Share

Bab 38: Janji Masa Lalu

Penulis: Ummu Nadin
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-13 11:18:30

Bayangan sesosok tubuh yang dibalut dengan jubah putih berdiri termangu menghadap sebuah pondok kecil yang berada di komplek tempat tinggal para tabib istana. Hanya tersisa beberapa langkah lagi sudah tiba di halaman kecil pondok itu. Telinganya menangkap suara halus orang mendengkur yang tinggal di dalam pondok. Tahu bahwa pemilik dengkur halus itu adalah seorang wanita tua, Maharesi urung melanjutkan langkah.

Dahi sang Maharesi berkerut. Sudah tujuh belas tahun dia menyepi di Wono Daksino. Jika bukan karena takdir yang membawa Elang Taraka ke hadapannya, hampir saja dia melupakan kejadian belasan tahun silam di tempat ini.

“Rekso, mungkinkah….” Acarya Adiwilaga mengambil beberapa kerikil kecil dan melemparkan pada jendela samping. Dia yakin suara dengkur halus itu berasal dari balik jendela. Benar saja, beberapa menit kemudian, suara dipan berkeriut terdengar dari luar.

“Siapa di sana?” Jendela kayu itu perlahan membuka, menampakkan sosok wanita tua yang menguap terkantuk-kantuk.

Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Indah Syi
Oalaa jafi begitu Elang Taraka adalah puyra dr Maharesi Acarya Canaka eh Adiwilaga t lupa q kak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Bab 39: Jatuh Cinta

    “Apakah kita akan kembali ke Desa Sewindu?” pekik Kenes di antara suara derap langkah kuda mereka yang melesat bak anak panah. Beberapa hari terakhir, mereka melakukan perjalanan keluar masuk desa. Kenes yang tidak tahu arah hanya mengekor tanpa bertanya. Kali ini dia sudah sadar, terlalu berbahaya jika seorang gadis seperti dirinya melakukan perjalanan seorang diri. Tanpa bekal pengalaman, tanpa kemampuan olah kanuragan untuk membela diri jika ada orang yang berniat jahat. Untung saja, Elang datang tepat waktu saat itu. Jika tidak, entah bagaimana nasibnya sekarang. Mungkin hanya berakhir menjadi gundik Demang kurang ajar itu.“Tidak, Raden Ayu. Aku sudah menerima pesan dari guruku. Kita harus segera tiba di Desa Sekar Sari. Beliau sudah menunggu kita di sana.” Elang membalas berteriak. Tak berniat memelankan laju kudanya. Mereka sedang diburu waktu. Sebelumnya, mereka terlalu banyak istirahat karena kondisi Kenes yang terluka. Kenes merasa tidak nyaman. Punggungnya pegal tidak te

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-14
  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Bab 40: Menuju Sekar Sari

    “Raden Ayu, kita harus cepat supaya tidak kemalaman di hutan!” Elang terpaksa memelankan laju kudanya. Ketika dia menyadari ternyata Kenes tertinggal jauh di belakang. Desa dimana mereka mengisi perut tadi siang adalah desa yang berbatasan dengan hutan. Menurut pemilik warung makan tadi, begitu mereka keluar dari hutan, mereka masih harus melewati area ladang dan persawahan yang luas. Setelah itu, mereka akan sampai di Desa Sekar Sari. “Aku lelah, Elang. Sejak tiga hari lalu, kita berkuda hanya berhenti saat malam tiba,” sungut Kenes. Selepas makan siang tadi mereka juga langsung melanjutkan perjalanan.Saat ini, mereka berada di tengah belantara. Kendati hutan ini tidak semengerikan Wono Daksino, karena menurut cerita dari pemilik warung tadi, banyak warga sekitar yang kerap keluar masuk hutan untuk mencari kayu bakar atau bahan-bahan obat yang tersedia di hutan. Tetap saja bukan tempat yang nyaman untuk beristirahat. Kenes malah berkuda dengan santai tanpa beban. “Gusti Putri, seb

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-15
  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Bab 41: Melarikan Diri

    Kanjeng Senopati Bratasena yang mengangkat dirinya sendiri menjadi Raja Diraja Damar Langit saat ini sedang murka. Di atas tahta, pria garang itu tidak bisa duduk dengan tenang. Tangannya gemetar menahan amarah yang belum menemukan muara.Nyaris tidak ada kabar baik yang dilaporkan oleh para bawahannya. Prajurit dari Desa Kahuripan melaporkan ada seorang pendekar sakti pilih tanding menculik calon permaisurinya ‘Kenes Kirana’. Mereka tidak menemukan jejak Kenes di sekitar Desa Kahuripan hingga hari ini.“Mohon ampun, Gusti Prabu. Kami sudah menyisir semua desa yang ada di sekitar Kahuripan. Namun, tidak ada yang bertemu dengan Gusti Putri,” lapor seorang prajurit yang penampilannya tampak lusuh, menandakan baru saja datang dari perjalanan jauh. “Percuma aku melatih kalian selama ini. Pekerjaan kalian tidak ada yang beres satupun!” Para bawahan yang menghadap di Balairung Istana tak ada yang berani mengangkat wajah. Mereka semua tertunduk ketakutan. Suasana mencekam, udara terasa gera

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16
  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Bab 42: Desa Sekar Sari

    “Kisanak berdua ini berasal dari desa mana?” tanya pemilik kereta yang mereka tumpangi ketika hamparan sawah menghijau menyapa pandangan mata. Matahari senja sudah mulai turun ke peraduan. Perjalanan mereka sudah hampir sampai tujuan.“Kami sudah lama tinggal di Kotaraja, Bopo. Aku dan Simbok sudah lama tidak menengok kampung halaman.” “Perdagangan di Kotaraja memang lebih maju. Tidak heran jika Nakmas betah tinggal di sana,” balas orang itu, mengira Agra bermata pencaharian sebagai pedagang yang merantau ke Kotaraja.“Jika bukan karena Gusti Prabu Maheswara Kamandaka dilengserkan paksa. Kotaraja masih menjadi tempat yang nyaman untuk mencari penghidupan, Bopo.”“Sejak beberapa hari lalu, para prajurit keraton sepertinya berulangkali menyisir pasar dan semua tempat di Kotaraja, sebenarnya apa yang terjadi, Nakmas?” tanya pemilik pedati.“Itu karena Kanjeng Senopati murka karena Prabu dan Gusti Ratu menghilang dari penjara bawah tanah. Sepertinya ada yang menyelamatkan mereka.” Agra m

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-17
  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Bab 43: Gelar Baru

    Sebelumnya, jika ada kesempatan untuk melihat Gusti Prabu Maheswara Kamandaka di istana, Raja Damar Langit ini selalu tampil dengan pakaian kebesaran dan mahkota sebagai simbol kekuasaan tertinggi. Kali ini penampilannya jauh berbeda. Tubuhnya lebih kurus kehilangan banyak bobot, hanya dibalut dengan pakaian yang terbuat dari bahan kasar yang biasa digunakan abdi dalem atau pejabat keraton kelas rendah. Alih-alih mengenakan mahkota kebesaran, kepalanya hanya dihias blangkon sederhana. Kendati demikian, pamor kemuliaan Maheswara Kamandaka tetap kuat. Kehadirannya mampu membungkam suasana riuh alun-alun yang sebelumnya pecah. “Aku sampaikan rasa kebanggaanku pada kalian semua, Para Prajurit Damar Langit. Aku yakin, pembelot durjana itu telah menawarkan iming-iming harta yang tidak sedikit untuk membeli kesetiaan kalian. Alih-alih menerima, kalian malah memilih jalan terjal dan berliku bersamaku. Aku telah kehilangan kekuasaanku. Kesetiaan kalian layak untuk mendapatkan penghormatan t

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18
  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Bab 44: Retak

    Kendati hanya dibalut pakaian sederhana, tetap saja tidak bisa menyembunyikan tubuh molek Kenes Kirana yang mempunyai aura putri keraton begitu kuat. Hanya dengan sekilas pandang saja, orang jelas melihat perbedaannya dengan para gadis penduduk asli Desa Sekar Sari. Dari arah sungai, gadis cantik itu berjalan cepat dengan wajah kecewa, Elang mengekor di belakang dengan perasaan campur aduk. “Gusti Putri, hati-hati,” panggil Elang lembut disela langkahnya. Yang dipanggil tidak menggubris. Hujan mengguyur semalaman membuat jalanan setapak yang menghubungkan desa dengan sungai itu basah dan licin.“Jangan pedulikan aku!” “Gusti Putri, awas jalannya licin….” Belum usai Elang menyelesaikan kalimatnya, Kenes sudah tergelincir. Elang berusaha secepat mungkin menggapai, tapi terlambat. Kenes jatuh terduduk di tanah. Pada dasarnya, dia takut lancang sembarangan menyentuh Kenes yang merupakan junjungannya.Antara kaget dan malu dengan kesialan yang menimpa dirinya, untuk beberapa saat Kenes

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-20
  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Bab 45: Tumenggung Mahawira

    Sejak pagi menjelang, kepala iring-iringan pasukan yang dipimpin oleh Tumenggung Mahawira telah memasuki sebuah desa kecil yang berbatasan dengan hutan. Penduduk desa tak ada yang berani keluar dari rumah. Pintu-pintu rumah mereka ditutup sedemikian rupa. Sepanjang jalan masuk desa, Sang Tumenggung tidak menjumpai seorang pun di sana. Pasukan itu berjumlah sekitar seribu orang. Mungkin para penduduk merasa jeri melihat begitu banyaknya orang yang berbadan tegap bersenjata lengkap.“Kalian dirikan tenda di sebelah sana, malam ini kita istirahat di tempat ini!” titah Tumenggung Mahawira sembari menunjuk ada tempat luas di tengah desa. Sudah berhari-hari mereka berjalan dengan sedikit istirahat. Tumenggung memutuskan untuk menginap di tempat ini memulihkan tenaga. Lapangan yang luas ini mungkin biasa dijadikan tempat berkumpul warganya.Dengan gesit, para prajurit melaksanakan titah junjungannya. Ada yang mendirikan tenda, ada yang mencari air dan memasak. Mereka berbagi tugas secara cer

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-21
  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Bab 46: Mahawira dan Gendhis

    Mahawira dengan sabar menunggui Gendhis mencuci di sungai dengan sabar. Bahkan dia membantunya membawakan bakul yang berisi pakaian basah saat mereka beranjak meninggalkan sungai. Wajah gadis itu terlihat tak nyaman dengan perhatian Mahawira. Mereka baru saja berjumpa, perhatian ini terlalu berlebihan.“Kanjeng Tumenggung, terima kasih karena Andika telah membantu saya hari ini. Tidak perlu mengantar, saya tidak enak dilihat penduduk desa. Khawatir mereka akan bicara yang tidak-tidak.” Gendhis mengusir pria itu dengan cara halus. “Bicara tidak-tidak seperti apa contohnya, Nimas?” Dahi pria matang itu mengernyit. Bukan tak paham, dia memang sengaja memancing Gendhis bicara lebih intim.“Ah, anu, maksud saya … mereka mungkin mengira….” Gendhis menjeda kalimatnya. Sungkan untuk melanjutkan.“Mengira aku dan Nimas mempunyai hubungan khusus, begitu?” Sudut bibir Mahawira melengkung. Dia mengujur gadis yang berjalan beriringan dengannya itu. Usianya masih belasan tahun. Sementara dirinya s

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-22

Bab terbaru

  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Bab 64

    Di jalanan Kotaraja, tiga ekor kuda hitam berlari seperti kesetanan menuju arah istana. Penunggangnya tidak berpakaian sebagaimana umumnya penduduk Damar Langit yang sebagian besar telanjang dada. Tubuh tiga pria itu dibalut pakaian panjang serba hitam dengan tutup kepala hanya menampakkan mata mereka. Penampilan yang tidak biasa ini sejujurnya mengundang perhatian di sepanjang jalan. Alih-alih ada yang berani bertanya, mereka lebih memilih untuk menyingkir.Sejak Damar Langit dikuasai Bratasena, Kotaraja tak ubahnya menjadi kota seribu pertarungan. Ada begitu banyak pendekar berkeliaran. Centeng-centeng bayaran sang Raja baru, siap memenggal setiap kepala yang berani protes dengan kebijakan menyengsarakan rakyat. Penduduk dipaksa tunduk dengan segala cara. Para prajurit jaga di gerbang istana pun tak ada yang berani menghentikan ketika salah satu dari ketiganya mengeluarkan lempengan logam kuningan sebesar telapak tangan anak kecil berukir singa ketika mereka melintas. Itu tanda pen

  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Bab 63

    “Apakah ada kabar dari tempat lain, kabar dari Pangeran Elang atau Pangeran Hadyan, Kangmas Arya Wursita?” Gusti Prabu Maheswara Kamandaka tengah berada di tenda bersama Arya Wursita dan Mahawira. “Mohon ampun, Gusti Prabu. Baru saja saya akan melaporkan.” Arya Wursita tersenyum lebar. Gusti Prabu menganggapnya sebagai pertanda baik. “Kalau begitu, aku siap mendengarnya, Kangmas Patih.” Arya Wursita berdiri tegak. Nyaris saja tak bisa menahan diri untuk tertawa lantang karena hatinya diliputi kebahagiaan, “sesuai dengan prediksi Gusti Pangeran Arya Elang Taraka, Bratasena sungguh memasang jebakan di tengah perjalanan. Pasukan yang dipimpin Gusti Pangeran Arya dicegat para begal dan pendekar dari lembah hitam di Hutan Larangan, Gusti Prabu.” Dengan dada yang dipenuhi ledakan kebahagiaan, Patih Arya Wursita melaporkan kejadian yang menimpa Elang dan pasukannya. Elang mengirimkan satu prajurit untuk menyampaikan kejadian Hutan Larangan pada Gusti Prabu.“Apakah semua baik-baik saja, K

  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Bab 62

    Jatayu mengangkasa di ketinggian. Dari bawah, tubuh raksasanya tak tampak. Hanya seperti burung elang yang terbang di langit. Tenda-tenda sudah rampung didirikan. Elang Taraka pasti merasa puas melihat aktivitas para prajurit dari atas sana. Pasukan elitnya tengah sibuk mengerjakan tugas masing-masing. Ada padang rumput luas yang dipilih untuk menempatkan kuda-kuda mereka. Gentala sudah bergabung dengan prajurit yang bertugas menjaga kuda-kuda perang di padang rumput tersebut. Pangeran Hadyan Ganendra sungguh membuktikan keseriusannya membantu Gusti Prabu Maheswara Kamandaka. Dia memberikan senjata, ransum dan kuda perang kualitas terbaik untuk perang ini. Jenis Kuda Bima yang diberikan Pangeran Hadyan didatangkan khusus dari pulau seberang lautan sebelah timur. Kuda jenis ini dipilih karena kekuatan fisiknya yang mampu bertahan di segala medan. Tidak diragukan lagi ketangguhannya. “Namaku Gentala. Mulai hari ini, Gusti Pangeran menugaskan aku untuk membantu kalian mengurus kuda,” t

  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Bab 61

    Pemuda yang tengah terpuruk dalam penyesalan itu tak berani mengangkat wajah. Tatapannya tertunduk memanah tanah merah tempatnya bersimpuh di depan Elang Taraka. Bahu yang terus bergetar seakan mengisyaratkan penyesalan teramat dalam. “Andaikan dulu Raden Mas Bratasena tidak membutakan mata saya, saya tidak akan kehilangan sahabat terbaik seperti kalian berdua,” isaknya dengan suara parau. Agra membuang wajah. Sulit baginya untuk menerima permintaan maaf orang yang telah berkhianat. Terlebih, pengkhianatan Gentala tidak sederhana. Dia ikut andil dalam kejahatan si Pemberontak Bratasena. Situasinya tidak jauh berbeda dengan Elang Taraka. Pangeran muda itu diliputi kegamangan. Betapa kekecewaanya menggunung selepas mengetahui sahabat yang dipercaya ternyata serigala berbulu domba.Sekian waktu berlalu tanpa kata. Hanya keheningan yang merajai. Gentala melirik Elang yang masih membeku di tempatnya.“Gusti Pangeran, meski saya harus menebus dosa dengan menjadi budak Andika. Saya bersed

  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Bab 60

    Selepas keluar dari Hutan Larangan, pasukan elit yang dipimpin oleh Elang Taraka melanjutkan perjalanan keluar masuk desa menuju Kotaraja. Perjalanan dengan pasukan besar yang terdiri dari kavaleri dan infanteri tentunya memakan lebih banyak waktu. Alih-alih mempercepat, di sebuah tanah lapang yang luas mereka malah membentangkan tenda untuk istirahat. “Gusti Pangeran, bukankah ini akan menghabiskan terlalu banyak waktu?” Agra bertanya selepas usai mendirikan tenda untuk istirahat Kenes Kirana.“Kita akan menghadapi perang habis-habisan dengan Bratasena, Agra. Berperang dengan fisik kelelahan setelah perjalanan panjang tidak menguntungkan kita. Kami sudah memperhitungkan semua ini.” Merpati putih baru saja mengirimkan pesan. Pasukan Tumenggung Mahawira juga melakukan hal yang sama. Hanya Pangeran Hadyan yang berjalan lebih cepat. Agra manggut-manggut. Keberadaannya di tempat ini nantinya tidak terjun langsung dalam pertempuran. Sesuai keahliannya, Agra dan Mbok Sumi bertugas di tend

  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Bab 59

    Balairung Istana Damar Langit diliputi kesunyian beberapa saat lamanya. Jajaran pejabat istana tak ada yang berani mengangkat wajah. Jangankan bicara, mereka bahkan tidak berani mengeluarkan suara napas. Pedang yang terhunus di tangan Bratasena mengucurkan darah. Di tengah ruangan, tergeletak jasad prajurit telik sandi dengan leher digorok. Nasib sial yang menimpa prajurit malang itu terjadi sesaat setelah dia menyampaikan informasi kejadian di Hutan Larangan. Begal dan pendekar dari lembah hitam yang diberi tugas menghadang pasukan Maheswara Kamandaka telah kocar-kacir.“Aku tidak suka mendengar berita buruk. Kalian semua harus tahu itu!” Suara Bratasena menggelegar. Dadanya naik turun penuh gejolak kemarahan. Dia mempunyai harapan besar akan kemenangan garnisun yang mencegat di Hutan Larangan tersebut. Gerombolan begal yang dikenal bengis dan kejam itu diharapkan mampu memadamkan api pemberontakan Maheswara Kamandaka. Alih-alih berhasil meraih kemenangan, sebaliknya mereka justru d

  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Bab 58

    Angin berderu serupa tornado bergulung menerbangkan dedaunan kering. Pusaran itu terus bergerak seakan membentuk ruang untuk arena pertarungan tiga sosok yang ada di dalam sana. Tubuh-tubuh linglung yang sebelumnya terjebak dalam dunia mimpi perlahan mulai terbangun, dipaksa menyaksikan pertarungan yang akan terjadi.Maharesi Acarya berdiri dengan tenang di pinggir. Sementara Elang dan Toh Geni berhadapan layaknya pertemuan dua musuh bebuyutan.“Katakan padaku, apa alasanmu membunuh orang tuaku, Toh Geni?” Suara Elang terdengar tenang, kendati mengandung kemarahan yang begitu dalam. Toh Geni hanya menyeringai. Tak berniat memberi jawaban.“Kau berniat membunuhku, maka lakukan saja jika engkau mempunyai kemampuan!”Elang menyipitkan mata. Dua tangannya terkepal. Kemarahan makin berkobar, merasa diremehkan. “Maka akan aku penuhi keinginanmu.” Elang mulai menyerang. Tiap gerakannya menuju titik-titik mematikan lawan. Tak berniat memberi ampunan. Pria di depannya itu yang telah membuatny

  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Bab 57

    Hiruk pikuk pertempuran seketika menghilang. Hutan yang diliputi peperangan berubah hening seakan tak berpenghuni. Desau angin bahkan tak berani menunjukkan dirinya dikuasai ketakutan. Bukan hanya hewan-hewan penghuni Wono Daksino saja yang terpengaruh dengan suara seruling. Manusia yang mendengar alunan magis itu juga menjadi linglung. Seakan terenggut kesadarannya, mereka terjerembab di dalam mimpi buruk. Peniup seruling berperan sebagai penguasa mimpi bisa sesuka hati mempermainkan siapapun yang terjebak di dalamnya. Waktu seakan berhenti berputar. Tak ada yang bergerak, hanyut dalam halusinasi. Hanya tiga orang yang bisa keluar dari kebekuan sang Waktu.“Kita berjumpa lagi, Teman.” Jiwa semua orang telah dibelenggu di alam mimpi, ketika pria tua itu berhenti meniup seruling. Dengan wajah tanpa dosa, dia menyapa Maharesi Acarya Adiwilaga. Senyuman menghias di bibir keriputnya.“Setelah tujuh belas tahun berpisah, akhirnya kita bereuni kembali, Acarya. Harusnya, pertemuan kita akan

  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Bab 56

    Para begal dan pendekar dari lembah hitam telah siaga melakukan penyerangan begitu Elang dan pasukannya melewati hutan. Kejutan yang disiapkan Bratasena ini tidak main-main. Para begal dipersenjatai militer lengkap siap tempur. Dengan kekejaman alami yang telah mendarah daging dalam naluri penjahat, mereka tidak bisa dihadapi prajurit sembarangan. Ditambah lagi dengan kekuatan dari para pendekar lembah hitam, menjadikan kesombongan mereka terbang ke awang-awang.“Akhirnya tamu istimewa kita telah tiba, Teman-teman. Mari kita sambut dengan hidangan pembuka. Ha-ha-ha….” Gemuruh sorak-sorai seketika meramaikan hutan yang mencekam. Dari balik pepohonan hutan, sosok hitam bermunculan. Berjumlah tidak kurang dari lima ratus orang yang menghadang pasukan yang dipimpin Elang.“Mana Maheswara Kamandaka?! Kalau kamu sujud di bawah kakiku sekarang juga, aku pasti akan mengurungkan niat untuk membantai prajuritmu!” Seorang pria dengan mata sebelah kanannya ditutupi potongan kulit binatang berwarn

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status