Kemudian wajah-wajah penuh harap itu kecewa ketika sesosok manusia tomboi, tomboi serupa kucing, kucing manis tukang onar, muncul dari dalam mobil itu.
.
.
Siang yang panas, di dekat sebuah bangku panjang di bawah pohon rindang di halaman belakang sekolah, tak jauh dari lapangan baseball. Nicky, Kevin dan Charlie sedang duduk menikmati awal musim panas di sana. Duduk di atas rumput. Bersama mereka, Shawn sedang berbaring pada bangku panjang di belakang punggung ketiga temannya.
"Heh, Nick, sejak kapan kau bisa menyetir mobil?" selidik Kevin.
"Sejak kelas sembilan. Kenapa?"
"Dengan badan pendekmu ini? Memangnya kakimu bisa menginjak gas?"
Tak bisa disangkal, bahwa tubuh Nicky memang tergolong pendek untuk ukuran gadis Kaukasoid berusia tujuh belas tahun.
"Kau meremehkanku. Itu semudah menginjak wajahmu, Kev."
"Kau kenapa, Kev? Iri?" Shawn menimpali dengan matanya masih terpejam.
“Lebih baik kau lanjutkan saja tidurmu, Muka Bantal! Tentu saja aku iri. Ibuku tidak pernah mau mengajariku menyetir. Dia takut aku akan kabur seperti ayahku."
"Oo ... kasihan sekali. Tak usah mengelak, Kev. Ibumu tahu kau tak bisa diajari," ledek Nicky. Namun, tiba-tiba Nicky berteriak, "Aawh ...!!" pekiknya saat Kevin menarik kasar poni sebelah kirinya, yang paling panjang dibanding rambut di bagian lain kepalanya.
"Bagaimana kalau sesekali ikut balapan?" si muka bantal bangkit dari rebahannya.
"Hei, kau serius? Kedengarannya seru, tapi aku tidak tahu apa pun tentang balapan liar."
"Apa Kenneth tidak pernah cerita padamu?"
"Kenny? Dia tidak pernah mengatakan apa pun tentang balapan. Selama ini aku hanya tahu kalau Kenny menyukai balapan, hanya itu saja yang kutahu. Dan asal kau tahu, Kenny tidak sekalipun mengijinkanku berada di belakang kemudi."
"Lalu kenapa sekarang ...." Kevin penasaran.
"Bukan Kenny, tapi Aaron yang mengantarku mendapatkan izin mengemudi empat hari yang lalu. Sekarang Kenny di Springfield, dia tidak tahu."
"Lalu bagaimana kau belajar menyetir?"
"Kenny yang mengajariku. Tapi entahlah, kemudian dia melarangku menyetir. Aku tidak tahu sebabnya."
Shawn mengerutkan dahinya. "Kupikir Kenneth tidak pernah mengajakmu balapan karena kau tidak tertarik."
"Tunggu! Jadi kau juga suka ikut balapan?"
"Ya, begitulah. Pasti kau juga tidak tahu kalau Kenneth dan aku satu tim."
"Apa? Tim?"
"Ya. Kenneth, aku, Kevin, Charlie, Sean, dan Uncle Dong-Woo. Kami satu tim."
"Jadi kalian ...?" Nicky terkejut dengan ucapan Shawn. "Pantas saja kau selalu mengantuk di siang hari."
"Hoahm ...”Shawn menguap lalu kembali berbaring. “Ya, begitulah.”
"Tapi Kevin dan Charlie tidak pernah mengantuk sepertimu?"
"Dia bohong. Dia itu hidup hanya untuk tidur, tidak ada hubungannya dengan balapan, karena balapan tidak setiap malam," tukas Kevin.
"Lagi pula aku dan Kevin hanya membantu persiapan sebelum balapan, tidak diijinkan ikut turun ke tempat balapan ..." Charlie si badan gempal menyahut sambil terus mengunyah keripik kentang, menimbulkan bunyi remukan-remukan renyah. “Kau tahu bagaimana ibu kami. Sedangkan Shawn, dia memang rider. Lagipula tidak akan ada yang mengomelinya."
"Sebentar ... sebentar ... aku tidak mengerti."
"Haah ... kau itu memang lambat," ledek Kevin.
"Memangnya kau tidak?"
"Jangan asal bicara! Kau pikir PR yang selalu kau salin itu pekerjaan siapa?"
"Shawn?"
"Itu pekerjaanku, Kucing Manis?"
"Kev!!" Nicky meninju bahu Kevin "Dari mana kau dapat panggilan itu?"
"Jadi selama ini Shawn menyalin PR-ku, lalu kau menyalin PR Shawn."
"Kau belum menjawab pertanyaanku."
"Benar kau tidak tahu?" mata Kevin menyipit.
Nicky menggeleng.
"Sekarang ini kau populer dengan sebutan itu."
"Tidak mungkin Shou ..."
"Kau masih ingat video itu?" Kevin menoleh pada Nicky, memastikan ia mendapat atensi. "Video kau berkelahi di Palmline, bocah middle school vs. berandalan."
"APA?!" sembur Nicky ke muka Kevin yang memang tepat berada di sebelahnya. "Kalian pikir itu aku?"
"Pelankan suaramu," gumam si muka bantal alias Shawn. "Itu menyakiti telingaku."
"Apa ini ulah kalian?"
"Mana mungkin. Jangan asal tuduh! Kami ini temanmu, mana mungkin menjatuhkan reputasimu. Aku lebih suka memanggilmu 'kucing hutan' daripada 'kucing manis' ..."
"Jangan memanggilku dengan sebutan yang tidak kusukai!"
Nyaris saja Nicky menghadiahi Kevin sebuah bogem. Namun, Kevin sigap menangkis dan melempar sembarangan dan malah bersarang ke mata Shawn yang berbaring di bangku di belakang mereka.
"Brengsek kalian! Mengganggu tidurku saja." Untungnya Shawn adalah tipe orang yang tak mudah terprovokasi. Ia memilih melanjutkan tidurnya setelah memijit-mijit matanya. Tidur adalah pekerjaan penting bagi Shawn.
"Kau tidak bisa mengelak, Nick. CCTV itu beresolusi tinggi, microphone-nya juga sepertinya sangat peka. Baru-baru ini ada yang membagikan lagi video itu dengan di-zoom, wajahmu terlihat jelas. Suaranya juga cukup jelas."
"Kau yakin suara video itu asli? Bisa saja kan, itu editan, dubbing atau semacamnya."
"Asli atau tidak, itu sudah tersebar." Kevin merogoh keripik kentang dari bungkusnya di tangan Charlie.
"Hei?" protes Charlie.
Tetapi saat Kevin akan memasukkannya ke mulutnya, Nicky menyambar keripik kentang itu dan memakannya. Setelah itu tangannya memainkan helaian-helaian kelopak bunga layu yang baru saja gugur dan terjatuh di atas pangkuannya.
"Ghah ..., kau ini!" protes Kevin. "Pantas saja tidak ada yang mau denganmu. Freak!"
"Kalau Aaron sampai tahu, bisa habis aku diceramahinya." Nicky meremas kelopak bunga layu yang tadi dimainkannya.
"Nick, datanglah ke D-Autowork besok! Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu." Charlie mengalihkan pembicaraan.
"Bengkel modifikasi yang terkenal itu?"
"Ya, bengkel itu milik Uncle Dong-Woo," sahut Shawn sembari bangkit dari tidur ayamnya, sambil merapian ikatan rambut gondrongnya yang berantakan. Seketika ia terlihat bersemangat.
"Benarkah? Hei, Shawn, kenapa kau tidak pernah membawa mobilmu?"
"Untuk apa membawa mobil, kalau kau bisa ke sekolah dengan berjalan kaki?" Shawn meregangkan badannya sambil menguap lebar.
Melihat itu Nicky spontan memasukkan kelopak bunga layu di tangannya ke dalam mulut Shawn. "Khakhakhakha !!"
"Bwuehh! Sialan kau, mau kuperkosa, huh?" ancam Shawn sambil mengusak, mendorong-dorong kasar kepala Nicky. Tentu saja ia tidak serius ingin memperkosa teman freak-nya itu. Tak nafsu.
"Ish!"
"Supaya terlihat mencolok dan menjadi pusat perhatian? Menjadi keren bukan segalanya bagi kami. Asal kau tahu, mobil balap tidak cocok dipakai di jalanan. Dan mobil yang biasa dipakai Kenneth untuk balapan bukanlah mobil cantik itu," orasi Shawn.
"Whoa ... ada kejutan apa lagi?"
"Kenapa?"
"Kenny punya mobil lain juga?" mulut Nicky menganga.
"Bukan milik Kenneth sebenarnya, milik tim, dia sebagai rider. Ternyata kau tidak tahu apa-apa. Lebih baik datang saja besok."
.
.
Bel tanda berakhirnya jam istirahat berdering, memaksa Nicky dan kawanannya mengakhiri sesi bersantai. Di sepanjang koridor menuju kelas, Nicky tak jarang mendapat tatapan menggoda, menantang atau ketakutan dari para siswa. Entah perasaannya saja, atau memang itu nyata. Ia merasa sebelumnya tak pernah berada di situasi seperti sekarang.
"Kucing Manis ... emmmuach." Bahkan ada yang berani menyeletuk, dengan intonasi menggoda tentunya.
Nicky menghentikan langkah dan memelototi siswa lancang itu "Hemph ..." Tetapi ia hanya mendengus kasar, menahan emosinya yang hampir meluap.
Ia tak ingin berbuat onar di sekolah kali ini. Karena jika sampai pihak sekolah memanggil wali untuk menghadap, bukan Kenneth, melainkan Aaron yang akan datang. Mendapat hukuman 100 sit up, 50 push up dan 20 pull up dari Kenneth masih lebih baik bagi Nicky daripada harus mendengarkan kuliah dari Aaron sambil berdiri. Kadang Nicky berpikir, seharusnya Aaron menjadi motivator saja, bukan polisi.
_______
Nicky sedang memasuki Rhein’s, saat seseorang menepuk pundaknya dari belakang."Hai, Nicky, mobilmu bagus juga."
"Kupikir kau tidak akan ke sini lagi setelah melihat perlakuan Shou pada temanmu itu," sinis Nicky.
"Urusan Shoujin dengannya tidak ada hubungannya denganku."
"Kau 'kan temannya?"
Sharon hanya mengedikkan bahunya. "Kau menunggu Shoujin lagi? Untuk apa? Kau 'kan membawa mobil sendiri?" Si gadis pink melirik pada mobil hitam-putih di depan Rhein’s.
"Bukan urusanmu. Dan satu hal, itu bukan mobilku."
Tak ingin buang-buang waktu dengan pinky, Nicky menghampiri Karina di meja kasir. "Halo, Cantik." Nicky menyapa wanita berambut merah dengan senyum lebar.
"Halo juga, Kucing Manis?" wanita itu pun tersenyum.
"Ish ..." Sharon melengos dan berjalan menuju deretan rak.
"Jangan panggil aku seperti itu! Cukup ‘Nick’. Apa Shou masih lama?"
"Sepertinya tidak. Tapi biar kupastikan dulu." Karina meninggalkan Nicky menuju dapur. Tak berselang lama, ia kembali. "Tiga puluh menit. Dia sedang menyelesaikan yang terakhir. Kautunggu saja di ruang istirahat." Senyumnya masih mengembang.
"Di mana?"
"Lewat pintu itu." Karina menunjuk pada pintu yang tadi dilewatinya lalu menjelaskan, "Lurus saja. Pintu yang di ujung, di sebelah kanan."
"Apa tidak apa-apa?"
"Aku mengatakannya karena Shoujin yang menyuruh."
Sharon menatap pada Nicky dan Karina penuh curiga. Sebagai pelayan toko yang baik, Karina mengangguk dengan senyum ramah pada Sharon, tak peduli meski ia kesal.
"Apa kau juga menonton video itu?" selidik Nicky pada Karina.
"Video ..." Karina ragu menjawab.
"Tolong jangan memanggilku dengan sebutan itu. Aku tidak suka."
"Tapi kau memang manis, Nick."
"Cantikku, kumohon! Aku sangat benci itu." Nicky memohon dengan mengatupkan kedua tangannya dan memasang wajah sedemikian rupa supaya terlihat imut dan mengiba. Sudahlah, Nicky ... Tidakkah ia tahu bahwa raut wajah itu sama sekali tak cocok dengannya?
"Baiklah ... baiklah ..., Sayang."
Nicky mendesah tak puas. "Itu lebih baik, meskipun aku juga tidak begitu suka. Baiklah, terima kasih." Nicky berlalu dengan senyum di wajahnya yang membuat Karina semakin gemas.
Nicky sempat mengintip ke dalam sebuah ruangan di balik pintu bercat hitam dengan sebuah kaca bulat transparan. Di situlah tempat Shoujin dan Jamal bekerja. Tampak sebuah kaca besar yang menjadi pembatas antara dapur dengan counter. Dari kaca itu tampak situasi di counter. Nicky ingat jika sedang berada di counter, ia tak bisa melihat apa pun di balik kaca itu. Yang tampak hanya dekorasi yang tertempel apik pada kaca dan pantulan dirinya beserta situasi di counter. Di pinggiran bagian atas kaca besar itu tergantung slim line blind¹ yang terlipat.
"Pantas saja" gumamnya.
.
.
Tiga puluh menit lamanya Nicky berbaring dengan mata tertutup di bagian bawah sebuah ranjang susun di ruang istirahat. Ia lalu membuka matanya saat seseorang memasuki ruangan.
"Kau sudah selesai, Shou?"
"Jadi, kita pulang dengan mobilmu?" Shoujin berjalan mendekat, memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana. Ia sudah tidak lagi memakai pakaian dapur.
"Ya. Lebih mudah meninggalkan sepeda motormu di sini kan? Atau kita pulang sendiri-sendiri?"
"Tidak. Dengan mobilmu saja."
"Shou ...."
"Humm ...."
"Tadi aku mengintip tempat kau memarkirkan sepeda motormu. Untuk membawa sepeda motornu ke situ, kau lewat mana?"
"Kau penasaran?"
"Uhum ..."
"Kenapa tadi kau tidak melihatnya sendiri?"
"Aku ... masih sedikit takut kalau ternyata harus melewati gang sempit."
"Oh ...." Shoujin mengerti. Kejadian waktu itu, di sebuah gang sempit di Palmline. Bahkan pertemuan pertamanya dengan Nicky juga melibatkan gang sempit.
"Shou ..." Nicky memanggil lagi, seperti anak kecil.
"Humm ..." Shoujin tersenyum tipis.
"Kalau ada aku, kau selalu pulang lebih awal daripada karyawan-karyawanmu. Apa tidak apa-apa?"
"Tidak usah khawatir soal itu. Bagiku mereka lebih dari sekedar karyawan, sudah seperti keluarga. Kami saling pengertian.”
"Benarkah?"
"Kau tidak percaya?"
Nicky mengernyitkan dahinya, memikirkan perkataan Karina beberapa waktu lalu yang menyebut Shoujin sebgai seorang anti sosial.
_______
1.slim line blind : krei
Nicky sedang berguling-guling tak jelas di kasur di kamar Shoujin sambil berkali-kali membuka ponselnya, lalu mematikan layarnya lagi. Shoujin merasa heran dengan kelakuan sepupu palsunya itu. Shoujin bersandar pada sebuah meja tulis di kamar itu. Kedua tangannya terlipat di dada. "Ada apa denganmu?" "Tidak apa-apa." "Katakanlah, mungkin aku bisa membantu." Nicky mendesah, "Aku kehilangan sebuah benda yang sangat berharga." "Apa itu?" "Sebuah foto." Pikiran Shoujin melayang pada sebuah foto yang diambilnya dari meja di kamar Nicky beberapa waktu lalu. Ia tak bisa berbohong, tetapi juga tak mungkin mengatakan bahwa ia yang mengambilnya. Shoujin berjalan ke arah ranjang, kemudian duduk di pinggirannya. "Apa foto itu sangat berharga?" "Begitulah. Umm ... aku belum pernah cerita, ya? Aku sudah tujuh tahun amnesia." Nicky merentangkan tubuhnya, menggunakan sebelah lengannya sebagai bantal, menatap pada langit
Malam yang sama, di kota berbeda, yaitu Springfield, Yuri sedang berbicara dengan Kenneth di sebuah ruangan seukuran ruang keluarga di rumah Kenneth. Beberapa buku tebal bertumpuk di atas sebuah meja kerja di dekat dinding, bersebelahan dengan salinan berkas-berkas, lampu meja yang biasa digunakan ketika bekerja larut malam, alat tulis dan laptop yang sedang menyala yang terhubung ke seperangkat audio system yang memainkan musik jazz yang sama sekali tidak populer. Anggap saja ruangan itu sebagai ruang meeting. Sedangkan kedua manusia yang ada di ruangan itu, yang mana salah satunya memiliki rambut diwarnai putih keabu-abuan dan yang satunya diwarnai warna biru, duduk bersebalahan di dua kursi yang berbeda, menghadap sebuah coffee table. Di hadapan kedua pria berusia cukup matang tapi masih melajang itu tersuguhkan dua kopi dalam dua gelas kertas, sekotak pizza dengan topping pepperoni dan daging cincang, dan beberapa bungkus makanan ringan.
Matahari merayap naik, tampak di balik barisan rumah-rumah dan gedung-gedung di St. Angelo. Mengusir hawa sejuk yang dibawa hujan yang semalam menyelimuti kota itu. Pagi yang tenang di St. Angelo. Namun ketenangan itu tak berlaku di sebuah rumah di ujung jalan. . . Nicky masih terlelap, padahal seharusnya ia sudah bangun sejak dua jam yang lalu, tetapi tubuhnya masih terasa lemas. Mungkin efek dari obat penenang yang diminumnya semalam, membuatnya tidur terlalu nyaman, sehingga ia tak mendengar alarm ponselnya. Dan yang mengusiknya dari tidur super nyenyaknya pagi ini adalah suara pintu yang tanpa sengaja terbanting. Cukup membuatnya terkejut. Bersamaan dengan itu aroma kaldu daging menyapa indera penciumannya. "Jam berapa sekarang?" tanyanya saat ia melihat sesosok manusia sedang menghadap meja. Seingat Nicky ini bukan hari libur. Ia hanya melihat punggung orang itu, kabur. Matanya masih terasa berat, enggan membuka. Ia pun kembali menutup ma
Seorang pria androgini¹ sedang duduk sendiri di sofa di lobi sebuah hotel. Siapa pun orang yang belum mengenalnya, baru akan menyadari bahwa dia adalah pria setelah mendengar suaranya yang serak dan berat. Pria itu tampak mengutak-atik ponselnya, kemudian menunggu panggilan tersambung. "Halo. Sayang, aku tidak bisa menemuimu. Istriku menguntit. Sebagai permintaan maaf, aku sudah mengisi rekeningmu." Hanya itu yang diucapkannya, lalu menutup teleponnya. Mata pria itu menyelidik ke sekeliling, ia tahu saat itu dua orang sedang mengikutinya. Orang itu duduk di kursi sekitar tiga meter darinya dan ia tampak sedang bermain-main dengan ponselnya. Namun, Owen —si pria androgini— tahu pria yang mengenakan blazer hitam dan sepatu docmart² itu tidak sungguh-sungguh sedang bermain ponsel. Orang itu pasti sedang menguping pembicaraannya. Lalu ada seorang pria mengenakan celana jeans, jaket kulit dan sepasang sneaker yang duduk di kursi lain tak jauh dari meja resepsionis. Owen sempat melihat o
Hampir satu jam lamanya Owen duduk sendiri di lobi hotel, ia masih betah berlama-lama sendiri di sana, bermain-main sendiri dengan ponselnya. Tampak tak peduli dengan situasi di sekitarnya, termasuk dengan para penguntit. Namun, di balik itu sesungguhnya, penglihatan dan pendengarannya sangat tajam menerima setiap kejadian di sekitar. Dan otaknya bekerja keras dan cerdas menganalisis dan merespon setiap informasi yang masuk. Beberapa menit sebelumnya ia memutus pembicaraan dengan seseorang di seberang, yang tak lain adalah Shoujin. Seorang wanita berusia sekitar tiga puluhan berjalan mendekatinya, Owen pun berdiri untuk menyambutnya. Wanita itu mengenakan jeans ketat panjang dipadukan dengan blus berwarna hitam tanpa lengan dan dengan rimpel di bagian leher. Sedangkan kakinya mengenakan sepasang heels berwarna merah. Rambutnya diikat longgar. Sebelah tangannya menenteng clutch berwarna senada dengan heels-nya. Dan tentu saja, kacamata hitam
Setelah berhasil melumpuhkan Owen, sekarang saatnya untuk mengorek sedikit informasi dari pria androgini itu sebelum menghabisi nyawanya. Setelah itu ia akan memulangkan Gloria pada majikannya, karena sepertinya Gloria tak akan bisa atau tak mau pulang sendiri. Namun, kesadaran Owen perlahan kembali saat merasakan dua tangan menyelusup dari belakang ke bawah ketiaknya dan mengangkatnya tanpa sedikit pun kehati-hatian. Dan saat kedua tangan itu hendak menyeretnya, Owen sigap menghunus pisau dari sarungnya yang terkait ke ikat pinggangnya, lalu menghujamkan ke kaki orang itu. "Aargh!" pekik lawan Owen. Pisau Owen menancap menembus sneakerlawannya. Ya, itu adalah sneaker orang yang duduk di dekat meja resepsionis di lobi hotel. Orang itu memekik dengan suara tertahan ketika menarik paksa pisau dari kakinya. Darah merembes menembus sneaker-nya. Setelahnya ia menyerang Owen dengan pisau di tangannya. Namun, serangan tak ter
"Tidak, dia tidak tahu. Aku tidak mengatakannya." "Ya, tentu saja. Nanti kutelepon lagi." Bocah pirang menutup sambungannya ketika Shoujin duduk di sebelahnya. "Aku harap aku tidak membuatmu menunggu terlalu lama." "Aku sama sekali tidak menunggumu. Apa itu?" mata Nicky tertuju pada kemasan berlogo Bigg's Taco. "Untukmu ..." "Kau tetap membelinya? Aku tidak mau!" tolak Nicky ketus. "Kita lihat saja," tukas Shoujin sambil membawa taco yang dibelinya ke dapur. Sementara Nicky hanya memandang tak mengerti. Lima menit kemudian Shoujin kembali dengan sepiring makanan. Diletakkannya piring itu di atas meja. Lalu sebelum duduk, ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan meletakkannya di atas meja. Baru setelah itu ia duduk di sofa yang sama dengan Nicky. "Apa ini? Tidak terlihat seperti taco." Makanan di atas meja itu tersaji dengan tak semestinya—tersaji di atas piring, tortilla
Kenneth dan Yuri mengunjungi penjara tempat Blake menjalani hukuman. Setelah melalui pemeriksaan dan dinyatakan 'bersih', keduanya diperbolehkan memasuki ruang kunjungan. Setelah beberapa menit menunggu, muncullah sesosok pria berbadan kira-kira setinggi Kenneth, dengan lengan berotot. Kenneth memberikan tatapan ambigu padanya. Pria itu lalu duduk berhadapan dengan Kenneth dan Yuri, di balik kaca transparan yang menjadi pemisah antara narapidana dengan pengunjung. Pria itu adalah Blake. Yuri mengangkat gagang telepon. Kemudian Blake pun melakukan hal yang sama, dengan kedua siku bertumpu pada meja. Ketiga orang di tempat itu berhadapan dengan wajah tanpa ekspresi. "Bagaimana keadaanmu?" Yuri membuka dialog. "Kupikir kau ke sini bukan untuk menanyakan keadaanku." "Ya ..., kau benar. Dan sejujurnya aku juga tidak begitu peduli." "Dan aku juga tak butuh itu. Lalu siapa orang ini?" "Dia Kenneth, rekanku di divisi yang berbeda," han