Share

Menangis

Hari demi hari Azizah lalui dengan air mata. Walau tak banyak yang tahu seberapa menderitanya dia. Bahkan kedua orangtuanya tak pernah melihat betapa terlukanya gadis malang tersebut. setiap hari ia menghabiskan waktu di dalam kamar, menangis disudut ruangan sembari memeluk lututnya. Azizah menggigit bibir bawah agar tak ada yang mendengar suara tangisan itu. Dia butuh seseorang yang dapat mengayomi serta meningkatkan rasa percaya dirinya yang menciut.

Andai saja kedua orangtuanya berhati mulia seperti ibu guru Samsida, bersikap bijaksana selayaknya dewa, maka Azizah tak perlu takut menatap dunia. Dia bisa melawan kekejaman tempat adam dan hawa terhempas itu. Atau paling tidak ada seseorang yang memegang tangannya dengan erat agar tak terjatuh kedasar jurang yang terjal. Dimana dia tak dapat berpijak dikarang kehidupan.

Hati Azizah hancur berkeping-keping. Jika itu hanya menyangkut para tetangga yang tak mengenal siapa dirinya, maka dia bisa menerima dengan lapang dada, tetapi mereka yang masih ada ikatan darah, sungguh membuat Azizah terluka. Dimana paman dan bibinya memfitnah gadis itu telah hamil dan keguguran. Entah dari mana datangnya kabar burung itu, yang pasti hal tersebut membuat Azizah terpukul. Mentalnya terguncang hingga membuatnya tak berani keluar rumah.

Ya, akhirnya Azizah tahu siapa yang telah menyebarkan rumor tak sedap itu. Ketika ia hendak pergi ke kedai orang tua Irma, banyak orang yang menyebut Alwi dan Halima sebagai pelaku utama dari penyebaran fitnah menjijikan itu. Termasuk ibu Irma, wanita paruh baya itu bercerita dengan bibir tebalnya, seolah lupa siapa putrinya. Padahal setiap hari dia memarahi Irma karena mencuri uang hasil kedainya.

“Eh, kalian tahu gak. Alwi dan Halima itu, mereka kok tega ya menyebarkan aib keponakannya sendiri? Padahal Fahri dan dia kan masih sepupu,” ungkap ibu Irma yang bernama Markonah. Wanita paruh baya dengan bibir tebal bergincu merah darah itu memiliki hobi yang unik. Dia suka mengumpul para emak-emak dikedainya, lalu menggosip yang tidak-tidak. Padahal tema yang menjadi bahan pembicaran mereka tak tahu dimana sumbernya. Andai saja ada pengacara kondang dikota itu, mungkin emak-emak tersebut sudah dipidanakan.

“Masa sih? Aku baru tahu loh, jeng!” sahut ibu-ibu berdaster longgar tanpa memakai celana dalam. Dia sengaja melonggarkan pahanya untuk merayu bapak-bapak yang sering berkumpul dikedai Markonah. Maklum saja, ibu itu merupakan janda kembang murahan yang setiap malam menjajakan tubuhnya dipinggir jalan. Dan parahnya lagi, mereka membawa serta anak gadisnya kejalanan. Lantas, siapakah yang lebih mulia disini? Azizah si gadis malang yang tak tahu apa-apa, atau mereka yang disebut kaum munafikun? silahkan nilai sendiri wahai para netizen yang budiman.

“Hala, itu karena anak Fahrinya aja yang keganjenan! Dia tidur sama banyak pria kok. Jadi wajar saja kalau Alwi dan Halima bercerita. Orang kabar itu sudah tersebar sampai kesebrang kota. Sudah jadi konsumsi publik gitu.” Emak yang satunya lagi, dia janda muda. Di tinggal suaminya karena kedapatan selingkuh didalam kamar mereka. Padahal saat itu dia tengah hamil muda. Tapi dengan tak tahu malunya mencela Azizah yang bahkan jauh lebih mulia dari dirinya. Sekarang dia hanya bekerja sebagai buruh cuci dari rumah ke rumah.

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan pintu kamar membuyarkan lamunan Azizah tentang peristiwa dikedai tadi pagi. Dia berdiri dan membuka pintu kamar.

“Kakak, ayo main bersama Yana.” Rupanya yang mengetuk pintu kamar Azizah adalah sang adik. Dia mengajak remaja itu untuk bermain bersama diteras rumah.

“Baiklah, kakak ganti baju dulu, ya?” balas Azizah ramah sembari mengusap kepala adik kesayangannya itu.nSepuluh menit kemudian, Azizah keluar menyusul Yana yang lebih dulu berada diteras rumah.

“Ayo kita main, kak,” ajak Yana.

“Emang kita main apa, dek?” Azizah mencubit gemas pipi gembul adiknya. Dia sangat menyayangi Yana, cintanya pada bocah itu tak terhingga. Sama halnya dengan kedua kakaknya yang diseberang sana. Akan tetapi, mereka tak peduli pada sosok Azizah. Kedua kakak remaja itu selalu saja menghindari panggilan telpon Azizah, seolah menghindari adiknya itu. Entah karena kabar fitnah dulu sudah sampai ke telinga mereka, atau memang ada motif lainnya. Entahlah, Azizah juga tak pernah tahu mengapa dua saudaranya itu tak pernah mau menjawab panggilannya.

“Kita main karet aja, yuk? Kakak disebelah sana, dan aku disini,” kata Yana, memberi interupsi pada Azizah.

“Baiklah.” Tanpa membantah, Azizah mengiyakan ucapan Yana. Dan mereka pun bermain lompat karet berdua. Namun, ditengah asiknya permainan itu berlangsung, tiba-tiba saja Halima dan Markonah melintasi rumah Fahri. Keduanya menghentikan langkah guna menggunjing mereka yang masih belia.

“Wah, lihatlah keponakan suamimu itu Halimah. Dia bermain karet seperti anak kecil. Apa dia tidak takut kandungannya lemah? Padahal kan udah pernah keguguran!” ledek Markonah dengan mulut comberannya. Dia tanpa tahu diri, menghujat anak gadis orang yang tengah bermain menghibur adiknya. Mereka sengaja membesarkan suara agar Azizah mendengar percakapan tajam itu.

“Dia kan memang masih kecil, sudah seharusnya bermain seperti itu, tapi karena ganjen dia menjajakan tubuhnya kepada pria hidung belang sampai hamil dan keguguran! Sungguh kasihan.” Kali ini Halimah yang meledek Azizah. Seolah tak kenal lelah mereka terus saja mengusik kehidupan remaja itu. Padahal anak itu tak pernah mengganggu hidup orang lain.

“Eh, bibi Halimah. Ayo mampir, bi. Bibi mau minum kopi? Nanti aku buatin.” Sejenak Azizah menghentikan mainnya. Dia sengaja mengajak dua wanita paruh baya itu untuk mampir ke rumahnya. Dengan tujuan agar dua emak-emak rese itu berhenti menghujat. Walau dia tahu setelah ini mereka tak akan berhenti mengusik kehidupannya.

“Gak! Nanti kamu kasi racun lagi. Kamu kan syirik terhadap kita!” tukas Halimah membabi buta. Seolah lupa diri siapa yang memiliki hati busuk serta syirik disini.

“Gak kok, bi. Azizah jamin seratus persen kopi buatan Azizah aman tanpa racun. Tapi kalau bibi ragu, gak apa-apa juga. Bibi boleh melanjutkan perjalanan. Kasihan paman di rumah sudah menanti kedatangan bibi. Bibi membelikan rokok dan es dawet buat paman, kan? Tuh, udah basah rokoknya.” Untuk pertama kalinya Azizah melakukan perlawanan. Walau masih dengan nada lembut tak bertuan. Namun, sukses menyentil hati Halimah. Sehingga Markonah yang saat itu menjadi pendengar sejati ucapan Azizah, tersenyum mengejek pada Halimah. Rekan gosipnya yang begitu setia.

“Apa kamu senyum-senyum?!” Merasa malu dan kalah telak dari Aziah, akhirnya Halimah membentak Markonah, rekan sejagat dalam mengghiba yang kini tengah tersenyum mengejek dirinya.

“Kau kalah dari anak kecil itu. Haha.” Bukannya takut, Markonah justru membullying Halimah dengan tawa recehnya.

“Awas kau Azizah! Dasar anak nakal tidak tahu diri!” umpat Halimah sembari beranjak pergi. Sementara Azizah tersenyum seraya menggelengkan kepala. Sejujurnya dia merasa heran, mengapa orang-orang itu terus saja mengusik hidupnya. Padahal dia sangat jarang keluar rumah. Bahkan hanya sekedar ke tetangga sekalipun. Azizah merupakan gadis rumahan. Tak banyak bicara, juga malu akan hal-hal tertentu. Walau sebenarnya dia adalah anak periang. Akan tetapi, senyumannya seolah lama hilang di telan angin malam dimana dia pertama kali mendapat fitnahan.

“Kakak, ayo kita bermain lagi. Ini belum selesai,” rengek Yana mengajak kembali Azizah untuk bermain.

“Baiklah, kita lanjutkan permainan tadi, ya. Sekarang giliran kakak, kan?”

Dan akhirnya dua anak beda usia itu melanjutkan permainannya. Meloncati karet yang tak seberapa tinggi. mereka bermain selayaknya anak tanpa beban. Walau sebenarnya masih ada luka didalam sana yang berdarah. Akan tetapi, Azizah menahannya. Sebab senyum dan tawa Yana menjadi obat pelipur duka ditengah hatinya yang kian lara.

To be continued…

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status