Share

•04•

Kevan tuh tipe kakak yang penyayang. Namun, dia tidak menunjukkannya secara langsung. Walaupun sering tidak akur, tapi dia sangat sayang kepada adiknya.

"Lama banget sih, buru!" Naya terus mengomel sampai telinga Kevan pengang. Cerewet.

"Diem atau nggak gue anter," ancam Kevan. Namun, hanya bercanda. Cuma nada bicaranya saja seperti serius.

Naya yang hendak ingin angkat bicara terurung karena tangan kekar milik Kevan membekap mulutnya. Dia ingin berteriak. Mengadu lebih tepatnya.

"Lo tuh ya, di sekolah aja so' cuek. Tapi di rumah cerewet dan manjanya minta ampun. Gue bilangin sikap lo ke si Gavin baru tau rasa lo," celotehnya.

"Lah? Hubungannya sama gue apa?" tanya Naya bingung. Bukannya teman-temannya sudah tahu perihal Naya yang bersikap manja jika dirumah?

Bukannya juga hal itu wajar bagi adik perempuan yang lebih manja kepada kakak laki-lakinya?

"Dia kan suka sama lo," ujarnya.

"Ya emang kenapa sih? Biarin lah mau suka gue, mau benci gue, orang bukan urusan gue. Itu hak mereka, gue sebagai manusia ya cuma bisa menerima."

Daripada berdebat dengan perempuan yang selalu benar. Maka, Kevan lah yang mengalah. Emang ya, hakikatnya lelaki tuh selalu salah!

Dengan dibalut hoodie warna kuning terang dan celana jeans panjang, lalu rambut yang sengaja digerai, Naya terlihat cantik tanpa make-up. Kevan juga dengan hoodie warna putih dan celana jeans selutut, nampak seperti tukang ngamen, nggak sih?

"Van, lo punya pacar?" Naya bertanya ketika keheningan terjadi dimobil yang mereka kendarai.

Kevan menoleh. "Pacar mah nggak ada, kalo yang disuka ada," ujarnya.

"Siapa?" Naya memicingkan matanya, menyelidik.

"Kepo lo. Bocah mah kagak boleh tau," sombongnya.

Naya mencubit lengan Kevan, "Heh! Kita tuh beda lima menit doang. Gitu aja bangga!" sergah Naya.

Kevan meringis. "Harus dong, itu berati tua an gue. Lo masih bocah."

"Iya deh, gimana yang tua. Yang muda ngalah aja," ejek Naya.

"Eh, inget. Nggak setua itu kok," ralatnya.

Daripada mendengarkan ocehan Kevan, lebih baik Naya membuka HP nya saja. Siapa tau aja kan, ada notif.

Iya, notif banyak pun Naya tak peduli, apalagi itu dari Gavin.

***

"Ke supermarket deket rumah Kevan aja lah, mampir dulu bentar."

"Eh, tapi kalo udah pada tidur, gimana?"

"Ah bodo, baru jam delapan ini."

Gavin bermonolog, alasannya sih pengen ketemu Naya. Sudah cukup jelas, bukan?

Gavin memarkirkan mobilnya, lalu keluar dan berjalan menuju pintu supermarket.

Gavin mulai mengambil cemilan-cemilan yang dia suka. Terus beralih ke tempat minuman.

Kevan keluar dari mobilnya dan disusul oleh Naya. 

"Yuk," ajak Naya sambil melingkarkan tangannya dilengan Kevan.

"Kaya orang pacaran aja kita, ya, Nay."

"Gak papa."

Naya dan Kevan sedang berada dibarisan makanan ringan, Naya mengambil sebanyak-banyaknya. Sedangkan Kevan ke barisan minuman.

Naya ingin meraih pembalut. Namun, terlalu tinggi untuk ukuran tubuh dia. Naya terus meloncat-loncat meraih pembalut itu.

"Tinggi banget sih," gerutunya.

"Lo nya aja yang pendek. Nih," ujar seorang cowok sembari menodongkan pembalut kearah Naya.

Naya mendongakkan kepalanya, begitu terangkat. Dia membelalak kaget, lalu tatapannya beralih ke tangan cowok itu. Dia semakin malu, pembalut itu ada ditangan cowok itu. Apalagi orangnya.

"Makasih," cetus Naya seraya mengambil barangnya.

"Lo kesini sama siapa? Udah malem loh ini," ujarnya.

"Sam—"

"Eh, Vin. Ngapain lo?" tanya Kevan yang tiba-tiba ada dibarisan kecantikkan.

"Ya belanja lah, masa iya mau berenang." Gavin terkekeh.

"Van, udah semua?" tanya Naya yang tidak memperdulikan keberadaan Gavin. Yah, yang mengambil barangnya itu dia.

"Udah nih," ujar Kevan sambil menyerahkan makanan dan minuman yang diambilnya kepada Naya.

"Eh, bareng aja bayarnya. Gue juga tadinya mau mampir ke rumah kalian." Gavin tersenyum lagi.

"Nggak," tolak Naya.

Gavin berdecak. "Cuma segini Nay." 

"Bayar sendiri." sewotnya

Naya pergi dari hadapan mereka, menuju kasir.

"Galak banget," gumam Gavin.

"Emang dia galak kali Vin," jawab Kevan yang mendengar gumaman Gavin.

"Tapi, sekarang nambah. Lagi PMS kali ya?"

***

Keluarga Pramodya kini sedang melakukan sarapan paginya. Dengan Naya yang terus di goda oleh orangtuanya dan Kevan.

"Nay kenapa gak jujur aja sih," ujar Papanya sembari terkekeh.

Naya menoleh, "Jujur apa sih Pa? Kan Nay udah bilang, kalo Gavin tuh bukan pacar Nay." Masih kekeh membela diri sendiri, Naya berujar dengan ketus.

Ya memang itu kenyataannya, bukan?

Memang, semalam sesuai dengan ucapan Gavin, dia bertamu ke rumah Naya.

—Flashback on—

"Eh, nak Gavin. Malem banget main nya," sapa Papa Naya saat Gavin memasuki ruang tamu.

"Eh om, ini mau ketemu pacar, ngapel hehe," balas Gavin.

Mama Naya menoleh kearahnya. "Nay, kamu pacaran sama Gavin? Kok nggak bilang-bilang sama Mama Papa sih?"

Naya menatap Gavin tajam, seolah berkata 'awas lo!'

"Ma, Nay sama Gavin cuma Temen, nggak lebih."

"Ih, kamu mah suka malu-malu Nay." Mama Naya terkekeh sembari mencolek dagu Naya.

—Falshback off—

"Akuin Nay, kasian digantungin." Dengan mulut penuh nasi, Kevan masih bisa-bisanya menggoda adiknya itu.

"SERAH LAH SERAH!" 

"Tapi Papa perhatiin, kalian cocok kok. Kan Ma, Van?" tanya Papanya. Meminta persetujuan dari istri dan anaknya.

Jessie mengangguk. "Iya, loh. Keliatannya Gavin juga baik, sepertinya humoris juga. Cocok buat kamu yang cuek kaya papamu."

Naya berdecak tidak setuju. "Baik apanya, ngeselin dia tuh, suka jailin Nay mulu."

"Ya itu biar dia dinotice sama kamu, Nay. Kalo dia diem aja mandang kamu dari jauh, nggak ada usaha dong?" ujar Devan menasihati. "Makannya dia selalu jahilin kamu, biar kamu terus merhatiin dia."

"Mau tau kenapa cowok suka banget bikin cewek kesel nggak?" Devan melanjutkan ucapannya dengan berbisik.

Naya mengangguk mantap, ia ingin bebas dari usilan Gavin.

Sebelum berbicara, Devan melirik Jessie sekejap. "Karena marahnya cewek itu mood banget buat cowok, apalagi kalau ceweknya cuek seperti kamu."

Pipi Naya mendadak memanas, gadis itu memalingkan wajahnya dari orangtuanya ke makanan yang ada dibawahnya. "Terus papa suka jahilin mama juga? Makannya kalian bisa nikah?" tanya Naya. Sebenarnya pertanyaan ini bukan yang ada dibenaknya, ini hanya pelarian saja agar orangtuanya lupa dari membahas soal Gavin.

Devan sedikit terkekeh sebelum menjawab. "Tidak, dulu malah mama kalian yang sering jahilin papa, ganggu terus. Akhirnya papa juga lelah, dan memang sudah memiliki perasaan sama mama kalian, jadi ya kita bersama."

Naya dan Kevan tertawa mendengarnya. Mamanya yang mengejar papanya? Sedikit lucu kisah mereka.

"Kenapa kamu nanya kaya gitu? Mau ada rencana nikah sama Gavin?"

What? Padahal Naya sudah berusaha agar topiknya tidak kembali ke arah sana. Tapi, mamanya mengembalikan topik itu.

"Tau ah. Nay mau berangkat dulu, assalamualaikum." Naya mencium punggung tangan keduanya. Lalu menarik tas Kevan kasar.

"Woy! Ntar gue jatuh gimana?" ujar Kevan kesal. 

"Ck. Dasar siput." Naya memberenggut kesal.

"Nay, nggak boleh gitu," tegas Papanya.

Naya hanya mengangguk patuh. Daripada membalas ucapannya? Toh, dia juga pasti tidak bakalan menang.

***

any feedback to appreciate me, thanks for reading this❤️

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status