Mahira tak lagi bisa menahan rasa mualnya. Kebetulan pertemuan untuk membicarakan pertunangan Leoni sudah selesai, jadi perempuan itu pun bergegas meninggalkan gedung hotel. Berniat pulang duluan, tetapi ia kesulitan menemukan taksi.
Berjongkok di tepian jalan, perut Mahira kembali bergejolak. Perempuan itu memuntahkan air dan liur untuk yang kesekian kalinya hari ini.Hari ini untuk pertama kalinya keluarganya bertemu orangtua Riga. Sebulan setelah Mahira meminta kejelasan dari calon adik iparnya. Alih-alih lega karena akhirnya mendapat kejelasan soal asal usul Riga, Mahira malah gusar atas keadaannya. Ia mulai memperkirakan apa kiranya penyebab dirinya terus didera keadaan seperti sekarang.Mahira merasa mual selama tiga minggu belakangan. Perempuan itu juga terlambat datang bulan. Prasangka dan firasatnya buruk soal ini, tetapi tak ingin gegabah mengambil kesimpulan.Menyeka mulutnya, berusaha mengendalikan mual dan sedikit pusing, Mahira bangkit berdiri. Saat itu matanya mendapati sebuah mobil berhenti di hadapan.Pintu mobil itu terbuka. Mahira melihat Riga di dalam sana. Pria itu tersenyum. Sinis."Kau butuh tumpangan, Mahira? Masuklah."Mahira sebenarnya enggan menerima tawaran itu. Namun, menengok situasi yang ada, rasanya menolak tumpangan yang Riga berikan adalah pilihan tidak bijak.Perempuan itu pun masuk ke mobil. Sempat terdiam sesaat akibat hidung yang mendadak dipenuhi aroma parfum yang kemungkinan berasal dari Riga."Kenapa kau pergi duluan?" tanya Riga sembari menatap gadis di kursi penumpang. "Bukankah kau bisa pulang bersama yang lain?"Si gadis menggeleng. Bisa buruk kalau orangtuanya melihat kondisinya sekarang. Kemarin saja, Rianti hampir membawa Mahira ke dokter karena kedapatan mual sewaktu sarapan."Kau?" Mahira menoleh pada Riga. "Kenapa kau pulang sendiri? Leoni di mana?"Riga menarik salah satu sudut bibir, tetapi bukan tersenyum. "Leoni bilang dia lelah. Jadi, aku bisa apa?"Lelaki itu menatap lekat pada wajah pucat Mahira. "Kau mau ke mana, Mahira?" tanyanya penuh selidik.Berpikir sejenak, Mahira menyebut nama sebuah hotel. Perempuan itu minta diantar ke sana.Mengangguk satu kali, Riga menginjak gas dan mulai menjalankan mobilnya. Sambil menatap lurus ke depan, pria itu bertanya, "Kenapa kau perlu ke sana, Mahira?"Mahira mengerutkan alis pada Riga. Jujur saja, selama ini ia kurang nyaman tiap kali mendengar Riga menyebut namanya. Terlebih saat bertanya begini. Rasanya seperti lelaki itu tengah menginterogasinya.Kali ini pun sama. Pertanyaan Riga barusan seolah ingin mengorek informasi darinya. Dan Mahira merasa terganggu dengan itu."Ada urusan," jawab Mahira seadanya. Perempuan itu memalingkan wajah ke arah jendela.Hening beberapa saat menyelimuti mobil. Riga adalah yang pertama buka suara."Kau tidak mau mencari Alex, Mahira?"Mahira meremas jemari di pangkuan. Siapa bilang ia tak mau mencari Alex? Ia sangat ingin melakukan itu. Namun, Mahira merasa itu hanya akan berakhir sia-sia.Untuk apa ia meminta pertanggungjawaban pada pria berengsek seperti Alex? Pria itu jelas adalah orang yang jahat. Hanya akan buang-buang tenaga, pun bakal menghabiskan banyak uang."Kau tidak mau menuntut Alex, Mahira?"Mahira menatap Riga penuh tanya. Menuntut kata lelaki itu? Soal apa? Seingat Mahira, ia tak ceritakan apa-apa pada siapa pun soal musibah di kamar hotel itu."Menuntut dia soal apa, Riga?" Mahira berusaha terlihat tidak gugup.Riga menarik senyum sinis. Pandangannya ke depan, tetapi sorot mata lelaki itu penuh cemooh. "Alex sudah memberitahuku, Mahira. Dia menceritakan apa yang terjadi hari itu."Malu, marah, sedih. Mahira mengepalkan kedua tangan. "Hentikan mobilnya," perintah gadis itu dengan suara bergetar.Riga menurut. Ia tepikan mobil. Tak menoleh pada Mahira, tetapi menunggu gadis itu dengan perasaan tak sabar."Alex memberitahumu semua?" tanya Mahira untuk memastikan. Melihat Riga mengangguk, ia melanjutkan, "Apa? Apa sebenarnya yang terjadi di hari itu? Tolong ceritakan padaku."Amarah menguasai Mahira. Alex ternyata benar-benar laki-laki busuk. Pria itu menceritakan kejahatannya pada si sepupu, tetapi tak punya niat untuk meminta maaf pada Mahira?"Aku?" Riga menghadapkan wajah pada Mahira. "Kau memintaku menceritakan kejadian hari itu?"Mahira mengangguk. Sudut bibirnya berkedut karena kemarahan. "Ceritakan apa yang dia ceritakan padamu. Sebab ... meski aku yang di sana bersamanya, aku tak ingat sedikit pun soal hari itu."Mahira tak membual. Sampai detik ini, perihal Alex sungguh-sungguh menyentuhnya atau tidak, belumlah jelas. Memang, Mahira merasakan pun melihat tanda-tanda bila tubuhnya sudah dijamah di hari itu. Namun, tetap saja. Rasanya sulit percaya."Baik." Riga mengangkat bahu. Ia menautkan alis, seolah sedang mengingat. Namun, tatapan matanya memancarkan sirat sinis dan penuh cemooh.Riga mulai bercerita. Menurutnya, Alex mengaku sudah mencampurkan obat tidur ke air yang Mahira minum. Setelah Mahira tak sadarkan diri, lalu Alex mengerjai si gadis.Mendengar cerita Riga, air mata Mahira berderai. Namun, itu bukan semata karena rasa sedih. Mahira menangis sebab ia terlalu marah."Apa bajingan itu mengatakan alasannya sampai melakukan itu padaku?"Riga menarik senyum miring. "Dia bilang kau cantik. Dan dia benar-benar tidak menyangka jika ternyata kau ...." Lelaki itu menjeda ucapan. Tatapannya menjadi lebih dalam."Ternyata aku apa?" kejar Mahira."Dia benar-benar sangat tidak menyangka jika ternyata kau sungguh membuatnya puas."Tangan Mahira sudah terangkat. Hampir ia menampar Riga. Beruntung perempuan itu lebih dulu tersadar jika Riga bukan Alex. Riga hanya menyampaikan apa yang ia dengar dari Alex.Senyum miring yang sejak tadi Riga tunjukkan raib seketika. Pria itu mengubah mimiknya menjadi datar kembali."Aku membolehkanmu menamparku, Mahira," katanya dengan suara rendah.Mahira menarik napas. Menyeka air mata, kemudian menggeleng. "Bukan kau yang harusnya aku tampar.""Jadi, apa kau berubah pikiran? Kau mau mencari Alex dan meminta pertanggungjawabannya atas keadaanmu sekarang?"Mahira tersenyum getir. "Apa yang bisa diharapkan dari manusia bajingan seperti itu? Lagipula, memangnya aku kenapa hingga butuh pertanggungjawabannya?""Kau hamil," tutur Riga dengan nada santai.Kepala Mahira langsung menoleh pada Riga. Perempuan itu semakin pucat. Hamil kata Riga? Bahkan Mahira sendiri belum begitu yakin atas kondisinya. Mengapa lelaki itu bisa menyimpulkan semua secepat ini?"Tidak," elak Mahira. "Aku tidak hamil.""Kau hamil," kukuh Riga. "Kau tampak berbeda. Selama pertemuan tadi, kau terus menahan mual."Mata Mahira berkedip cepat-cepat. Perempuan itu menatap lurus dengan perasaan bingung. Benarkah dirinya terlihat berbeda, hingga Riga yang jarang bertemu saja bisa menyadari?"Mau bertaruh denganku, Mahira?" Riga memanjangkan lengan. Mengambil sesuatu dari laci dasboard. Ia berikan itu pada Mahira. "Mari kita lihat tebakanku benar atau tidak."Tangan Mahira gemetar memegangi alas tes kehamilan yang Riga berikan. Perempuan itu benar-benar bingung dan takut. Jika benar dirinya sedang mengandung, itu pastilah benih dari Alex. Mahira tak bersama siapa pun selama ini, kecuali si berengsek itu.Dan pertanyaan utama yang membuat kepala Mahira luar biasa sakit adalah ... jika benar hamil, maka apa yang akan Mahira lakukan?....Duduk sendirian di salah satu kursi, Mahira membuat senyum saat melihat adiknya, Leoni, turun dari panggung kemudian menghampiri. Ada perasaan senang yang menggelayuti hati si kakak. Akhirnya, hari ini ia bisa menyaksikan Leoni bertunangan dengan Riga. Pertunangan itu diadakan di sebuah gedung mewah. Meski tamu tak sampai ribuan orang, tetapi Mahira tetap senang, sebab adiknya terlihat bahagia. Terlebih, setelah ini, Riga berjanji akan secepatnya mengaturkan pernikahan. "Terima kasih," ucap Leoni usai memberi pelukan pada Mahira. "Kalau bukan kau yang mengenalkanku pada Riga, ini semua tak akan terjadi." Mahira menggeleng. "Aku kenalkan pun, kalau kalian memang tidak saling suka, ini semua tak akan terjadi." Leoni mengangguk saja. "Oh, iya. Aku ingin ceritakan sesuatu." Perempuan itu mendekatkan kursi pada Mahira. "Soal apa?" Mahira berusaha fokus mendengarkan, meski sebenarnya kepala penuh dengan masalah sendiri. "Aku bertanya pada orangtuanya Riga tadi. Soal harus memberikan
Ada yang ingin melenyapkannya. Demikian asumsi Mahira pagi ini, setelah ia terbangun dan menemukan diri berada di sebuah kamar yang asing. Mahira menyadari dirinya sudah diculik. Dibawa ke sebuah tempat dan dikurung. Pintu kamar itu terkunci ketika Mahira berusaha membukanya. Si gadis mengetuk, bahkan memukul-mukul, juga memanggil. Namun, tak ada orang yang menyahut atau datang. Siapa? Kenapa? Untuk apa? Siapa yang menculik Mahira? Kenapa orang itu melakukannya? Memang apa yang bisa diambil dari Mahira? Beban pikiran si perempuan makin banyak. Belum juga berhasil merampungkan masalah soal kehamilan, sekarang, sudah ada masalah bau. Perempuan itu bergerak menjauh dari pintu. Memeriksa meja dan nakas, mencari ransel dan ponsel. Namun, dua benda itu tak satu pun kelihatan. Mahira kembali menggedor pintu kamarnya dari dalam. "Hei! Apa yang kalian lakukan padaku! Keluarkan aku dari sini!" Masih tak ada sahutan. Mahira tidak menyerah. Ia terus menggedor pintu, memutar kasar kenopnya
Hal pertama yang Mahira lihat di pagi ini ketika membuka mata adalah ... Alex. Perempuan itu mengerjap. Memastikan bahwa pusing yang mendera bukan sebab ia berhalusinasi. Berkedip beberapa kali, Mahira masih melihat Alex di hadapannya. Ia pun duduk. Mahira mengangkat tangan, kemudian menemukan ada jarum infus yang tertempel di sana. Ia kembali menoleh dan masih melihat Alex di sana. "Mencariku, Sayang?" Si wanita berhenti berkedip. Sorot matanya menjadi dingin. Kemudian, dengan satu gerakan cepat, tangan Mahira berhasil memberikan satu tamparan keras di wajah Alex. "Bajingan," maki Mahira pelan, tetapi penuh kebencian. Alex menggosok pipinya sesaat. Pria itu tersenyum jenaka. Seolah makian atau tamparan Mahira tak berarti apa-apa untuknya. Lelaki itu mendekat, duduk di tepian ranjang Mahira. "Bagaimana keadaanmu?" Mata Alex melirik ke arah perut si perempuan. "Kau hampir membahayakan bayimu, Sayang." Kemarin, Mahira nyaris jatuh dari atas pohon. Kelelahan, pun perempuan itu ke
Warning! 18+ "Bukan aku yang membuatmu hamil. Anakmu itu bukan anakku. Aku bersumpah, Mahira!"Mendengar kalimat itu, darah Mahira mendidih. Ia luar biasa marah. Rasanya perempuan itu benar-benar ingin menghabisi Alex.Mahira pun keluar dari kamar. Ia ingat pernah melihat tongkat bisbol dibawa salah satu pengawal yang berjaga di dekat dapur. Perempuan itu ke sana, mengambil tongkat tadi, kemudian mendatangi Alex yang sudah berada di ruang tamu.Ia sudah pernah menduga ini, bukan? Alex bisa saja tak mengakui anak yang sekarang Mahira kandung. Namun, mendengar hal itu secara langsung seperti tadi, hati Mahira benar-benar hancur.Manusia macam apa Alex ini? Sudah keji mencuri sesuatu dari Mahira, pun mengingkari kebenaran yang ada.Maka Mahira merasa tak boleh lagi menahan kemarahan. Ia ayunkan tongkat bisbol itu hingga menghantam perut Alex. Si pria memekik, kemudian terjatuh di lantai.Mahira menangis. "Aku bahkan tidak mengenalmu, tapi kau tega berbuat sejahat ini padaku? Kau pantas
Mahira tersenyum lebar ketika melihat Albert datang dan membawakan ranselnya yang selama ini disembunyikan. Albert memang menjanjikan ini kemarin. Namun, tak Mahira sangka akan benar-benar dikabulkan. "Kau benar-benar membantuku?" tanya perempuan itu tak percaya. Ia memeluk ranselnya erat."Dengan satu syarat. Jangan hubungi keluargamu. Jika Anda melakukan itu, maka semua akan jadi kacau. Keluarga Anda bisa saja dalam bahaya."Duduk berhadapan di halaman belakang rumah, Mahira terpaksa mengangguk, setuju. Ia membuka ranselnya. Mengeluarkan laptop dan beberapa camilan dari sana."Ponselku?"Albert menggeleng. "Jika Anda menepati janji dan tidak menghubungi keluargamu, nanti akan saya berikan."Mahira mengangguk saja. Perempuan itu membuka, lalu menyalakan komputer jinjingnya."Anda melakukan apa?" Albert menarik kursinya dan duduk di samping Mahira. Memeriksa dan memastikan si perempuan tak melakukan sesuatu yang salah, seperti menghubungi keluarganya."Pekerjaanku," jawab si gadis."
"Selamat pagi, Sayang?"Sapaan dari Alex membuat Mahira yang sedang memangku laptop di ruang tamu menoleh dengan kernyitan di dahi. Perempuan itu menatapi si lelaki dari ujung kaki ke ujung kepala beberapa kali sebelum kembali menatap layar komputer."Kau sudah sarapan, Sayang?" Alex duduk di karpet, di dekat sofa yang Mahira huni.Mahira langsung mengangkat kedua kaki takut. Ia taruh laptop di atas meja. "Matamu bermasalah? Apa matahari di luar sana kurang terang?"Si perempuan menatap kesal. Setelah semalaman membuat tidurnya tidak lelap, karena Alex benar-benar tidur di kamar yang sama dengannya. Sekarang, pria itu malah sok ramah dan mengucapkan selamat pagi yang sudah sangat terlambat?Ini sudah pukul dua belas. Matahari sudah persis di atas atap rumah. Pagi kata Alex?Diberi jawaban ketus begitu, Alex tertawa girang. "Hei, kenapa kau bisa sangat cantik? Bahkan saat sedang marah begini."Mahira mengerjap. Ia memeluk kedua kakinya. "Pergi. Jangan dekat-dekat denganku."Alex mengge
Mahira sedang bersiap menerima suntikan dari perawat, saat tiba-tiba saja Alex datang dan mengarahkan sebuah tembakan pada dokter yang tadi memeriksa Mahira. Bunyi letusan menggema di ruangan itu. Lelaki berambut coklat itu kemudian berlari menuju si perawat. Ia jambak rambut perempuan itu, lalu diseret menjauh dari Mahira. "Obat apa itu?" tanyanya setelah membuat si perawat berlutut di bawah kaki. Mendengar pertanyaan Alex, Albert bergegas menjauhkan jarum suntik yang tadi dijatuhkan si perawat di samping Mahira. "I--Itu vi--vitamin untuk ibu hamil, Tuan," jawab si perawat terbata. Alex menyeringai. Ia arahkan ujung pistol ke kepala si perawat. "Kau mau kepalamu bolong seperti dokter itu?" Si perawat menangis ketakutan. "Maafkan saya, Tuan. Sa--saya hanya diperintah." Menghela napas, Alex mulai habis kesabaran. "Jawab pertanyaanku, sialan. Itu obat apa, siapa yang membayar kalian?" "Itu obat untuk meluruhkan janin, Tuan."Albert langsung terbelalak. Pria itu menjauhkan tas si
Karena sebuah pemikiran konyol, malam ini Mahira tak bisa tidur. Berulang kali perempuan itu mengubah posisi. Menghadap ke kanan, kiri, ia ragu untuk menelungkup mengingat janin di dalam rahim. Entah kenapa, saat makan malam tadi, Mahira terpikirkan sesuatu yang luar bisa aneh. Itu semua karena ia makan satu meja dengan si bajingan Alex. Mahira mendadak penasaran. Apa warna di rambut Alex itu asli atau hanya buatan. Mahira mendadak punya rasa penasaran soal apakah anaknya nanti akan punya rambut coklat atau hitam. "Kenapa, Mahira? Ada yang sakit?" Alex yang sejak tadi pura-pura tidur akhirnya menghampiri si perempuan. Laki-laki itu duduk di tepian kasur Mahira. "Ada yang sakit, Sayang?" tanyanya lembut. Si perempuan menggeleng. "Aku hanya tidak bisa tidur.""Mau kubuatkan teh? Susu?" Mahira menggeleng. "Kau bisa membawaku jalan-jalan?" Mata Alex yang semula mengantuk, sedikit terbelalak. Sudah pukul berapa sekarang? Mahira ingin jalan-jalan? "Kau bisa kena angin, Sayang. Mau j