Aku duduk di sebelah Yani yang sedang minum teh di kursi ruangan kantor kami. Aku mengambil gelas teh lain yang tadi di buatkan Yani untukku. Rasanya lama sekali menunggu jam sepuluh malam.
Sungguh capek dan mengantuk malam ini. Rasanya tubuhku ingin segera rebah saja. Menunggu satu jam lagi kenapa terasa lama sekali."Embun, kamu kenapa? Kelihatan lelah begitu. Kamu nggak tidur semalaman?"Aku masih menyesap teh. Apa harus kuceritakan pada Yani tetang peristiwa tadi malam?"Kamu masih mikirin mantan kamu itu?" tanya Yani lagi.Aku tersenyum getir. Kejengkelan Yani melebihi kekecewaan yang aku rasakan sendiri. Yani tahu bagaimana aku dan Mas Fariq melewati sepuluh tahun kebersamaan kami. Dialah saksi susah senangku bersama pria yang kucintai sepenuh hati. Dan sekarang semua tinggallah kenangan yang amat menyakitkan."Sudah setahun yang lalu, lupakan itu. Kamu masih muda, cantik juga. Masih banyak kesempatan untuk mendapatkan pria yang jauh lebih baik daripada Mas Fariq.""Aku sekarang sedang nggak ingin memikirkan itu, Yan. Aku nggak ingin mencintai siapapun. Aku ingin menikmati hidupku. Lagian siapa juga yang mau dengan perempuan yang nggak bisa punya anak sepertiku."Yani meletakkan gelas kosongnya di atas meja. Dia menggeser kursinya hingga lebih dekat lagi denganku."Dokter bilang kamu tuh nggak mandul.""Mungkin diagnosis mereka salah. Buktinya hingga menjelang perceraian aku juga belum hamil," bantahku pada Yani."Aku yakin kamu kelak bakalan punya anak." Yani lebih mencondongkan tubuhnya ke arahku. Ibu satu anak ini benar-benar ingin melihatku kembali bangkit.Seorang keluarga pasien datang memberitahu kalau infus suaminya hampir habis. Yani segera berdiri dan mengambil infus untuk menggantinya.Aku telungkup di atas meja dengan kedua lengan sebagai tumpuan. Mataku memejam, aku capek banget hari ini. Ingin rasanya langsung saja pulang ke kosan. Tapi aku harus kembali ke rumah itu.Yani kembali, duduk lagi di sebelahku kemudian memijit bahuku. Sumpah, rasanya nyaman sekali. Dan itu mengingatkanku pada Mas Fariq yang sering melakukan itu disaat aku benar-benar kecapekan. "Capek ya, Mas pijitin."Aku segera mengangkat wajahku, sebelum semua kenangan timbul ke permukaan dan membuatku kembali tenggelam dalam kenangan. "Thanks," ucapku pada Yani."Buka hati kamu lagi. Kamu juga harus bahagia seperti mereka. Seperti mantan suamimu dan perempuan itu."Bahagia? Apakah mereka bahagia? Pria yang sangat hangat, romantis, dan penyayang itu tampak tidak begitu peduli pada istri barunya. Aku melihat sisi romantis seorang Fariq telah lenyap, berganti dengan sosok dingin dan pendiam. Terkadang saat ini masih ada keinginan untuk tahu tentang pria itu. Tentang segala aktifitas dan sikapnya setelah aku memutuskan pergi dari hidupnya. Namun semua itu hanya akan membuatku kembali terluka dan tidak waras saja."Hatiku udah tawar untuk memulai semuanya lagi, Yan. Capek.""Jangan gitu. Ada dokter Fajar yang kwueeren dan care itu mau kamu sia-siain juga?"Aku memandang sahabat yang duduk di sampingku. Aku mengalihkan percakapan kami dengan menceritakan peristiwa semalam setelah kami pulang dari belanja makan malam. Sontak mata bulat Yani terbelalak. Aku menutup mulutnya agar dia tidak bicara sebelum aku selesai cerita."Pantesan kamu kelihatan kelelahan gitu.""Untungnya hari ini aku shif sore. Aku nggak enak banget sama dokter Nanda. Tapi aku benar-benar bingung mau bertindak bagaimana.""Nanti kamu ke rumah besar itu lagi?"Aku mengangguk."Hati-hati, cukupkan juga istrirahatmu. Jangan sampai kamu tumbang.""Ya. Makasih untuk support darimu. Jika nggak ada kamu, aku nggak tahu sudah jadi seperti apa."Yani tersenyum sampai mengusap lembut punggungku.* * *Sebenarnya aku capek malam ini. Tapi tidak enak juga kalau aku tidak pergi ke rumah Pak Darmawan, bahkan sekarang pun sudah jam setengah sebelas malam. Bagaimanapun juga aku punya tanggung jawab pada lelaki yang sedang terluka itu. Apapun permasalahan mereka, itu tidak ada urusannya denganku. Aku hanya bekerja di sana. Jika pria bernama Hendriko itu sembuh dengan cepat, selesai sudah tugasku.Kusapukan cream malam pada wajahku. Kemudian memakai bergo warna abu-abu yang baru kuambil dari lemari. Jaket yang kemarin terkena darah belum sempat aku cuci, masih terendam di ember dalam kamar mandi. Aku mengambil satu jaket lagi, yang sebenarnya enggan untuk kupakai lagi. Jaket yang menyimpan banyak kenangan dari seseorang yang pernah menjadikan aku ratu di hati dan rumahnya.Jaket itu dibelinya untukku, ketika kami liburan akhir tahun waktu itu. Kupikir cinta kami tidak akan bisa mati. Tapi kenyataannya tidak seperti yang pernah aku impikan.Ketukan di pintu kamar membuatku kaget dan menoleh."Mbak." Pak Wahab memanggilku dengan suara lirih, mungkin beliau juga tidak ingin mengganggu penghuni kosan yang sudah tertidur.Gegas aku membuka pintu. "Ya, Pak. Saya ambil jaket dulu."Kusambar jaket yang tadi kuletakan di kursi. Aku kembali keluar dan mengunci pintu. Pada saat yang bersamaan, pintu kamar sebelah terbuka. Mbak Sri tampak heran melihatku bersama seorang laki-laki setengah baya berseragam sopir."Mau ke mana?" tanyanya lirih."Aku ada pekerjaan merawat seseorang yang sedang sakit, Mbak. Mungkin hanya beberapa hari saja sampai dia sembuh.""Oh, hati-hati ya!" pesan Mbak Sri.Aku mengangguk, sambil melangkah mengikuti Pak Wahab. Mbak Sri masih memandangku dari balik pintu kamarnya.Wanita itu juga seorang janda dengan dua anak yang tinggal bersama ibunya di desa. Mbak Sri bekerja di sebuah restoran yang cukup terkenal di kota kecil ini. Dia juga yang sering memberiku banyak nasehat jika punya waktu untuk duduk ngobrol berdua. Suaminya berselingkuh dengan seorang sales girl. Terus kabur dengan perempuan itu setelah kepergok istrinya. Kata Mbak Sri, sampai sekarang belum tahu kabar di mana rimbanya.Ketika aku masuk mobil mewah itu beberapa orang laki-laki yang masih duduk di pos ronda depan sana memandang ke arahku. Mereka tadi juga melihatku naik motor saat pulang kerja, sekarang melihatku di jemput oleh mobil mewah. Mungkin mereka juga tahu kalau kendaraan ini milik keluarga kaya itu. Entah apa yang dipikirkan oleh mereka. Sekarang aku tidak peduli apapun tentang pandangan orang terhadapku. Jika kupikirkan hanya menambah beban pikiran saja."Tadi saya di suruh Tuan untuk menjemput, Mbak Embun." Pak Wahab bicara padaku sambil memandang kaca spion di atas kemudi."Iya, nggak apa-apa, Pak. Sebenarnya tadi saya juga sudah mau berangkat. Saya pulang dari rumah sakit jam sepuluh lebih seperempat."Pak Wahab mengangguk, kemudian kembali fokus ke jalanan. Sebenarnya aku bisa berangkat sendiri naik motor, jarak antara kosan dan rumah megah itu hanya beberapa menit saja.Ponselku di sling bag berdering. Saat kulihat nama Mas Fariq yang menelepon. Untuk apa dia meneleponku malam-malam begini? Apa tidak khawatir kalau diketahui istrinya? Aku tak peduli, kukembalikan lagi ponsel ke dalam sling bag. Kubiarkan panggilan itu tak terjawab hingga berkali-kali.Aku turun setelah mobil berhenti di garasi. Di sebelah mobil yang menjemputku berjajar mobil mewah lainnya. Pekerjaan mereka apa hingga sekaya ini. Ah, bodo amat.Seorang wanita setengah baya dengan mata yang terlihat sembab menyambutku di depan pintu. Sepertinya dia habis menangis. Namun masih tampak cantik nan anggun. Di belakangnya ada Bu Atun. "Ini Mbak Embun yang merawat Mas Hendri, Nyonya."Aku mengangguk pada wanita cantik itu. Senyumnya ramah, tangannya yang berkulit putih bak pualam terulur untuk menyalamiku. "Saya mamanya Hendriko.""Saya Embun.""Masuklah. Waktunya untuk mengganti perban, 'kan?""Iya, Nyonya.""Jangan panggil Nyonya, panggil saja Bu Salwa."Aku kembali mengangguk, kemudian mengikutinya menaiki tangga. Bu Atun juga ikut serta, karena wanita itu yang membantuku sejak kemarin malam.Pintu kamar terbuka, laki-laki itu terbaring sekenanya di atas ranjang besarnya. Tangannya yang sakit menumpang di atas bantal."Hendri, bangun dulu, Nak. Perbanmu mau di ganti." Lembut sekali Bu Salwa membangunkan putranya.Pria itu membuka mata, Bu Salwa hendak membantu putranya duduk tapi tidak mampu. Badannya terlalu ringkih untuk ukuran tubuh putranya. Kemudian laki-laki bertubuh kekar yang selalu menjaga Hendri kemarin malam buru-buru mendekat dan membantu bosnya untuk duduk. Biar memudahkan aku untuk menggantikan perban.Bu Atun turut membantuku menyiapkan kotak tempat segala obat dan perlengkapan untuk merawat luka. Kulihat obat yang harus di minum masing-masing sudah berkurang empat butir. Berarti obat untuk malam ini pun sudah di minumnya."Jam berapa minum obat tadi, Bu?" tanyaku pada Bu Atun.Bu Atun tampak kebingungan hendak menjawab, sepertinya beliau takut hendak bilang sesuatu. Terlebih tatapan dingin pria itu sedang memperhatikan tanganku yang sedang bekerja."Aku meminumnya sejam setelah kamu pergi," jawab Hendri.Aku kaget dan menatapnya."Kalau obatnya cepat habis lebih baik kan? Penyembuhannya juga cepat."Astaga! Apa lelaki ini tidak takut kalau over dosis? Dia pria yang tampak cerdas dan terpelajar, tak mungkin kalau tidak tahu aturan minum obat."Maaf, sebaiknya mengikuti aturan saja daripada nanti terjadi sesuatu. Ini obat dengan dosis tinggi. Untuk meminumnya ada aturan dan jarak waktunya." Aku menjelaskan. Namun pria itu tidak mempedulikannya. Aku juga tak lagi bicara. Dia bukan anak kecil yang harus berulang-ulang di kasih tahu.Melihat luka yang memerah dan agak kehitaman itu membuatku bisa merasakan bagaimana sakitnya. Bahkan Bu Salwa langsung keluar kamar karena tidak tahan pastinya. Tapi pria ini tetap dingin dan membeku. Tak tampak ekspresi kesakitan di raut wajahnya. Namun giginya terkatup rapat untuk menahan nyeri.Ponsel yang lupa aku silent beberapa kali berdering di dalam sling bag."Siapa yang berisik menghubungimu? Kekasihmu?" tanya Hendri tampak terganggu. Tidak suka dengan nada dering ponselku yang mungkin sangat mengganggu.Segera kulepaskan sarung tangan dan meraih sling bag. Kuambil ponsel dan ku non aktifkan nada deringnya.Hendri tidak bertanya apa-apa lagi hingga aku selesai mengganti perbannya dengan rapi. Tapi suhu tubuhnya lumayan hangat. Kuambil termo gun untuk mengecek suhu tubuhnya. 38°C.Aku bingung harus bagaimana. Benarkah obatnya untuk jatah malam sudah di minum? Bagaimana aku bisa tahu kalau laki-laki ini enggan bicara. Nanti obatnya aku simpan di tempat terpisah saja. Daripada menyusahkan aku seperti ini.Aku memanggil laki-laki bertubuh kekar, ah sebut saja bodyguard. Mungkin memang dia seorang pengawal pribadi bosnya. Aku memintanya untuk membantu Hendri berbaring. Kemudian meminta Bu Atun untuk menyiapkan air untuk mengompres.Bu Atun kembali membawa baskom dan handuk kecil. Di belakangnya ada Pak Darmawan dan Bu Salwa. Aku menepi ketika mereka menghampiri putranya. Sejenak mereka memperhatikan sang putra yang sudah memejam."Kamu rawat putraku sampai benar-benar pulih. Biar Pak Wahab yang mengantar jemputmu ke kosan," kata Pak Darmawan sambil mendekatiku."Biar saya naik motor saja, Pak," jawabku menolak."Jangan. Pak Wahab yang akan mengantar jemputmu."Aku tidak bisa membantah lagi, karena lelaki itu segera mengajak keluar istrinya. Tinggallah aku dan Bu Atun di dalam kamar. Sementara bodyguard tadi berjaga di luar kamar."Mbak, sudah makan?" tanya Bu Atun lirih setelah kami duduk di tempat tidur kami."Sudah, Bu.""Saya buatkan teh panas, ya!""Nggak usah Buk, saya minum air putih saja." Aku menunjuk botol air mineral di atas meja.Bu Atun kusuruh tidur terlebih dulu, kasihan. Setelah seharian bekerja. Tapi tadi pagi kulihat ada satu lagi wanita setengah baya yang membantu Bu Atun. Mungkin dia hanya pekerja paruh waktu.Pak Darmawan dan istrinya terlihat sangat baik, juga ramah. Tidak seperti sikap orang kaya kebanyakan. Jika Hendri bukan satu-satunya putra mereka, lalu mana anaknya yang lain? Terutama yang telah menembak Hendri. Sekilas waktu aku hendak naik ke lantai dua, aku melihat foto keluarga menempel di dinding ruang keluarga. Namun aku tidak bisa dengan jelas melihatnya karena buru-buru menaiki tangga.* * *Pagi itu aku terbangun jam tujuh, ketika sinar matahari menerobos jendela dan membuatku silau. Kusingkap selimut yang menutupi tubuhku. Kulihat Hendri duduk di kursi depan jendela, menghadap ke timur, ke arah matahari terbit. Tidak ada siapapun di kamar itu selain kami.Bu Atun sudah pasti sudah ke dapur, beliau tidak membangunkanku tadi, bahkan aku tidak Salat Subuh.Segera kubenahi bergo yang kupakai, lantas kudekati pria yang diam membelakangiku. "Maaf, aku kesiangan," ucapku lirih."Aku sudah sarapan, mana obat yang harus kuminum?" tanyanya datar.Aku bergegas mengambil obat yang aku sembunyikan tadi malam. Kuletakan obat itu di telapak tangan kirinya dan segelas air putih masih kupegang. "Lain kali nggak usah di sembunyikan. Aku nggak perlu merepotkan kamu untuk mengambilkan."Bagaimana tidak kusembunyikan, nanti dia bisa meminum obat itu tanpa aturan. Namun sangkalan itu cukup terucap dalam hati saja.Aku membawa gelas bekas minumnya ke bawah. Namun di tangga aku berpapasan dengan Bu Atun yang hendak naik dan membawa senampan sarapan. Aku kaget, itu sarapan buat siapa? Bukankah tadi Hendri bilang sudah sarapan."Ini sarapan untuk siapa, Bu?""Untuk, Mbak. Mas Hendri sudah sarapan tadi."Aku lega mendengar jawaban Bu Atun. Pria itu tidak berbohong."Aku sarapan di bawah saja, Bu."Kami kembali turun. "Kenapa Bu Atun nggak bangunin saya tadi?""Sudah saya bangunin, tapi sama Mas Hendri nggak boleh, Mbak."Ah, mungkin pria itu kasihan melihatku kecapekan. Tapi pria seperti dia apa punya rasa kasihan?Ketika kami sampai bawah, dari arah pintu utama melangkah seorang pria tegap yang wajahnya sangat mirip dengan Hendri. Wajah yang sama-sama dingin. Apa mereka bersaudara?* * *Hanya sekilas saja pria itu menatapku, kemudian melangkah ke sebuah ruangan dengan pintu kayu jati yang sangat megah. Aku tidak tahu itu ruang apa.Bu Atun menarik pelan tanganku untuk menuju ke dapur. Aku memilih makan di kursi dapur, rasanya tak pantas aku makan di ruangan dengan perabotan mahal itu. Meja makannya saja terbuat dari kayu jati tebal dengan pelitur mengkilat.Di atas meja masih ada makanan untuk sarapan tadi. Tampaknya tuan rumah sudah selesai makan."Tadi itu siapa, Bu?" tanyaku lirih pada Bu Atun setelah memastikan tidak ada orang di ruangan itu selain kami."Namanya Mas Andre tadi, Mbak. Putra sulungnya Tuan.""Oh." Aku lebih mendekati Bu Atun lagi. "Apa dia yang menembak Mas Hendri?"Bu Atun belum sempat menjawab, masuklah Bu Salwa. Aku kembali duduk setelah mengangguk sopan pada wanita yang rambutnya agak bergelombang terurai sebahu. Hari ini beliau hanya pakai gaun biasa bercorak bunga-bunga. Tapi penampilan sederhana itu tetap terlihat memesona. "Siapa yang data
Usai mencuci dan menjemur pakaian. Aku merebahkan diri di ranjang. Saat begini baru kurasakan tubuh yang terasa letih. Aku menatap langit kamar dengan plafonnya yang baru di cat oleh ibu kos beberapa minggu yang lalu. Wanita pemilik kosan yang sangat baik padaku. Dulu Yani yang membantuku mencari kosan setelah putusan sidang cerai di pengadilan.Ingat cerai membuatku ingat Mas Fariq. Sejak semalam pesannya belum aku buka. Ponsel di meja sebelah tempat tidur kuambil dan membuka aplikasi pesan.[Embun, bisa kita bertemu?][30 hari lagi masih ada kesempatan untuk kita membicarakan hubungan ini.]Tidak kuteruskan lagi membaca deretan pesan selanjutnya. Rujuk, itulah intinya yang dia inginkan. Kalau aku sanggup hidup di madu, tentu saja aku tidak akan mengajukan gugatan cerai. Jika aku bersedia rujuk, aku akan jadi istri keduanya. Aku tersenyum simpul.Sepuluh tahun berakhir sia-sia. Aku terpaksa merelakan sebuah hubungan yang pernah kuperjuangkan. Sampai detik perpisahan kami, orang tua M
"Sebentar saya ambilkan." Aku melangkah cepat keluar kamar dan menuju dapur. Bu Atun kenapa lupa pula menaruh sendok di piring. Hendri makan dengan menggunakan tangan kirinya. Aku menunggu pria itu hingga selesai makan. Tapi yang membuatku jengkel, dia makan sambil melihat layar ponselnya. Makan satu suap meletakkan sendok, lalu memegang ponsel. Kapan mau selesai, sedangkan jam terus berputar dan aku harus segera berangkat ke rumah sakit."Maaf, bisakah agak cepat makannya. Saya harus segera berangkat ke rumah sakit." Hati-hati aku bicara pada lelaki itu. Bagaimanapun aku di bayar untuk merawatnya, harus sabar dan tidak boleh membuatnya tersinggung."Kenapa harus menungguku? Kalau mau berangkat sekarang, pergi saja," jawabnya angkuh. "Anda harus minum obat." Aku masih memegang kantung plastik berisi obatnya."Tinggalkan saja. Aku bisa meminumnya sendiri."Bagaimana jika dia tidak meminumnya? Kenapa juga aku harus cemas. Toh, itu badan dia sendiri, sakit juga di rasakaannya sendiri.
"Selamat malam, Suster. Infsus untuk pasien di kamar nomer delapan sudah mau habis," seorang wanita setengah baya memberitahu kami. Tanpa menunggu yang lain, aku lekas berdiri. Dan Yani sudah menyodorkan jenis infus yang sesuai dengan catatan pasien padaku. Ini infus kedua untuk pasien.Bergegas aku ke kamar VIP nomer delapan. Aku tidak sampai mengetuk pintu karena pintu kamar sedikit terbuka. Aku tersenyum pada pasien dan tiga orang yang ada di dalam. Dan satu di antara dua pria itu aku mengenalnya. Andre. Apa hubungan laki-laki ini dengan pasien yang sedang menjalani perawatan karena typus.Setelah selesai mengganti infus dan memastikan cairan itu mengalir dengan lancar, aku segera keluar. Tapi baru beberapa langkah meninggalkan tempat itu, ada yang memanggilku. "Tunggu!"Andre berjalan menghampiriku. "Kamu bekerja di sini?" tanya laki-laki itu."Iya," jawabku singkat."Bagaimana perkembangan lukanya Hendri?" tanyanya dengan nada dingin."Alhamdulillah." Itu saja jawabanku. Aku tida
"Saya bawa motor," jawabku pada lelaki yang berpakaian serba hitam itu."Saya ikuti di belakang."Aku tidak menolak. Memang lebih baik kalau aku tidak sendirian. Mengingat sudah hampir jam sebelas malam. Kulambaikan tangan pada Bu Atun yang masih berdiri di depan pintu samping. Lantas aku menstater motor dan pergi. Lelaki yang di suruh mengantarkan mengikutku dengan jarak yang lumayan dekat.Kosan sangat sepi. Lampu-lampu kamar sudah padam semua. Aku turun dari motor dan membuka pintu pagar. "Mas, terima kasih ya," ucapku pada pengawalnya Hendri.Lelaki itu mengangguk dan tetap mengawasi hingga aku berada di dalam pagar. Aku memasukkan motor di sebuah ruangan yang dikhususkan untuk menaruh kendaraan penghuni kosan. Setelah melepas helm, menaruh tas, dan menanggalkan jaket, aku langsung mengambil handuk untuk mandi. Bandanku terasa lengket dan tak sabar untuk lekas membersihkan diri. Biasanya aku merebus air dulu, tapi kali ini aku langsung mandi air dingin biar bisa segera istirahat.
"Lukanya sudah kering. Tapi untuk sembuh total membutuhkan waktu yang lama. Minimal enam mingguan. Rajinlah minum obat biar lekas pulih. Terus perban harus di ganti, paling nggak dua kali sehari. Soalnya ini bekas luka tembak dan bukan bekas operasi biasa. Pastikan perban tetap kering agar nggak terjadi infeksi.""Apa tidak ada obat yang lebih baik lagi dari resep yang diberikan oleh dokter itu?""Ini sudah obat terbaik yang Pak Nanda beri. Bersabarlah, memang butuh waktu untuk menyembuhkan luka tembak ini."Aku memberikan obat di tangannya dan ia segera meminumnya. "Berikan obatku untuk nanti siang," pintanya sambil memandangku."Anda akan meminumnya sekalian?" tanyaku curiga."Aku belum tentu bisa pulang. Biar kubawa obat itu."Segera kuambil empat obat yang harus diminum siang nanti. Obat kubungkus dengan plastik kecil yang ada di situ. "Minumlah tepat waktu, jika ingin pulih dengan cepat. Sebab ini bukan seperti di film-film. Hari ini kena tembak, besok sudah pulih dan baku hantam
"Tapi kenapa mereka bermusuhan, Bu?" tanyaku makin penasaran. Sudah terlanjur di ceritakan, aku jadi ingin tahu banyak kehidupan mereka.Sebelum menjawab, Bu Atun minum seteguk air. "Sebenarnya Mas Andre ini baik. Hanya saja ada yang memprovokasinya. Yang membuat mereka selalu terlibat salah paham. Bu Salwa sendiri juga sangat sayang pada Mas Andre. Dulu hubungan mereka sangat baik, tapi mulai berubah ketika Mas Andre duduk di bangku SMP. Saya sudah mengenal Tuan Darmawan sejak beliau masih bujangan, Mbak. Suami saya teman baik beliau. Makanya saya tahu kisah mereka. Perusahaan itu sebenarnya milik mertuanya Tuan. Milik orang tuanya Nyonya Lili, mamanya Mas Andre. Tapi yang menjadikannya besar seperti sekarang ini ya Tuan. Kakek, nenek, dan mamanya Mas Andre sudah meninggal. Jadi Mas Andre satu-satunya pewaris. Neneknya Mas Andre belum lama meninggal, Mbak. Baru sekitar tiga tahunan ini."Oh, apa karena ini ada yang mengatai Hendri sebagai benalu. Apa mungkin Andre setega itu pada adi
"Assalamu'alaikum, Bu.""Wa'alaikumsalam. Kamu lagi kerja apa di kosan? Ibu telepon dari tadi nggak kamu angkat?""Saya tadi di jalan, Bu.""Si Rini mau piknik Minggu depan. Bisa kamu kirimi uang buat uang sakunya.""Minggu depan saya belum gajian. Minta ke Roy saja dulu, Bu. Maaf, saya belum bisa ngirim uang."Entah ibu tiriku itu mengomel apa, aku tidak begitu mendengarnya karena telepon langsung di matikan. Kalau sekedar uang jajan untuk piknik, aku masih punya. Tapi kenapa semuanya harus aku? Ke mana hasil kebun selama ini?"Kamu jaga dan simpan uangmu baik-baik. Untuk masa depan dan hari tuamu, Embun. Jangan kamu turuti semua permintaan Karsi. Dia menyimpan sendiri uang hasil panen, terus diam-diam di belikan lahan untuk kedua anaknya. Nanti kamu dapat apa. Ingat pesan budhe ini. Menabunglah untuk masa depanmu." Aku jadi teringat nasehat Budhe tiap aku sambang ke rumah. Dia budhe Harni, kakaknya bapak.Sedangkan Roy adalah adik tiriku. Waktu bapakku nikah sama Bu Wanti, wanita it