Hari hampir siang, setengan sebelas Juju sudah berangkat dari rumah. Sebelum bekerja ia akan ke kos Nilam dulu, gadis itu memang sudah mendapat izin tak masuk hari ini, oleh Hwa. Juju hanya ingin memastikan kondisinya saja.
Ponsel Nilam dihubungi tidak aktif sedari pagi, itu membuatnya khawatir.
Tanpa mampir ke rumah Babe, pemuda itu gegas mengayunkan langkah ke kos belakang. Nilam pasti sendiri, teman kos lain sudah berangkat kerja, Juju hanya merasa atas kejadian mengerikan tadi malam tak seharusnya Nilam ditinggal sendiri.
Melihat pintu tertutup rapat degup jantung Juju berdetak cepat, ada perasaan tak enak menghinggapi melihat ruang yang ditempati Nilam itu. Terasa suram.
“Nilam!” panggilnya sambil mengetuk pintu.
Tak ada jawaban.
Diulang lagi. Tetap hening.
Jangan-jangan … gadis itu kambuh lagi? pikirnya segera ke samping, menggedor jendela kaca bagian kamar.
Juju terpaksa menginjak tanaman di b
Brukk! Pintu terdorong keras, Juju langsung melangkah ke kamar Nilam. Terdorong perasaan tidak enak ia tadi kembali ke sini. Segera terlihat olehnya Suci duduk di samping Nilam, menepuk pelan pipi gadis itu. Juju mendekat melihat Nilam tegak di tempatnya dengan mata membulat, lalu memegang perut terbungkuk seperti menahan mual. “Loe kenapa, Ni?” Juju mendorong Suci yang tergeragap bingung melihat keadaan Nilam, agar menjauh. “Hoekk!” Nilam terbungkuk menekan perut yang terasa bergelombang, ada sesuatu bergerak naik ke dada. Juju membuka plastik yang diambil dari meja dipasang ke pangkuan Nilam. Dengan sabar menepuk-nepuk punggung, sembari memijit ringan bahunya berharap mual Nilam berkurang. “Kalau ada apa-apa sama Nilam elo harus tanggungjawab!” ancam Juju pada Suci, yang ia tahu ada di belakangnya. Suci memang berdiri di sudut, merapat pada dinding. Pisau kecil yang sempat disembunyikan di dalam baju tadi kembali diambil, tub
“Senang lihat Abang pulang,” kata Juju pada Hanif saat ngobrol sebentar sebelum naik ke motornya. “Nilam butuh Abang di sini, Juki curiga temannya itu punya niat jahat, Bang.” Lelaki berahang tegas itu mendengarkan Juju saksama. “Banyak doa aja, kita gak bisa juga suudzon, semoga aja temanmu itu bisa mawas diri, yang penting dari dirinya dulu, keyakinan hatinya, baru kita bantu semampu yang kita bisa.” “Iye, Bang. Juki agak tenang nih, titip die ya,” ujar Juju. “Wah, kayaknya istimewa tuh. Kita cuma bermohon pada Allah yang bisa menjaga sebaik-baiknya penjaga.” “Iye, Bang. Juki percaya itu. Yuk, Bang Hanif, berangkat dulu.” “Iye hati-hati, jangan lupa doa sebelum jalan.” Juju berkomat-kamit sebelum menutup kaca helm. “Dari awal gue curiga Juki itu demen sama si Nilam.” Babe sama Maemunah rupanya tadi diam-diam mendengar pembicaraan Juju sama putranya. Hanif menoleh dengan senyum manis. “Suka itu normal, Be.” “Ka
Mentari sudah mengintip di ufuk Timur, bersiap keluar membagi hangatnya pagi. Di kamar bernuansa pink, perempuan bermata kecil mengerjap. Matanya terbuka menerima terang yang masuk dari celah ventilasi. Beberapa saat ia mencoba mengembalikan kesadaran, mengingat apa yang terjadi semalam. Lalu tersentak seakan menyadari sesuatu, ia terduduk. Rambutnya kusut masai disibak ke belakang telinga. Seingatnya tadi malam ia di lantai, tapi sekarang sudah di tempat tidur. “Nilam?” gumamnya bertanya pada diri sendiri. Mata disapu ke sekitar, tak menemukan gadis itu. Apa aku berhasil? Nilam … hilang tanpa jejak …? Suci membulatkan mata, berdiri sambil memekik di hati, tangan terkepal, merasa usahanya tak sia-sia. Meski masih lemah, ia seakan mendapat energi baru, akan segera pulang sebelum penghuni lain mengetahui semua. Perempuan itu menguncir cepat rambutnya, meraih tas. Mengintip di luar masih terdengar sepi, ia harus bergegas
Nilam mencoba melawan, ia mendorong tangan Suci yang terus memaksanya hingga gelas jatuh dan pecah di lantai. “Nilam?!” Suci berdiri, berkacak pinggang. Wajahnya merah tanda murka melihat perlawanan gadis itu. Lalu ia berjongkok mendekati Nilam yang terlihat melemah. “Aku juga mau bahagia, Ni. Bukan cuma kamu.” Suci menarik sudut bibir. “Kamu terlalu sempurna, di kota besar gini juga banyak suka, banyak yang sayang! Huh, rasanya aneh, bisa jadi kamu punya ilmu pengasih, kan?” “Ci ….” “Alasan kamu pasti cuma kasian masih mau berteman sama aku. Pasti di hatimu mengejek, kan? Aku hanya gadis nggak berguna yang menjadi penghuni kampung?!” Perempuan muda itu meluapkan amarahnya. Mengeluarkan semua isi hati yang selama ini tersembunyi. Mendengar semua itu, batin Nilam t
“Sorry baru bilang, gue juga syok,” kata Hanif pada Juju yang memerah mukanya begitu sampai di rumah sakit. Ia kecewa baru dikabari keadaan Nilam pagi ini. Sebagai orang terdekat Nilam, Juju merasa bersalah tak bisa menjaga gadis itu lebih baik. Hanif sejak selesai Subuh tadi mengisi heningnya ruang rawat dengan mengaji, duduk di kursi lipat tak jauh dari dipan Nilam. Pak Min dan Babe ketiduran lagi di sofa tunggu ruang kelas satu ini. Juju duduk di sisi tempat tidur, Nilam masih memakai oksigen pembantu. Dadanya menyesak begitu tahu Nilam sempat kritis sulit bernapas karena ada darah terhirup saluran napasnya tadi malam. Kalau ada apa-apa tanpa sepengetahuannya Juju akan merasa sangat bersalah. “Apa ini karena si Suci?” tanya Juju datar. “Temannya itu baru datang juga, saat Nilam ke belakang dia sempat sembunyi di balik bonsai, lalu ngikutin, makanya gue keluar juga. Sepertinya Nilam sudah tersungkur sebelum dia datang,” jelas Hanif. Meskipun
Pagi keesokan hari Nilam memaksa ingin keluar rumah sakit. Nilam mengatakan dirinya mulai membaik, mengabaikan rasa berat di kepala dan panas dalam dada. Selama kuat berjalan, Nilam ingin di akhir waktu ini berada di sisi wanita yang melahirkannya itu. “Itu berbahaya, Nilam, kamu akan aku bawa ke pondok guru Hamid. Biar Mak kami jemput ke sini,” saran Hanif masih membujuknya, sebelum mengikuti perawat yang memintanya ke meja admin di luar. “Nggak bisa, Bang. Aku mimpi Mak sakit keras, terkurung di rumah, nggak ada orang yang tau. Aku mau ketemu, Mak ….” Nilam masih memaksa. Hanif dan Juju saling pandang, mereka akhirnya mengalah. Hanif harus menandatangani pernyataan, karena pasien meminta keluar sebelum keputusan dari dokter. Setelah sampai di rumah, Juju dan keluarga Babe berembuk cepat, mencari jalan yang terbaik untuk gadis itu. Diputuskan Hanif akan menemani Nilam pulang dan Juju memaksa ikut. Ia menelepon Hwa mengabarkan kondisi Nilam da
Mereka memutuskan tetap di dalam mobil hingga hari terang, penerangan dengan ponsel Hwa cukup untuk mereka saling melihat. Hwa khawatir dengan Nilam yang menggigil. Selepas menunaikan Isya di tempat duduknya, Hanif meminta bertukar tempat dengan Hwa. Dua lelaki itu berpindah tempat melewati sela kursi depan. Ayat ruqyah dari akhir Al-Baqarah hingga surah pendek lain, Hanif perdengarkan ke telinga Nilam. Suaranya beradu dengan hujan di luar. Tangan Hanif menempel dipunggung gadis malang itu, berlapis jaket milik Hwa yang dipakai Nilam. Sebuah bayangan melesat mengagetkan Hwa dan Juju di depan. Terlihat dari cahaya ponsel, anginnya terasa masuk melalu kaca jendela yang sedikit diturunkan. ‘Aneh.’ Batin keduanya menyatakan kata yang sama. Juju beristighfar sambil berdoa. Hwa menenangkan diri juga memohon atas nama Tuhannya. Semakin malam, hujan tak jua reda, seakan tak ada habisnya tumpah dari langit. Hanif mulai kelelahan. Kantuk menyera
“Kampung ini sepi sekali, kenapa belum ada yang lewat?” Hwa bertanya pada Hanif.Mereka terus melihat ke jalan yang hanya membentuk setapak itu. Lengang, hanya ada kabut tipis yang menutupi setiap ujung pandangan.“Mungkin karena masih pagi,” sahut Hanif berharap. Ia menggosok telapak tangan yang dingin.“Juju?” Suara Hwa membuat Hanif ikut melihat ke arah Juju tadi. Tak ada seorang pun di belakang sana.“Juki, Juki?!” Hanif berlari ke arah bekas Juju berdiri, hanya terlihat jejak dari rumput yang terinjak, Hanif akan maju tapi ia urungkan. Lelaki itu kembali ke mobil.“Sepertinya ia masuk ke hutan, mungkin mencari sungai,” kata Hanif pada Hwa. Suaranya tak begitu yakin dengan apa yang terucap, tapi hatinya penuh harap kalau Juju hanya