Aku duduk sambil terus menundukkan kepala, tak mau menatap sosok bengis di depanku. Lantai di bawah sana terlihat sangat kotor, dengan pasir-pasir dari bawah sandal, atau sepatu para pengunjung. "Saya nggak bisa batalin pernikahan mereka," ucap suara penuh penekanan itu.Ya, saat mendengarnya tentu hatiku berasa sakit. Perih. Aku tak bisa menahan semua rasa sakit, yang diberikan oleh keluargamu. Aku menderita, karena terlalu mencintai sosok dirimu, Elgin.Kualihkan pandangan ke arah lain–yang jelas bukan melihat ibumu–Hayati. Aku ketakutan sehingga tangan terasa bergetar, mungkin Satria–di sebelahku, juga menyadari hal itu."Kenapa Anda memisahkan dua orang yang sudah saling mencintai, Nyonya? Keyra sudah jauh-jauh dari Sumatera, hanya demi Elgin. Apakah perjuangan semacam ini dirasa belum cukup juga?" Satria berbicara, menimpal dengan nada datar."Rossa lebih baik daripada anak ini. Kalian hanya buang-buang waktu saya saja. Permisi."Terdengar suara kursi yang ditarik ke belakang. Y
Sebuah panggung yang didirikan dengan riasan mewah, sedikit menaruh rasa untuk tak singgah. Tamu undangan yang rata-rata mengenakan kebaya dan baju koko, sudah mengerumuni kursi-kursi hijau, di bawah tenda.Kami berada di dekat janur kuning yang ditancapkan, tidak jauh dari tenda pembuka–ada ucapan selamat datang di sana. Aku sengaja memakai masker, agar ibumu tak melihatku. Bisa gawat, kalau rencana menemuimu gagal.Satria berbisik, "Ra, kalo acara ijab kabul nanti mulai, kamu jangan berbuat yang nggak-nggak, ya?"Jiwaku terguncang hebat. Bagaimana caranya agar tetap diam, ketika menyaksikan pernikahan pacarku sendiri? Baru menapakkan kaki saja, aku sudah terbawa arus ombak kemarahan, apalagi melihatmu bergandengan tangan dengan Rossa.Aku merapikan baju kebaya berwarna merah muda, dengan hiasan sederhana. Ya, menor juga sudah tak ada gunanya. Toh, kamu sudah akan menjadi milik orang lain–tidak akan kepincut dengan penampilanku.Satria mengenakan pakaian kemeja, dengan celana hitam.
"Aku nggak kenal kamu," kamu berkata dengan entengnya, seakan tak punya beban."Udah, Ra, kita mending pulang aja." Satria menahan bahuku untuk lebih dekat ke arahmu."Ngehancurin resepsi pernikahan orang, bahkan belum sampai ijab qobul, Mbak ini waras nggak, sih?" hardikmu kasar. Kamu sangat jauh berbeda, dari yang pernah kukenal sebelumnya.Aku sudah tak tahan lagi. "Aku ini Keyra Lilac, pacar virtual kamu, El!""Pacar? Hah!" Kamu memasang keterkejutan di wajah. Kenapa kamu malah seperti orang yang kebingungan? Semudah itukah melupakanku?Jika cinta hanyalah pemanis, dan rasa sakit adalah wujudnya, maka aku rela disakiti hingga mati, demi mengecap cintamu. Aku ingin menampar, tetapi tak tega melihatmu merasakan sakit."Iya, Keyra itu pacar kamu, El. Kamu kenapa kayak orang bodoh, sih? Cewek sebaik adekku malah disia-siakan." Satria yang sebelumnya menahan diri, akhirnya ikut turun tangan.Kamu menunjuk batang hidung Satria, dekat sekali. "Eh, Mas, ini bukan urusan kamu, ya!""Dia n
Aku dikerumuni oleh rasa bersalah, ketakutan, dan ke-ngerian yang memenuhi urat-urat nadi. Hidup itu penuh dengan plot twist, kadang juga tidak. Namun, kebanyakan tidak ada yang tenang-tenang saja–lurus tanpa belokan.Satria–pria yang sedang diceramahi oleh ayahmu, menangis, meminta maaf, dan melakukan hal itu berulang-ulang. Sedangkan ayahmu, ia hanya menatap seakan ingin memaafkannya, tetapi terhalang oleh ibumu.Baju putih polos lengan pendek yang kukenakan, nyatanya bermakna duka. Tidak ada yang menancapkan bendera kuning di sana. Hanya saja, situasi kian memburuk, dan bertolakbelakang dengan harapan."Saya benar-benar minta maaf, Pak. Saya tidak bisa melindungi Anda," ujar Satria dengan nada terisak. Aku menghela napas berat. Kenapa harus kami yang meminta maaf di atas kesalahanmu? Untunglah, tangan kiri ayahmu hanya tersayat tak terlalu dalam. "Ra, Elgin bawa pisau kecil buat nyakitin kamu." Kejujuran dari orang yang telah kuanggap sebagai seorang saudara–Satria, masih menyisa
Beberapa Minggu setelahnya, aku sering mengobrol via Instagram dengan Ganta. Sedikit membagi cerita, atau memilihkannya barang-barang yang ingin dibeli pada toko online–Tokopedia. Kami semakin akrab setiap harinya."Kamu kenapa senyum-senyum sendiri, Ra? Lagi mikirin siapa, sih?" Satria yang entah dari mana, tiba-tiba muncul di sampingku.Aku benar-benar merasakan degup jantung, yang kian berdetak kencang setiap detiknya. Mungkinkah, dia melihat histori chat kami? "Aku ... aku nggak mikirin siapa-siapa kok, Sat. Ta ... tadi cuma itu ... lihat lowongan pekerjaan," ucapku berbohong. Satria berdiri di depanku, dengan tatapan penuh selidik. Mata elangnya terlihat sangat berbeda. Dalam sorotnya, aku nampak seperti pelaku kejahatan."Itu tadi bukan info tentang lowongan pekerjaan. Sebenarnya, kamu nyimpan rahasia apa, sih? Gini, ya? Nggak mau jujur?" Satria berjalan memutariku.Interogasinya mirip seperti adegan di film Detektif Conan. Aku seakan mati langkah, untuk menutupi semuanya. Kal
"Is there anything I can help?"Aku berbisik, "Sat, dia ngomong apa, sih?"Mulut Satria hampir setengah membuka. Mungkin kaget, karena aku tidak sepandai yang dia kira."Aku bilang, ada yang bisa saya bantu, nggak?" gadis bermata biru, dengan rambut pirang yang digerai indah itu menimpal."Ini udah tiga belas kali latihan, loh, Ra. Masa kamu nggak hafal-hafal sama dialognya, sih?" Satria menghela napas berat."Mbak Keyra, kita coba lagi, ya?" Agresia–bule blasteran Kalimantan Selatan-Jerman, menyemangatiku.Aku tidak yakin dengan hafalan tiga buah dialog, yang mesti dikuasai dalam waktu kurang dari tiga jam. "Oke, sekali lagi." Satria memakai wig rambut beruban, menirukan gaya bicara ibuku."Halo, Bu. Apa kabar?" kataku sambil tersenyum full.Satria mengingatkan, "Bukan pake bahasa Indonesia."Aku menepuk jidat. Astaga! Kenapa kefokusanku cepat sekali menghilang? Karena tak ingin mereka berdua kecewa, aku pun berjanji, "Sekali lagi. Aku janji nih, bakalan bisa kok, kali ini.""Halo,
Aku berderaian air mata. Lembaran tisu sudah banyak kuhabiskan. Entah kain pel ataupun sobekan kertas yang akan kugunakan, untuk menyapu bersih genangan di pelupuk.Di layar, ibu yang tengah berbaring di sebuah tempat tidur mewah bertanya, "Kenapa nggak kasih tahu Ibu, Ra? Kamu anggap Ibu ini siapa, sih? Kok kamu tega banget giniin Ibu kamu sendiri?" Bagaimana cara menjawabnya? Praktek dengan terjun langsung rasanya sungguh berbeda. Aku tidak bisa meminimalisir kegugupan yang ditimbulkan oleh rasa takut itu.Agresia yang telah bersiap di depanku tampaknya hanya bisa pasrah. Aku tidak bisa mengikut-sertakan dia dalam masalah keluarga. Apa pun yang terjadi, sesuai katamu sebelumnya, aku harus bisa menyelesaikan segalanya, dengan tanganku sendiri.Kebingungan melanda puncak pemikiran. Otakku ingin meledak, karena terlalu lama menampung pertanyaan, yang entah jawabannya di cari ke mana?Ketika melakukan kebohongan, terutama dalam hal besar, aku terkadang tak bisa untuk mengontrol diri, a
Aku masih belum ikhlas, jika kamu tidak memberikan sebuah pernyataan, yang lebih pahit dari hari-hari sebelumnya. Elgin, aku tidak akan pernah menyerah, dan kamu harus tahu itu.Tanpa sepengetahuanmu, cinta kami mulai bersemi, kala kamu sudah hampir tergeser dalam relung. Sosok Ganta bukan hanya tentang bagaimana cinta itu mengalir di dalam hati, tetapi menjabarkan apa itu pilihan yang lebih baik.Tidak ada alasan, untuk mendapatkan cinta dari seorang CEO Perusahaan Arzo. Aku hanya tak ingin, dia menaruh rasa pada hati yang salah. Entah sampai kapan, hati kecilku ini berhenti menyebut-nyebut namamu, di kala menjelang tidur malam.Dua Minggu setelah pertengkaran berdarah di antara kalian, aku memutuskan untuk pulang saja ke Pulau Sumatera. Jika keajaiban itu memang ada, kuharap ia hadir di dalam dirimu."Aku harus pergi. Ini ganti rugi atas kekacauan pernikahan kalian." Aku menyodorkan uang lima juta padamu.Kamu menatap nanar lembaran uang, yang ditumpuk menjadi satu itu. "Kalo masih