Gelisah aku kini. Setelah orangtua dan keluarga Sarah selesai makan, dengan cepat aku membersihkan meja dan mencuci piring. Suara dering ponsel yang merupakan suara panggilan tak lagi bisa kutangkap dengan jelas. Aku benar-benar takut dan cemas kini. Pastinya sesaat lagi setelah semua tamu pulang, aku akan dimarahi Ibu perihal luka ditangan Sarah.
Kembali ponsel berdering, segera aku mencuci tangan yang penuh sabun dan busa.
Tiga panggilan tak terjawab dari Mas Ilyas.
Sebentar aku menunggu, tidak ada lagi panggilan berdering, akhirnya aku melanjutkan pekerjaan.
"Nis, kenapa tadi tangan Sarah bisa luka?" tanya Kak Rika yang baru menghampiriku.
"Ngupas bawang dia, Kak. Tapi aku sudah melarangnya."
"Emaknya sekarang lagi bahas itu tuh di depan. Sampai bilang ke Ibu, meminta Sarah dan Reno tinggal di rumah orangtua Sarah saja."
"Sebegitunya, Kak?" tanyaku terkejut.
"Iya, kamu sih cari masalah, bukannya berusaha keras dilarang," sungut Kak Rika padaku dan berlalu.
Kini degup jantungku semakin tak beraturan. Keringat pun mulai membasahi tubuhku.
"Non, dipanggil Ibu," ucap Bi Siti.
"Kedepan, Bi?" tanyaku memastikan.
Tentu saja iya, namun aku hanya berharap Ibu memanggil bukan untuk kedepan. Tapi memanggil untuk menyuruh ini dan itu.
Kupaksakan kaki untuk melangkah walau terasa sangat berat.
"Ada apa, Bu?" tanyaku saat tiba di depan. Semua mata kini tertuju padaku.
"Ini, Ilyas menelepon, katanya kamu kok tidak mengangkat teleponnya," ujar Ibu sembari memberikan ponselnya.
"Assalamu'alaikum. Iya, Mas. Maaf tadi Nisa sedang mencuci piring. Makanya tidak terangkat saat Mas menelepon," jelasku.
"Iya, tidak apa-apa. Mas hanya cemas. Kamu masih di ruang tamu, Nis?"
"Masih, Mas," jawabku.
"Menjauhlah sedikit, ada yang ingin Mas katakan," pinta Mas Ilyas.
"Bu, saya kesana sebentar bawa ponselnya Ibu, ya," izinku pada Ibu yang sedang berbincang.
Ibu tidak melihat, hanya mengarahkan tangannya pertanda mengizinkan.
"Ya, Mas. Ada apa?" tanyaku setelah sedikit menjauh.
"Keluarga Sarah masih ada disanakan, Nis?"
"Iya, Mas."
"Apa Ibunya ikut serta? Perempuan dengan sanggul tinggi dan lipstik merah menyala."
"Iya, Mas. Ada."
"Dengar, Mas. Jika dia bertanya banyak hal padamu, jawab saja iya dan tidak. Terutama soal rumah tangga kita ya," ujar Mas Ilyas yang membuatku bingung.
"I-iya Mas. Tapi mengapa? Apa, Mas mengenal Mama Sarah?"
"Sarah mantan kekasih Mas, Nis."
Tubuhku menegang seketika. Perasaan tidak nyaman atas keingintahuan Sarah mengenai rumah tanggaku terjawab sudah. Sarah pernah menjadi bagian dari masa lalu Mas Ilyas, suamiku.
"Baik, Mas." Hanya itu jawabanku atas pernyataan Mas Ilyas yang membuat pikiran penuh tanda tanya.
"Hanya itu responmu Nis? Tidak bertanya ini dan itu?"
"Tidak, Mas. Nanti saja jika Mas sudah kembali ke daratan. Barulah Nisa akan bertanya banyak hal. Saat ini Mas fokus saja dulu bekerja ya."
"Jika nanti Mas kembali, hanya bertanya saja? Responnya tidak ada?" tanya Mas Ilyas lagi.
"Tentu saja ada. Nisa akan mengajak Mas bertengkar. Menyembunyikan hal ini selama setahun pernikahan kita," ujarku dengan nada kesal.
Terdengar tawa Mas Ilyas di seberang sana.
"Mas siap bertengkar denganmu Nis. Percayalah, Mas sangat mencintai Nisa. Sikap Nisa ini yang membuat hati Mas selalu tertaut padamu."
Mendengar ucapan Mas Ilyas, membuatku pipiku bersemu merah.
"Rayuan pulau kelapa. Sudah dulu, Mas. Nanti selesai membersihkan dapur, Nisa kabari Mas ya."
"Jangan lama ya. Assalamu'alaikum Nis."
"Waalaikumsalam, Mas," jawabku mengakhiri percakapan dengan Mas Ilyas.
Kembali aku ke depan untuk mengembalikan ponsel Ibu.
"Kenapa pipimu itu, Nis? Merah sekali," tanya Ibu.
"Eh, ti--tidak, Bu," gagapku.
"Paling si Ilyas ngegombal," seru Kak Rika mengejek, "Ya kan, Nis?"
"Masa, Kak. Mas Ilyas kan kaku," sambar Reno.
"Iya sama orang lain. Tapi sama Ibu dan Nisa. Hmm, manjanya nggak ketulungan," ujar Kak Rika tertawa.
Aku diam tak menanggapi. Raut wajah Sarah terlihat berubah. Kini aku tidak lagi bingung mengenai itu, aku tahu Sarah tidak nyaman dengan pernyataan Kak Rika.
Dan dapatku tangkap dengan jelas. Mama Sarah memasang wajah tak suka.
"Nisa kebelakang lagi ya, Bu."
"Iya," jawab Ibu.
"Tunggu," suara Mama Sarah membuatku berhenti bergerak. "Kamu mantu di rumah ini, kan? Mari bergabung disini," ujar Mama Sarah.
"Iya, Bu. Tapi ada hal yang harus saya kerjakan di belakang," tolakku halus.
"Oh, kamu itu mantu atau pembantu? atau rangkap keduanya?" ujarnya sembari tertawa kecil.
"Nisa, duduk sini," perintah Ibu. Dari nada suaranya aku tahu, Ibu mulai kesal.
"Jadi sudah berapa lama kamu menikah dengan Ilyas?" tanya Mama Sarah seraya duduk dengan menyilangkan kedua kakinya.
Melihat posisi duduknya aku merasa seperti sedang di introgasi.
"Kurang lebih setahun, Bu."
"Sudah punya anak?"
Aku menggelengkan kepalaku.
"Gimana mau punya anak ya, ditinggal kelaut terus." Dia tertawa, "itu makanya Sarah tidak saya izinkan dinikahi lelaki yang berprofesi sebagai pelayar. Ditinggal terus. Apalagi biasanya pelayar itu jarang ada yang setia, namanya lelaki ya mana bisa jauh dari istrinya, pasti singgah sana, singgah sini. Jangan-jangan belum punya anaknya dari kamu, dari yang lain sudah," lanjut Mama Sarah kini tertawa lebih kuat.
Mendengar ucapan Mama Sarah seisi ruangan terdiam dan memasang wajah tidak enak, namun tidak ada yang menyanggah pernyataan beliau, termasuk Ibu. Mertuaku itu melemah menghadapi besannya padahal jelas harga diri anak lelakinya dipermainkan dalam pernyataan besannya itu.
"Maaf, Bu. Saya menolak pernyataan Ibu yang meragukan kesetiaan Mas Ilyas pada saya, istrinya. Suami saya tidak sama dengan pelayar yang Ibu sebutkan. Profesi sama sekali tidak bisa dijadikan garis besar kelakuan seseorang. Suami yang bekerja di kantor dan sebagai direktur pun bisa singgah sana dan sini dengan orang terdekat. Sekretarisnya contohnya. Padahal ia jauh dari istrinya hanya dalam jeda waktu pagi sampai sore."
Mendengar ucapanku, sontak Mama Sarah terkejut dan berubah mimik wajahnya.
"Saya permisi, Bu. Saya tdak bisa menanggapi perbincangan ini lebih lama lagi, pun Ibu yang saya rasa tidak etis mengomentari rumah tangga orang lain, yang hanya Abang Ipar dari anak Ibu," jawabku permisi dan berlalu.
"Beda memang ya, perempuan kampung yang pendidikannya nanggung, dengan perempuan yang lahir di kota dan berpendidikan tinggi."
Masih dapat dengan jelas aku mendengar komentar Mama Sarah.
Aku memang takut dan selalu lemah pada Ibu. Tapi tidak dengan orang lain, termasuk besan Ibu sekalipun yang sudah berani meragukan kesetiaan suamiku.
Aku kembali ke dapur dengan dada yang bergemuruh, lekas aku mencuci piring dengan cepat. Aku merindukan suamiku.
Kuraih ponsel, dan menghubungi nomor Mas Ilyas.
Tersambung
"Sudah selesai, Nis?" tanya Mas Ilyas.
"Sudah, Mas."
Rasanya kini airmataku hendak keluar.
"Mas sedang apa? Sudah makan?"
"Sudah makan, dan sedang merindukan istri Mas."
Tak lama tangisku pun pecah. Kebingungan Mas Ilyas mendengarku menangis. Akhirnya aku menceritakan semua ucapan Mama Sarah dan sanggahanku.
"Apa yang dilakukan istri Mas sudah benar. Nisa sungguh menjaga harga diri Mas sebagai suami. Terimakasih ya sayang. Benar ucapan Nisa, profesi tidak bisa dijadikan garis besar atas kelakuan seseorang. Direkturpun bisa selingkuh dengan sekretarisnya, seperti halnya yang dilakukan lelaki yang duduk disebelah Mama Sarah" ujar Mas Ilyas tertawa.
"Maksud, Mas? Papa Sarah itu direktur dan selingkuh dengan sekretarisnya gitu?"
"Iya. Sarah itu punya dua adik yang beda Ibu. Kesentil banget itu Mamanya pasti."
Aku sungguh tidak menyangka perumpamaan yang aku katakan begitu saja ternyata benar. Ah, kenapa Mama Sarah harus mengurusi suamiku. Jika mengurusi suaminya saja ia tidak bisa.
Lama aku berbincang dengan Mas Ilyas bahkan telah berganti menjadi video call.
Hingga suara pintu dibuka begitu saja terdengar.
"Nisa!" pekiknya kuat yang spontan membuatku terkejut dan menjatuhkan ponsel di tempat tidur.
Ibu berdiri dengan wajah menahan amarah. Di belakangnya ada Sarah, Kak Rika, dan Reno.
"Apa maksudmu menjawab Mama Sarah begitu?" tanya Ibu.
Aku gelagapan. Darahku berdesir kencang.
"Kamu tahu berapa kesalahan yang kamu buat hari ini hah? Pertama, kamu sudah jadi penyebab tangan Sarah luka karena mengupas bawang. Karena itu Mamanya meminta Sarah dan Reno pindah dari sini. Setelah Ibu susah payah membujuk akhirnya tidak jadi. Tapi karena ucapanmu tadi, akhirnya Mamanya kembali memaksa. Nisa, kenapa kamu selalu membuat Ibu marah hah?"
"Bu, untuk luka pada tangan Sarah, kenapa juga salah Nisa?" tanyaku gugup.
"Karena Ibu sudah mewanti-wantimu untuk menolak jika Sarah ingin membantumu."
"Sudah, Bu. Nisa sudah menolak."
"Berhenti membela diri, Nis!" teriak Ibu kuat.
"Kenapa sikap kampunganmu itu tidak bisa kamu tinggalkan saja di rumah orangtuamu hah?" tanya Ibu lagi.
Airmata mulai menggenang di pelupuk mata.
Suara dering ponsel Reno terdengar.
"Ya, Mas? Di speakerkan? Oke Mas," ucap Reno.
"Bu, Mas Ilyas. Minta speakerkan teleponnya," ujar Reno lalu mengaktifkan speaker ponselnya.
Degup jantungku semakin tak karu-karuan.
"Apapun yang terjadi saat ini. Ilyas tidak tahu, Bu. Tapi Ilyas minta jangan lagi perpanjang masalah seperti ini. Ucapan Mama Sarah tadi jelas salah. Ilyas memang jauh dari istri Ilyas tapi Ilyas selalu menjaga diri dan kesetiaan Ilyas disini, seperti halnya Nisa disana. Dan, jika Mama Sarah meminta Reno dan istrinya pindah itu hal yang wajar mengingat itu lebih baik karena setelah menikah mereka memang harusnya membina rumah tangga mereka sendiri. Dan untuk soal tangan Sarah. Maaf, Bu. Ilyas rasa itu bukan salah Nisa, karena Sarah itu bukan lagi anak berusia lima tahun yang akan bersikeras jika ingin melakukan kemauannya dan tidak bisa di larang. Ia kini seorang istri. Dan untukmu Reno, bijaklah menengahi hal seperti ini di rumah. Saat ini kamu adalah kepala keluarga disana. Menggantikan peran Mas, jadi kamu harus bisa memberikan keadilan dan rasa nyaman pada semua orang disana, tidak berat sebelah. Dan, kamu Sarah. Mas rasa wajib bagi kamu membantu Kakak Iparmu di dapur. Bekerja samalah yang baik dan minta ajari Kakak Iparmu mengenai hal yang tidak kamu ketahui, kalian adalah menantu disana. Mempunyai kewajiban yang sama. Saling menghargai dan menjaga demi keutuhan hubungan yang tetap baik antar suami kalian. Mas dan Reno. Karena Mas tidak ingin hubungan kami Abang dan Adik ini jadi rusak karena istri kami. Dan, begitu juga dengan Nisa ya, Nisa juga belajar dari Sarah apa yang Nisa tidak ketahui. Jadilah Kakak Ipar yang baik ya. Mas percaya pada istri Mas. Untuk Kak Rika, perlakukan kedua Adik Ipar Kakak dengan adil ya, jangan timpang sebelah. Kewajiban Kakak sama halnya dengan Reno. Lain kali Ilyas tak ingin mendengar hal seperti ini lagi ya. Sudah dulu. Ilyas harus kembali bekerja. Sampai ketemu di rumah awal bulan. Terimakasih ponselnya ya Ren. Assalamu'alaikum."
Kami masih diam untuk beberapa saat waktu. Lalu mulai tersadar, dan kembali ke kamar masing-masing. Hanya tersisa Ibu. Ibu menatapku dengan pandangan yang entah apa. "Malam nanti kamu tidak usah memasak, pulanglah," ujar Ibu keluar dan berlalu.
Sungguh aku tidak bisa memahami Ibu. Ia bisa berubah dalam sekejap waktu.
****
Hari ini adalah hari ulang tahun Ibu. Seperti biasa, dan tahun-tahun sebelumnya ulang tahun Ibu adalah waktunya berkumpul semua keluarga tapi tak jarang juga menjadi tempat ajang pamer mengenai jabatan dan harta masing-masing. Ulang tahun Ibu selalu dirayakan dengan meriah. Semua sanak saudara akan di undang. Semua turut bersuka cita jika Ibu ulang tahun. Bahkan warga dan pekerja di kebun teh sering berguyon, seandainya saja Ibu bisa berulang tahun sepuluh kali dalam setahun, tentunya mereka akan sangat bahagia. Sebab di setiap acara ulang tahun Ibu, beliau pasti membuka lebar pintu rumahnya untuk warga yang mayoritasnya adalah pekerja, dimulai dar
Acara ulang tahun Ibu berlangsung meriah. Tampak semua keluarga datang malam ini. Mereka mengenakan setelan dan gaun yang mewah, tak lupa aksesoris dan perhiasan melengkapi.Ibu tampak berjalan kesana kemari sembari menggandeng Sarah. Tampak bahagia dan berbangga. Jelas, Ibu punya alasan yang kuat untuk berbangga diri. Di usianya yang sudah menua, ia masih tampak cantik dan bugar. Tidak kekurangan uang, selalu berbahagia, hanya saja sesekali penyakit tua akan menghampiri pun ketidaksabarannya ingin menimang cucu laki-laki pertama dari anak laki-lakinya. Begitu juga halnya dengan Kak Rika yang tampak asik bercengkrama dengan para keluarga dan kenalannya.Sedang aku disini, duduk di salah satu sudut ruangan sembari menggendong Zahira. Bukan merasa keberatan akan hal itu, hanya saja aku merasa sikap Ibu padaku semakin menyakiti saja sejak kehadiran Sarah dirumah ini. Aku bagai pelengkap rasa dalam masakan, tapi bukan aku bahan utamanya. Namun tetap saja tanpa aku, b
Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Acara telah usai, para tamu dan kolega Ibu telah pulang menuju rumah masing-masing, pun hal nya keluarga jauh dan dekat. Hanya Bulek Lani yang akan menginap karena esok Bulek Lani akan ke pabrik juga, mengambil daun teh yang sudah jadi untuk dibawa dan di pasarkan di tempat Bulek Lani tinggal.Aku mencari sosok Ibu sembari membawa nampan yang diatasnya terdapat sebuah gelas dan piring kecil yang berisikan berbagai jenis obat dan vitamin Ibu. Pasti sejak acara tadi Ibu belum meminum obatnya.Pelan kususuri ruangan, tak tampak Ibu berada."Bulek." Perempuan yang kupanggil berbalik dan menghadapku."Apa?""Lihat Ibu nggak, Lek? Mau Nisa ingatkan minum obat," ucapku sembari mengangkat sedikit keatas nampan yang kubawa.""Nggak lihat, Bulek. Mungkin di kamarnya.""Oh, yaudah kalau gitu Nisa ke kamar Ibu dulu ya, Lek.""Iya, pergilah."Akupun berbalik dan menuju kamar Ibu. Pel
Aku terbangun, ketika sebuah sentuhan tangan yang terasa dingin mendarat dipipiku."Bulek," ucapku mengucek mata."Bangun, sudah jam lima. Ayo sholat, Nis," ajak Bulek Lani."Iya, Bulek."Pelan aku berdiri dari tempat tidur, lalu membuka jendela. Seketika aroma subuh hari menguar masuk memenuhi kamar ini. Sepertinya semalam hujan deras, terlihat dari tanah yang basah dan sedikit becek.Usai sholat, segera aku kedapur. Membuat sarapan. Roti bakar, dan teh susu jahe."Walah, Bulek tungguin di kamar rupanya sudah kedapur saja," ucap Bulek Lani yang membuatku sedikit terkejut."Iya, Bulek. Bulek mau teh susu jahe atau teh saja?""Kamu buat teh susu jahe, Nis?""Iya, kalau malam hari hujan, biasa Nisa selalu buat paginya. Kalau nggak buat Ibu nanyain.""Sejak kapan? Dulu juga nggak begitu.""Nggak tahu, Bulek. Tapi kalau Nisa disini selalu begitu,""Hm, sebenarnya Mbakyu itu sejak ada kamu j
[Assalamu'alaikum, Mas. Lagi sibuk?]Kukirim pesan untuk Mas Ilyas. Sembari menunggu hujan reda. Saat ini aku berada di sekolah, sudah pulang hanya tertahan menunggu karena hujan yang turun dengan derasnya. Kulirik arloji di tangan. Masih jam dua siang. Tapi karena hujan dan cuaca yang gelap tampak seperti sudah akan maghrib. Sembari menunggu, iseng aku membuka akun sosial media berwarna biru. Ah, sudah lama rasanya aku tak membuka akun media sosialku ini. Terakhir saat mengupload photo pernikahan saja.Tiga akun permintaan pertemanan. Dua kuabaikan, sedang satunya kuamati. Menarik perhatian. Kuklik akun facebook atas nama 'SarLyas' itu. Aku mengerutkan dahi.Satu teman yang sama. Hm, siapa ya?Degh. Haikalan Ilyasa. Suamiku. Kulihat tanggal akun tersebut meminta pertemanan padaku. Satu tahun lalu. Sudah lama. Pelan, kutelusuri akun tersebut. Tak ada data yang begitu akurat. Hanya tanggal lahir tanpa tahun, pun photo prof
Flashback on"Nis, Mas tak pandai mengatakan hal panjang lebar. Merayu seorang wanita bagi Mas sama sulitnya dengan mengukir di atas air. Langsung saja ya. Untuk kedua kalinya, mau kah Nisa menerima Mas? Mas ingin Nisa menjadi istri Mas. Perempuan yang akan menemani Mas dalam suka dan duka. Perempuan yang memberikan Mas anak-anak yang sholeh dan sholeha. Jika Nisa menerima, Mas akan mengenalkan Nisa pada orang tua Mas."Kupandangi bergantian lelaki dan perempuan di depanku. Lelaki dan perempuan yang Allah jadikan sebagai orang tuaku. Tampak Bapak mengangguk dan Ibu menangis sembari tersenyum. Mereka menyetujui. Kehadiran Mas Ilyas yang kukira untuk bersilaturahmi karena suasana lebaran, ternyata juga menjadi awal mula titik kehidupan baru bagi hidupku."Nisa, akan menerima, jika Bapak dan Ibu merestui, Mas," jawabku."Pasti, Nis. Restu orang tua kamu yang pertama. Mas sudah meminta Nisa pada Bapak dan Ibu jauh hari sebelum hari ini."
Suara dering ponsel, membuyarkan lamunan.Kembali kuraih ponsel berbentuk persegi empat tersebut.Nama Ibu mertua terpampang jelas di layar."Assalamu'alaikum, Bu.""Waalaikumsalam. Nisa kesini ya." Aku menarik napas."Baik, Bu. Selesai mandi Nisa kesana ya.""Mandi lagi? Lama sekali lah. Udah mandi disini aja. Bawa baju yang banyak ya. Baju Ilyas juga.""Nisa baru pulang ngajar, Bu. Tadi sempat basah sedikit.""Hm, yaudah mandi dulu. Jangan lupa bawa baju Ilyas.""Maaf, Bu. Mas Ilyas nggak ada suruh begitu tadi.""Ibu yang suruh." Telepon terputus begitu saja.Kembali ku letakkan ponsel di meja. Mengambil tas kecil, lalu memasukkan beberapa potong baju. Hanya bajuku saja tidak ada baju Mas Ilyas. Dan, itupun tak banyak. Aku lebih menuruti ucapan suami daripada Ibu. Tadi Mas Ilyas sudah memberitahu lewat pesan, bahwa dua hari ini aku di rumah Ibu dulu, sampai Mas Ilyas kembali.'Maa
Sejak semalam Ibu mendiamkanku. Tak menegur pun tak menyuruh. Aku jadi salah tingkah sendiri karena sikap Ibu. Sedang Sarah pun demikian. Namun tidak pada Ibu. Pada Ibu dia manja bak anak berusia lima tahun. Bahkan tak segan meminta Ibu untuk menyuapkannya salad buah yang sedang dimakan Ibu ketika ditaman semalam sore. Reno amat bahagia melihatnya, hanya Kak Rika yang sedikit menegur. Tapi kembali dibela Ibu bahkan disertai sindiran yang ditujukan untukku. Lagi, aku hanya bisa diam dan hanya bisa mengurut dada. Aku tak berdosa dan menjadi durhaka. Semua perlakuan Ibu padaku biarlah hanya Allah yang menegurnya, sebagai anak mantu aku tetap wajib menghargai dan berharap semoga suatu saat nanti Ibu bisa merasakan kasih sayangku yang tulus untuknya.Sabar Nisa, tak lama lagi, aku mengurut dada. Dengan cepat kuselesaikan masakanku. Terserah mau dimakan Ibu atau tidak seperti makan malam semalam yang kumasak dan diabaikan. Yang penting kewajiban yang diamanahi untuk menjaga k