Tak terasa sudah hampir satu minggu aku lewati sejak kepergian Mas Haris, setiap hari aku selalu berdiam diri di kamar, bahkan untuk makan pun seolah aku sudah lupa waktu. Aku terlalu sibuk dengan dunia yang aku ciptakan sendiri, dunia yang hanya ada aku dan juga bayang Mas Haris.Kini aku telah berada di balkon kamarku dengan kondisi yang mengenaskan, wajahku pucat, rambutku acak-acakan serta lingkar hitam menghiasi mataku. Tubuhku semakin kurus tak terurus, wajahku pun terlihat semakin tirus.Aku sedang duduk memeluk lutut dan kedua tangan memegang erat potret Mas Haris. Netraku menatap kosong deretan bunga di taman belakang rumah Mas Haris. Dahulu saat aku sering datang ke rumah Mas Haris, kami sering berbincang-bincang di taman tersebut. Kami juga sering bermain dengan anak Risa di sana. Banyak sekali kenangan yang terukir di taman itu. Dulu kupikir taman itu sangat indah dengan bermacam-macam bunga yang tumbuh di sana, tapi sekarang bagiku semua terasa hampa. Tak ada keindahan l
[Win, tolong jemput aku.] Kukirimkan pesan melalui Whatshap kepada Winda untuk menjemputku, hari ini aku memutuskan untuk pergi dari rumah Mas Haris. Sudah berlalu tiga hari sejak kedatangan ayah dan ibu, aku sudah menghubungi Winda untuk mencarikanku tempat tinggal yang baru. Aku ingin menepi sejenak dari suasana kota, aku ingin berpindah ke tempat lain untuk mencari ketenangan. [Baiklah, aku akan datang satu jam lagi.] Aku segera bersiap setelah membaca balasan pesan dari Winda. Aku tidak membawa barang banyak, hanya potret Mas Haris yang aku bawa dari kamarku, selebihnya aku meninggalkan semuanya di sini.Setelah selesai bersiap, aku kembali duduk di ranjang. Netraku memandang setiap sudut kamar yang menjadi saksi bisu betapa terpuruknya aku setelah kepergian Mas Haris.Netraku memandang bunga-bunga di dalam vas yang sudah mulai layu, tapi aku tidak berniat untuk membersihkan atau menggantinya dengan yang baru. Bahkan bunga yang sudah mengering pun tetap pada tempatnya.Aku menu
"Dan kamu juga tidak perlu khawatir, Sa. Kamu dan suamimu akan hidup tenang di sini tanpa kehadiranku, aku akan pergi dari rumah ini. Ambillah semua milik Mas Haris, aku tidak butuh," ucapku memandang tajam Risa dan juga suaminya.Risa dan suaminya hanya menunduk mendapat amarahku. Siapa mereka berani menilaiku dengan rendah seperti itu.Mama berdiri dari duduknya dan mendekat ke arahku. Tatapan matanya menyiratkan kesedihan. Mama adalah wanita yang sangat aku hormati selain ibu, beliau wanita lemah lembut yang membuatku merasa beruntung mempunyai mertua sepertinya.Sifat lemah lembut Mas Haris mungkin juga menurun dari mama. Didikan mama yang seorang diri membesarkannya membuat Mas Haris sangat menyayangi mama. Bahkan aku pun sangat berterima kasih pada mama yang sudah membuat Mas Haris mempunyai sifat yang lemah lembut sepertinya."Ras, kamu tidak perlu pergi dari rumah ini. Kamu sudah Mama anggap putri Mama sendiri. Mama benar-benar menyayangimu seperti Mama menyayangi Risa dan Har
"Aku pamit ya, Ras. Kamu baik-baik di sini. Jangan terus meratapi kepergian Mas Haris, Ras. Ikhlaskan Mas Haris agar dia tenang di sana," ucap Winda.Aku hanya mengangguk menanggapi ucapan Winda, kami telah sampai di tempat bibi Winda. Dan sekarang Winda pamit karena hari sudah hampir sore, dia pamit setelah membantuku bersih-bersih, maklum rumah bibi Winda sudah lama kosong semenjak bibi Winda diboyong ke rumah anaknya."Terima kasih sudah mau aku repotkan, Win," ucapku memeluk Winda."Sama-sama, Ras. Aku tidak mau melihatmu terpuruk, Ras. Tolong kembalilah seperti Laras yang dulu lagi," bisik Winda membalas pelukanku.Aku diam tak menjawab ucapan Winda hingga Winda melepaskan pelukanku darinya. Aku tidak bisa menjanjikan apa-apa pada Winda, karena aku sendiri tidak tahu apakah aku sanggup untuk kembali seperti dulu lagi."Aku pergi, Ras." Winda pun berlalu pergi masuk ke dalam mobil dan perlahan mobil yang membawa Winda pun mulai melaju meninggalkanku yang masih berdiri menatapnya s
"Kamu di mana, Ras?" tanya ayah melalui sambungan telfon yang baru tersambung.Aku menggenggam erat ponsel, aku yakin sekali ayah sudah tahu aku telah pergi dari rumah Mas Haris. Sejujurnya aku enggan menjawab panggilan telfon dari ayah, tapi aku tidak mau membuat ayah khawatir. Aku pun tidak bisa memberitahukan keberadaanku, ayah pasti akan menyusulku kemari.Aku belum bisa kembali ke rumah, hatiku masih belum bisa berdamai dengan keadaan walau sudah hampir satu bulan aku keluar dari rumah Mas Haris. Jika aku kembali ke rumah, aku hanya akan menyusahkan kedua orangtuaku saja dengan kesedihan yang aku rasakan."Tolong jawab ayah, Ras. Tolong beritahu ayah di mana kamu sekarang, Ras. Ayah terkejut sekali ketika datang ke rumah Haris, kamu sudah pergi dari sana hampir satu bulan. Kenapa kamu tidak memberitahu ayah atau ibumu jika ingin pergi, Ras?" Kembali ayah melemparkan pertanyaan yang membuatku sedih."Ma-af." Hanya kata-kata itu yang bisa keluar dari bibirku, aku tidak mampu lagi m
"Apa? Apa maksud pesanmu ini, Ras?" Winda langsung menyodorkan ponselnya begitu aku membuka pintu untuknya.Aku hanya mengernyitkan kening melihat kehadiran Winda yang tiba-tiba. Padahal hari masih pagi, tapi Winda sudah berada di sini."Apa sih, Win? Kenapa pagi-pagi sudah sampai di sini?" Aku memutar bola mata jengah."Jawab saja pertanyaanku, Ras. Katakan apa maksud dari pesanmu dini hari tadi," desak Winda.Aku melangkah masuk ke dalam kamar tanpa menjawab pertanyaan Winda, sementara Winda menyusulku setelah menutup pintu. Setelah tiba di kamar, aku kembali merebahkan tubuhku yang masih terasa lemas."Larasati ... jawab pertanyaanku!" ucap Winda dengan nada sedikit tinggi.Aku melirik Winda yang terlihat sedang kesal, aku tahu jika dia sudah memanggil namaku dengan seperti itu, dia sedang teramat kesal. Tapi aku pun juga tak tahu kondisi tubuhku sekarang."Aku terlambat datang bulan, Win," ucapku akhirnya."Haduh, Ras. Kenapa kamu sampai tidak sadar jika terlambat datang bulan. Be
"Ras ... bicaralah, jangan diam saja membuatku takut." Winda menggoyangkan lenganku.Aku bergeming dan hanya diam mematung duduk di atas ranjang, netraku memandang kosong sudut kamar. Sejak mengetahui kehamilanku, aku diam seribu bahasa. Aku masih terkejut dengan kenyataan yang baru saja aku terima."Bicaralah, Ras. Aku mohon, katakan sesuatu. Diammu hanya membuatku semakin sedih, Ras," ucap Winda dengan suara yang bergetar.Winda menangis, dia menangis lagi karena aku. Padahal Winda bukanlah orang yang cengeng. Tapi aku telah menjadi penyebab dia menangis terus.Ah, aku membuat seseorang bersedih lagi, aku telah membuat sahabatku khawatir padaku lagi.Aku jahat sekali bukan? Ternyata memang semua salahku, mungkin kepergian Mas Haris juga karena salahku. Andai aku tidak meminta Mas Haris membawaku berbulan madu. Mungkin semua masih baik-baik saja.Air mataku seketika mengalir tanpa bisa aku tahan, hatiku terasa seperti diremas-remas. Sakitnya membuat dadaku terasa sesak, mengingat kem
"Hati-hati, Win. Jangan terlalu mengkhawatirkan aku." Aku memeluk Winda, dia akan kembali pulang setelah mengantarku ke rumah sakit.Winda harus segera kembali, cuti kerjanya sudah habis. Sudah dua hari Winda menginap. Dia harus kembali bekerja untuk menggantikan aku. Jika kami berdua tidak ada, tentu ayah akan sangat kerepotan."Iya, Ras. Kamu juga jaga baik-baik keponakanku. Jangan melakukan hal yang aneh-aneh yang membahayakan kandunganmu.""Tentu, Win. Aku pasti akan menjaga kandunganku.""Baiklah, aku pergi Ras. Jangan terlalu lama menyendiri, aku rindu Laras yang dulu."Aku mengangguk menanggapi ucapan Winda. Sedangkan Winda sudah masuk ke dalam mobil dan mulai menjalankannya dengan pelan.Aku masih berdiri di halaman melihat kepergian Winda, aku merasa bersalah padanya karena kami sempat bertengkar tadi malam.Winda terus membujukku untuk kembali ke rumah orangtuaku, tapi aku masih tetap pada pendirianku. Aku tetap bertahan di rumah ini, aku masih ingin menata hatiku."Temannya