“Mas janji bakalan cepet pulang, Han.”Selepas shalat tahajud dan membereskan barang bawaan, Arkan mengajak istrinya untuk duduk di depan jendela. Satu tangannya merangkul pinggang istrinya, sementara matanya tertuju ke halaman asrama yang sepi.“Aku tahu. Mas gak pernah betah di luar rumah lama-lama.”“Kalau gitu jangan sedih,” pinta Arkan. “Nanti Mas yang berat ninggalin kamu.”Hana tersenyum. Ekspresinya terlihat teduh saat berkata, “Aku gak apa-apa, Mas. Serius. Kita kan tetep bisa video-call, bisa kirim voice-note, atau saling ngasih kabar. Yang penting Mas fokus aja sama pekerjaan disana. Jangan khawatirin aku.”Arkan menunduk. Hana terus menatapnya dengan senyum yang tidak pudar sedikitpun. Disunggingkannya senyum kecil dan mengangguk.“Yang penting kamu ingat pesan Mas. Gak boleh keluar asrama. Gak boleh nulis sampai begadang. Gak boleh melamun sendirian. Nanti Mas minta Keira buat nemenin kamu.”Hana mengangguk.“Udah tahu mau dibeliin apa?” tanya Arkan penasaran.“Enggak usa
“Kamu udah makan siang?”Hana mengangguk, satu tangannya menyendok potongan buah yang dibawakan Aisyah.“Vitaminnya udah diminum?”“Udah, Mas. Kok bawel bener sih,” gelak Hana.“Mas khawatir sama kamu, Sayang,” balas Arkan tak mau kalah. “Mas kepikiran siapa yang nyuapin kamu kalau Mas gak di rumah kayak sekarang. Kamu kan males disuruh makan.”“Aku bukan anak kecil, Mas,” balas Hana masam.“Emang anak kecil doang yang disuapin?” tanya Arkan geli. Sambil berkata begitu, tangannya menyuap potongan buah ke mulut dan melambaikan tangan entah pada siapa.Hana mendengus. Mendadak dia muak melihat wajah suaminya, jadi diberikannya ponsel pada Zara dan berkata, “Tolong Mbak Zara yang urusin ya. Aku males lihat mukanya.”Sambil menahan tawa, Zara melambaikan tangan dan berkata, “Maklum, Ar. Bumil pusing dari pagi, jadi kerjanya ngomel terus. Keira aja udah kena marah beberapa kali.”“Oh, kalo yang terakhir itu sih bodo amat.”Aisyah, Zara, Naura, bahkan Hana tidak bisa menahan tawa. Kontras d
“Hana gak apa-apa kan?”Keira dan Naura mengangguk. Aisyah dan Riza bertatapan, begitu juga dengan para khadimah yang lain.“Apa pintu depannya gak ditutup?” tanya Aisyah serius.“Di-ditutup, Ning. Saya sendiri yang nutup karena mau ke kantin.” Latifah menjawab terbata-bata.“Terus kalian tahu siapa yang masuk?” tanya Riza.Keira dan Naura menggeleng.“Tapi dia pake baju hitam-hitam, Mas. Mukanya juga ditutup topi.”Dahi Aisyah berkerut, membuat Naura buru-buru menambahkan, “Topi yang biasa dipake pencuri itu, Mbak. Bolongnya di bagian mata sama mulut doang.”Semua orang berpandangan. Dengan absennya Arkan, mereka begitu takut membayangkan sesuatu yang akan terjadi pada Hana jika tidak ada siapapun di rumah.“Gimana kalau dia masuk lagi, Umi?” rengek Keira. “Kita gak bisa menjamin apa dia gak berani masuk lagi meski tadi Keira udah mukulin kepalanya pake buku tebal.”“Astaghfirullah,” seru Salwa kaget, sementara Keira menyeringai dengan ekspresi bersalah.“Dia narik kepala Hana tadi,
Pukul setengah tiga malam, Hana terbangun dan merasakan sekujur tubuhnya pegal. Diliriknya ponsel yang sudah menghitam. Selama tiga jam, dia mengobrol dengan Arkan yang membicarakan berbagai hal. Mulai dari pekerjaan selama di Rembang, Salwa yang menemaninya setiap pagi, juga buku-buku yang dibacanya beberapa hari terakhir. Kamarnya sudah gelap, juga pintunya tertutup rapat. ‘Mungkin Umi langsung tidur,’ pikirnya sambil turun.Sambil mengucek mata, Hana berjalan ke kamar mandi dan berwudhu. Pantulan wajahnya di cermin membuat wanita itu berhenti sejenak, lalu maju dan mengamati lebih lekat.‘Aku jelek banget,’ pikirnya.Seumur hidup, Hana tidak pernah merasakan ketenangan. Semua hal dicobanya agar bisa merasakan kedamaian—mengebut dengan sepeda di jalanan sepi, mendengarkan musik rock dengan volume maksimum, bahkan menyiksa diri. Bukannya tenang, jiwanya makin meronta dan over-thinking setiap akan tidur hingga membuat Hana insomnia.Hingga hari itu tiba.Mungkin Allah SWT memberinya
“Assalamu’alaikum, Han. Bunâ.” Alina melambaikan tangan, kemudian kembali menunduk menekuni sesuatu.“Wa’alaikumsalam. Apa kabar, Mbak?” tanya Hana ramah.“Terkurung di rumah, jelas gak baik-baik aja.” Alina membalas masam. Wanita itu kali ini mengarahkan wajah pada kamera, satu tangannya tengah memeluk mangkuk sementara tangan yang lain mengaduk sesuatu.“Sakit lagi?” tanya Hana khawatir. Alina dan kata ‘sakit' bukanlah hal yang luar biasa, mengingat kalau wanita itu pernah mengalami kejadian mengerikan di masa lalunya. “Mas Fauzan mana?”“Kerja dong. Kamu sendiri kenapa malah nyantai kayak istri sultan gitu? Libur?” celetuk Alina asal.Hana terbahak, lantas menjawab, “Aku libur. Cuti sampai bulan depan.”“Oh, sakit juga?” tanya Alina prihatin.Hana tidak menjawab dan kembali melahap mangganya.“Mana Arkan?” tanyanya penasaran.“Ke Rembang.”Di layar, Alina menyipitkan mata dan berkata, “Biasanya kamu ikut. Mbak gak lupa lho kalau kamu hobi update story lagi nemenin Arkan kemana aja.
“Harusnya Mas ngabarin kalau mau pulang, biar aku bisa siap-siap,” rajuk Hana saat Arkan tiba-tiba muncul di depan kamar dengan nampan berisi makanan.Arkan tertawa, lalu masuk dan meletakkan nampan di meja nakas. Hana yang baru bangun tidur siang menyandarkan punggung dan menatap suaminya dengan mata mengantuk.“Kamu sudah shalat dzuhur?” tanya Arkan.Hana mengangguk. Tubuhnya baru akan maju untuk memeluk Arkan saat pria itu mendadak mundur.“Udah gak mau dipeluk lagi?” tanya Hana sedih.Arkan tersenyum. “Mas belum mandi, Sayang. Tunggu dulu ya. Kamu bisa makan dulu, habis itu Mas mau ngobrol.”Ditatapnya Arkan yang keluar, lalu melirik ke makananya. Aroma ikan goreng membuatnya keroncongan, tapi mendadak dia malas untuk makan. ‘Aku pengen disuapin Mas Arkan,’ batinnya.“Kok gak dimakan?” tanya Arkan saat kembali ke kamar. Diletakkannya travel bag dan ransel di bawah ranjang, kemudian melepas kemeja koko dan sarung, menyisakan kaus oblong juga celana pendek selutut di baliknya.“Aku
“Kamu keterlaluan, Han.”Hana menunduk, kedua tangannya memuntir ujung jilbab instan yang dia kenakan. Sorot mata Arkan yang terluka membuat hatinya terasa ikut ditusuk.“Aku gak mau bikin Mas khawatir.” Hana berbisik pelan.“Kamu pikir Mas gak ikut khawatir setelah denger kabar ini? Gimana kalau kemarin terjadi apa-apa sama kamu?”Hana menggigit bibir. Musnah sudah kemesraan mereka beberapa jam terakhir. Tadi setelah Ashar, Arkan-nya turun untuk membuatkan tahu bakso yang dia minta. Dia sendiri tetap duduk di atas karena tidak diizinkan ikut turun. Tak diduga, Keira yang baru pulang langsung mengadu kalau ada seseorang yang memasuki rumah dan mencari Hana malam sebelumnya.Arkan bangkit dan menghela napas dengan kasar. Di pinggir ranjang, Hana menunduk. Sedih karena sudah membuat Arkan kecewa.“Seharusnya kamu ngomong.” Arkan mendesis terluka.“Aku gak mau bikin Mas kepikiran.” Hana membalas tak mau kalah.Pria bertubuh tinggi itu seketika berbalik dan mencengkeram kedua bahu Hana.“
“Mas beliin ini buat kamu.” Selepas shalat Isya', Arkan akhirnya membongkar travel bag dan mengulurkan kantong kertas besar yang ikut tercecer di bawah ranjang.Berhadapan di karpet, Hana menerima bungkusan dari tangan Arkan dengan tangan gemetar. Senyumnya terkulum, terharu karena hadiah yang diberikan suaminya benar-benar di luar dugaan.“Ini mahal banget, Mas.” Hana berkata dengan suara bergetar.Tangan Arkan terhenti. Dengan lembut, ditariknya kotak tersebut dan mengeluarkan isinya. Lantas pria itu berjalan ke belakang Hana dan memasangkan benda tersebut di lehernya dengan hati-hati.“Mas kan kerja buat kamu,” bisik Arkan lembut. Dibenamkannya kepala ke leher istrinya sambil memejamkan mata. Hidungnya terus mencium aroma lotus yang menguar dari tubuh Hana dengan rakus, salah satu aroma yang paling disukainya di dunia ini.Hana memejamkan mata, membiarkan kedua lengan Arkan melingkar di dadanya. Hatinya tak berhenti mengucap syukur karena Allah memberinya suami sebaik Arkan.“Kita