Surya meneguk saliva mendengar ucapan Vita. Memang rumah kedua orang tuanya terlihat megah dan mewah karena rumah itu dibangun saat usaha papanya masih berjalan lancar dan dalam masa keemasannya. Namun sekarang usahanya sudah tidak selancar dahulu, malah bisa dibilang redup. Penghasilannya juga tidak tentu.Kalau saja usaha papanya masih sebagus dahulu, tentu Surya tak akan bekerja di perusahaan lain. Lebih baik dia meneruskan usaha orang tuanya daripada menjadi bawahan orang.Banyak yang mengira keluarganya masih sekaya dahulu setelah melihat penampakan rumah mereka. Padahal dalam keseharian, hidupnya biasa saja. Bahkan mereka tidak punya asisten rumah tangga yang membantu membersihkan atau mengurus rumah sebab tidak mampu menggaji. Karena itu pula, mereka tidak mau menggelar resepsi pernikahan Surya dan Vita dengan dalih pihak laki-laki biasanya tidak melakukan hal tersebut.“Tidak semua yang kelihatan itu sama seperti yang dipikirkan orang, Beb,” lontar Surya.Vita mengernyit. “Mak
“Lho, kok jadi aku yang harus pinjam uang sih, Bu? Nanti gajiku berkurang buat angsuran, mana gaji Mas Surya juga sudah dipotong untuk bayar angsuran rumah. Nanti kalau uangku ga cukup untuk biaya sehari-hari gimana, Bu?” Vita langsung menolak mentah-mentah usul ibunya.“Kalau bukan kamu terus siapa, Vit? Uang itu ‘kan dipakai untuk pernikahanmu bukan untuk yang lain. Ya, kamu dong yang mengusahakan. Kamu dengar sendiri kemarin kalau Bapak sudah tidak bisa pinjam uang karena masih ada tanggungan,” tukas Lina.“Kalau kamu tidak mau pinjam juga tidak apa-apa, tapi nikahnya sederhana saja seperti Isha kemarin. Jangan minta yang bagus karena uang simpanan Bapak tidak cukup,” imbuhnya.“Masa seperti Mbak Isha, Bu. Malu dong aku sama teman-temanku kalau cuma sederhana,” timpal Vita.“Ya, gimana lagi. Surya cuma ngasih dua puluh juta. Uang Bapak cuma tinggal empat puluh juta. Mana bisa bikin resepsi yang seperti keinginanmu? Apalagi kamu maunya di gedung. Kalau undangan cuma buat 100 orang c
"Kamu itu kepala keluarga, Sat. Kamu bisa 'kan minta istrimu buat membantu tanpa Ibu harus ngomong sendiri sama Isha." Lina memaksa Satrio melakukan apa yang dia inginkan."Maaf, Bu. Menurut saya lebih baik, Ibu bicara sendiri dengan Dek Isha. Saya takut tidak bisa memberikan penjelasan yang tepat. Daripada nanti saya malah salah bicara," timpal Satrio.Lina mendesah. "Kamu tahu sendiri bagaimana istrimu kalau membicarakan soal uang, jadi sensitif sekali. Waktu kamu ngasih Ibu buat biaya syukuran sama belanja saja Isha tidak setuju 'kan?" "Itu karena Dek Isha takut saya tidak punya uang. Alhamdulillah kemarin saya masih ada tabungan, jadi bisa memberi apa yang Ibu minta. Kalau sekarang terus terang saya tidak bisa membantu, Bu," ujar pria berambut ikal itu."Kamu 'kan bisa utang di pinjol yang gampang syaratnya. Asal dapat uangnya, tidak dibayar juga tidak apa-apa," saran Lina."Waktu saya menikah kemarin, Ibu melarang saya meminjam di pinjol, kenapa sekarang malah menyuruh saya? Nan
Lina langsung masuk ke kamar Vita setelah berbicara dengan Satrio. Anak kandungnya itu sedang berbaring sambil memegang gawai. Wajah cantik Vita tertutup masker berwarna emas.“Vit, bangun! Ibu mau bicara.” Lina menepuk paha Vita lantas duduk di sisi tempat tidur.Mau tak mau Vita menurut. Dia bangun lalu duduk menghadap sang ibu. Gadis itu juga meletakkan gawainya. “Ada apa, Bu?” tanyanya.“Barusan Ibu bicara sama Satrio. Dia bilang tidak punya uang. Malah nyuruh Ibu ngomong sama Isha karena mbakmu itu katanya punya tabungan,” jawab Lina.“Memangnya uang Bang Satrio sudah habis? Kemarin ‘kan katanya dia ambil tabungan buat biaya nikahnya sama Mbak Isha,” lontar Vita.Lina mengangguk. “Satrio tadi bilang tabungannya sudah dipakai untuk itu. Sekarang dia tidak punya uang lagi.”“Apa Bang Satrio ga bisa mengusahakan pinjam sama teman apa pinjol?” cetus Vita.Wanita paruh baya itu menggeleng. “Satrio tidak mau, Vit. Bisa-bisanya malah membalik omongan Ibu yang melarang dia utang di pinjo
“Bisa-bisanya Ibu punya pikiran seperti itu! Apa Ibu tidak ingat kalau Ibu dan Vita sering merendahkan pekerjaan Isha yang hanya karyawan toko? Sekarang Ibu dengan tidak tahu malu malah minta Isha buat bantu biaya pernikahan Vita? Apa Ibu masih waras?” Baskoro terpancing emosinya setelah Lina coba membujuknya agar minta tolong pada Isha.“Tentu saja Ibu masih waras. Kalau tidak waras, Ibu sudah masuk rumah sakit jiwa, Pak.” Lina coba menahan emosi agar tidak membuat suaminya semakin marah.“Kalau Ibu masih waras, harusnya Ibu punya rasa malu sama Isha! Pokoknya Bapak tidak mau minta sama Isha. Titik!” tegas Baskoro.“Kita adakan pernikahan sesuai dengan uang yang ada saja. Tidak perlu menuruti anak kesayanganmu itu. Kecuali dia mau menanggung sendiri biayanya,” sambungnya.Pria itu kemudian mengenakan pakaiannya lalu keluar dari kamar. Dia duduk di teras rumah lalu menyalakan dan menghisap rokoknya. Mencoba menghilangkan emosi sebelum masuk ke kamar lagi untuk beristirahat dan memulih
“Buat apa Dek Isha mau ketemu sama bos Abang?” Satrio merasa heran pada istrinya.“Mau mengucapkan terima kasih karena sudah memberi kita hadiah, Bang. Kenapa memangnya? Tidak boleh?” cecar Isha.“Boleh, Dek. Siapa bilang tidak boleh?” timpal Satrio.“Habis tadi kayanya Bang Satrio ga suka aku ketemu sama bosnya,” lontar gadis 25 tahun itu.“Bukannya ga suka, Dek, tapi bos Abang itu orangnya sibuk. Ga gampang kalau mau ketemu sama dia. Mesti nunggu jadwalnya kosong dulu,” jelas Satrio.“Oh gitu ya, Bang, kirain bisa ketemu setiap saat,” gumam Isha.“Kita mesti ngomong dulu sama asistennya kalau mau ketemu sama bos biar dijadwalkan, Dek. Itu juga kadang belum tentu bisa ketemu soalnya bos sering ada meeting mendadak,” terang pria berambut ikal itu.“Susah juga ya kalau mau ketemu sama bos Bang Satrio. Beda sama bosku yang setiap hari ada di toko dan bisa ditemui setiap saat,” timpal Isha.Satrio tersenyum. “Bos Abang ‘kan perusahaannya besar, Dek. Cabangnya di mana-mana, jadi urusannya
“Enak ga, Dek?” Satrio bertanya pada Isha setelah mencicipi gurami bakar yang sudah tersaji di depan mereka.Isha mengangguk. “Enak banget, Bang. Aku baru pertama kali makan kaya gini,” akunya sambil mengambil sambal terasi yang disajikan di mangkuk sambal.“Alhamdulillah kalau Dek Isha suka. Abang jadi tidak sia-sia mengajak ke sini,” timpal Satrio dengan senyum mengembang di wajah tampannya.“Bang Satrio pernah makan di sini?” Isha memandang suaminya.Pria berambut ikal itu menyengguk. “Pernah sekali atau dua kali ke sini. Abang ‘kan cuma hidup sendiri di kontrakan, Dek, jadi jarang masak. Kalaupun masak paling mi instan sama telur. Itu juga kalau sudah benar-benar kelaparan,” ungkapnya sambil tertawa kecil.“Pantas barang-barang Bang Satrio cuma sedikit di kontrakan,” cetus Isha.Satrio mengulum senyum. “Namanya juga bujangan, Dek. Beda kalau sudah punya istri pasti barang-barangnya lebih banyak. Kalau kita nanti ngekos atau ngontrak ya harus beli peralatan masak dulu karena Abang
“Apaan sih, Bang!” Wajah Isha jadi memerah karena malu. Dia lalu berusaha melepas pelukan Satrio di pinggangnya.Merasa tak tega melihat sang istri yang malu, Satrio pun mengurai pelukannya.“Abang atau Dek Isha dulu yang ke kamar mandi? Atau bareng saja biar lebih cepat?” Pria itu masih coba menggoda istrinya.“Aku dulu.” Isha gegas mengambil baju ganti lalu beranjak ke kamar mandi.Satrio tersenyum seraya menggelengkan kepala melihat tingkah istrinya. Wajah malu Isha sungguh menggemaskan. Membuatnya ingin menciumi wajah cantik sang kekasih hati.Setelah Isha masuk ke kamar, gantian Satrio yang membersihkan diri dan berganti pakaian. Gadis itu menyisir rambutnya di depan meja rias baru kemudian naik ke atas tempat tidur. Dia duduk menyender di dinding kamar, menunggu sang suami sambil mengecek ponselnya.Tak lama Satrio kembali. Setelah menutup dan mengunci pintu, dia menyalakan lampu tidur lalu memadamkan lampu utama. Sesudah itu beranjak ke tempat tidur.“Mau ngobrol dulu apa langs
Isha langsung pergi ke dapur begitu tiba di rumah. Dia meletakkan tas bekal dan mengeluarkan isinya. Kotak buah sudah kosong, sedangkan termos yang berisi teh jahe tinggal setengah diletakkan di atas meja kitchen island.“Eh, Bu Isha sudah pulang?” Marni tampak terkejut saat masuk ke dapur dan melihat Isha ada di sana. Wanita berumur empat puluh tahun itu baru selesai menyetrika di ruang cuci.Isha mengangguk sambil tersenyum. “Barusan pulangnya, Bi.”Marni mengangguk lalu mengambil kotak buah dan termos. “Saya cuci dulu ya, Bu. Baru nanti saya isi lagi,” ucapnya.“Termosnya tidak usah. Itu masih ada teh jahenya, Bi,” tukas Isha.Marni memandang sang majikan. “Apa cukup sampai nanti malam, Bu?” tanyanya memastikan. Biasanya dia membuat dua termos saat Isha terus merasa mual.“Insya Allah cukup. Mualnya sudah berkurang kok, Bi,” jawab Isha.“Nanti saya siapkan bahan-bahannya teh jahe di kulkas ya, kalau mau buat pas saya sudah pulang,” lontar Marni.Isha menyengguk. “Makasih, Bi. Saya
"Dek, emang boleh ya lagi hamil dipijat?" tanya Satrio setelah panggilannya dijawab Isha."Kata Mama boleh, Bang. Ini tadi Mama minta paket untuk yang ibu hamil kok," jawab Isha."Bhumi, yang telepon?" Laksmi bertanya pada Isha begitu mendengar menantunya bicara dengan seseorang di telepon."Iya, Ma," sahut Isha."Sini hapenya, biar mama yang bicara sama Bhumi." Isha kemudian memberikan ponsel pintarnya pada sang mama mertua."Bhumi, kamu tenang saja. Mama ga mungkin mencelakai istrimu dan calon cucu mama. Di sini terapisnya sangat profesional dan punya sertifikat untuk memijat ibu hamil. Mama tahu istrimu pasti capek setelah resepsi kemarin, makanya mama ajak ke sini biar lebih rileks dan capeknya hilang." Laksmi bicara pada putra sulungnya melalui saluran telepon."Kalau memang aman, aku ga masalah, Ma. Aku takut saja kalau dipijat sembarang orang," tukas Satrio."Kamu kenal mama 'kan, Bhumi? Mana pernah mama sembarangan memilih sesuatu, pasti mama akan cari yang terbaik. Dan di tem
“Ada banyak sih, Bu. Tapi saya hanya tahu beberapa. Kalau mau tahu semuanya, Bu Isha tanya saja sama Pak Bhumi. Beliau yang lebih berhak memberi tahu,” sahut Marni dengan bijak.“Sebutkan saja yang Bi Marni tahu, ga perlu semuanya.” Isha membujuk sang asisten rumah tangga karena enggan bertanya pada suaminya.Wanita berumur empat puluh tahun itu kemudian menyebutkan beberapa aset yang dimiliki keluarga Satrio, seperti hotel, vila, resor, dan beberapa restoran. “Masya Allah, berarti keluarga suami saya benar-benar kaya ya, Bi?” Isha memandang sang asisten rumah tangga.Marni mengangguk. “Maaf, memangnya Bu Isha tidak tahu kalau Pak Krisna salah satu orang terkaya di negara kita?”Isha menggeleng. “Kok bisa, Bu? Memangnya sebelum nikah Pak Bhumi tidak mengenalkan Bu Isha sama keluarganya dulu?” Marni merasa heran.“Enggak, Bi. Waktu kenal sama saya ‘kan suami saya dalam posisi menyamar jadi saya tidak tahu siapa dia. Waktu kami menikah juga tidak ada keluarganya yang datang,” jelas Is
Lina berdiri di depan kamar sambil melihat Vita dan Surya yang memasukkan pakaian mereka ke dalam koper dan tas besar. “Kalian benar-benar mau pergi malam ini?” tanyanya. “Iya, Bu,” sahut Vita sambil memasukkan semua kosmetiknya ke dalam tas kecil lalu ditata di dalam koper. “Kenapa ga besok pagi saja sekalian berangkat kerja?” tanya Lina lagi. “Ribet kalau besok pagi, Bu. Masa bawa banyak barang ke kantor,” jawab Vita. “Kan ditaruh di mobil, Vit. Ga bakal kelihatan sama orang,” tukas Lina. “Aku sama Mas Surya sudah sepakat pindah malam ini, Bu. Aku pasti akan ke sini kalau libur kerja, Ibu jangan khawatir,” balas Vita. “Biarkan saja Vita ikut sama suaminya, Bu. Sejak dia menikah ‘kan sudah jadi milik Surya, bukan kita lagi. Sama seperti Isha yang juga ikut sama Satrio.” Baskoro ikut menimpali. “Kalau Vita pergi, nanti rumah ini jadi sepi, Pak. Cuma ada kita berdua,” keluh Lina. “Ya ‘kan malah jadi pengantin baru lagi, Bu,” seloroh Surya. “Dulu waktu baru jadi pengantin ya ga
“Vit, Bapak dapat kabar dari Satrio kalau Surya sekarang ada di rumah orang tuanya. Kalau mau minta maaf dan baikan, sebaiknya kamu menyusul ke sana.” Baskoro bicara dengan Vita setelah diberi tahu Satrio di mana posisi Surya.“Aku ke sananya sendiri, Pak?” Vita memandang sang bapak dengan mata merah dan bengkak karena terus menangis."Kamu mau ditemani?" tanya Baskoro sambil memandang putri bungsunya dengan tatapan iba.Vita mengangguk sambil mengusap air mata dengan tisu. "Bapak nanti bisa bantu aku ngomong sama Mas Surya dan kedua mertuaku kalau ikut. Kalau aku ke sana sendiri belum tentu Mas Surya mau menemui aku," timpalnya.Baskoro melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 18.30, masih belum terlalu malam untuk bertamu ke rumah orang. "Ya sudah, kamu siap-siap. Bapak antar kamu ke rumah Surya," putusnya kemudian."Ya, Pak. Aku cuci muka dulu." Vita beranjak ke kamar mandi setelah sang bapak meninggalkan kamarnya. Kali ini dia harus mengalah dan minta maaf agar rumah tangganya b
Satrio tertawa mendengar pertanyaan istrinya. Hal itu membuat Isha jadi cemberut. “Bang, ditanya kok malah ketawa sih,” protesnya.“Habisnya pertanyaan Dek Isha lucu,” timpal Satrio sambil menahan tawa.“Lucu gimana sih, Bang? Perasaan pertanyaanku ga lucu sama sekali,” tukas Isha dengan kening mengerut.“Ya, lucu aja menurut Abang. Perasaan Abang ga ada tampang suka pergi ke diskotek atau klub malam, tapi Dek Isha tanyanya begitu,” sahut pria berambut ikal itu dengan santai.“Berarti Bang Satrio sama sekali tidak pernah pergi ke diskotek dan klub malam?” Isha menatap suaminya lekat.Satrio menggeleng. “Jujur saja Abang pernah ke diskotek dan klub malam waktu SMA dan kuliah. Biasalah, diajak teman-teman nongkrong pas weekend. Tapi ga setiap minggu Abang pergi, paling sebulan sekali atau dua kali,” akunya.Isha cukup terkejut mendengar pengakuan suaminya. Namun dia bisa memaklumi apalagi hal itu dilakukan saat suaminya dalam masa pencarian jati diri. “Berarti Bang Satrio dulu sering mi
“Surya belum kembali, Pak?” Satrio bertanya pada Baskoro saat mereka bertemu di restoran hotel untuk makan siang. Dia tak melihat pria itu datang bersama Baskoro, Lina, dan juga Vita. Wajah adik iparnya juga terlihat sendu, tak ceria seperti biasanya.Baskoro menggeleng. “Belum. Bapak, Ibu, dan Vita sudah menghubungi dia berulang kali tapi hapenya tidak aktif. Kirim pesan juga cuma centang satu,” jawabnya lesu.Satrio mengangguk. Dalam hati dia merasa prihatin dengan kejadian yang menimpa sang adik ipar. “Nanti saya coba bantu cari Surya, Pak. Sekarang kita makan siang dulu.” Pria berambut ikal itu mengajak sang mertua duduk di kursi yang berhadapan dengan Krisna."Suaminya Vita mana kok ga ikut ke sini?" tanya Laksmi yang belum tahu kalau Surya pergi. Satrio memang tidak memberi tahu keluarganya karena itu privasi keluarga Isha. Dia tak berhak menyebarluaskan tanpa minta izin pada keluarga istrinya terlebih dahulu."Surya ada keperluan jadi pulang dulu, Bu." Baskoro yang menjawab per
“Maksudmu apa, Vit? Jangan sembarangan bicara! Ibu saja terakhir bertemu Surya tadi malam dan tidak bicara apa-apa.” Lina memandang putri kandungnya dengan tatapan heran.“Ibu memang ga bicara sama Mas Surya, tapi sama aku,” tukas Vita.“Terus gimana ceritanya kamu bisa nyalahin Ibu?” Kerutan di kening Lina semakin dalam.“Gara-gara Ibu ngomong menyesal menjebak Mbak Isha dengan Bang Satrio, dan juga kebahagiaan bisa didapat dengan harta bukan cinta. Aku jadi bilang sama Mas Surya kalau harusnya kami ga nikah dulu sebelum keadaan ekonomi stabil, ga kaya sekarang mau apa-apa ga punya uang. Setelah itu Mas Surya marah dan pergi ninggalin aku,” jawab Vita.“Lagian kenapa kamu ngomong seperti itu sama Surya, Vit? Bukannya kamu yang minta cepat-cepat nikah sama minta dibeliin rumah? Kamu juga selalu ga mau keluar uang kalau mau apa-apa. Wajar kalau Surya marah,” timpal Lina yang tak mau disalahkan begitu saja.“Tapi itu ‘kan gara-gara Ibu ngomong lebih baik aku nikah sama Bang Satrio darip
“Beb, aku ingin kita extend satu hari lagi di sini,” ucap Vita pada suaminya saat mereka duduk menyandar di tempat tidur sambil menonton televisi.“Memangnya kamu sudah bilang sama Mbak Isha atau Bang Satrio?” Surya balik bertanya.Vita menggeleng. “Maksudku kita pakai uang sendiri, Beb. Kalau bilang sama Mbak Isha pasti ga dibolehin sama dia. Ntar aku dibilang ga tahu diri.”Surya menghela napas panjang. “Beb, ingat ‘kan kita harus nabung buat biaya lahiran? Nambah menginap semalam di sini itu lumayan lho harganya. Belum untuk makan. Kalau kamu masih mau extend, ya bilang sama Mbak Isha atau Bang Satrio, siapa tahu mereka mau membantu,” timpalnya.Vita mengerucutkan bibir. “Harusnya kita ga usah nikah dulu kalau kondisi ekonomi belum stabil. Mau apa-apa selalu ga ada uang,” keluhnya.Rahang Surya seketika mengeras. Dia mencengkeram lengan Vita dan membuat istrinya itu menatapnya. “Kamu menyesal nikah sama aku? Siapa yang dulu minta dinikahi cepat-cepat dan minta beli rumah? Aku udah