Ada 4 pria dan 2 wanita yang diakui Catherine sebagai teman-temannya. Ke empat pria itu berpakaian kaos kasual dengan celana panjang jeans yang sobek di lutut, di paha, ataupun di betis. Dua di antara mereka memakai topi terbalik. Dua lagi yang tidak memakai topi memiliki rambut yang warnanya di cat hijau dan abu-abu, atau biru bercampur merah.
Esme melirik tato di lengan pemuda-pemuda itu. Mereka memasang tato bergambang sama di lengan kanan mereka. Tato bergambar elang yang sedang berdiam di daratan.
Selain tato, hal lain yang membuat Esme merasa tidak nyaman adalah motor gede yang mereka bawa. Dia akan ikut naik motor? Yang benar saja! Esme belum pernah naik motor! Perasaannya berkecamuk antara takut tapi juga antusias. Sepertinya naik motor akan terasa seru. Tapi, berada dekat pemuda-pemuda itu membuatnya terintimidasi. Mereka terlihat seperti pemberontak jalanan.
"Hai semua! Ini adikku, Leah. Dan Leah, ini Hale, Akoni, Ekewaka, dan Brandon. Sedangkan mereka berdua Lewwa dan Jane, pacarnya Ekewaka dan Akoni."
Esme menatap satu demi satu yang dikenalkan oleh Catherine. Dan dia pun mendapat tatapan yang intens dari mereka berenam, terutama yang bernama Brandon.
"Ayo!" seru Catherine memecah pengamatan Esme. Sepupunya itu sudah mengenakan helm dan duduk di motor sambil memeluk pinggang Hale.
Esme menatap satu-satunya motor yang masih cukup mengangkut dirinya di jok belakang. Motor Brandon! Dan pria itu tersenyum miring saat Esme menghampirinya, menerima helm, dan duduk di boncengan belakang Brandon.
Belumlah dia duduk dengan mantap, mereka semua sudah melajukan motor masing-masing. Termasuk Brandon yang tarikan motornya membuat Esme hampir terpental ke belakang.
***
Marco Bandares berusia di pertengahan 50 tahun. Tubuhnya tidak besar, cenderung tak berotot, dengan punggung yang sedikit membungkuk. Rambutnya sudah mulai dipenuhi uban-uban putih, meski masih banyak yang berwarma coklat jerami. Mata birunya terlihat sangat teduh kala tersenyum. Namun keteduhan itu ada syaratnya. Saat semua berjalam lancar sesuai keinginannya.
Jika ada yang tidak beres meski hanya sedikit, seperti saat ini, maka keteduhan itu berganti murka bagai api neraka.
"Apa yang kau katakan?!" serunya lagi saat Martinez, orang kepercayaannya, menyampaikan kabar minggatnya Esme dari rumah.
Martinez sudah biasa menghadapi murka Marco. Dia tak gentar dan tetap berdiri tegap menanti perintah sang bos.
Namun kali ini, kabar buruk ini mengenai gadis kecil kesayangannya. Bagaimana mungkin murkanya selevel biasanya saja?
"BAGAIMANA BISA?" raungnya bagai singa yang kakinya terjepit ranjau.
"Saya tidak tau, Tuan."
"Esme ada di rumah dengan lima pengawal. Belum lagi pelayan di sana yang hampir 10 orang. Bagaimana bisa dia keluar tanpa satu orang pun yang menyadarinya?"
Meski kini suaranya sudah merendah dan nyaris berupa desisan, tapi bara api kebengisan yang terpancar di matanya masih menyala-nyala.
"Nyonya yang menyadarinya pertama kali, Tuan. Tapi saat itu, Nona Esme sudah pergi dari rumah."
"Lalu tunggu apa lagi? CARI DIA!!"
Martinez menundukkan tubuhnya sebagai bentuk penghormatan. Namun sebelum dia berlalu dari hadapan tuannya, ponsel Rodrigez, adik bosnya yang juga ada di ruangan itu bersama mereka, berbunyi.
Sedetik setelah Rodriguez menjawabnya, suaranya ikut menggelegar marah. "Apa?! Bagaimana bisa Catherine menghilang?"
Kedua matanya melirik pada Marco. Begitu ponselnya ditutup, Marco menggelegar marah lagi. "Temukan Esme dan Catherine! Mereka pasti bersama-sama! Seret mereka pulang sekalipun mereka menolak dengan merengek-rengek!"
"Siap, Tuan!" Martinez membungkuk penuh hormat sekali lagi sebelum berlalu dari ruangan itu.
***
"Wohooo! Ini seru sekali, Hale!"
Dari belakangnya, Esme melihat Catherine sangat senang. Sepupunya itu berteriak dengan mengangkat kedua lengannya, merasa bebas melaju dengan motor.
Mereka sudah keluar dari jalan raya yang padat dengan kendaraan. Tapi, Catherine tidak merasa malu berteriak sesuka hatinya, sekalipun pengendara lain ikut melirik ke arahnya. Dan dari yang Esme lihat, sepupunya itu memeluk Hale dengan sangat akrab. Dia menyentuh Hale tanpa sungkan, seakan Hale adalah kekasihnya.
Seketika, Esme justru terkesiap dengan pemikirannya sendiri. Mungkinkah?
Esme melirik lagi ke arah Catherine. Jalanan yang mereka lalui semakin sepi. Hanya ada beberapa pengemudi lainnya.
Tubuh Catherine sudah menempel dengan punggung Hale. Lengan Catherine sudah melingkar erat di pinggang Hale. Dan entah apa yang mereka lakukan, tiba-tiba motor mereka oleng sejenak, dan Catherine malah tertawa terbahak-bahak.
"Sial! Hale sungguh beruntung mendapat pacar seperti kakakmu." Ucapan Brandon sontak membuat Esme terkesiap.
"Pacar?" tanyanya seperti orang bodoh, atau tuli.
"Iya, mereka berpacaran selama ini. Long distance relationship. Sudah lima bulan. Kau tidak tau?"
Esme yang masih belum pulih dari kekagetannya, menjawab dengan gelengan kepala. Tentu saja Brandon tidak melihatnya.
Detik demi detik berlalu dengan hanya suara deru motor mengisi telinga Esme. Hingga saat dia menemukan lagi suaranya, gadis itu hanya mampu berkata, "Aku tidak tau."
"Ngomong-ngomong, kau sendiri bagaimana?" tanya Brandon setengah berteriak agar suaranya terdengar jelas oleh Esme.
Gadis yang masih terkejut akan informasi yang didapatnya tentang Catherine, otaknya seakan tumpul.
"Aku bagaimana apanya?"
"Sudah punya pacar belum?"
"Ah? Pacar?" Esme menggeleng lagi tanpa menyadari Brandon tidak bisa melihatnya. Selama ini dia hanya home scholling sendirian. Temannya hanyalah para anak dari teman-teman orang tuanya. Meskipun mereka sesekali keluar bersama, tapi rasanya sangat sulit untuk bisa menjalin hubungan asmara dengan salah satu dari anak teman orang tuanya.
"Bagaimana? Sudah punya pacar belum?" Suara Brandon terdengar lagi. Kali ini suara itu berkurang setengah kesabarannya.
"Belum." Esme menjawab apa adanya. Tapi entah kenapa dia mulai merasa tidak nyaman berada di dekat Brandon.
Brandon sendiri, seperti yang telah dikatakan Catherine, adalah berwajah tampan. Tubuhnya tinggi, dadanya tegap, rambutnya pirang, dan pakaiannya urakan. Ya, seperti tiga temannya yang lain, Brandon urakan. Badboys. Meskipun menurut Esme, wajah Brandon tidak cocok dikategorikan badboys. Wajahnya terlalu manis untuk disebut badboys.
Tapi pertanyaan Brandon tentang pacar, juga kesabarannya yang sepertinya cepat menguap, membuat Esme merasa tidak nyaman.
Terlebih lagi, setelahnya, sebelah tangan Brandon tiba-tiba saja menangkup telapak tangan Esme yang berada di atas lututnya sendiri.
"That's great!" ujar Brandon dan dia meremas tangan Esme sebagai ungkapan rasa senangnya.
Spontan Esme menarik tangannya dan menjauh dari tubuh Brandon di depannya. Dia mulai menjaga jarak duduknya dengan Brandon. Entah pria itu merasakannya atau tidak. Esme tidak mau memedulikannya.
Dalam sepuluh menit berikutnya, mereka tiba di sebuah night club terbesar di Honolulu. Setidaknya begitu yang dikatakan Hale. Setelah memarkir, mereka semuanya turun dari motor, termasuk Esme.Jika mau jujur, rasa antusiasme Esme sudah meletup-letup di dalam dadanya karena akhirnya dia bisa datang ke kelab malam bersama pemuda sebayanya. Rasa tidak nyamannya terhadap Brandon seketika dia lenyapkan dari benaknya.Dengan berpasang-pasangan, mereka memasuki night club itu. Musik berdentum-dentum menyambut kedatangan mereka. Dan karena malam ini malam spesial yang digelar oleh night club itu, semua pengunjung diharuskan membayar biaya masuk.Hale dan Catherine menuju kasir dan dapat Esme lihat bahwa Catherine-lah yang mengeluarkan sejumlah uang dan membayar biaya masuk mereka semua."Mau minum apa?" tanya Hale pada Catherine, juga yang lainnya saat mereka sudah mendapatkan tempat di sofa melingkar.
Esme mengeluarkan tenaga terakhirnya untuk meronta dengan sia-sia, sampai di satu titik dia tahu usahanya takkan mungkin menghalau kebejatan Brandon. Esme menangis karena merasa kalah. Dan di sisa-sisa tenaganya itu, dia hanya sanggup berharap alam berpihak padanya dan membantunya menghentikan Brandon.Dan sedetik kemudian, Esme benar terbebas dari cengkeraman Brandon. Secepat itu harapannya didengar Tuhan? Terima kasih Tuhan, batinnya penuh syukur.Bugh!!"Hei, apa-apaan! Siapa kau!"Suara pukulan di tengah bising musik, diikuti erangan sakit dari Brandon, mulai sampai di telinga Esme. Tatapannya kini terarah pada Brandon yang ternyata sedang diserang oleh seseorang.Seorang pria sudah menyelamatkannya dari terkaman nafsu Brandon. Pria itu memukuli Brandon bertubi-tubi hingga Brandon tergeletak di lantai dan tak sanggup melawan lagi.Beberapa saat berlalu dan akhirnya pria itu mulai berhenti dan menegakkan dirinya. Saat itulah Esme baru mel
"Berhati-hatilah dengan pemuda tadi. Sekali dia sudah kurang ajar padamu, berikut-berikutnya dia masih mungkin bersikap seperti itu."Entah kenapa, nasihat Darren yang biasa saja terdengar begitu manis bagi Esme. Seolah pria itu begitu mengkhawatirkannya.Tak ayal, Esme memberikan senyum manisnya yang malu-malu. Jarinya spontan menyelipkan helaian rambutnya di belakang telinga. Terlihat bibir Darren seakan siap mengucapkan perpisahan mereka untuk malam itu. Namun, dering ponsel Esme telah lebih dulu mengisi keheningan mereka yang canggung.Esme mengambil ponselnya dengan Darren yang masih di hadapannya."Ya, halo?""Little Girl, are you okay?" seru Catherine di ujung telepon. Suaranya terdengar sangat panik."Ya. Aku baik-baik saja. Dan aku sudah pulang.""Huft, syukurlah. Aku panik sekali tadi. Dengan siapa kau pulang?" tanya Catherine lagi."Dengan Darren," jawab Esme. Dia sebenarnya masih ingin menjelaskan banyak hal tenta
"Bagaimana?" tanya Hale begitu dia melihat Catherine, alias Alicia, mendekat."Sudah beres! Dia akan tidur."Catherine menatap yang lainnya. "Silakan kalian bisa anggap rumah sendiri. Asal jangan ganggu adikku saja. Dia tidur di kamar yang sana."Brandon dan yang lainnya mengangguk. Catherine kemudian meninggalkan mereka semua di sofa ruang tengah, untuk mengambil minum."Aku rasa kalian kusajikan soft drinks saja ya. Di club tadi sudah minum beralkohol." Catherine mengucapkannya sambil lalu menuju dapur. Dia tahu Hale mengikutinya, sehingga ucapannya itu ditujukannya pada Hale.Sesampainya di dapur, saat hendak meraih pintu kulkas, lengan kokoh Hale sudah melingkar di pinggangnya. Hangat napas pria itu sudah terasa di tengkuk Catherine."Uhm ... Baby?" tanya Catherine tidak jadi membuka kulkas. Desiran di tubuhnya lebih menguasai otaknya hingga dia lupa apa yang h
"Oh, Baby, wanna try this? This is amazing!" tanya Hale tanpa beban."Kau! Kau gila! Kenapa membawa barang seperti itu ke sini?" Amarah Catherine terasa mendidih di kepalanya. Tidak perlu dijelaskan. Sekali lihat saja siapapun akan tahu bahwa itu adalah bubuk obat terlarang.Tentu saja Catherine marah. Obat seperti ini ilegal di Hawaii dan hampir di seluruh negara. Pemakai dan pengedarnya bisa dihukum belasan tahun hingga seumur hidup di penjara.Habislah dia dan Esme jika sampai terlibat hal seperti itu di Hawaii. Sekalipun jika dia tidak memakai ataupun mengedarkan, tapi jika huniannya yang menjadi tempat untuk memakainya, dia tetap akan terseret.Catherine tidak menginginkan itu! Ayahnya sering berkata agar jangan pernah menyentuh dan mencicipi obat terlarang. Bahkan jika hanya satu kali dan dalam dosis kecil sekalipun. Efek candu dari obat itu akan menjeratmu!"Wohooo ... tenang dulu
"LEPASKAN AKU! LEPASKAN AKU, JAHANAM!!""Hahaha, kau takkan kulepaskan. Kau harus menerima pemberianku ini. Aku sudah susah payah membelinya untukmu. Sekarang terimalah!" Brandon mulai menarik rambut Esme untuk bisa mengendalikan gadis itu.Dililitnya rambut panjang Esme di tangannya hingga Esme tak bisa menggerakkan kepalanya. Setelahnya, Brandon mulai mendorong Esme menuju meja. Didorongnya kepala Esme agar mendekat ke meja, mendekat ke bubuk putih terlarang yang disebutnya bubuk bahagia itu.Esme berusaha menahan dorongan Brandon. Menahan wajahnya agar tidak semakin dekat pada bubuk putih itu. Tapi tenaga Brandon teramat sangat kuat hingga yang mampu Esme lakukan hanyalah menangis.Dalam hatinya dia memanggil-manggil ayahnya. Dia juga memanggil Enrique, kakaknya. Tapi suara itu hanya memantul dalam benaknya dan wajahnya hanya tinggal beberapa sentimeter saja dari meja.Esme memegang tangan
"Hale? Kau mau ke mana?"Suara Catherine terdengar merengek dan dia menghambur ke arah Hale. Catherine memeluk Hale dengan erat karena firasatnya mengatakan Hale akan pergi meninggalkannya."Jangan pergiii...."Tangan Hale menghalau pelukan Catherine menyebabkan wanita itu semakin histeris. Tapi Hale tetap melangkah, membawa Brandon keluar dari apartemen mereka.Catherine berbalik pada Esme. Ditatapnya sepupunya itu dengan pandangan bertanya, sekaligus marah."Kenapa kau biarkan mereka pergi?" Catherine masih merasa tak senang. Sekalipun dia tidak tahu permasalahan sesungguhnya, dia merasa Esme-lah yang mengusir Hale."Sudahlah Cath, mereka berniat tidak baik pada kita.""Tidak baik bagaimana? Dia pacarku!""Iya, aku tau! Tapi pacarmu itu sudah menjebakmu agar mengkonsumsi narkoba!""Omong kosong!""Aku tidak
"Cath, ayo kita jalan-jalan. Sekalian kita ke supermarket membeli berbagai bahan makanan. Aku kepingin masak sendiri. Rasanya makanan di sini kurang pas di lidahku."Esme mengetuk pintu kamar Catherine dan mengucapkan kalimat panjang itu, berharap Catherine bersedia melupakan kejadian yang tak mengenakkan bersama Hale.Esme menunggu beberapa saat, tapi Catherine tak kunjung menjawab."Catherine! Cath! Ayolah, kita jalan-jalan mengusir suntuk." Esme masih berusaha mengajaknya lagi. Beberapa kali sudah dia mengambil napas dalam-dalam demi mempertebal kesabarannya. Tapi jawaban dari Catherine tak kunjung muncul.Hingga saat Esme berbalik hendak pergi dari sana, tiba-tiba pintu terbuka dan Catherine keluar dari kamarnya. Sepupunya itu tak menyapanya, tak juga menjawab pertanyaannya sedari tadi. Gadis itu melewatinya dengan dagu terangkat dan tatapan lurus ke depan."Cath...." Esme me