Sok alim kamu! Kamu pikir Mbak gak tahu kamu habis ngapain tadi, hah? Dasar sok suci.” Kalimat Vania menukik tajam. Kasih menatap wajah kakaknya dengan pandangan mengembun. Setengah mati dia menekan perasaan yang selama ini direndahkan. Namun tetap saja rasanya sakit diperlakukan demikian.
“Salah aku apa sama, Mbak? Kenapa Mbak selalu seperti ini sama aku? Apa Mbak gak takut jika nanti semua perbuatan buruk Mbak akan balik pada diri Mbak sendiri?” tanya Kasih dengan suara gemetar.“Eh, baru kerja jadi OB sehari doang sudah songong. Memang kamu itu gak tahu diri ya. Mbak sudah susah-susah masukin kamu kerja biar kamu sedikit berguna. Eh malah neglunjak! Kamu pikir Mbak gak tahu kalau kamu tadi pulang ikut Pak Reyvan. Kamu pasti sengaja mau goda dia di belakang Mbak kan? Kamu pasti iri kan? Kamu pasti iri sama Mbak yang selalu lebih beruntung dari kamu!” oceh Vania.“Vani, Kasih! Kalian itu kebiasaan, ya! Ribut mulu kalau ketemu!”tegur Ibu. Perempuan paruh baya itu baru saja turun dari tangga dan menghampiri kedua putrinya yang berada di ruang tengah.Rumah mereka tak besar, hanya saja memiliki dua lantai. Lantai atas terdiri dari tiga kamar tidur dan satu ruang keluarga. Sedangkan di lantai bawah hanya ada ruang tengah, ruang makan dan dapur.“Anak kesayangan Ibu tuh! Baru saja kerja sehari sudah ngelunjak!” gerutu Vania seraya kembali menghampiri sofa dan menjatuhkan bokongnya di sana.Kasih tak lagi menjawab. Dia langsung menaiki tangga, bahkan sampai lupa untuk mencium tangan Ibu yang berada di sana. Hatinya sedih. Selalu saja dirinya salah dan tak berarti.Di pertengahan tangga, dirinya berpapasan dengan Ayah. Namun Kasih hanya menunduk dan mempercepat langkahnya. Dia pasti akan tambah diceramahi Ayah jika Vania sudah mengadukannya. Itulah konsekuensi menjadi anak terbodoh dan yang paling tak di sayang di keluarga. Kasih pun sudah mencoba ikhlas dan menerima. ‘Kasih bergegas membersihkan diri di kamar mandi atas. Setelah itu, dia berganti pakaian lalu menunaikan tiga rakaat kewajiban. Kebetulan sejak tadi sudah masuk waktu maghrib. Usai melipat mukena, dia membuka Alqur’an digital pada gawainya. Sengaja berlama-lama agar Vania, ayah dan ibu sudah selesai makan ketika dia turun. Ketika dirasa waktu sudah beranjak, Kasih pun turun setelah adzan isya berkumandang dan dia tunaikan dulu empat rakaat kewajiban. Perut yang lapar sejak tadi ditahan sudah berteriak minta diisi.Di ruang tengah tampak Ayah dan Vania tengah duduk. Seperti biasa, Vania memang sangat manja pada Ayah. Dia bersandar pada pundak Ayah yang duduk berselonjor di lantai beralas karpet beludru yang selalu Ibu gelar setiap sore.Kasih langsung berbelok ke ruang makan. Namun dia masih mendengar rengekan Vania pada Ayah.“Yah, tuh anaknya sudah turun!”“Iya, entar Ayah bilangin! Biar Kasih makan dulu!”“Ihhh … Ayah!”Kasih tak lagi menyimak suara samar yang berbaur dengan suara televisi itu. Dia menyendok nasi lalu segera mengambil lauk yang masih tersisa. Kasih makan sendirian. Ibu keluar dari dapur dan melirik ke arahnya.“Baru makan kamu, Sih?” tegurnya. Datar dan tak ada ekspresi.“Iya, Bu!”jawab Kasih seperlunya.Ibu berdiri di dekat lemari es dan mengambil dua toples camilan kesukaan Ayah dan Vania. Dia pun mengambil satu minuman dingin dari sana. Terdengar suaranya kembali berkata.“Nanti habis makan, ayah mau bicara katanya.”“Hmmmm ….”Kasih tak menyahut hanya menggumam. Sudah tahu apa yang akan dia dapatkan. Pastilah wejangan panjang lebar yang akan dia dengar dari sang ayah. Makanpun tak lagi menjadi begitu nikmat. Kasih memejamkan mata sejenak lalu menatap bengong pada gelas yang sudah kosong. Enggan beranjak dari ruang makan. Andaipun beranjak ingin sekali rasanya langsung ke peraduan.“Baiknya aku akan pura-pura lupa saja!” tukas Kasih.Dia pun akhirnya beranjak dan berjalan meniti tangga. Hendak langsung menuju ke kamarnya di lantai dua. Namun Ayah terdengar memanggilnya.“Kasih, sini dulu! Ayah mau bicara.”“Iya, Yah.”Akhirnya hanya pasrah ketika ceramah pun dimulai. Ayah kembali menasihatinya seolah dirinya adalah orang yang paling salah.“Kakak kamu bilang, hari pertama kerjamu sudah gak bener, ya?”Kasih hanya diam. Percuma menjelaskan karena bagi Ayah hanya ucapan Vania yang benar. Ayah pun kembali menyambung kalimatnya.“Kamu itu harus bisa membawa diri, Kasih. Beruntung ada kakak kamu yang sudah supervisor di sana jadinya kamu bisa dengan mudah mendapatkan pekerjaan ini. Ya, walaupun pekerjaan kamu hanya jadi OB, tapi di luar sana bahkan banyak yang harus kasih uang sogokan. Kamu beruntung ada Vania. Jadi Ayah minta, hormati dia di sana … jangan buat malu apalagi sampai buat ulah.Ayah juga bukan gak mau kamu kuliah lagi, tapi ya mau gimana … kan kamu gak sepandai kakak-kakak kamu. Mana bisa kamu dapet beasiswa kalau nilai saja hanya rata-rata. Jadinya kamu harus bisa mawas diri dan menempatkan diri. Paham?”“Paham, Ayah.” Kasih berucap lirih. Sementara itu, senyum Vania tampak mengembang penuh kebanggaan. Ya, memang dirinya yang selalu Ayah banggakan berbeda dengan Kasih.Lelaki itu mengakhiri kalimat panjang lebarnya setelah sukses membuat kuping Kasih terasa memanas. Dia pun bangkit lalu beranjak ke kamar. Kasih menutup pintu lalu mengambil buku diary. Satu-satunya benda yang bisa dijadikan tempat untuknya berbagi.[Apa aku salah jika dilahirkan tak sebaik mereka? Ini bukan inginku. Tuhan yang memberikan ini padaku. Dicubit itu memang sakit, tetapi disepelekan lebih menyakitkan. Bantu aku menemukan sendiri jalan hidupku.]***Sudah hampir seminggu Kasih berlangganan ojol dengan lelaki beralis tebal yang setiap hari wajahnya tertutup masker itu. Namun tak banyak hal yang bisa dia ketahui selain sesekali melihat Tuan Gasendra menatap pengemudi ojol itu dengan tatapan sendu dari kejauhan.Hari ini pun Evan sudah menjemputnya, Kasih baru saja hendak menaiki sepeda motor Evan yang sudah menunggunya ketika Vania hendak keluar dengan mobil avanza silvernya.Tin Tin Tin!“Hey, minggir dong! Jangan ngalangin mobil orang!”terika Vania. Evan dan Kasih menoleh. Evan menyipit memperhatikan wajah perempuan yang ada di dalam mobil itu.“Dengar gak, sih?!” bentak Vania lagi.Evan yang merasa jarak sepeda motornya aman dari mobil Vania merasa terusik. Dia yang tengah duduk di atas sepeda motor pun turun dan mendekat. Lalu menatap wajah perempuan itu.“Mbak, baru punya mobil, ya? Jaraknya itu sudah lebih dari aman! Kalau jadi OKB jangan norak!” Kalimat pedas itu terlontar dari mulut Evan yang tertutup masker.“Eh lu baru jadi tukang ojek aja belagu! Mana ngerti lu bawa mobil! Jangan sok tahu, deh!” bentak Vania. Evan mengedik lalu tersenyum miring. Namun karena wajahnya memang tertutup masker, yang terlihat hanya matanya yang tampak menyipit.“Gue gak nyangka, baru jadi staff doang gaya lu udah selangit!” kekeh Evan seraya kembali ke sepeda motornya di mana Kasih tengah menunggu dan tak ikut campur.Vania berdecak kesal seraya tak henti mengumpat. Namun tak urung dia tetap melajukan mobilnya dan memang terbukti jarak dengan sepeda motor Evan yang terparkir tak jauh dari gerbang masih aman. Evan tersenyum miring lalu menoleh ke arah Kasih yang sudah rapi dengan helmnya.“Dia serumah sama lu? Terus sekantor juga?” tanyanya.“Iya, Mas. Tapi dia supervisor, aku cuma OB. Jadi kasta kami beda,”tukas Kasih dengan tersenyum hambar.“Lu mau bikin shock terapi buat dia gak? Kok gue enek lihat tingkahnya.” Evan menatap mobil Vania yang menjauh. Dia tahu betul seperti apa sikap Vania jika di kantor. Beberapa kali dia pernah berpapasan dengannya dalam kondisi yang berbeda.“Caranya?” Kasih menatap dengan tatapan polosnya."Caranya?” Kasih menatap dengan tatapan polosnya. “Lu jadian sama gue!” tukas Evan. “Ih, kok jadi kesitu.” Kasih menautkan alis. Bingung dengan rencana Evan yang diluar nalarnya. “Kalau gak mau, ya sudah! Kalau lu setuju tinggal bilang gue. Gue juga gak maksa, cuma mau bantu lu dan lu juga bisa bantu gue!” Evan mengedik santai. Dia melenggang menuju sepeda motornya dan segera menyalakannya. “Aku gak ngerti rencananya kayak gimana. Lagian maen jadian aja. Kenal aja baru seminggu. Lihat muka kamu aja belum, Mas. Sama aja kayak beli kucing dalam karung.” Kasih menggerutu seraya cemberut. Tidak mengerti dengan jalan pikiran lelaki yang ada di depannya saat ini. Evan terkekeh, kedua matanya tampak menyipit. “Syukurlah kalau lu gak ngerti. Berarti lu gak mencurigai apapun tentang gue. Atau lu gak mau jadian sama gue karena gue cuma tukang ojol yang miskin?” Evan menarik satu alisnya ke atas.“Ih, kok kamu ngomongnya gitu, sih, Mas? Aku jadi takut. Jangan-jangan kamu itu penjahat, ya? L
Getar gawai membuyarkan kembali pikiran Evan. Sebuah pesanan masuk. Evan segera meluncur menuju tempat yang ditunjukkan oleh applikasi pada gawainya. Dia tiba di sebuah rumah mewah. Seorang perempuan paruh baya menunggunya di tepi jalan. Evan mengangguk dan menyapanya. Dia pun menyipitkan mata melihat sepasang lelaki dan perempuan yang tampak baru keluar dari teras dan saling bergandengan. “Kenapa lelaki itu mirip sekali dengan lelaki yang berfoto dengan Mami? Lalu bukankah perempuan itu Tante Niki?” Evan menyipitkan mata. Namun dia tak bisa berlama-lama perempuan paruh baya itu sudah naik ke sepeda motornya. Evan melajukan sepeda motornya menuju sebuah supermarket sesuai yang tertera dalam applikasi.“Ibu mau belanja?” Evan menatap perempuan paruh baya itu ketika baru saja turun di depan supermarket. “Iya biasa, belanja mingguan, Mas. Maklum majikannya royal jadi tiap minggu belanjanya. makasih ya, Mas.” Perempuan itu berjalan menjauh. Antara ragu dan ingin tahu, akhirnya Evan mem
Evan memandang remeh pada Vania. Dia tersenyum miring dari balik maskernya. “Silakan nikmati kemenangan sementaramu, Mbak. Saya pastikan kamu menyesal telah melakukan ini pada kami.” Evan berbicara tenang tetapi penuh penekanan. Vania belum sempat menjawab lagi ketika Evan membalikkan badan dan langsung melangkah keluar. Dia langsung menuju ke tempat di mana sepeda motornya terparkir tadi. Mungkin saja Kasih ada di sana. Namun rupanya gadis yang dicarinya tak ada. Evan memutar pandang ke sekitar. Menelisik kemungkinan keberadaan gadis yang tengah terluka itu. “Dasar cewek!” gerutu Evan seraya mengambil gawai. Dia langsung menelpon nomor Kasih yang memang pernah menghubunginya. Agak sedikit lama mencarinya karena Evan memang belum menyimpan nomor Kasih. Hanya ada empat nomor pada gawai barunya, nomor dua sahabatnya, dirinya dan Mama. Entah kenapa ada gerak dari hati yang mengatakan jika dirinya perlu peduli. Dia mendekatkan gawai itu ke telinganya, ada bunyi tersambung. Evan menun
“Kalau lo udah kayak gini, berarti lo udah siap jadian sama gue! Kita patahkan keangkuhan kakak lo yang sombong itu!” tukas Evan tenang dan datar. Sontak membuat Kasih menelan saliva karena merasa gugup luar biasa. “J--jadian?”Kasih menatap wajah tampan yang membuatnya penuh debar itu. “Ya, gue butuh seorang perempuan tangguh dan yang penting gak matre kayak lo untuk berada di sisi gue. Kalau lo keberatan untuk selamanya, gue juga gak maksa, kok. Kita bisa nikah dengan perjanjian. Yang penting gue bisa bawa lo ke depan bokap dan ngakuin lo jadi calon istri. Lo mau kan nikah sama gue?” Evan berucap dengan tenang. Seolah tak ada getar apapun dari dalam dadanya. “N--nikah?”Kasih menatap Evan tak percaya. “Kita bisa kerja sama. Walaupun gue tahu lo gak cinta sama gue, Kasih. Namun kesombongan kakak lo juga bikin gue gemes. Seolah hidup dia paling mulia dan paling beruntung. Baru jadi staff saja sudah belagu kayak gitu.”Evan berucap datar. “Kerja sama gimana?” Kasih menatap Evan. Bing
Tuan Gasendra masih menempelkan gawai pada daun telinganya. Terdengar suara seseorang yang begitu dia rindukan dari seberang sana. Ketiadaan Evan di rumah itu semenjak kepergian istrinya, membuat hari-harinya terasa kosong. Rasa rindu seorang ayah pada anaknya tak bisa dielakkan. Ya, Tuan Gasendra begitu merindukan kehadiran Evan di rumah itu. “Pah ini Evan!” “Evan! Akhirnya kamu menghubungi Papa juga! Di mana kamu tinggal sekarang, Nak? Papa jemput pulang, ya!” Suara Tuan Gasendra bergetar.Akhir-akhir ini jangankan bisa mengobrol seperti sekarang. Setiap kali dirinya menelpon, Evan selalu menolak panggilannya. Bahkan karena sudah tak tahan merindukan putranya itu, Tuan Gasendra pada akhirnya meminta Kasih untuk berlangganan ojol yang dia kenal betul sosoknya. Setidaknya dia bisa memandang putranya setiap pagi dari balik tirai lobi. “Aku mau ketemu, Pah! Aku mau Papa batalkan rencana perjodohan aku dengan keponakan Tante Niki. Seperti yang aku bilang sama Papa. Aku akan mencari se
“Yah, Kasih berangkat dulu!” Kasih mencium punggung tangan Ayah. “Sama si tukang ojol itu?” Vania yang baru saja keluar turun dari tangga tersenyum miring. “Dia itu punya nama, Mbak.” Kasih mendelik. Hatinya merasa tergores tatkala kakak perempuannya selalu memandang rendah siapapun dari kaca mata dia. Vania tertawa lalu berjalan mendekat ke arah Kasih dan Ayah.“Ciee marah … lagian gak penting juga buat aku tahu nama si tukang ojol itu. Gak level,” kekeh Vania seraya duduk pada sofa dan mengambil pisang goreng yang tersedia di atas meja. “Iya mending Mbak gak usah tahu namanya, dari pada nanti shock lebih cepat karena sudah menghinanya.” Kasih tersenyum miring. Rasanya ingin segera melihat wajah Vania yang pucat pasi ketika dirinya hadir sebagai istri dari seorang Evander Gasendra---putra satu-satunya dari pemilik perusahaan tempat Vania bekerja. “Eh, Yah! Dia udah berani sombong coba. Jangan-jangan dia lagi berkhayal kalau si tukang ojol itu anak konglomerat yang lagi nyamar ka
Tak banyak yang mereka obrolkan. Suasana pertemuan mereka pun tak berlangsung lama. Bahkan awalnya Evan menolak untuk makan dulu di sana, tetapi melihat sorot mata penuh harap dan seorang ayah yang tampak begitu kehilangan. Akhirnya membuat Kasih tak tega. “Mas, aku laper! Di rumah jarang ada makanan enak kayak gini,” bisik Kasih ketika Tuan Gasendra baru saja mendengar penolakan Evan. “Kita pulang, nanti makan di luar!” bisik Evan dengan mata memandang ke sembarang. “Makanlah dulu, Van! Papa minta maaf atas semua yang sudah papa lakukan! Papa ‘kan sudah merestui kamu untuk menikahi perempuan pilihan kamu! Jadi Papa mohon kembalilah! Tinggalah lagi di rumah ini!” tukasnya seraya menatap penuh harap. Hati kecil Kasih tak tega. Gelayut rasa sedih dan rasa sesal tampak begitu nyata di mata lelaki paruh baya yang rupanya tak mengenalinya itu. “Ck! Bukankah biasanya Papa lebih senang makan semeja dengan Tante Niki yang katanya selalu kesepian? Bukankah Papa lebih sayang Reyvan yang ta
Evan baru saja selesai mengutarakan niat baiknya untuk melamar Kasih pada Ayah dan Ibu. Lelaki paruh baya itu menatap Evan.“Apa yang kamu bisa berikan untuk membahagiakan Kasih? Hmmm apa sudah punya rumah?” Ayah menatap Evan dengan tatapan menimbang. “Saya ada rumah, tapi rumah orang tua, Yah. Kebetulan masih ada kamar kosong untuk kami tinggal,” jelas Evan. Ayah terdiam sejenak, Ibu hanya duduk diam mendengarkan. Kasih menunduk di samping Evan. Dia merasa tak enak ketika pertanyaan ayah seolah begitu meremehkan. Sudut mata Kasih melirik ke arah gorden yang bergerak-gerak di dalam, tampak Vania tengah bersandar di samping jendela kaca rupanya dan menguping pembicaraan. “Apa ada rencana punya rumah sendiri?” Ayah kembali memastikan. “Ada, tapi baru rencana sih, Yah.” Evan menjawab santai. “Hmmm … kalau boleh saya tahu, penghasilan dari hasil narik ojol ini berapa rupiah per bulan?” tanya Ayah lagi seolah tengah mengintrogasi tahanan.“Ayah!” Kasih melayangkan protes. Namun lelaki