Gaun putih berkilau yang sangat indah kukenakan dengan wajah murung. Desainnya terlihat rapi, tidak cacat sedikit pun. Aku tampak sangat cantik, di pantulan bayangan cermin. Beda sekali rasanya, ketika seorang desainer merancangkan sebuah gaun pernikahan untuk orang kaya.
Telingaku memanas, dan sudah muak dengan pujian dari Nyonya Mira—desainer terkenal khusus bagian pakaian pernikahan."Neng, calon suamimu itu gantengnya kelewatan, tahu! Harusnya kamu ngerasa beruntung, karena udah bisa dapetin hatinya Si Dean. Jarang-jarang loh, ada orang kaya yang mau sama orang berada." Di balik pujiannya, wanita pirang itu memberikan ejekan yang begitu menyakitkan. Tajamnya lisannya, berhasil mencabik-cabik kalbuku.Karena kelelahan, aku memutuskan untuk duduk sebentar, di kursi yang telah disediakan. Aku menopang dagu sambil membuka ponsel. Tidak ada notifikasi favorit lagi, yang menghiasi layar depan.Tanpa keberadaanmu, aku merasakan sepi yang paling tidak nyaman. Kubiarkan saja Nyonya Mira berkata, hingga lelah sendiri. Menjadi menantu orang kaya, bagiku bukanlah suatu kehormatan.Aku dan Dean tidak saling mencintai. Ditambah, aku juga masih labil karena usiaku belum terlalu matang, untuk menjalani jenjang yang lebih serius.Seorang pria yang baru datang langsung memelukku erat. Lagi-lagi, dia selalu melakukan hal itu. Aku memberikan jarak, membuang muka, dan tidak memberikan seulas senyum untuknya.Pada malam sebelumnya, aku bermimpi buruk. Di dalam bunga tidurku, kamu nampak sangat marah, dan tidak mau menegurku lagi. Aku khawatir hal itu akan menjadi kenyataan. Karena itulah, aku pun tidak mau lagi merespon Dean."Kamu kenapa, sih, Ra!? Kok berubah gini? Kamu nggak bahagia ya dengan aku? Bentar-bentar, hum, kamu kurang suka ya, dengan gaun putih polos?" tanya pria itu dengan keterkejutan di wajahnya.De javu rasanya, ketika mendengar Dean mengatakan kalimat itu. Ya, ucapannya sama dengan, yang sering kamu katakan, ketika kamu insicure. Aku memejamkan mata, mencoba menghilangkan pikiran buruk. Setelah menghela nafas panjang, aku berkata,"Kamu sudah melakukan yang terbaik, Dean. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku baik-baik aja kok.""Nenekku benar, aku nggak salah memilih calon istri yang baik." Dean memberikan gelang emas, yang memiliki motif bunga mawar berantai.Lelaki yang punya banyak uang, mampu membelikan barang-barang mahal. Namun, sanggupkah ia memberi kesetiaan? Trauma karena pernah ditinggalkan olehmu, membuat hatiku mati rasa."Oh iya, panggil aja aku Ganta, Ra. Nama kecilku Ganta," timpalnya kemudian.Aku bertanya dengan keterkejutan di wajahku, "Serius, aku boleh manggil kamu dengan sebutan Ganta?""Mas Ganta aja. Kalau Dean itu udah umum, dan khusus untuk orang luaran saja. Kamu, kan, calon istriku, jadi bolehnya manggil Mas Ganta aja.""Iya, iya, Mas Ganta yang sok ganteng!" Jujur, aku tidak ingin memperpanjang topik, makanya aku langsung menyetujui permintaannya.Seminggu setelahnya, aku memutuskan untuk singgah sebentar ke rumah teman lama. Ganta tidak mengantarku. Katanya, ada rapat penting untuk kepentingan perusahaan. Makanya, dia memberiku uang transportasi saja.Awalnya aku menolak, tetapi akal pria itu cukup panjang. Ya, dia memberikanku uang terang-terangan di depan ibu. Tentu, aku tidak bisa menolak. Jika aku tidak mengambil uang itu, ibu akan curiga pada hubungan kami.Pria yang tidak suka dipanggil Dean, dan lebih suka disebut dengan nama Ganta. Iya, pria itu yang membuatku berpikir bahwa, kamu bukan hanya satu-satunya yang bisa menyembuhkan luka, Elgin.Aku naik angkot, berdesakan dengan para penumpang yang egois. Lusi—teman lama yang pernah lost kontak, menghubungi nomor WhatsAppku. Kami berbincang-bincang tentang masalah place wedding.Bagiku, Lusi adalah satu-satunya teman lama, atau mungkin hanya aku yang menganggapnya begitu. Setahuku, Lusi hanya akrab denganku, ketika ada kerja kelompok, waktu pertengahan kelas dua SMA. Betapa bodohnya aku yang menganggap dia sebagai teman, tetapi dia mengganggapku hanya sebagai orang yang dibutuhkan.Ponselku bergetar–pertanda ada notifikasi masuk. Aku pun memeriksanya. Sebelumnya, aku telah memantau keadaan sekitar, apakah aman atau tidak. Karena menurutku, kriminalitas bisa saja terjadi di mana pun. Menjaga tingkat kewaspadaan sangat penting, ketika berada di angkutan umum.Kulihat tiga pesan dari Dara—adik onlinemu yang beda satu provinsi. Dia mengirimkan pesan berisi,Dara Kalteng : "Mbak Ra, kenapa nggak ke sini?"Dara Kalteng : "Mbak, udah tahu kabar belum?"Dara Kalteng : "Kak Elgin baru bangun dari koma. Maaf, Mbak, bukannya Dara nggak mau kasih tahu. Aku aja baru tahu hari ini. Kakak nggak ke sini, ya?"Tanganku seketika berkeringat dingin. Bagaimana bisa dua orang yang sangat kupercayai, mengatakan fakta yang berbeda? Kak Irene menyampaikan bahwa, kamu telah mendustakan cinta kita di belakangku. Sebaliknya, Dara bilang, kamu baru bangun dari koma. Saat itu, aku benar-benar kewalahan menampung overthinking yang bermunculan.Kubatalkan janji temu dengan Lusi. Dalam langkah panik, aku pun kembali ke rumah. Namun, bukannya mendapatkan saran, aku malah dipaksa untuk melupakan kamu. Dek Wita agaknya menaruh dendam padamu. Ya, kecelakaan yang menimpamu mungkin saja tidak benar. Dia bilang, kamu cuma ingin aku ke sana, agar bisa membatalkan pernikahan dengan Ganta.Sepenuh hati, aku memang merasakan firasat buruk, sembilan bulan sebelumnya. Ya, saat itu, kita masih berhubungan lewat media sosial. Dulu, aku beranggapan bahwa, kita tidak akan pernah berpisah."Selamat pagi, Sayang. Jangan lupa makan! Jangan lupa semangat buat hari ini! Oh iya, aku berangkat kerja pagi. Sorry ya, belum bisa nemenin kamu pas kamu begadang. See you, Babe." Pesan itu adalah chat yang terakhir.Saat membacanya, mataku seringkali mengeluarkan tangis yang susah untuk reda. Menyembuhkan luka karena cintamu, rasanya butuh waktu lama.Apakah kamu sebenarnya kecelakaan, ketika berangkat kerja? Aku kembali dihadapkan dengan pilihan sulit. Ketika hati sudah rela untuk melepaskan, mengapa kamu datang kembali?"Nak, mikirin apa? Kamu dari tadi ngelamun mulu." Ibu meletakkan segelas teh di atas meja makan.Aku menghentikan suapan nasi ke mulut. "Nggak ada kok, Bu. Keyra cuma kecapekan aja.""Ibu senang kamu bisa mendapatkan lelaki yang baik. Dean tadi ngasih Ibu uang bulanan, untuk kebutuhan sama buat beli obat. Dari nasibmu yang baik, kamu pasti bakal lebih bahagia dengannya. Nggak kayak ayah kamu ... Ibu dulu salah pilih pasangan." Ibu mengambil beberapa piring kotor. Kemudian, meletakkannya di atas nampan yang beliau bawa.Pernikahan orang tuaku gagal. Ibu tidak ingin aku sedih, karena nasib buruk yang menimpa. Ibu adalah satu-satunya alasanku tetap bertahan hidup, dan tidak jadi bunuh diri. Aku sangat menyayanginya, lebih dari sayang dengan diri sendiri."Syukurlah kalau begitu, Bu. Keyra ikut senang." Aku menampilkan senyum manis di wajah. Meksipun, hatiku begitu terluka mengucapkan kata-kata kebahagiaan itu.Dua hari setelahnya, aku dan Ganta pergi ke tempat percetakan undangan, di Kota Muaradua. Hanya ada kekosongan di wajah datarku. Pikiranku semu, hanya terfokus memikirkan kondisimu. Berat rasanya melangkah bersama pria, yang mengenakan setelan hitam itu.Aku memohon dengan mata memelas, "Kayaknya kita mendingan cetak undangannya Minggu depan aja, ya?" Kuharap, dia tidak banyak bertingkah layaknya majikan pada pelayannya.Ganta tampak sibuk bermain ponsel. Dia begitu berbeda denganmu, Elgin. Dulunya sebelum kita lost kontak, kamu bisa membagi waktu untukku, dan untuk duniamu sendiri.Sungguh pedih rasanya dipermainkan oleh skenario kehidupan. Apakah memang tidak ada jalan lain bagiku, selain bersama orang lain?Aku tidak diperbolehkan naik ojek lagi oleh Ganta. Si Posesif itu melarang banyak hal, dan membatasi ruang gerakku untuk bebas. Seorang supir dan seorang wanita muda telah menunggu, di depan teras rumahku. Aku bersiap pagi-pagi sekali untuk melakukan perjalanan, dari Desa Simpang ke Kota Martapura.Bu Ningsih–tetanggaku yang suka ikut campur urusan orang, sedang menyapu halaman depan rumahnya. Dia memperhatikan pergerakanku layaknya seorang spy profesional. Aku risih dilihat-lihat olehnya. Wanita pirang berdaster itu memberikanku senyuman palsu. Karena tidak enak jika tak membalas, aku pun tersenyum balik padanya. Ya, tentu saja, senyum terpaksa pula."Buk, nanti matanya jatoh, loh!" seruku sambil menahan tawa. Niat untuk membuatnya berhenti melototiku, aku malah kena apesnya."Mentang-mentang jadi sama orang kaya, udah belagu aja tingkahnya, ya, Jeng?" Bu Ningsih menyenggol bahu Bu Rahma, yang baru datang mengunjungi rumahnya. Mereka berdua memang sering menunggu tukang sayur lewat
Beberapa hari belakangan, Ganta semakin disibukkan dengan urusan internal perusahaannya. Aku merasa sedikit lega, lantaran dia tidak terus berkunjung ke rumah. Aku risih. Ternyata ada lelaki yang nekad menempuh jarak satu jam, hanya untuk menemui sang kekasih. Terlihat sederhana, tetapi menurutku itu berlebihan, karena dalam sehari, Ganta bisa datang bolak-balik sebanyak tiga kali–pagi, siang, dan malam. Rumah Ganta ada di Kota Martapura. Sedangkan, tempat tinggalku ada di Desa Simpang Tiga.Berita tentang pernikahan kami sudah tersebar ke mana-mana. Tetangga sebelah rumah heboh, karena aku mendapatkan calon suami yang kaya-raya. Mereka mungkin berasumsi, aku menggunakan ilmu pelet untuk menggaet seorang Ganta. Padahal dalam kenyataannya, aku sendiri saja tidak tahu, dari mana dia mengenalku. Seingatku, dia bersama ayahnya–Tuan Ergar, tiba-tiba datang ke rumah, dan melamar di malam hujan rintik itu. Saat rembulan tertutup awan hitam, aku baru selesai mencuci piring-piring kotor. Seba
"A aku di mana?" tanyaku sambil memijat dahi, yang masih terasa sedikit nyeri. Pandangan kuarahkan ke sekitar, hanya terlihat dinding putih, dan juga langit-langit yang mempunyai warna yang sama. Mataku perlahan fokus pada seseorang, yang menatapku dengan sorot khawatir."Anda sedang berada di rumah sakit, Nona," jawab Selly yang duduk di samping kananku."Apa yang telah terjadi padaku?" Aku mencoba bangkit, tetapi tubuhku masih terasa lemah. Otomatis, aku pun tak bisa berbuat apa apa. Hanya bisa berbaring.Ganta mengatakan kejujuran yang begitu pahit, "Aku nggak sengaja mendorongmu hingga mengenai kayu, di ujung sofa."Pantas saja, jika aku ada di rumah sakit, ternyata pria itu yang menjadi alasannya. Tak pernah kusangka, dia akan bermain tangan, dan berlaku kasar layaknya ayahku. Kupikir, dia sangat berbeda denganmu, Elgin. Namun nyatanya, lelaki di dunia ini sama saja. Jika ada yang bilang berbeda, mungkin ia hanya beda dalam cara menyakiti.Aku tidak lagi menjawab, ataupun bertany
"Aku udah bilang, aku nggak mau foto pegangan tangan sama kamu, Ganta!" bentakku dengan tatapan tajam.Ganta menghalangi pintu keluar. Kedua tangannya direntangkan ke samping. "Kenapa, Ra? Cuma gegara masalah Liora, kamu jadi kayak gini? Aku udah minta maaf sama kamu tapi kamu masih aja gini. Maunya kamu itu apa, sih?" tanyanya kemudian."Nggak usah cinta sama aku, kalau kamu cuma sekedar obsesi. Aku nggak bisa kasih hati sama pria yang salah lagi. Minggir!" Aku menabrak tangan kanannya. Kulewati pria berpakaian toxedo itu. Tak kuhiraukan orang-orang yang berlalu lalang."Keyra, tunggu dulu!" Suara di belakang sana memanggil-manggil namaku."Jangan menoleh ke belakang lagi, setelah luka berat yang kamu alami, Ra!" batinku kuat. Aku menapakkan kaki jenjangku menuju ke arah ruang ganti. Kemudian, berlari dengan cepat, menyusuri lorong sepi.Aku benci dengan pria yang memperlakukan wanitanya dengan baik. Namun ternyata, karena beralasan ia mirip dengan masa lalunya. Hati wanita mana yang
Perjalanan pulang ke kampung memakan waktu sekitar kurang lebih enam jam. Itu pun jika tidak ditambah dengan istirahat yang lama. Kebiasaan buruk Ganta adalah berlama-lama, di suatu tempat yang menurutnya indah. Mobil miliknya terjebak macet di jalanan. Jalanan di kota besar terhambat, karena arus mudik yang ramai.Kue kering buatan ibu sudah kuhabiskan sendiri. Kami tidak bertegur sapa selama dua jam. Aku mulai merasa tidak enakan dengannya. Karena gengsi menegur duluan, aku pun memilih untuk bermain gawai. Sesekali kulirik pria yang mengenakan jaket denim di sebelahku. Masih sama. Ganta terlihat dingin, siang itu.Notifikasi WhatsApp yang kusenyapkan, menampilkan dua pesan dari nomor ibu. Aku membukanya dengan cepat, takut terjadi apa-apa. Benar saja, itu bukan ibu yang menulis tapi Dek Wita."Kak Keyra, maag ibu kambuh lagi. Kami belum bayar uang sekolah. Ayah nggak pulang dari tadi." Satu pesan saja sudah hampir membunuhku. Aku tidak kuat menahan diri, untuk tidak menumpahkan ben
Rembulan di atas sana bulat seperti bola. Suasana malam di perkotaan terdengar ramai, dengan suara bising kendaraan yang melintas. Aku benar-benar mengantuk, dan tidak kuat lagi menopang tubuh, di sandaran kursi mobil. Jalan-jalan yang menghabiskan banyak energi, menyebabkan tubuhku lelah.Aku menyarankan dengan mata telah terpejam, "El, kita istirahat dulu, ya? Cari penginapan kek." "Lah, El siapa? Aku Ganta. Hei, El itu siapa!?" Ganta menaikkan volume suaranya. Sontak mataku pun membuka sepenuhnya.Tanpa sengaja, aku memanggil namamu, ketika sedang bersama dengan Ganta. Bagai menemui jalan buntu, aku benar-benar sangat menyesal. Lisanku tidak bisa dikontrol, tatkala aku sedang mengantuk berat. Sialnya, aku malah mengucapkan namamu dengan jelas di depannya."Oh, Si El itu ... dia itu cuma temen," ucapku berbohong. Kusembunyikan wajah panik, di balik hoddie tebal yang kukenakan. Menatap wajah bengis itu adalah trauma kedua, setelah kepergianmu, Elgin."Dalam hubungan itu yang terpent
Kami berada di Bandara Udara Sultan Mahmud Badaruddin II. Ruang waiting room tampak ramai oleh turis mancanegara. Jam di arloji kiriku menunjukkan pukul enam pagi."Kamu pasti sangat merindukannya, kan?" Ganta merangkul pinggangku. "Pergilah, sebelum aku berubah pikiran, Ra."Aku hanya diam saja. Pikiran buruk yang selintas berlalu di angan, nyatanya salah besar. Aku kira, Ganta akan melakukan hal yang tidak-tidak."Pesawatnya lepas landas tiga puluh menit lagi. Kalau kamu tetap di sini, kamu bakalan ketinggalan pesawat," pungkasnya kemudian.Aku menatapnya dengan tatapan sayu. "Pernikahan kita bagaimana? Kalau aku pergi, keluargaku nanti ...."Ganta meletakkan jari telunjuknya di depan bibir mungilku. "Sttt! Aku bakalan atur sisanya. Kamu bilang, ingin pergi menemui Elgin di Kalteng, kan? Ya, lakukanlah."Pria yang awalnya bertingkah laku bak iblis itu, menampilkan senyuman manis seperti malaikat penolong. Namun, aku bisa melihat ada guratan-guratan kesedihan, yang terpancar dari uki
Pusat kota yang ramai. Keindahan alam yang bersatu dengan kehidupan masyarakat, sangat indah sekali. Andai ponselku tidak hilang, mungkin sudah penuh dengan foto-foto aesthetic di sana. Sangat disayangkan, tidak mengabadikan banyak momen.Aku ditraktir makan mie ayam oleh Satria. Pria itu agaknya menganggapku sebagai seorang adik. Ya, dia pernah keceplosan,"Aku dari dulu pengen punya adek perempuan, Ra. Boleh nggak aku anggap kamu gitu? Eh, maaf, kita baru kenal, dan nggak sopan kalau aku sampai banyak bicara yang nggak-nggak."Akan tetapi, tujuanku bukanlah untuk bersenang-senang. Ya, karena pertemuan kami pasti akan menemui perpisahan, aku pun sedikit menjaga jarak dengannya. Lagi pula, dia adalah orang baru, dan belum bisa dipastikan, apakah baik dengan maksud terselubung, atau memang benar-benar baik.Aku menghembuskan napas dalam-dalam, setelah menghabiskan dua mangkok mie ayam porsi besar. "Ya ampun, aku kebanyakan makan. Eh, Sat, maafin aku, ya.""Nggak apa-apa kok, Ra. Santai