Hari sabtu pagi.
Rasanya aku masih malas beranjak dari tempat tidur. Gaya gravitasi di kasurku terasa cukup besar diatas rata-rata bila masih di bawah jam tujuh pagi. Padahal aku harus sudah mengemasi barang-barang untuk dibawa ke acara di Glamping Towns.
Dengan mata yang masih terasa berat, aku beranjak dari tempat tidur dan turun perlahan melewati tangga kecil yang ada di bawahnya. Biasanya kalau aku bangun dengan bersemangat, aku bisa langsung melompat dari anak tangga ke dua.
Ku raih tas ransel besar dari dalam lemari penyimpanan kemudian kuletakan di lantai. Aku mengambil beberapa pasang baju lantas meletakannya dengan rapi di dalam ransel tersebut. Aku juga butuh sweater dan jaket yang tebal, karena aku tidak mau mati kedinginan di sana. Cuaca di bulan ini sudah mulai terasa agak dingin dari biasanya.
Saat sedan
Setelah satu jam lebih perjalanan, akhirnya kami telah melewati Verdant Road. Itu tandanya sedikit lagi kami akan segera tiba di Hazel Creek. Aku sengaja menyetel ponselku dengan modus silent, agar aku bisa tenang mendengarkan musik.Saat ingin mengganti playlist lagu. Aku melihat ada tanda satu pesan masuk. Aku hanya mengintip dari notifikasi panel agar pesannya tidak langsung terlihat telah dibaca. Ternyata itu pesan dari Virgie. Saking penasarannya, aku pun langsung saja membuka pesan tersebut.Virgie: "Syd, aku sudah sembuh. Tapi, aku masih di rumah orang tuaku. Mereka belum mengijinkan aku kembali ke apartemen. Yang kemarin kau lihat di mall itu sepupuku. Aku kangen, aku ingin bertemu."Ini diluar perkiraanku. Aku sempat berpikir bahwa Virgie tidak akan mengakui bahwa yang kulihat kemarin itu adalah dirinya. Tapi, yang menjadi pertan
Setelah selesai bersiap-siap, aku dan Andrew pun langsung menuju ke tanah lapang di samping sungai yang jaraknya sekitar tiga puluh meter dari tenda kami. Di sana sudah ada beberapa orang yang sedang duduk mengitari api unggun. Cuaca saat itu sangat dingin, Andrew terlihat menggigil walaupun sudah memakai dua lapis jaket tebal."Janice mana, ya? Apa dia belum selesai?" ujar Andrew yang terlihat sedikit cemas karena Janice belum juga tiba."Jangan terlalu mengkhawatirkan calon istrimu itu, dia sudah dewasa! Paling-paling dia sedang berdandan.""Tanpa berdandan pun dia sudah sangat sempurna di mataku, Syd. Entah sampai kapan harus ku pendam perasaan ini.""Dasar payah! Sekarang dia single, apalagi yang kau tunggu?" desakku."Nyaliku masih segini, Syd …," ujarnya dengan menunjukkan ujung kukun
"Andrew, apa kau sudah gila? Kita sudah berteman sejak kecil! Bagaimana bisa kau menyukai sahabatmu sendiri? Kau tahu? Semua yang kau omongkan ini tidak lebih dari sekedar omong kosong! Kau punya Olivia dan sekarang kau menyatakan rasa cinta kepadaku!" pekik Janice yang terlihat begitu emosional.Ditengah perdebatan, Andrew lantas tertawa terbahak-bahak seusai mendengar perkataan Janice. Katanya, " Olivia? Hahaha! Sydney, Olivia katanya! Hahaha!""Dasar keterlaluan kau! Jangan pernah dekati aku lagi!" geram Janice yang kemudian langsung masuk ke dalam tenda dan menutup tirai.Aku dan Andrew hanya saling menatap heran tanpa berkata, lantas kemudian kami tertawa."Dasar keterlaluan kau. Kenapa tidak langsung kau jelaskan saja sih? Kau mau dia jadinya membencimu? Dasar bodoh!" ujarku sambil menepuk kepala Andrew.
Senin: Chrysanthemum (bunga Krisan), kejujuran.Selasa: Carnation (Bunga Anyelir), aku tidak akan pernah melupakanmu.Rabu: White Lily (Lily Putih), simpatik, mulia, suci, murni, pengabdian, ketulusan.Kamis: Red Rose (Mawar Merah), kasih sayang.Jumat: Red Tulip (Tulip Merah), sebagai alat untuk mengungkapkan isi hati. Kecintaan yang mendalam serta kasih sayang yang sempurna.Sabtu: White Jasmine (Melati Putih), sweet love.Minggu: Baby Breath, cinta sejati yang tak pernah berakhir.Ku baca berulang-ulang makna dari bunga-bunga tersebut. Sepertinya si mister X mencoba memberikan tanda disini, tapi apa? Sambil berpikir keras, kunyalakan sebatang rokok untuk kuhisap. Selain itu, aku mencoba membaca beberapa artikel di internet, siapa tahu ada sesuatu yang bisa melengkapi puzzle 'bunga-bungaan' si mister X itu.
Untuk kedua kalinya setelah yang semalam, Andrew tertawa mengakak mendengar kata 'Olivia'. "Janice, really? Jadi hanya karena itu kau menghindariku sejak semalam?""Kau keterlaluan Andrew! Aku benci padamu!" pekik Janice yang merasa kecewa. Lantas memalingkan badan, berniat untuk lari dari situ."Janice, tunggu! Dengarkan aku dulu! Ini …, aaahhh! Hahaha!" Andrew terlihat tak bisa mengendalikan diri. Tawanya makin pecah saat itu.Janice yang merasa tidak dihargai karena terus-terusan ditertawai Andrew merontak agak Andrew segera melepaskan tangannya dari cengkeraman tanga Andrew yang terlalu kuat."Lepaskan aku!""Dengarkan aku dulu!" Andrew menekankan kata-katanya. "Olivia itu anjing poodle pemberian pamanku! Kenapa kau cemburu dengan seeker anjing?"Sontak Janice terce
Sekarang sudah pukul delapan lebih lima belas menit. Aku masih tengkurap di atas sofa yang nyamannya minta ampun jika sedang merasa lelah. Sebelum pulang, aku dan Andrew mengantar 'princess' Janice dulu. Mereka belum saling menegur, tapi ada sedikit titik terang yang mencuat. Entahlah, mungkin mereka masih merasa kaku atau malu.Aku merayap ke lantai berniat mengambil ponsel yang tadi sudah ku isi dayanya. Kemarin aku lupa membalas chat Damon. Sepertinya aku telpon secara conference saja. Aku berniat ingin menyampaikan apa yang ku dapat kemarin. Bunga-bungaan yang memusingkan kepala."Hey, Dude! Sombong sekali kau tidak membalas pesanku kemarin? Plis, jangan sok sibuk!" ujar Damon.Aku tertawa mengakak seperti biasa. Kataku, "well, actually aku hanya membalas pesan orang-orang yang penting saja, jadi, sorry not sorry, bro!""Sialan kau! Hahaha!
Ketika tiba di Coffeetoria, kebetulan saat itu suasananya memang sedang ramai. Itu bisa terlihat dari luar sini. Aku langsung keluar dan bergegas membukakan pintu mobil untuk Abby."Apa sih kamu? Aku bisa membuka pintu sendiri. Ada-ada saja," akunya sambil tersipu malu.Saat keluar dari mobil, secara tak sengaja, sinar dari lampu mobil yang lewat menyoroti wajahnya. Pipinya terlihat memerah dihiasi senyum kecil yang terlihat canggung. Kami pun langsung bersicepat agar bisa mendapatkan tempat duduk.Ketika memasuki pintu, disana berdiri seorang pelayan yang langsung mengarahkan kami ke meja yang masih kosong di lantai dua. Kami pun mengikutinya sampai ke atas. Begitu sampai di meja, sang pelayan langsung memberikan menu dan mencatat pesanan kami. Tak perlu berlama-lama lagi karena kami memang sudah kelaparan setengah mati.Malam itu kami berdua m
Sepanjang hari aku mendapati diriku berpikir soal kejadian yang semalam. Beberapa kali kucoba meyakinkan bahwa itu tidak disengage. Tapi, entah mengapa di sudut lain bagian otakku berkata itu memang keinginanku. Entah kenapa sekarang itu terasa menjadi begitu rumit dan membingungkan. Aku tidak tahu pasti apa yang ku rasakan, namun di sudut hatiku yang paling dalam, aku sangat merindukan kebersamaan kami yang seperti dulu."Sydney, ini masih pagi dan kau sudah melamun! Ayo kerja!" ujar Sebastian si manajer baruku sambil berlalu dengan menyeruput kopi.Seumur-umur aku bekerja disini, pak Daniel tidak pernah sekalipun berjalan kesana-kemari membawa cangkir di depan customer. Pak Daniel pun tidak pernah menegurku seperti itu. Atau mungkin aku saja yang sedang sensi? Entahlah.Ini baru jam setengah dua belas, tapi entah kenapa rasanya aku ingin segera cepat pulang. Aku pun melanjutkan