke luar. Langkah kaki terdengar mendekatinya. Jantung gadis itu berdebar tak karuan. 'Ya Tuhan, tolong kuatkan imanku menghadapi mahlukmu yang satu ini,' batin Bianca. Sebuah sentuhan terasa di pundaknya. Bianca memejamkan matanya hingga kelopaknya tampak mengerut. Tangan itu berusaha memutar tubuhnya. Tak bisa menolak, Bianca hanya bisa menunduk untuk menghindari tatapan lelaki itu. "Kau marah?" tanyanya yang membuat gadis itu mengernyit bingung. Wajahnya perlahan terangkat. Ma
Bianca berusaha mencari tahu. Namun, Danish hanya menggeleng."Tidak apa-apa, aku hanya terluka sedikit," ucap Danish datar. "Coba aku lihat, Tuan." Bianca menarik paksa lengan Danish. Namun, yang dipaksa enggan memberikan tangannya. Danish mundur untuk menghindari Bianca. Akan tetapi gadis itu tetap memaksa ingin melihat luka tuannya. Karena gerakan mereka yang saling menarik, tanpa sengaja handuk yang dipakai Danish terlepas. Bianca yang sedang berusaha menarik tangan Danish, refleks menjerit dan menutup matanya saat melihat sesuatu yang tabu. "Sudah kubilang aku tidak apa-apa. Kenapa kau malah memaksa." Danish menggerutu sambil meraih handuknya dan memakainya kembali. Sepintas Bianca bisa melihat luka di jari tangan Danish yang masih mengeluarkan darah. "Tanganmu berdarah, Tuan. Tunggu sebentar akan aku ambilkan plester dan obat merah," ujar Bianca. Dia berlari ke ruang tengah di mana terdapat peralatan P3K. Setelah didapat, dia segera kembali ke kamar Danish. Di sana Danish
"Memangnya siapa yang rambutnya acak-acakan?" tanya Danish dingin. Bianca terlihat salah tingkah. "Eh, itu ... ish aku lagi ngomongin Lee Min Ho. Dia kan penampilannya memang rapi," jawab Bianca kikuk. Danish menyunggingkan seulas senyum sinis kemudian berlalu ke kamarnya. "Rey, kakakmu seperti tersinggung," ujar Bianca dengan wajah menyesal. Rey hanya tertawa kecil. "Kak Danish emang selalu serius. Gak usah diambil pusing. Aku mandi dulu ya." Rey bangkit dan berlalu ke kamarnya. Bianca mengangguk sembari tersenyum. ****** Keesokan harinya, saat sore menjelang Bianca mengganti sprei di tiap kamar. Sengaja dilakukan sore, agar saat pemilik kamar tiba sprei-nya terlihat masih bersih. Lagu Pretty Boy dari M2M mengalun merdu dari ponsel gadis itu. I lie awake at night See things in black and white I've only got you inside my mind You know you have made me blind I lie awake and pray That you will look my way I have all this longing in my heart I knew it right from the start