Tiffany adalah murid yang sangat rajin. Begitu selesai makan malam, dia mengikuti Sean ke ruang kerja dengan antusias. Namun, memahami struktur dan fungsi departemen di Grup Maheswari ternyata tidak mudah. Tidak lama kemudian, Tiffany tertidur di atas meja.Di bawah cahaya lampu, Sean duduk di samping Tiffany. Menatap sosoknya yang mungil dan melihat buku catatannya yang penuh dengan tulisan seperti catatan kuliah, sebuah senyuman tipis terlukis di sudut bibirnya.Sean mengulurkan tangan dan menyelipkan sehelai rambut yang jatuh di wajah Tiffany ke belakang telinganya. Wajahnya yang putih bersih tampak semakin cerah di bawah lampu. Melihatnya seperti itu, Sean tak bisa menahan diri untuk mengecup kulitnya yang lembut."Tuan." Terdengar suara dari pintu yang tiba-tiba memecah keheningan. Sofyan melaporkan, "Taufik sudah tiba."Sean berdiri perlahan-lahan, lalu mengambil pena dari tangan Tiffany dan mengangkat tubuhnya dengan lembut. "Suruh dia tunggu di ruang kerja."Setelah berkata dem
Di dalam ruang kerja, di bawah cahaya lampu yang redup, Sean masih duduk dengan matanya tertutup kain hitam. Di sampingnya, Sofyan sedang membacakan sesuatu yang tidak bisa dimengerti oleh Tiffany. Ketika melihat Tiffany datang, Sofyan segera berhenti membaca.Sean bertanya dengan nada datar, "Kenapa bangun?"Tiffany menggigit bibirnya, "Mimpi buruk.""Pak Sofyan," panggil Sean.Sofyan segera merespons, "Ya, Tuan.""Lanjutkan besok saja," kata Sean dengan suara tenang. Dia perlahan memutar kursi rodanya mendekati Tiffany. "Aku harus menemani istriku tidur."Sofyan tertegun sejenak. Apakah bosnya baru saja ... pamer kemesraan?Wajah Tiffany langsung merah padam. Dengan malu-malu, dia mengucapkan "selamat malam" pada Sofyan, lalu bergegas mendorong kursi roda Sean menuju kamar tidur.Setelah membantu Sean menyelesaikan rutinitas malamnya, Tiffany berbaring dalam pelukannya. Namun, dia masih tidak bisa tidur dan hanya terus berguling-guling. Mimpi buruk sebelumnya memang membuatnya agak k
Kata "tidak membawa keberuntungan" membuat Tiffany mengerutkan alisnya dengan tajam. Di matanya, Sean adalah bintang keberuntungannya. Bintang paling cerah yang tak tergantikan dan selalu membawa kebahagiaan! Namun, Liam berani-beraninya menyebut Sean "tidak membawa keberuntungan"?Tiffany mendongak dan menatap Liam dengan tajam. "Kalau kamu berani menjelek-jelekkan suamiku lagi, aku akan memecatmu! Cepat minta maaf sama suamiku sekarang! Katakan kalau kamu nggak seharusnya bilang dia bawa sial!"Suara Tiffany yang jernih terdengar tegas, meski nada kasarnya itu lebih terdengar seperti upaya untuk menakut-nakuti. Wajahnya juga penuh dengan kemarahan, tapi tetap terlihat menggemaskan.Liam terdiam sejenak, seolah-olah tersambar petir. Apa orang ini ... masih Tiffany yang dia kenal sebelumnya?Sepanjang hari kemarin, dia membawa Tiffany ke sana kemari di kantor dan Tiffany sama sekali tidak mengeluh. Sifatnya yang sangat sabar itu bahkan terasa agak berlebihan. Namun sekarang ... kenapa
"Yang ini adalah suamiku, Sean." Begitu kata-kata itu dilontarkan, ruang rapat langsung dipenuhi bisikan.Sean! Bukankah itu si "pembawa sial" dari Keluarga Tanuwijaya? Anak yang kehilangan orang tuanya sejak kecil, kakaknya meninggal saat dia berusia 13 tahun, dan belum lama ini disebut-sebut sebagai penyebab kematian tiga tunangannya?Orang yang dikenal sebagai pembawa malapetaka dari Keluarga Tanuwijaya itu? Kenapa Tiffany menikah dengan orang seperti itu?Melihat kekacauan di depan matanya, Liam hanya bisa menghela napas sambil memijat pelipisnya. Dia sudah menduga hal ini akan terjadi. Mantan pemilik perusahaan ini, Taufik, sangat percaya takhayul. Hal ini juga menular ke para bawahannya.Identitas Sean memang sangat sensitif. Membawanya ke sini mungkin bukan keputusan yang tepat.Setelah keributan itu mereda, seorang pria yang tampak berusia lanjut, berdiri sambil mengelus-elus janggutnya. "Bu Tiffany, kami tahu Anda baru saja menjadi presdir dan ingin berbagi kebahagiaan dengan
Begitu Tiffany berkata demikian, wajah Aditya langsung berubah muram. Dia melemparkan proposal yang telah disiapkannya hari ini ke atas meja dengan keras dan matanya menatap tajam ke arah Tiffany. "Apa maksudmu?""Baru saja menjabat sudah mau mecat pegawai lama? Kalau kamu begini, nggak akan bisa bertahan lama!"Tiffany mengatupkan bibirnya. Sorot matanya tetap dingin saat bertemu dengan tatapan Aditya. "Aku nggak tahu apakah aku bisa bertahan lama atau nggak. Tapi yang aku tahu, seberapa hebat pun seseorang, dia tetap harus punya sopan santun."Wajah Aditya memucat, tapi Tiffany seolah-olah tidak melihatnya dan melanjutkan dengan tegas, "Kamu nggak tahu apa-apa, tapi kamu menggunakan tuduhan yang nggak berdasar untuk menghina suamiku. Nggak peduli seberapa hebatnya pun kemampuanmu, kamu tetap saja orang yang nggak punya moral dan nggak tahu cara menghormati orang lain."Aditya tertawa dingin. "Orang sial seperti dia mau berharap dihormati?"Tiffany menggertakkan giginya. "Suamiku lahi
Liam menarik napas dalam-dalam, merasa bingung bagaimana caranya meyakinkan Tiffany. Namun ketika menoleh, dia melihat Sean di belakang Tiffany.Dia berjalan mendekati Sean. "Pak Sean, aku tahu Anda sudah lama terisolasi dan pasti merasa sangat tertekan dan aku juga tahu hubungan Anda dengan Bu Tiffany sangat baik. Tapi masalah ini berawal dari Anda.""Bu Tiffany baru saja mengambil alih perusahaan kemarin, nggak seharusnya kita kehilangan begitu banyak manajer secepat ini. Apakah Anda nggak merasa bertanggung jawab untuk membujuk Bu Tiffany?"Tiffany mengerutkan alisnya, lalu melemparkan pandangan tajam pada Liam. "Apa maksudmu?""Tiff." Sean tersenyum lembut, lalu memutar kursi rodanya ke hadapan Tiffany. "Suruh mereka keluar dulu."Tiffany mengerucutkan bibirnya, tetapi tetap menuruti ucapan Sean. Dia memberikan perintah agar Liam membawa semua orang yang tersisa keluar dari ruang rapat. Setelah pintu ruang rapat tertutup, ruangan besar itu hanya menyisakan Tiffany dan Sean berdua.
Tiffany awalnya menatap Sean dengan kaget, kemudian tampak takjub dan akhirnya berubah menjadi tatapan kagum. Ternyata dia tidak salah pilih! Suaminya memang yang terbaik!Tanpa memedulikan tatapan dari para kandidat yang ada di ruangan itu, Tiffany langsung mengangkat wajah Sean dan mencium pipinya dengan penuh semangat berkali-kali. Suasana di ruang rapat menjadi sangat hening.Orang-orang yang dibawa oleh Sofyan sebenarnya bukanlah pelamar biasa, melainkan tim inti yang diperintahkan Sean untuk kembali dari luar negeri semalam. Mereka adalah para profesional yang sudah lama bekerja di perusahaan global Sean di luar negeri.Para elite ini memiliki kesan bahwa Sean adalah sosok yang dingin, angkuh, tak berperasaan, dan tak suka didekati oleh orang asing. Jadi, ketika melihat Sean diperlakukan seperti itu oleh Tiffany yang mencium wajahnya berkali-kali, semua orang langsung tercengang."Sudah, cukup."Sean tersenyum lembut sambil mengusap kepala Tiffany dengan penuh kasih sayang. "Oran
Sofyan mengerutkan alisnya, kemudian keluar dari ruang rapat dan menelepon Charles."Oke, aku mengerti!" Charles yang sedang berbaring di tempat tidur, memutar matanya sambil melirik Garry yang masih sibuk membersihkan klinik. "Di lantai satu gedung Grup Maheswari ada pasien yang mengalami luka bakar. Pergilah ke sana dan tangani."Sofyan memberi tahu Charles bahwa Tiffany yang mengalami cedera dan meminta Charles datang sendiri. Namun, Charles hanya mendengus. Dia tahu jika Tiffany benar-benar terluka, mengingat betapa Sean memanjakannya, reaksi pertamanya pasti langsung mengutus mobil untuk menjemput Charles langsung!Namun, kali ini Sean hanya meminta Sofyan menyampaikan pesan dan meminta Charles untuk menangani kasus ini? Charles merasa yakin bahwa yang terluka mungkin hanyalah salah satu kenalan Sofyan.Berhubung yang terluka hanya teman Sofyan, Charles merasa tidak perlu repot-repot datang sendiri. Mengirim Garry ke sana adalah pilihan terbaik.....Klinik Charles tidak terlalu j
Tiffany kembali ke rumah, menyiapkan saus sesuai dengan selera yang dulu disukai Sean. Setelah itu, dia membawa piring itu keluar.Saat tiba di depan pintu rumah Sean, Tiffany mendengar suara telepon berdering. Sean meletakkan garpunya dengan elegan, lalu mengangkat tangan dan menjawab telepon."Hm, aku di sini." Tiffany yang berdiri di luar pintu bisa mendengar suara lembut pria itu. Tiba-tiba, langkahnya terhenti."Aku baru bisa pulang dalam beberapa hari lagi." Sean menarik napas dalam-dalam dan mengernyit. Tatapannya menunjukkan sedikit ketidaksabaran. "Sudah kubilang, aku nggak akan pulang secepat itu.""Jangan pikir yang aneh-aneh. Hubunganku dan mantan istriku nggak akan memengaruhi hubungan kita.""Ya sudah, jangan berpikir terlalu jauh. Kamu seharusnya tidur jam segini. Hm, dengarkan aku."Tiffany berdiri terpaku di tempatnya, terdiam mendengar suara penuh kasih sayang Sean, tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun.Suara ini, nada ini ... dia hanya pernah mendengar Sean berbi
Tetangga mentraktir Arlene makan? Tiffany menggigit bibirnya dan menghela napas pelan. Dasar anak ini.Ada yang mentraktirnya makan makanan enak, tetapi dia sama sekali tidak memberi tahu ibunya. Padahal, ibunya harus berterima kasih pada mereka. Selain itu, kartu akses ini tidak boleh diterima begitu saja ....Tiffany menarik napas dalam-dalam, mencari-cari sesuatu di dalam kulkas. Setelah memeriksa sesaat, dia akhirnya menemukan sedikit tepung pangsit dan isian pangsit.Di bawah cahaya lampu, Tiffany duduk dan mulai membungkus pangsit. Setelah selesai dimasak, dia bangkit dan membawa sepiring pangsit keluar rumah.Putrinya sudah makan gratis di rumah orang lain selama dua hari. Sebagai seorang ibu, mungkin dia bisa berpura-pura tidak tahu. Namun, sekarang setelah mengetahuinya, dia tentu harus membawa sesuatu sebagai balasan. Itu baru namanya tahu sopan santun.Mendengar suara pintu tertutup, Arlo yang sedang bersandar di ranjang pun menghela napas pelan dan memejamkan matanya.Larut
Saat makan malam, meskipun Arlene masih tidak makan terlalu banyak, setidaknya dia makan lebih banyak dibanding kemarin. Setelah selesai makan, Tiffany menemani kedua anaknya menyelesaikan puzzle sebelum membawa Arlene ke kamar mandi untuk mandi.Setelah Arlene selesai, giliran Arlo. Seperti kebiasaannya, setelah menidurkan Arlene, Tiffany pergi ke ruang cuci untuk mencuci pakaian anak-anaknya.Ketika dia mengingat bahwa sore tadi kedua anaknya sempat keluar rumah dengan mengenakan piama, dia pun mengambil pakaian mereka untuk dicuci dengan tangan.Namun, saat dia mengambil piama Arlene, sesuatu yang aneh menarik perhatiannya. Tidak ada noda debu atau kotoran, tetapi ada bekas jus stroberi. Noda merah itu tercetak di bagian depan piamanya.Tiffany menunduk dan menciumnya. Benar-benar aroma stroberi.Keningnya mengernyit penuh kebingungan.Stroberi?Seingatnya, tadi Arlene memakan stroberi di pasar saat masih mengenakan seragam TK-nya. Lalu kenapa sekarang ada noda stroberi di piamanya?
Begitu suara pria itu terdengar, pintu kamar tidur terbuka perlahan-lahan. Seorang pria yang tinggi dan tegap melangkah keluar dari kamar.Mata Arlo langsung membelalak. Arlene refleks mundur selangkah, lalu berbisik, "Kak, ini Paman tampan yang aku bilang!"Namun, Arlo tetap terpaku di tempatnya dan menatap pria di depannya dengan ekspresi penuh keterkejutan.Pria ini ... ayahnya? Tapi, bukankah Mama selalu bilang kalau ayahnya sudah meninggal? Bukankah Mama pernah mengatakan kalau rumput di atas makam ayahnya bahkan sudah lebih tinggi darinya?Lalu kenapa pria ini ... mirip sekali dengannya? Bukan hanya mirip, tapi benar-benar identik. Seolah-olah dia sedang melihat versi dewasanya sendiri.Sean tersenyum tipis dan berjalan santai ke sofa, lalu duduk dengan tenang.Di sisi lain, Arlene yang awalnya sedang duduk di sofa, langsung bergeser menjauh dengan hati-hati karena terpengaruh oleh ucapan kakaknya tadi.Pria itu menatap Arlo dengan sorot mata tajam. "Terkejut? Aku sudah bilang, s
Arlene berdiri di atas karpet merah muda di depan pintu apartemen Sean dan mengeluarkan kartu akses dari saku piamanya dengan hati-hati. Dengan gerakan kecil, dia menggesek kartu di pintu."Beep!"Pintu terbuka.Di dalam, suasana masih sunyi, tidak ada siapa pun. Namun, di atas meja kopi di ruang tamu, masih ada sepiring besar stroberi segar, sama seperti kemarin.Mata Arlene langsung berbinar!Keputusannya tidak meminta Mama membeli stroberi tadi sangat tepat! Stroberi di pasar mana mungkin sebagus yang ada di rumah Paman tetangga ini! Rasanya juga pasti lebih enak!Karena nafsu makannya, gadis kecil itu berlari dengan gembira ke arah stroberi.Satu buah, dua buah, tiga buah ....Rasanya yang asam manis langsung membuat senyumnya semakin lebar. Sampai Ketika dia makan sampai hampir kenyang, Arlene mengusap perutnya dan bersendawa kecil.Namun, Arlene masih ingat peringatan ibunya. Jika tidak makan malam dengan baik, dia harus pergi ke dokter! Jadi, dia harus menyisakan ruang di perut
'Sepertinya aku harus mencari waktu untuk berkenalan dengan tetangga baru.'Dengan pemikiran itu, Tiffany membuka pintu dan membawa kedua anaknya masuk ke rumah.Begitu masuk, Arlo langsung membuka ranselnya dan mengeluarkan sebuah puzzle, lalu menuangkannya di atas karpet ruang tamu. "Mama, puzzle ini adalah hadiah dari guru TK hari ini!"Tiffany melirik puzzle di lantai dan langsung mengenalinya.Puzzle ini ....Dulu, Arlo memang sangat menyukai mainan edukatif seperti ini. Suatu kali, ketika dia dan Xavier pergi berbelanja, pria itu ingin membelikan puzzle serupa untuk Arlo, tetapi Tiffany menolaknya.Alasannya?Terlalu mahal.Satu set puzzle ini hampir seharga sepuluh juta!Xavier bahkan sempat menggoda Tiffany, menyebutnya terlalu pelit pada anaknya sendiri. Namun, ini bukan soal pelit atau tidak. Tiffany selalu memastikan bahwa kedua anaknya memiliki kehidupan yang layak, tanpa merasa rendah diri dibandingkan anak-anak lain.Dari makanan hingga pakaian, dia selalu berusaha member
Tiffany hanya mengangkat bahu dan melirik Arlene melalui kaca spion. Wajah mungilnya masih memerah karena menangis. "Kalau kamu tega, kamu saja yang tangani dia."Arlo terdiam sejenak, lalu menoleh ke adiknya.Gadis kecil itu masih mengusap air mata dengan tangan mungilnya dan menatap Arlo dengan mata yang penuh kesedihan. "Kakak, apa Kakak sudah nggak sayang lagi sama Arlene?"Suara mungilnya terdengar manja dan sedikit terisak, berpadu dengan ekspresi polos khasnya .... Tubuh Arlo langsung menegang.Beberapa detik kemudian, dia membuang muka dan berpura-pura menatap keluar jendela. Dengan nada jengkel, dia bergumam, "Yang jadi ibu itu Mama, kenapa harus aku yang jadi penjahat?"Tiffany terkekeh pelan.Dua anak ini ....Meskipun Arlo hanya lebih tua lima menit dari adiknya, dia jauh lebih dewasa. Di luar sikapnya yang selalu tampak kesal terhadap adiknya, Tiffany tahu betul, tidak ada yang lebih menyayangi Arlene selain kakaknya.Tiffany melirik kaca spion lagi, melihat Arlene yang ma
Stroberi segar lebih enak daripada es krim stroberi!Setelah Arlene menghabiskan es krimnya perlahan, makanan di meja makan sudah hampir dingin.Melihat adiknya masih santai dan tidak terburu-buru, Arlo berjalan mendekat, lalu mengusap sisa es krim di sudut bibirnya. "Cuci tangan dulu, lalu makan!"Arlene mengerutkan alis kecilnya. "Aku sudah kenyang."Tadi di rumah paman tetangga, dia sudah makan banyak stroberi. Ditambah satu es krim, sekarang perutnya terasa penuh dan tidak bisa makan apa pun lagi.Tiffany mengernyit. "Cuma makan segini saja?"Es krim yang dibeli Arlo bukan ukuran besar, hanya sekitar 50 gram. Meskipun es krim mengandung banyak kalori, tidak mungkin hanya dengan itu Arlene sudah merasa kenyang."Iya." Arlene mengusap perutnya dengan malu-malu. "Sudah nggak muat lagi!""Mama, Kakak, kalian makan saja. Aku mau nonton kartun dulu!"Tiffany kembali duduk di meja makan, menatap Arlo dengan curiga, lalu merendahkan suaranya. "Kamu kasih adikmu makan apa tadi?"Arlo menger
"Paman, kenapa Paman nggak suka makan stroberi?"Di sofa, Arlene yang mengenakan piama pink bergambar kelinci menggigit sebuah stroberi segar dengan lahap. Matanya yang besar dan jernih menatap Sean dengan penasaran. "Stroberi itu enak sekali! Kenapa Paman nggak suka?""Yah, cuma nggak suka saja."Sean duduk di sebelahnya, tersenyum kecil saat melihatnya makan dengan penuh semangat. "Kamu suka makan stroberi?""Suka!"Arlene mengangguk dengan semangat. "Tapi Kakak bilang stroberi itu mahal. Nggak bisa selalu minta Mama membelinya. Mama capek!"Tatapan Sean sedikit meredup. "Mama yang bilang sama kamu begitu atau Kakak?""Kakak!" Arlene tersenyum cerah. "Kakak bilang Mama capek sekali. Tapi Mama bilang, Mama nggak capek."Gadis kecil itu mengerutkan kening dengan wajah bingung. "Aku jadi pusing. Aku nggak tahu Mama benar-benar capek atau nggak."Sean mengulurkan tangan dan mengusap lembut rambut hitamnya. "Mama-mu pasti capek.""Kakak juga bilang begitu!"Sean mengangguk kecil. Merawat