Aku bimbang, haruskah aku ceritakan kisah sebenarnya. Itu akan menyakitiku lagi dan tidak ada gunanya juga kalau Hendri tahu. Padahal ini bukanlah sebuah aib, tapi ini kenyataan hidup yang harus kuterima. Tapi selalu kurasakan sesak jika mengingatnya."Kalau itu menyakitkan bagimu, tak perlu kamu ceritakan."Aku memilih diam. Setelah itu tak ada lagi percakapan di antara kami. Dia fokus pada kemudi, sedangkan aku diam memandang sepanjang perjalanan. Aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya. Jika dia menyesal telah mengenal dan berteman denganku yang ternyata seorang janda, tak mengapa. Lebih awal tahu lebih baik. Meski kami hanya berteman, tapi juga butuh kenyamanan."Makasih, kamu mau menemaniku hari ini," ucapnya ketika mobil telah berhenti di depan kosan."Iya sama-sama," jawabku lalu turun. Masih sempat kulihat dia tersenyum.Setelah aku kembali menutup pintu pagar, Hendri baru melajukan kembali mobilnya. Langkahku gontai menuju pintu kamar. Jika dengan kenyataan ini dia engg
Di tengah taman yang terawat ada kolam ikan hias. Airnya jernih dengan berbagai ikan warna-warni yang berenang ke sana ke mari. Bu Atun sekali lagi berteriak memanggilku tapi aku hanya melambaikan tangan tanda menolak untuk diajak sarapan.Pada panggilan yang kedua, Bu Atun bilang kalau Hendri sudah selesai sarapan dan naik ke atas. Aku masuk ke dalam rumah, terus naik ke lantai dua. Membuka laci dan menyiapkan obat serta plester. Setelah Hendri membuka pintu kamarnya, aku baru masuk. Dia hanya memakai handuk yang membelit pinggangnya, baru selesai mandi.Aku bersikap biasa saja, menghilangkan rasa canggung dengan apa yang kulihat di depan mata. Aku seorang perawat dan dia pasiennya."Mulai lusa, ganti plesternya hanya malam saja. Sebab saya kerja masuk jam sepuluh malam dan keluar dari rumah sakit jam delapan pagi. Pasti Anda sudah pergi kerja pas saya pulang. Lagian lukanya juga sudah membaik. Tinggal rajin minum obatnya saja," kataku sambil mengganti plester.Hendri memandangku. Me
Mobil dari beberapa pria yang kukenal dekat warnanya hitam semua. Mas Fariq, Andrean, dan Hendriko. Bahkan beberapa teman yang seprofesi juga sebagian menggunakan mobil warna hitam. Siapa di antara mereka?Kubawa buket itu masuk kamar. Kucari-cari kartu yang biasa tergantung di sana. Di tengah-tengah bunga kutemukan juga kartu yang terbungkus amplop warna putih. Ku keluarkan isinya.[Happy birthday, Embun. Selamat ulang tahun ya. Semoga kamu sehat selalu dan panjang umur. Kesalahan terbesarku adalah kehilangan kamu. Maafkan Mas. Maaf, maaf, seribu maaf. Aku gagal memperjuangkan pernikahan kita. Maafkan Masmu ini.] Ternyata buket ini kiriman dari Mas Fariq. Aku hafal dengan tulisan tangannya. Dan di antara ketiga laki-laki itu, hanya Mas Fariq yang tahu tanggal lahirku.Sebenarnya sudah sejak pagi aku ingat kalau ini tanggal kelahiranku. Hanya saja tak ada niat untuk merayakannya. Lagian dirayakan dengan siapa? Aku sudah tak ada minat lagi untuk melakukan hal-hal semacam ini. Yang sat
"Munafik kalau saya tak ingin punya anak. Tapi saya tidak memaksa istri saya harus melahirkan anak buat saya. Saya bisa mengadopsi anak dengan kesepakatan bersama. Toh pada akhirnya kelak pun, kita hanya akan menghabiskan masa tua dengan pasangan. Anak-anak akan memiliki kehidupannya sendiri-sendiri."Pembicaraan kami terjeda ketika bapak penjual nasi goreng mengantarkan pesanan kami. Andrean menyuruhku makan. Namun rasa lapar dan nafsu makanku tiba-tiba saja hilang. Apa yang diucapkannya adalah kejutan luar biasa di malam ulang tahunku."Orang seperti Mas Andre ini bisa saja mencari gadis model kayak apapun. Sedangkan saya hanya seorang janda yang belum tentu bisa memberikan Anda keturunan.""Saya jatuh cinta sama kamu sejak pertama kali melihatmu di rumah papa."Ucapannya membuat sendok yang penuh nasi dan hampir menyentuh mulutku terjatuh ke lantai. Gemeletaknya membuat tiga orang yang baru datang menatap ke arahku.Buru-buru kuambil benda itu dan mengelapnya memakai tisu. Jantungk
"Kamu nggak suka Hendriko?" Pertanyaan Bu Salwa membuatku bingung harus menjawab bagaimana. Apakah dia sudah tahu kalau aku ini seorang janda tanpa anak?"Kami berteman, Bu.""Semenjak dia bekerja di luar perusahaan keluarga, saya jarang sekali bertemu. Saya pulang dari butik, Hendri belum sampai rumah. Nanti saya dah mengantuk lantas ketiduran, dia baru nyampe. Terkadang pagi-pagi sudah berangkat ke luar kota sebelum saya bangun."Dari cerita Bu Salwa aku bisa menyimpulkan kalau perjodohan ini adalah inisiatif ibunya. Aku yakin Hendri tidak tahu. Bahkan dalam kalimatnya ketika mengirim pesan, tidak menyinggung hal begini. "Embun, kamu baik, lembut. Ibu yakin cocok dengan Hendriko yang keras kepala dan kaku."Bagaimana aku harus menjawabnya. Wanita ini harus tahu kalau aku hanya seorang janda tanpa anak. Tentunya beliau juga ingin meneruskan keturunannya, terlebih Hendriko adalah satu-satunya putra mereka.Aku menarik napas dalam-dalam. Menata hati untuk menceritakan kondisiku yang s
Dari pintu muncul seorang laki-laki bertubuh tambun. Dia tersenyum melihat Andrean. Sudah sejak beberapa hari yang lalu, dia ingin mengajak Andrean bicara."Sudah lama nunggu?" tanya Om Tino duduk di sebelah istrinya."Belum, Om.""Om sebenarnya ingin membahas project dunia fantasi itu. Kata papamu kamu menolak menjadi project manager di sana. Kenapa? Ini projek yang menjanjikan, Andrean.""Saya tahu. Tapi project itu sebenarnya di berikan pada Hendriko, Om.""Tapi adikmu itu kan sudah keluar dari perusahaan. Hak kamu dong untuk menghendelnya. Sudah bagus dia keluar.""Saya tak ingin membahas hal ini lagi, Om. Itu hak papa mau membuat keputusan yang seperti apa. Saya hanya bertanggung jawab dengan proyek yang saya pegang sekarang," bantah Andrean. Dikarenakan proyek itu hubungannya dengan Hendriko makin buruk. Perselisihan yang hampir mengancam nyawa adiknya. Dia ingat kejadian malam itu. Ketika Hendriko berselisih paham dengan Om Tino dan Tante Verra di ruangan lelaki itu. Andrean y
Author's POV"Memangnya Mama sudah bicara dengan Hendriko?" tanya Pak Darmawan."Mama belum bicara sama dia. Mama yakin kalau Hendriko pasti mau. Dia juga kenal dengan perempuan itu. Mereka juga berteman baik, Pa.""Siapa sih, Ma? Miranda?""Bukan Miranda, tapi Embun, Pa."Andrean yang masih berdiri di tempatnya tercekat. Nama yang disebutkan Bu Salwa terdengar jelas di telinganya. Nama perempuan yang sama, yang telah membuatnya kembali jatuh cinta. Harapannya perlahan pupus sebelum mendapatkan jawaban dari Embun. Andrean menunggu mereka selesai bicara. Namun yang terdengar kemudian sang papa menerima telepon dan ada suara langkah kaki yang menjauh. Bu Salwa masuk ke dalam.Pria itu lantas masuk dan bertemu dengan papanya di ruang keluarga. Ia menunggu papanya selesai bicara di telepon. Karena sedang di tunggu sang putra, Pak Darmawan segera menyudahi percakapannya dengan asisten pribadinya.Jika bertemu begini, mereka hanya akan bicara tentang bisnis. Pak Darmawan sendiri tidak perna
"Perasaan takut itu harus kamu lawan. Mau sampai kapan seperti ini. Kelak kamu menua bersama siapa? Iyalah, Roy baik. Tapi bagaimana jika dia mendapatkan istri yang nggak bisa diajak care sama kamu. Dia juga hanya saudara tiri. Terus Rini? Kalian juga nggak deket kan? Menikahlah, Embun. Aku dukung kamu untuk menikah lagi. Percayalah kalau kamu akan bahagia."Setelah itu kami terdiam. Memandang luruhnya hujan yang kian deras. Entah sampai kapan kami akan terjebak di sini.Pada saat itu kami melihat sebuah mobil berhenti di depan IGD yang berjarak lima puluh meter dari tempat kami duduk."Ada pasien baru," kata Yani."Iya." Kami memandang beberapa perawat laki-laki sibuk memindahkan pasien dari dalam mobil warna putih ke ranjang dorong."Embun, itu kan mantan madu kamu?" tunjuk Yani pada seorang wanita yang turun setelah pasien dipindahkan.Benar, itu Karina. Terus siapa yang sakit itu? Aku tidak melihat dengan jelas karena pasien terhalang oleh beberapa perawat yang menolongnya."Siap