Share

Part 3 Tatapan Dingin

Aku duduk di sebelah Yani yang sedang minum teh di kursi ruangan kantor kami. Aku mengambil gelas teh lain yang tadi di buatkan Yani untukku. Rasanya lama sekali menunggu jam sepuluh malam.

Sungguh capek dan mengantuk malam ini. Rasanya tubuhku ingin segera rebah saja. Menunggu satu jam lagi kenapa terasa lama sekali.

"Embun, kamu kenapa? Kelihatan lelah begitu. Kamu nggak tidur semalaman?"

Aku masih menyesap teh. Apa harus kuceritakan pada Yani tetang peristiwa tadi malam?

"Kamu masih mikirin mantan kamu itu?" tanya Yani lagi.

Aku tersenyum getir. Kejengkelan Yani melebihi kekecewaan yang aku rasakan sendiri. Yani tahu bagaimana aku dan Mas Fariq melewati sepuluh tahun kebersamaan kami. Dialah saksi susah senangku bersama pria yang kucintai sepenuh hati. Dan sekarang semua tinggallah kenangan yang amat menyakitkan.

"Sudah setahun yang lalu, lupakan itu. Kamu masih muda, cantik juga. Masih banyak kesempatan untuk mendapatkan pria yang jauh lebih baik daripada Mas Fariq."

"Aku sekarang sedang nggak ingin memikirkan itu, Yan. Aku nggak ingin mencintai siapapun. Aku ingin menikmati hidupku. Lagian siapa juga yang mau dengan perempuan yang nggak bisa punya anak sepertiku."

Yani meletakkan gelas kosongnya di atas meja. Dia menggeser kursinya hingga lebih dekat lagi denganku.

"Dokter bilang kamu tuh nggak mandul."

"Mungkin diagnosis mereka salah. Buktinya hingga menjelang perceraian aku juga belum hamil," bantahku pada Yani.

"Aku yakin kamu kelak bakalan punya anak." Yani lebih mencondongkan tubuhnya ke arahku. Ibu satu anak ini benar-benar ingin melihatku kembali bangkit.

Seorang keluarga pasien datang memberitahu kalau infus suaminya hampir habis. Yani segera berdiri dan mengambil infus untuk menggantinya.

Aku telungkup di atas meja dengan kedua lengan sebagai tumpuan. Mataku memejam, aku capek banget hari ini. Ingin rasanya langsung saja pulang ke kosan. Tapi aku harus kembali ke rumah itu.

Yani kembali, duduk lagi di sebelahku kemudian memijit bahuku. Sumpah, rasanya nyaman sekali. Dan itu mengingatkanku pada Mas Fariq yang sering melakukan itu disaat aku benar-benar kecapekan. "Capek ya, Mas pijitin."

Aku segera mengangkat wajahku, sebelum semua kenangan timbul ke permukaan dan membuatku kembali tenggelam dalam kenangan. "Thanks," ucapku pada Yani.

"Buka hati kamu lagi. Kamu juga harus bahagia seperti mereka. Seperti mantan suamimu dan perempuan itu."

Bahagia? Apakah mereka bahagia? Pria yang sangat hangat, romantis, dan penyayang itu tampak tidak begitu peduli pada istri barunya. Aku melihat sisi romantis seorang Fariq telah lenyap, berganti dengan sosok dingin dan pendiam. Terkadang saat ini masih ada keinginan untuk tahu tentang pria itu. Tentang segala aktifitas dan sikapnya setelah aku memutuskan pergi dari hidupnya. Namun semua itu hanya akan membuatku kembali terluka dan tidak waras saja.

"Hatiku udah tawar untuk memulai semuanya lagi, Yan. Capek."

"Jangan gitu. Ada dokter Fajar yang kwueeren dan care itu mau kamu sia-siain juga?"

Aku memandang sahabat yang duduk di sampingku. Aku mengalihkan percakapan kami dengan menceritakan peristiwa semalam setelah kami pulang dari belanja makan malam. Sontak mata bulat Yani terbelalak. Aku menutup mulutnya agar dia tidak bicara sebelum aku selesai cerita.

"Pantesan kamu kelihatan kelelahan gitu."

"Untungnya hari ini aku shif sore. Aku nggak enak banget sama dokter Nanda. Tapi aku benar-benar bingung mau bertindak bagaimana."

"Nanti kamu ke rumah besar itu lagi?"

Aku mengangguk.

"Hati-hati, cukupkan juga istrirahatmu. Jangan sampai kamu tumbang."

"Ya. Makasih untuk support darimu. Jika nggak ada kamu, aku nggak tahu sudah jadi seperti apa."

Yani tersenyum sampai mengusap lembut punggungku.

* * *

Sebenarnya aku capek malam ini. Tapi tidak enak juga kalau aku tidak pergi ke rumah Pak Darmawan, bahkan sekarang pun sudah jam setengah sebelas malam. Bagaimanapun juga aku punya tanggung jawab pada lelaki yang sedang terluka itu. Apapun permasalahan mereka, itu tidak ada urusannya denganku. Aku hanya bekerja di sana. Jika pria bernama Hendriko itu sembuh dengan cepat, selesai sudah tugasku.

Kusapukan cream malam pada wajahku. Kemudian memakai bergo warna abu-abu yang baru kuambil dari lemari. Jaket yang kemarin terkena darah belum sempat aku cuci, masih terendam di ember dalam kamar mandi. Aku mengambil satu jaket lagi, yang sebenarnya enggan untuk kupakai lagi. Jaket yang menyimpan banyak kenangan dari seseorang yang pernah menjadikan aku ratu di hati dan rumahnya.

Jaket itu dibelinya untukku, ketika kami liburan akhir tahun waktu itu. Kupikir cinta kami tidak akan bisa mati. Tapi kenyataannya tidak seperti yang pernah aku impikan.

Ketukan di pintu kamar membuatku kaget dan menoleh.

"Mbak." Pak Wahab memanggilku dengan suara lirih, mungkin beliau juga tidak ingin mengganggu penghuni kosan yang sudah tertidur.

Gegas aku membuka pintu. "Ya, Pak. Saya ambil jaket dulu."

Kusambar jaket yang tadi kuletakan di kursi. Aku kembali keluar dan mengunci pintu. Pada saat yang bersamaan, pintu kamar sebelah terbuka. Mbak Sri tampak heran melihatku bersama seorang laki-laki setengah baya berseragam sopir.

"Mau ke mana?" tanyanya lirih.

"Aku ada pekerjaan merawat seseorang yang sedang sakit, Mbak. Mungkin hanya beberapa hari saja sampai dia sembuh."

"Oh, hati-hati ya!" pesan Mbak Sri.

Aku mengangguk, sambil melangkah mengikuti Pak Wahab. Mbak Sri masih memandangku dari balik pintu kamarnya.

Wanita itu juga seorang janda dengan dua anak yang tinggal bersama ibunya di desa. Mbak Sri bekerja di sebuah restoran yang cukup terkenal di kota kecil ini. Dia juga yang sering memberiku banyak nasehat jika punya waktu untuk duduk ngobrol berdua. Suaminya berselingkuh dengan seorang sales girl. Terus kabur dengan perempuan itu setelah kepergok istrinya. Kata Mbak Sri, sampai sekarang belum tahu kabar di mana rimbanya.

Ketika aku masuk mobil mewah itu beberapa orang laki-laki yang masih duduk di pos ronda depan sana memandang ke arahku. Mereka tadi juga melihatku naik motor saat pulang kerja, sekarang melihatku di jemput oleh mobil mewah. Mungkin mereka juga tahu kalau kendaraan ini milik keluarga kaya itu. Entah apa yang dipikirkan oleh mereka. Sekarang aku tidak peduli apapun tentang pandangan orang terhadapku. Jika kupikirkan hanya menambah beban pikiran saja.

"Tadi saya di suruh Tuan untuk menjemput, Mbak Embun." Pak Wahab bicara padaku sambil memandang kaca spion di atas kemudi.

"Iya, nggak apa-apa, Pak. Sebenarnya tadi saya juga sudah mau berangkat. Saya pulang dari rumah sakit jam sepuluh lebih seperempat."

Pak Wahab mengangguk, kemudian kembali fokus ke jalanan. Sebenarnya aku bisa berangkat sendiri naik motor, jarak antara kosan dan rumah megah itu hanya beberapa menit saja.

Ponselku di sling bag berdering. Saat kulihat nama Mas Fariq yang menelepon. Untuk apa dia meneleponku malam-malam begini? Apa tidak khawatir kalau diketahui istrinya? Aku tak peduli, kukembalikan lagi ponsel ke dalam sling bag. Kubiarkan panggilan itu tak terjawab hingga berkali-kali.

Aku turun setelah mobil berhenti di garasi. Di sebelah mobil yang menjemputku berjajar mobil mewah lainnya. Pekerjaan mereka apa hingga sekaya ini. Ah, bodo amat.

Seorang wanita setengah baya dengan mata yang terlihat sembab menyambutku di depan pintu. Sepertinya dia habis menangis. Namun masih tampak cantik nan anggun. Di belakangnya ada Bu Atun. "Ini Mbak Embun yang merawat Mas Hendri, Nyonya."

Aku mengangguk pada wanita cantik itu. Senyumnya ramah, tangannya yang berkulit putih bak pualam terulur untuk menyalamiku. "Saya mamanya Hendriko."

"Saya Embun."

"Masuklah. Waktunya untuk mengganti perban, 'kan?"

"Iya, Nyonya."

"Jangan panggil Nyonya, panggil saja Bu Salwa."

Aku kembali mengangguk, kemudian mengikutinya menaiki tangga. Bu Atun juga ikut serta, karena wanita itu yang membantuku sejak kemarin malam.

Pintu kamar terbuka, laki-laki itu terbaring sekenanya di atas ranjang besarnya. Tangannya yang sakit menumpang di atas bantal.

"Hendri, bangun dulu, Nak. Perbanmu mau di ganti." Lembut sekali Bu Salwa membangunkan putranya.

Pria itu membuka mata, Bu Salwa hendak membantu putranya duduk tapi tidak mampu. Badannya terlalu ringkih untuk ukuran tubuh putranya. Kemudian laki-laki bertubuh kekar yang selalu menjaga Hendri kemarin malam buru-buru mendekat dan membantu bosnya untuk duduk. Biar memudahkan aku untuk menggantikan perban.

Bu Atun turut membantuku menyiapkan kotak tempat segala obat dan perlengkapan untuk merawat luka. Kulihat obat yang harus di minum masing-masing sudah berkurang empat butir. Berarti obat untuk malam ini pun sudah di minumnya.

"Jam berapa minum obat tadi, Bu?" tanyaku pada Bu Atun.

Bu Atun tampak kebingungan hendak menjawab, sepertinya beliau takut hendak bilang sesuatu. Terlebih tatapan dingin pria itu sedang memperhatikan tanganku yang sedang bekerja.

"Aku meminumnya sejam setelah kamu pergi," jawab Hendri.

Aku kaget dan menatapnya.

"Kalau obatnya cepat habis lebih baik kan? Penyembuhannya juga cepat."

Astaga! Apa lelaki ini tidak takut kalau over dosis? Dia pria yang tampak cerdas dan terpelajar, tak mungkin kalau tidak tahu aturan minum obat.

"Maaf, sebaiknya mengikuti aturan saja daripada nanti terjadi sesuatu. Ini obat dengan dosis tinggi. Untuk meminumnya ada aturan dan jarak waktunya." Aku menjelaskan. Namun pria itu tidak mempedulikannya. Aku juga tak lagi bicara. Dia bukan anak kecil yang harus berulang-ulang di kasih tahu.

Melihat luka yang memerah dan agak kehitaman itu membuatku bisa merasakan bagaimana sakitnya. Bahkan Bu Salwa langsung keluar kamar karena tidak tahan pastinya. Tapi pria ini tetap dingin dan membeku. Tak tampak ekspresi kesakitan di raut wajahnya. Namun giginya terkatup rapat untuk menahan nyeri.

Ponsel yang lupa aku silent beberapa kali berdering di dalam sling bag.

"Siapa yang berisik menghubungimu? Kekasihmu?" tanya Hendri tampak terganggu. Tidak suka dengan nada dering ponselku yang mungkin sangat mengganggu.

Segera kulepaskan sarung tangan dan meraih sling bag. Kuambil ponsel dan ku non aktifkan nada deringnya.

Hendri tidak bertanya apa-apa lagi hingga aku selesai mengganti perbannya dengan rapi. Tapi suhu tubuhnya lumayan hangat. Kuambil termo gun untuk mengecek suhu tubuhnya. 38°C.

Aku bingung harus bagaimana. Benarkah obatnya untuk jatah malam sudah di minum? Bagaimana aku bisa tahu kalau laki-laki ini enggan bicara. Nanti obatnya aku simpan di tempat terpisah saja. Daripada menyusahkan aku seperti ini.

Aku memanggil laki-laki bertubuh kekar, ah sebut saja bodyguard. Mungkin memang dia seorang pengawal pribadi bosnya. Aku memintanya untuk membantu Hendri berbaring. Kemudian meminta Bu Atun untuk menyiapkan air untuk mengompres.

Bu Atun kembali membawa baskom dan handuk kecil. Di belakangnya ada Pak Darmawan dan Bu Salwa. Aku menepi ketika mereka menghampiri putranya. Sejenak mereka memperhatikan sang putra yang sudah memejam.

"Kamu rawat putraku sampai benar-benar pulih. Biar Pak Wahab yang mengantar jemputmu ke kosan," kata Pak Darmawan sambil mendekatiku.

"Biar saya naik motor saja, Pak," jawabku menolak.

"Jangan. Pak Wahab yang akan mengantar jemputmu."

Aku tidak bisa membantah lagi, karena lelaki itu segera mengajak keluar istrinya. Tinggallah aku dan Bu Atun di dalam kamar. Sementara bodyguard tadi berjaga di luar kamar.

"Mbak, sudah makan?" tanya Bu Atun lirih setelah kami duduk di tempat tidur kami.

"Sudah, Bu."

"Saya buatkan teh panas, ya!"

"Nggak usah Buk, saya minum air putih saja." Aku menunjuk botol air mineral di atas meja.

Bu Atun kusuruh tidur terlebih dulu, kasihan. Setelah seharian bekerja. Tapi tadi pagi kulihat ada satu lagi wanita setengah baya yang membantu Bu Atun. Mungkin dia hanya pekerja paruh waktu.

Pak Darmawan dan istrinya terlihat sangat baik, juga ramah. Tidak seperti sikap orang kaya kebanyakan. Jika Hendri bukan satu-satunya putra mereka, lalu mana anaknya yang lain? Terutama yang telah menembak Hendri. Sekilas waktu aku hendak naik ke lantai dua, aku melihat foto keluarga menempel di dinding ruang keluarga. Namun aku tidak bisa dengan jelas melihatnya karena buru-buru menaiki tangga.

* * *

Pagi itu aku terbangun jam tujuh, ketika sinar matahari menerobos jendela dan membuatku silau. Kusingkap selimut yang menutupi tubuhku. Kulihat Hendri duduk di kursi depan jendela, menghadap ke timur, ke arah matahari terbit. Tidak ada siapapun di kamar itu selain kami.

Bu Atun sudah pasti sudah ke dapur, beliau tidak membangunkanku tadi, bahkan aku tidak Salat Subuh.

Segera kubenahi bergo yang kupakai, lantas kudekati pria yang diam membelakangiku. "Maaf, aku kesiangan," ucapku lirih.

"Aku sudah sarapan, mana obat yang harus kuminum?" tanyanya datar.

Aku bergegas mengambil obat yang aku sembunyikan tadi malam. Kuletakan obat itu di telapak tangan kirinya dan segelas air putih masih kupegang. "Lain kali nggak usah di sembunyikan. Aku nggak perlu merepotkan kamu untuk mengambilkan."

Bagaimana tidak kusembunyikan, nanti dia bisa meminum obat itu tanpa aturan. Namun sangkalan itu cukup terucap dalam hati saja.

Aku membawa gelas bekas minumnya ke bawah. Namun di tangga aku berpapasan dengan Bu Atun yang hendak naik dan membawa senampan sarapan. Aku kaget, itu sarapan buat siapa? Bukankah tadi Hendri bilang sudah sarapan.

"Ini sarapan untuk siapa, Bu?"

"Untuk, Mbak. Mas Hendri sudah sarapan tadi."

Aku lega mendengar jawaban Bu Atun. Pria itu tidak berbohong.

"Aku sarapan di bawah saja, Bu."

Kami kembali turun. "Kenapa Bu Atun nggak bangunin saya tadi?"

"Sudah saya bangunin, tapi sama Mas Hendri nggak boleh, Mbak."

Ah, mungkin pria itu kasihan melihatku kecapekan. Tapi pria seperti dia apa punya rasa kasihan?

Ketika kami sampai bawah, dari arah pintu utama melangkah seorang pria tegap yang wajahnya sangat mirip dengan Hendri. Wajah yang sama-sama dingin. Apa mereka bersaudara?

* * *

Komen (6)
goodnovel comment avatar
siti fauziah
Hendri penuh misteri
goodnovel comment avatar
Yanyan
masih misterius. siapa sebenarnya keluarga darmawan ini
goodnovel comment avatar
Erni Erniati
siapa yg datang...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status