Tubuh Andri terhuyung membentur dinding dekat lemari kaca. Napasnya sedikit tercekat, ingin berteriak namun tak bisa karena mulutnya dibekap kuat.
Andri membelalakkan matanya tak percaya saat mengetahui siapa yang menarik tadi. "Jangan teriak, ini aku, Ndri," ucap Agra dengan wajah tanpa dosa. "Gimana gak kaget. Kamu tiba-tiba narik aku gitu aja. Mau apa lagi kamu, Mas?" tanya Andri sedikit ketus. Kedua matanya nampak beradu dengan pandangan Agra yang tajam, hingga akhirnya ia memilih untuk membuang wajahnya ke samping. "Apa kamu benar-benar mau menikah dengan Arkan, Ndri?" tanya Agra dengan sedikit memelas. "Apa urusanmu?" tanya Andri ketus. "Ndri, pikirkan baik-baik, Arkan itu hanya anak idiot, dia juga gak kerja. Aku yakin, kamu pasti gak akan pernah bahagia sama dia," bujuk Agra kembali. "Terus, apa dengan aku nikah sama kamu, aku akan bahagia?" tanya Andri sedikit ragu. Agra mengangguk mantap, kedua tangannya kini menyentuh dinding dan berada disisi kanan kiri Andri, sehingga membuat Andri seperti terpenjara oleh tubuhnya. "Andri, ayolah, jika kau memang mau melanjutkan pernikahan ini, setidaknya jangan mau sama Arkan. Lebih baik, kita lanjutkan saja rencana kita. Ayo, Ndri, kita temui Kakek Gala dan bilang bahwa kamu akan tetap menikah denganku, bukan dengan si idiot itu," rayu Agra kembali sambil membelai lembut wajah Andri. "Maaf, Mas, aku gak bisa," putus Andri seraya mendorong tubuh Agra sedikit menjauh dari tubuhnya. Sontak, apa yang dilakukan Andri, mampu menyulut emosi yang Agra tahan dari tadi. Ia pun kembali membenturkan tubuh Andri ke dinding, bahkan kini tangannya berada tepat di leher Andri. "Kamu menyebalkan sekali, Ndri. Sudah mandul, banyak gaya pula," ucap Agra kesal. Cengkraman di leher Andri perlahan mulai mengerat, membuatnya hampir kesulitan napas. 'Oh Tuhan, apa hidupku akan berakhir? Arkan, tolong aku,' batin Andri sambil memejamkan matanya. "Mas Agra, apa yang kamu lakukan?" Suara bariton yang menggema mampu membuat keduanya menoleh seketika. Agra pun segera melepaskan cengkeramannya dan sedikit menjauh dari tubuh Andri. Andri yang saat itu masih ketakutan pun segera berlari dan bersembunyi dibelakang tubuh Arkan. Ia menggenggam erat kaos belakang Arkan seolah meminta perlindungan. "Jangan pernah sentuh wanitaku lagi, Mas!" ucap Arkan memperingatkan. "Jangan senang dulu, Kan. Kelak, aku akan ambil lagi Andri dari kamu," ucap Agra seraya pergi dari hadapan mereka berdua. Arkan pun segera menarik tubuh Andri untuk masuk ke dalam kamarnya dan menyuruhnya untuk duduk di sofa. "Terimakasih. Aku gak tau lagi gimana nasibku kalau kamu gak keluar. Mungkin aku udah ...," Kata-kata Andri langsung terpotong karena Arkan telah melambaikan tangannya. "Terus, apa sekarang kamu masih mau menikah sama Agra?" tanya Arkan kembali memastikan dan mendapat gelengan dari Andri. "Nggak! Aku gak mau nikah sama dia, aku takut nanti dia malah nyakitin aku, baik secara verbal ataupun fisik," jawab Andri mantap. Andri menyenderkan tubuhnya pada sandaran sofa, lalu menetralkan degup jantungnya agar ia tak lagi ketakutan karenanya. "Ndri, apa kamu datang gak bawa surat?" tanya Arkan yang langsung membuat Andri salah tingkah. "Em, soal surat itu --," Andri memainkan jari jemarinya. Karena kelakuan Agra tadi, kata-kata yang telah ia susun pun mendadak hilang entah kemana. "Ndri, apa kamu gak jadi bikin surat perjanjiannya?" tanya Arkan kembali dan mendapat anggukan dari Andri. "Ayah bilang, pernikahan bukan untuk main-main, dan sebaiknya gak perlu kita buat surat perjanjian seperti itu," jawab Andri ragu. "Apa kamu bilang sama Ayah soal semuanya? Astaga Andri, ternyata kamu lebih idiot daripada saya," ucap Arkan sarkas. "Aku gak idiot, Mas! Ayah itu cinta pertama aku. Sekalipun aku coba menyembunyikan darinya, ia pasti akan selalu menemukan celah. Jadi, ya mau gak mau cerita apa adanya," ucap Andri sedikit kesal. Arkan menghembuskan napasnya kasar dan mengangguk. "Lalu, apa yang Ayah bilang? Apa dia gak masalah nitipin kamu di orang idiot sepertiku?" tanya Arkan. "Ayah bilang, hati gak ada yang tau. Siapa tau, suatu saat kita akan saling cinta," ucap Andri lemah dan langsung membuang wajahnya kesamping. "Cinta?" *** Andri memainkan jari jemarinya, hatinya sedikit resah, beberapa kali ia nampak menghembuskan napasnya kasar, mencoba untuk menetralkan perasaannya yang berkecamuk di dadanya. Telapak tangannya sudah banjir keringat dingin, sehingga harus beberapa kali ia lap dengan tisu. "Nervous ya, Mbak?" tanya salah satu penata rias yang tadi menghias telapak tangannya dengan hena. "Hu'um, Mbak. Aku malu dan gugup," ucap Andri lirih. "Rileks dulu yuk, Mbak," ucap penata rias satunya yang saat ini tengah mendadani wajahnya. Andri pun dituntun untuk melakukan tarik napas hembuskan secara perlahan selama beberapa kali. Hal itu, guna untuk meminimalisir rasa nervous yang masih ada. "Gimana? Sudah lebih baik?" tanya penata rias kembali dan mendapat anggukan dari Andri. Wajahnya pun kembali di dandani, tak hanya wajah, namun juga rambutnya. Andri memilih untuk memejamkan matanya saja, agar tak terlalu nervous dan mengganggu pekerjaan para perias itu. Setelah beberapa saat, tepukan lembut di pundaknya pun langsung menyadarkannya. "Mbak, udah selesai semua," ucap penata rias itu. Andri melihat pantulan dirinya di cermin lalu tersenyum. "Apa itu aku, Bu?" tanya Andri dan mendapat anggukan darinya. "Mbak Andri suka?" tanya penata rias kembali. "Suka banget, Bu. Masya Allah, cantik banget, kek bukan aku," ucap Andri memuji sang penata rias. Tak lama, Bunda Seira dan Arsy pun datang ke kamar Andri untuk memberitahu bahwa acara akad sudah hampir dimulai. "Cantik sih. Tapi sayang, nikahnya sama pria idiot, udah gitu gak keurus pula hihi," bisik Arsy di telinga Andri. Arsy sedikit terkekeh saat mengucapkan itu, membuat darah dikepala Andri seketika mulai mendidih. "Kek kamu pernah liat Mas Arkan aja, Ar. Awas kalau kamu jatuh hati sama dia juga," ucap Andri sambil menyunggingkan sedikit senyumnya. "Jatuh hati sama cowok brewokan? Astaga gak banget, iuh. Aku udah liat Mas Arkan kemaren, dan tampangnya haha," kekeh Arsy seraya pergi meninggalkan sang bunda berdua saja. "Nyebelin banget sih! Awas aja kamu," gerutu Andri sambil mengepalkan jari jemarinya. "Udah, gak usah didengerin. Ayo, bunda antar ke dekat pelaminan," ucap Bunda Seira dan mendapat anggukan dari Andri. "Ayah dimana, Bun?" tanya Andri penasaran karena dari pagi ia tak melihat wajah cinta pertamanya itu. "Ayahmu sudah ada disana bersama penghulu. Begitupun dengan kembaranmu yang sudah siap menjadi saksi pernikahan kalian," jawab Bunda santai. "Aku pikir, Pak RT yang akan jadi saksinya, Bun," ucap Andri sambil melangkah perlahan. "Awalnya begitu, tapi tiba - tiba Andre maksa minta jadi saksi. Jadi ya sudah," ucap Bunda dan mendapat senyuman dari Andri. Andri benar-benar merasa tenang saat ini, sekalipun ia yakin calon suaminya tidak setampan Agra, tapi ada dua orang lelaki yang dicintainya saat itu, yang akan ada bersamanya. Andri berdiri diatas karpet merah yang menjuntai panjang dari atas pelaminan hingga pintu masuk gedung. Dengan digandeng Sang Bunda disisi kirinya, perlahan Andri pun mulai melangkah. Semua mata pun tertuju pada dirinya, membuat dirinya sedikit kikuk. Ia yakin, setelah ini, pasti akan ada banyak gunjingan lagi tentangnya. Tak hanya, tentang mengapa pengantin prianya berganti, namun juga tentang penampilan Arkan yang sedikit urakan. Andri berhenti tepat di persimpangan tengah aula. Bunda pun segera memberikan buket bunga kepadanya. Tak hanya itu, panitia acara pun meminta Andri untuk menatap lurus ke depan, tepatnya ke arah berlawanan. Dari sisi sana, nampak seseorang dengan langkah yang tegap dan gagah berjalan menghampirinya. Seketika, tubuh Andri nampak menegang. Matanya membulat sempurna seperti hampir keluar. Kemana perginya rambut gondrong dan brewok itu? Kenapa yang berdiri dihadapannya saat ini sangat berbeda? Tanpa ia sadari, sebuah senyuman pun melengkung sempurna di bibir indahnya.Arkan melangkah dengan tegap menghampiri Andri, wajahnya penuh keyakinan. Tanpa ragu, ia mengulurkan tangannya, yang langsung disambut Andri dengan senyum hangat dan penuh kebahagiaan."Cantik," bisik Arkan lembut, matanya menatap Andri dengan penuh kasih membuatnya menjadi salah tingkah."Sudah siap?" tanyanya lagi sambil mengalungkan lengan Andri kedalam tangannya, seolah memberi dukungan yang tenang namun kuat.Andri hanya mengangguk, senyumnya pun tak pudar dari wajahnya."Mas," lirih Andri pelan sesaat sebelum keduanya kembali melangkah.Arkan segera mengalihkan pandangannya kepada Andri, seolah bertanya mengapa?"Terimakasih," bisik Andri lirih.Hanya itu yang bisa Andri ucapkan untuk saat ini kepada lelakinya. Setelah itu, keduanya pun segera melangkah menuju meja tempat ijab kabul akan dilangsungkan yang berada tak jauh dari atas pelaminan.Di sepanjang perjalanan menuju meja ijab kabul, bisik-bisik dari para tamu mulai terdengar, mengiringi langkah keduanya. Sayup-sayup, Andr
Kakek Gala melangkah pelan mendekati pak penghulu disana.Dengan setengah berbisik, ia pun menceritakan alasan kenapa nama mempelai prianya berganti. Tentu saja, apa yang diceritakannya itu tidak sepenuhnya benar. Ia hanya mengatakan bahwa ada sesuatu hal yang menimpa calon suami sebelumnya.Pak penghulu nampak mengangguk paham dengan apa yang terjadi. Ia pun nampak menghembuskan napasnya dengan sedikit berat."Baik, saya mengerti. Tapi, saya mohon maaf, buku nikah kalian untuk sementara saya tahan dulu, sampai berkas milik saudara Arkan masuk ke kantor kami, bagaimana?" tanya Pak Penghulu dengan berat."Apa gak bisa buku nikah itu dikasih dahulu, Pak?" tanya Ayah Revan mencoba meloby pak penghulu.Pak penghulu menggeleng pelan lalu mengeluarkan secarik kertas di dalam tasnya."Untuk sementara kita pakai surat ini dahulu sebagai tanda kalau pernikahan kalian memang sudah sah dan tercatat ya," ucap Pak Penghulu kembali.Arkan dan Andri saling pandang, saling merasakan kelegaan sekaligu
Arkan hanya tersenyum lalu mengajak Andri untuk segera duduk di kursi pelaminan.Andri hanya menurut meskipun pandangannya tak pernah lepas pada apa yang ada disebelah pelaminan itu."Itu hotweels asli buat kamu, Dek. Itu salah satu koleksi aku, dan aku hadiahkan untuk istri aku nantinya," bisik Arkan pelan.Mata Andri nampak membola, siapa sebenernya lelaki disebelahnya itu? Banyak orang yang mengatakan bahwa ia hanya pria idiot yang kelakuannya seperti anak kecil. Namun, yang ia temui hari ini, sungguhlah berbeda.Semua tamu pun memandang takjub pada apa yang dihadiahkan oleh Arkan kepada istrinya.Bagaimana tidak, yang Arkan hadiahkan adalah sebuah supercar type Audy 8R V10, harga dipasaran Indonesia saja masih sekitar 5 miliar keatas. Kalaupun itu mobil second harganya pun masih bernilai fantastis sekitar 2 miliar rupiah.Andri masih tak percaya dengan apa yang ia dapatkan kini. Kasak-kusuk para tamu undangan terlihat jelas dari atas pelaminan.Andri meremas gaun pengantinnya deng
Waktu pun terus berlalu, hingga tak terasa jam pun sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB, waktunya acara hampir selesai.Satu persatu para tamu undangan pun berpamitan lalu memberikan pelukan hangat dan ucapan selamat untuk terakhir kalinya kepada Arkan dan juga Andri. Hingga akhirnya hanya menyisakan keluarga inti saja.Lampu-lampu hias mulai dipadamkan pertanda bahwa acara sudah selesai. Andri melangkah perlahan menuju ruang ganti bersama sang Bunda, begitupun dengan Arkan yang sudah lebih dahulu melangkah bersama Kakek Gala.Saat tiba diruang ganti, sudah ada Arsy dengan tatapan tajam seolah tak suka."Aku heran, sebenernya siapa Mas Arkan. Kok bisa dia ngasih hadiah Audy 8R buat Mbak," ucapnya dengan ketus.Andri menggidikkan bahunya tanda tak tahu dan meminta bantuan sang bunda untuk melepaskan resleting yang sulit ia jangkau di belakang punggungnya."Andai tau Mas Arkan sekaya itu, mending aku kemarin godain dia," gerutu Arsy kembali."Hush! Buat apa kamu godain dia, belum tentu Ark
Di dalam kamar, Andri terlihat memegangi dadanya yang terasa berdebar kencang. Sejak tadi, jantungnya terus berdetak lebih cepat dari biasanya, apalagi saat melihat kamar Arkan yang nampak romantis dan penuh oleh keintiman ini.'Apa mungkin sekarang saatnya aku menyerahkan apa yang telah aku jaga selama ini?' gumam Andri lirih.Setelah menenangkan hatinya, ia pun melangkah menuju nakas. Disana, sudah ada sebuah tote bag pemberian dari Natasya--istri Andre-- yang tadi sempat menelponnya.Andri mengambil tote bag itu dan matanya langsung membola saat melihat apa yang ada di dalamnya. Ia pun segera mengambilnya lalu mengibaskannya sebentar dan memperhatikannya dengan seksama.'Baju model apa ini? Kenapa tipis dan menerawang sekali?' tanya Andri di dalam hatinya.Tak lama, ponselnya pun berdering tanda ada pesan masuk. Andri pun bergegas segera mengambil ponsel itu dan membaca pesannya yang ternyata dari Natasya.[Mbak, jangan lupa bajunya di pake ya] pesan Natasya.Tangan Andri pun berge
Di dalam kamar, Andri diam terpaku melihat respon yang Arkan tunjukkan tadi. Ia pun menundukkan kepalanya lalu segera mengambil ponselnya yang terletak di atas nakas.Ia lalu menghubungi adik iparnya itu seraya menutupi tubuhnya dengan selimut yang berada di atas kasur.["Kenapa lagi, Mbak?"] tanya Natasya dari sebrang telpon sana."Tadi aku udah coba pake baju yang kamu kasih. Tapi, Mas Arkan malah pergi dan langsung nutup pintu kamar. Apa aku terlalu jelek atau ...?" Andri tak meneruskan ucapannya.Rasanya, kata-kata itu tercekak di dalam tenggorokannya dan sulit untuk keluar.["Kok bisa? Coba kita VC, aku mau lihat,"] ucap Natasya dengan tak percaya."VC? Aku malu, Sya. Masih pake baju ini soalnya," ucap Andri ragu.["Gak apa-apa, Mbak. Mumpung disini juga gak ada Mas Andre, soalnya aneh aja. Pas aku pake baju itu, Mas Andre langsung napsu liat aku, masa iya Mas Arkan enggak sih? Pasti ada yang salah ini,"] ucap Natasya.Andri pun menghembuskan napasnya pelan, lalu mengganti mode t
Arkan menghembuskan napasnya perlahan, lalu ia pun mengetuk pintu kamarnya.Tok! Tok! Tok!"Dek, kok pintunya di kunci?" tanya Arkan lirih dari luar kamar.Arkan merasa jantungnya berdebar cukup kencang, perasaannya entah mengapa mengatakan bahwa ada sesuatu yang tak beres.Ia pun akhirnya menyadari sesuatu, karena rasa gelisah yang begitu mendera, ia pun mengetuk pintu lebih keras.Sementara di dalam kamar, Andri yang saat itu pura-pura untuk tidur pun tersentak dalam kebingungan.'Kenapa Mas Arkan ngetuk pintu dan manggilin aku? Kalau Mas Arkan diluar, terus yang ada dikamar siapa?" batin Andri lirih.Andri mencoba mengabaikan perasaan tidak enaknya dan membuka matanya secara perlahan. Ia menggeliat sebentar, dan pura-pura mengucek matanya agar terlihat baru bangun tidur.Agra yang menyadari bahwa Andri telah bangun karena ketukan pintu dikamar pun berusaha berpikir cepat bagaimana agar Andri tetap tunduk padanya.Rajang pun kembali bergerak, namun kali ini, seperti ada sesuatu yang
Agra bangkit, menyeka darah yang keluar dari sudut bibirnya dan tertawa pelan."Haha, bocah idiot sepertimu mana bisa melindungi dia? Melindungi diri sendiri saja sepertinya tak akan mampu," ledek Agra.Arkan berdiri tegak, otaknya berpikir cepat, apa iya begitu? Tapi melihat darah yang keluar dari sudut bibir Agra, nalurinya seakan mengatakan bahwa itu tidak benar.“Tak peduli aku bisa melindungi diriku sendiri atau tidak. Yang pasti, jika kau menyentuh apa yang telah menjadi milikku, aku tak akan tinggal diam!" sentak Arkan."Aku pernah kehilangan orangtuaku dan juga kewarasanku karena kelakuan kamu. Dan saat ini, aku tak akan lagi mentolerir kelakuanmu, Mas!" ucap Arkan kembali.Tanpa membuang waktu, mereka kembali terlibat dalam pertarungan sengit. Suara pukulan dan desahan napas berat memenuhi ruangan.Andri berdiri ketakutan di depan pintu kamarnya. Namun, pandangannya tertuju pada Arkan yang tak menyerah, meskipun Agra men
Agra tak bisa menjawab ucapan itu, ia hanya bisa tertunduk diam, merutuki kebodohannya dahulu."Aku bener-bener minta maaf, Ar. Aku tahu aku salah, dan aku minta kesempatan dari kamu untuk memperbaiki segalanya," ucap Agra, nada suaranya penuh penyesalan dan juga luka."Selama ini, aku selalu cari kamu. Tapi, entah kenapa aku nggak pernah bisa nemuin kamu. Seolah, jejak kamu emang benar-benar menghilang begitu aja," ucap Agra kembali.Arsy menggigit bibir bawahnya, matanya mulai memanas kembali."Aku tahu, Mas. Mas Arkan dan Mbak Andri sering cerita tentang kamu. Dan gimana tersiksanya kamu. Tapi, aku masih belum siap saat itu," ucap Arsy pada akhirnya.Agra mengerutkan keningnya, "Jadi, selama ini kamu tahu tentang aku?' tanya Agra memastikan.Arsy mengangguk mantap. Sementara Agra, kembali memeluk tubuh wanitanya itu kembali. Arsy kembali menangis di pelukan lelakinya itu."Aku minta maaf, Arsy, aku minta maaf," ucap Agra kali ini.Arsy hanya mengangguk, membiarkan air matanya jatuh
Tak hanya Agra, namun wanita itu pun sedikit terkejut saat melihat siapa yang ada disana. Yah, wanita itu adalah Arsy, wanita yang ia cari selama hampir lima tahun lamanya. Ia pikir, wanita itu benar-benar menghilang, dan kedua adiknya tak tahu tentangnya. Namun, kenyataan di depannya seolah menghantam segala rasa sesak yang ada. Di sisi lain, Andri dan Arkan sama sekali tak bergerak. Keduanya pun hanya bisa saling bertukar pandang, tak menyangka bahwa akan ada pertemuan di antara mereka. Keduanya memilih mengalihkan perhatiannya pada Humai, bocah kecil yang baru saja datang dan langsung meminta Arkan untuk menggendongnya itu. Arsy menelan ludah. Ia mengalihkan pandangannya dari arah Agra ke arah Andri dan Arkan, lalu kembali pada Agra kembali. Hingga akhirnya, tanpa dikomando mulutnya pun berkata dengan lirih, nyaris bergumam menyebut nama itu. "Ma--Mas Agra." Agra mengembuskan napas berat setelah beberapa saat ia terdiam. Tak lama, ia pun segera bangkit dari duduknya dan mengh
"Haha sabar, Mas," ucap Andri seraya mengecup bibir sang suami.Arkan mendengus kesal, lalu segera beranjak dari duduknya. Sementara Andri, merapihkan pakaiannya dan juga rambutnya yang sedikit berantakan karena ulah suaminya.Dengan wajah sedikit dongkol, Arkan membuka pintu rumah dengan kasar. Diambang pintu, Agra berdiri dengan wajah yang sedikit berkerut karena bingung melihat kelakuan sang adik.."Assalamu'alaikum," salam Agra sekali lagi."Wa'alaikumsalam," jawab Arkan ketus.Agra sempat terdiam, merasa heran. Ia tak merasa melakukan apapun, tapi kenapa Arkan bersikap menyebalkan kepadanya? Apa dia sedang tak dapat jatah dari Andri? Atau ...Agra menepis pikiran liarnya, dan hendak melangkah masuk ke dalam rumah. Namun, dengan sigap Arkan langsung pasang badan menahan Agra di pintu."Mau ngapain sih, Mas,? Ganggu orang aja!" seru Arkan sedikit ketus."Dih, ngapa lu? Kaga seneng banget perasaan liat gua ke sini. Gua mau ketemu bini lu, bukan lu. Dah, sana minggir," ucap Agra san
Seketika, ruangan itu mendadak hening. Semua mata memandang Andri dengan ekspresi yang sama --terkejut.Mereka tahu, Andri bukan lah orang yang suka ceplas-ceplos, bahkan terkesan santun dan sopan. Ucapannya barusan tentu saja membuat mereka semua terkejut, tak terkecuali dengan Arkan.Namun, Arkan hanya menyunggingkan sedikit senyumnya. Senyum yang tipis, sehingga tidak semua orang menyadarinya.'Fiks, khodam harimaunya akan keluar ini,' batin Arkan sambil terkekeh geli."A-- apa maksud kamu, Ndri?" tanya Bu Irma dengan sedikit tergagap.Andri tertawa pelan, seraya bangkit dari duduknya."Ibu pikir, saya nggak tahu kalau menantu itu hamil duluan, makanya nikah buru-buru? Ya ilah, Bu, sebelum acara nikahan itu berlangsung, saya udah ketemu duluan sama anak ibu dan pacarnya di poli kandungan dua bulan sebelumnya," ucap Andri. "Mereka sendiri yang bilang kalau misalnya mau USG anak mereka," ucapnya kembali.Ia merapihkan ujung bajunya, lalu kembali menatap Bu Irma dengan tajam."Tolong
Ruang tamu itu dipenuhi oleh kehangatan. Suara bayi yang baru lahir terdengar lirih dari sudut ruangan, sementara para tamu sedang asyik mengobrol santai sambil menikmati teh dan camilan.Diantara tamu-tamu itu, Andri dan Arkan pun tak luput untuk datang menengok tetangga mereka yang baru saja melahirkan.Andri ikut tersenyum saat melihat si bayi yang masih merah tertidur pulas dalam gendongan ibunya. Aroma bedak bayi dan minyak telon tercium samar di udara. Ada rasa haru sekaligus kagum di matanya, sesuatu yang tak bisa ia jelaskan dengan kata-kata."MasyaAllah, gemes banget ya, Ndri," bisik Bu RT yang berada di sampingnya.Andri mengangguk. "Iya, Bu. Lucu banget, masyaallah," ucapnya lembut."Mbak Andri mau coba gendong?" tanya sang empunya rumah dengan ramah.Andri terdiam sebentar, lalu melirik ke arah Arkan yang berada tak jauh darinya. Arkan hanya mengangguk sambil tersenyum, seolah memberi ijin untuk Andri.Andri mengangguk ragu dan tak lama bayi merah itu telah berpindah tanga
Tante Adel berdiri di ambang pintu dengan ekspresi datar, tetapi sorot matanya menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. Seakan dia tahu lebih banyak daripada yang mereka pahami saat ini."Karena itu, kapan kamu mau bawa koleksi mainan kamu?" tanyanya kembali, namun kali ini dengan nada lebih tenang, tetapi tetap tajam.Arkan masih berusaha mencerna semuanya. Koleksi mainan yang selama ini menjadi kenangan berharga, bukan hanya sekadar benda mati, tapi juga suatu koleksi atas kesabaran dan penghargaan, ternyata sudah dijual dan dilelang. Lalu, ditukar dengan saham dan juga investasi."Lalu, apa masih ada yang tersisa, Tan?" tanya Arkan kali ini. Suaranya terdengar serak, nyaris berbisik.Tante Adel terdiam sebentar, lalu menggeleng lemah. Ia segera masuk ke dalam kamar Yudha, dan menarik salah satu kursi di sana."Kalau kamu tanya soal mainan yang ada diruangan Mas Gerry, kemungkinan udah nggak ada semua yang tersisa," ucap Tante Adel lirih."Tapi, kalau misalnya kamu tanya soal mainan
Arkan memutar-mutar kertas itu di tangannya. Tulisan Yudha yang sedikit miring di sudut kertas terus menarik perhatiannya."Suatu saat, aku akan jelaskan."Apa yang ingin Yudha jelaskan? Kenapa terasa seperti ada rahasia besar yang sengaja disembunyikan darinya?Perasaan tidak nyaman mengendap di dadanya. Perlahan, Arkan berdiri dan melangkah ke arah lemari buku milik Yudha. Ia membuka satu per satu laci dan rak, mencari sesuatu yang mungkin bisa memberikan jawaban. Tapi semuanya tampak biasa saja. Buku pelajaran, beberapa majalah, dan alat tulis.Namun, ketika ia membuka laci paling bawah, pandangannya tertumbuk pada sebuah kotak persegi panjang berwarna hitam. Kotak itu terkunci, tapi di atasnya ada gantungan kunci kecil berbentuk kepala Megatron.Arkan mengernyit. Ia ingat betul gantungan kunci itu. Itu adalah hadiah yang ia berikan pada Yudha saat ulang tahunnya yang ke lima belas.Perlahan, ia mengambil kotak itu. Berat. Ia menggoyangkannya perlahan—ada sesuatu di dalamnya."Apa
"... kamar Yudha. Iya, benar kamar Yudha," ujar Tante Adel sambil tersenyum.Arkan memincingkan mata, kamar Yudha? Bagaimana bisa?"Kemarin Yudha lagi disuruh bikin prakarya gitu. Nah, salah satu mainan kamu jadi bahan contohnya. Coba aja cek di sana, sepertinya ada," ujar Tante Adel kembali seolah itu bukan masalah sama sekali.Alis Arkan berkerut dalam, kenapa Yudha tak ijin dahulu padanya? Biasanya, ia akan selalu ijin untuk meminjam mainannya. Tapi, kenapa kali ini tidak? Apalagi, mainan yang diambilnya adalah Gundam limited edition. Itu bukan hanya tentang sebuah koleksi berharga, namun juga mengajarkannya suatu kesabaran karena rela menunggu barang itu launching hingga berbulan-bulan lamanya.Tanpa mengucapkan sepatah kata, Arkan segera berbalik dan melangkah menuju kamar Yudha yang berada di sebelah kamarnya yang berada di sana. Langkah kakinya terasa sedikit berat, ia takut bahwa kenyataan yang ada di depan sana, akan kembali mengecewakan seperti kejadian di gudang tadi pagi.
Namun, seolah tak ingin kehilangan kendali, Oom Wisnu buru-buru melangkah mengikuti Arkan yang hendak keluar dari gedung. Napasnya tersengal, cemas. Ia tahu, jika Arkan sampai pulang dan menemukan apa yang sebenarnya terjadi di rumah, segalanya akan hancur."Arkan, tunggu! Jangan pulang sekarang!" seru Oom Wisnu, mencoba menghentikan langkah Arkan.Namun Arkan tetap berjalan, bahkan mempercepat langkahnya. "Kenapa? Takut aku menemukan sesuatu?" tanyanya tajam, tanpa menoleh."Bukan begitu, Ar. Dengar dulu! Sebaiknya kita fokus pada permasalahan Dirgantara dahulu, daripada mainan-mainan itu!" Oom Wisnu kembali berdiri di depan Arkan, menghalangi jalannya.Arkan menghentikan langkahnya. Matanya menyipit, memandangi Oom Wisnu yang kini berkeringat dingin."Dirgantara?" tanya Arkan sambil tertawa pelan.Arkan mencengkram pundak Oom Wisnu dengan pelan, lalu menyunggingkan sedikit senyumnya."Mainan itu lebih berharga dibanding Dirgantara, Oom," ucap Arkan lirih. "Aku lebih baik kehilangan