Share

3

Aku melongo. Menahan rasa kecewa karena sayur itu belum sempat kumakan. Suasana meja makan yang berbentuk bundar dan berukuran kecil itu jadi semakin heboh. Mbak Yuli mengomel panjang dan memarahi anaknya bahkan sampai memukul tangan mungil anak itu. 

Fatur terdiam dengan bibir menekuk turun siap menangis, tapi terlihat takut karena Mbak Yuli memelototinya. Ah, kasihan sekali. Padahal dia tidak tahu apa-apa. 

“Kalau begini terus, kamu nggak Ibu kasih makan lagi! Makan aja tuh bubur yang udah tumpah!”

Aku meringis mendengar perkataan kasar itu. Ibu mertua pun tidak menegur. Dia mengambil alih Fatur yang sedang menangis hebat lalu membawanya keluar dari dapur. 

 

Setelah sang anak dibawa keluar, Mbak Yuli tak lantas berhenti mengomel. Ia mengisi piringnya dengan sayur yang sudah diremas-remas oleh Fatur lalu memakan semua sisa telur dadar yang ada di piring. Tak menyisakanku sedikit pun. 

Di balik wastafel, aku hanya bisa memandanginya dengan helaan napas kecewa dan perut yang berbunyi. Dalam keadaan kacau begitu, jika kutegur, maka dia akan mengamuk padaku. 

Wanita itu makan terburu-buru, bisa dibilang cukup rakus sampai menyuapkan tiga sendok nasi tanpa jeda ke mulutnya. Aku sudah hafal cara makan Mbak Yuli. Entah memang terburu-buru atau sangat kelaparan. 

Kulirik pennampilannya. Sama sekali tidak terurus. Rambut yang mengembang diikat asal-asalan sampai anak-anak rambutnya mencuat. Daster yang dipakai sejak dua hari lalu, dipenuhi bekas ingus dan keringat, serta tumpahan makanan. 

Badan berisi dan wajah kusam seolah tidak pernah dicuci. Setiap kali melihatnya, aku selalu menemukan jerawat baru di wajah kakak iparku itu. 

Namun, aku tidak pernah menghakimi ataupun merasa risih. Tidak sama sekali. Sebab aku tahu seberapa repot mengurus seorang anak. Seperti kata Lastri dan ibu-ibu di gerobak sayur tadi, mempunyai seorang anak berarti menyerahkan tubuh dan jiwa untuk menjadi seorang ibu. 

Aku tahu betul itu. 

Mbak Yuli belum selesai makan ketika terdengar raungan Fatur yang semakin menjadi. Wanita itu terburu-buru sampai melepaskan sendoknya dan meraup makanan dengan kelima jari lalu melesat keluar. Nasinya masih tersisa, tapi semua lauk dan sayur di atas meja sudah habis. 

Tak ada yang tersisa untukku. 

Ini sering terjadi. Mungkin mereka berpikir aku sudah makan bersama Mas Herman tadi. Padahal aku terburu-buru menyiapkan makanan dan menyuap suamiku. Mana sempat makan sendiri?

Ah ya sudahlah, nanti tinggal goreng telur saja. Masih ada sisa telur yang tadi kubeli. Yang penting nasinya masih ada. 

Selesai mencuci semua peralatan masak, aku menghampiri meja makan yang sangat berantakan. Piring bekas makan Ibu dan Mbak Yuli tak dibereskan, gelas dan wadah makanan pun masih memenuhi meja. Ditambah dengan mangkuk pecah beserta bubur yang tadi dijatuhkan Fatur.

Semua ini membuatku memejamkan mata sambil menahan diri untuk tidak merasa kesal. Sebab aku tahu Mbak Yuli tidak sempat membereskannya karena harus mengurusi Fatur yang rewel. Aku pun tak bisa menuntut mertuaku karena beliau sudah tua dan banyak penyakit. 

Terpaksa aku yang harus membereskan semua kekacauan itu. Ini sudah seperti ritual pagi yang melelahkan.

Aku kembali mandi sebelum sholat Dzuhur, sebab badan berbau bumbu dan bawang, serta daster yang basah karena habis membersihkan kekacauan di dapur. Aku harus mencuci piring-piring bekas makan yang menumpuk lagi. Ditambah membersihkan seluruh rumah yang dibuat berantakan oleh Fatur. 

Sebelum menghadap kepada Tuhan, aku harus lebih bersih dan wangi dibanding ketika menghadapkan diri kepada manusia. Karena aku yakin Allah akan lebih menyukai sholatku yang bersungguh-sungguh dalam persiapannya meski tidak yakin ibadahku akan diterima. 

Sekejap setelah keluar dari kamar mandi, Mbak Yuli menghadangku dengan penampilannya yang awut-awutan dan masih sama dengan tadi pagi. Belek bahkan masih menempel di sudut matanya.

 

“Ibu lagi tidur siang, bantu jagain Fatur bentar, ya. Aku mau mandi nih. Udah lengket banget.”

Aku tersenyum canggung. “Aku sholat dulu kalau gitu ya, Mbak.”

“Aduh, bentar aja. Aku nggak lama kok mandinya. Udah gerah ini.” 

Melihat tampilan Mbak Yuli, aku jadi kasihan. Ada lingkaran hitam di bawah mata yang menandakan iparku itu sering kali begadang di malam hari.

“Ya udah deh, tapi jangan lama-lama, ya. Nanti waktu Dzuhur lewat.”

“Iya iya. Bentar doang, kok.” Mbak Yuli tak lupa mendecak. “Pinjam handukmu dong.”

 

“Eh, tapi ini masih basah, Mbak.” 

“Nggak masalah. Nanti kujemurin.” 

Aku memberikannya dengan ragu. Bagiku handuk adalah salah satu benda pribadi yang tidak boleh dicampur pakai dengan orang lain, karena kain itu sangat rawan ditempati banyak bakteri. Apa Mbak Yuli tidak merasa risih dengan bekas handuk yang sudah kupakai?

Wanita itu menyelonong masuk ke kamar mandi. Membuatku heran mengapa ia juga tak membawa peralatan mandi. Apa salahnya kembali ke kamar dan mengambil sabun dan pasta gigi?

Lalu aku teringat jika sering kali wanita itu memakai sabun dan pasta gigi milikku, juga sabun muka serta segelintir alat mandi lainnya seperti shampo dan yang lainnya. Aku meringis. Jika aku mengetuk pintu kamar mandi dan meminta alat mandiku, maka dia pasti akan tersinggung. 

Ah, untuk kali ini aku akan membiarkannya. Nanti setelah Mbak Yuli selesai mandi, aku akan mengamankan semua alat mandi itu. 

Terpaksa aku harus menahan diri lagi. 

Aku beranjak ke kamar Mbak Yuli. Menemukan Fatur yang sedang duduk di atas ranjang yang dipenuhi pakaian entah pakaian kotor atau bersih. Bantal berserakan di bawah ranjang, membuatku harus berhati-hati melangkah agar tak menginjaknya. 

Lantai kamar wanita itu lengket. Bau pesing menusuk-nusuk hidungku ketika aku sampai di ranjang. “Fatur pipis, ya?” Kuperiksa celana anak itu. “Nggak kok.” 

Aku melongok ke lantai untuk mencari-cari mana tahu ada bekas pipis yang lupa dibersihkan. Tak sengaja kakiku menyenggol sesuatu yang basah di bawah ranjang. Saat kulihat, aku langsung berjengit. Ada banyak celana basah bekas pipis serta popok bekas yang belum dibuang. 

Kali ini aku tidak menahan ringisan jijikku sama sekali. Aku menelan ludah. Betapa berantakannya. Apakah merawat satu orang anak memang membuat kamar seberantakan dan sebau ini? 

Комментарии (1)
goodnovel comment avatar
Siti Asih
aduuuuhhhh.. kasian Farah..
ПРОСМОТР ВСЕХ КОММЕНТАРИЕВ

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status