Share

Bab 3 Polisi Tampan

"Ci..., maaf aku selalu merepotkanmu."

"Aku tidak punya uang sebanyak itu, tapi kita bisa kumpulin sama-sama, Nia. Percayalah!" Rania mengangguk dan berterima kasih pada sahabatnya dengan sebuah pelukan.

Esok paginya, hari-hari di kampus dirasakan Rania dengan debaran jantung tidak normal. Seperti seseorang yang takut kedapatan mencuri barang, Rania selalu was-was. Wajahnya celingukan ke kanan kiri manatahu berpapasan dengan orang yang ditakutkannya.

"Nia!"

Deg.

"Astaghfirullah, Ci. Jangan ngagetin aku kayak gini. Lama-lama aku bisa jantungan," ujar Rania sembari mengelus dada.

"Sttt, kamu bisa tenang Nia. Pak Herman perjalanan dinas ke luar kota seminggu. Aku dengar infonya di ruang kemahasiswaan tadi.

"Serius, Ci?" Cika mengangguk dengan seulas senyum menenangkan sahabatnya. Rania tiba-tiba terharu, tanpa diminta setetes cairan bening mengalir dari mata indahnya.

"Ci, kamu sahabat terbaikku. Jangan pernah ninggalin aku dalam situasi apapun, ya!" rengeknya.

"Astaga, Nia. Kenapa kamu jadi melow begini. Sudah-sudah nanti banyak pasang mata curiga sama kita. Sebaiknya bersikaplah seperti biasa supaya tidak mengundang orang penasaran!" Rania mengangguk. Mereka berjalan menyusuri koridor kampus menuju sebuah taman kecil.

"Menurutmu, apa aku perlu melaporkan masalah ini, Ci? Siapa tahu nggak cuma aku korban pelecehannya." Rania mengajak Cika duduk di bawah pohon di area taman kampus. Mereka mengobrol serius di tempat lebih sepi supaya tidak didengar mahasiswa lain.

"Susah, Nia. Masalah seperti ini menjadi dilema bagi perempuan sebagai korbannya. Kalau kamu melapor, sama halnya membuka aib. Beruntung kalau yang mendengarnya akan membelamu. Bagaimana jika mereka justru merundungmu." Rania tampak sedih mendengarnya. Kegalauan melandanya, andai masalah ini didiamkan, pelakunya pasti merasa bertambah aman dan bebas melancarkan aksinya. Bagaimana bisa memutus rantai keburukan macam itu.

Berjuang sendiri di isu perempuan dan khususnya di isu kekerasan seksual memang tidak mudah, tapi bukan berarti tidak mungkin untuk dilakukan. Maka dari itu sangat penting seseorang memiliki support system yang saling menguatkan dalam setiap prosesnya, baik support dari keluarga, kerabat dekat maupun sahabat.

Menghela napas dalam, Rania memutar otak mencari jalan tengah. 

"Aku punya kenalan polisi. Dia tetangga dekat di kampung. Apa kamu mau menemaniku bertemu dengannya, Ci? Mungkin aku coba saja cari tahu bagaimana mengatasi masalah ini padanya."

"Ide bagus, Nia. Kantornya di mana?"

"Kalau nggak salah di Polda."

Akhirnya Rania memberanikan diri mencari tetangganya yang bekerja di Polda ditemani Cika.

"Mau cari siapa, Mbak?" Rania menoleh saat terdengar suara maskulin menyapanya.

"Eh, kamu Rania kan? Kenapa ada di sini?"

"Hmm, itu. Eh, Mas Agha kami cuma main saja lihat kantor Polda. Tadi lagi jalan-jalan di mall sebelah." Rania menyikut lengan Cika yang sedari tadi terpaku melihat sosok tampan dan gagah di depannya.

"Iya, Mas. Nia bilang ada tetangganya bekerja di sini. Jadi, kami sekalian mampir sebentar. Ini sudah mau balik kampus lagi, kok."

Agha hanya ber oh ria seraya tersenyum.

"Akhir pekan saya mau pulang. Sudah lama nggak nengok kampung. Mau pulang bareng, nggak?" tawar Agha.

"Ah iya, mau, Mas." Cika reflek menjawab tanyanya.

"Astaghfirullah, Ci. Jangan malu-maluin!"

Agha tersenyum melihat tingkah Cika. Alhasil Rania justru urung menyampaikan maksudnya mencari tetangga dekat yang juga teman masa kecilnya. Usia yang terpaut lumayan jauh membuat Rania menganggap Agha seperti kakaknya.

"Oke, sini ketik nomer ponselmu! Besok saya hubungi."

"Hah. Iya, Mas." Rania tergagap, lalu segera meraih benda persegi itu.

Dari sinilah awal Rania menyambung silaturahmi dengan Agha tetangga yang berprofesi sebagai polisi sejak menyelesaikan pendidikan di Akademi Kepolisian Semarang.

"Mas Agha polisi tampan ya, Nia?"

"What?!"

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status