"Kopi hitam dan satu slice cake moca. Selamat menikmati, Pak.""Terima kasih, Kak."Arya berada di kafe dekat rumah sakit siang ini untuk menikmati makan siangnya. Kafe di siang itu ramai dipenuhi suara orang-orang yang tengah menikmati makan siang mereka.Arya duduk di meja pojok dengan kepala sedikit menunduk, sibuk dengan ponselnya. Sesekali, dia mengangkat wajahnya untuk melihat ke arah pintu karena suara bel. Namun, perhatiannya tiba-tiba tertarik pada suara yang terdengar familiar."Dengan siapa dia di sini?"Arya mengernyitkan kening saat mendengar nada suara Fatma yang dingin dan menusuk tajam. Arya memiringkan tubuhnya sedikit dan berpura-pura tidak memperhatikan, tetapi telinganya menangkap setiap kata yang keluar dari mulut Fatma.Arya penasaran akan sosok yang diajak bicara oleh Fatma. Pasalnya Fatma bukan orang yang mudah berteman dengan siapa pun kecuali teman arisannya."Apa alasanmu menabrak Sanur, hah?" Arya memerhatikan suara Fatma yang terdengar penuh amarah."Sanur
["Tak seharusnya anda melibatkan nona Mahira, Ibu Fatma. Cukup Sarayu saja." ]["Mahira itu harus tewas dalam kecelakaan itu, tapi dia hidup kembali."]["Pokoknya aku tak mau tahu, Maya. Sarayu sudah tiada sekarang aku ingin hidup Mahira menderita. Dia mengingatkanku pada ibunya."]Wisnu mendengar rekaman percakapan itu yang cukup panjang durasinya hingga rencana pemalsuan pelaku tabrak lari tersebut. Wisnu benar-benar tak menyangka jika Maya bekerjasama dengan Fatma."Apa kamu pernah menjanjikan sesuatu kepada Maya hingga menyebabkan dia begitu terobsesi padamu?" tanya Birendra menatap Wisnu."Entahlah Mas. Aku tak ingat. Mungkin ada di masa kecil kami saat aku mengajaknya bermain dan belajar bersama. Aku tak ingat aku pernah menjanjikan apa padanya," ujar Wisnu mencoba mengingat, tetapi tak bisa dia lakukan."Apa bisa kasus ini kembali dibuka, Mas?""Tentu saja bisa, Mas Wisnu. Aku bisa menjadi saksi mengenai kecelakaan tersebut jika aku sempat melihat wanita duduk di sebelah sopir
"Terima kasih sudah datang, Pak Birendra.""Tidah usah panggil Pak jika kita sedang berdua saja, Dokter Arya."Sore sepulang kerja Birendra menyempatkan diri ke rumah sakit karena Arya menyuruhnya untuk bertemu. Ada hal yang perlu dibicarakan oleh Arya."Hmm ... baiklah, Birendra. Lebih baik kita panggil nama saja," ucap Arya seraya menyerahkan secangkir teh hangat."Oke, apa yang mau anda bicarakan dengan saya?" tanya Birendra memakai bahasa tak formal."Apa ini menyangkut Sarayu atau Sanur?"Arya menatap Birendra yang duduk di depannya dan tubuhnya sedikit condong ke depan dengan tangannya terkepal di atas lutut. Arya menarik napas panjang sebelum berbicara."Bukan kedua wanita itu yang sedang saya bicarakan melainkan istri anda," kata Arya menatap ke arah Birendra dengan menggelengkan kepala. Ingatan Birendra selalu tentang Sarayu."Ada apa dengan Mahira? Apa ini menyangkut sakitnya?" Kini Birendra mulai menunjukkan keinginantahuan.Arya menarik napas panjang sebelum berbicara. Sua
"Nyonya Sanur, Dokter Mahira berpesan jika anda pulang akan ada sopir dari pihak kami untuk mengantarkan ada pulang." Sanur merapikan selimut di atas tempat tidur rumah sakit. Wajahnya masih pucat, tapi senyumnya muncul samar-samar saat perawat mengatakan dia boleh pulang hari ini. Tubuhnya terasa ringan dan hatinya berat. Begitu banyak yang harus dia pikirkan, begitu banyak yang harus dia tinggalkan. "Katakan rasa terima kasih saya pada Dokter Mahira, Suster. Saya bisa memanggil taksi online sendiri," kata Sanur dengan pelan seraya memegang bagian perutnya. "Tapi Nyonya Sanur, anda tidak boleh jalan pulang sendiri. Kondisi anda masih belum stabil mengingat sebenarnya anda baru boleh pulang tiga hari lagi," kata perawat tersebut mencoba mencegah kepulangan Sanur. "Tidak apa-apa, Sus. Saya sudah kuat kok lagipula kasihan anak saya sendirian," sahut Sanur melebarkan senyumnya seakan dia memang sudah sembuh. Jika dulu dia akan bahagia karena mendapat keistimewaan dan fasilitas,
Arya duduk di ruang istirahat rumah sakit dengan matan yang tidak lepas dari sosok Mahira yang tengah memeriksa hasil lab di ujung ruangan seolah wanita itu tak mengalami apapun. Arya menghela napas dalam, ada rasa cemas yang terus membayangi pikirannya. Arya tahu Mahira sangat keras kepala, tapi hematoma yang memburuk di tubuh rekan kerjanya itu bisa membawa konsekuensi serius jika tidak segera ditangani. Arya menggenggam cangkir kopi di tangannya lebih erat, memutar-mutar gagangnya seolah berusaha menenangkan pikirannya saat ini. Mahira merapikan dokumen dan berjalan keluar, wajahnya tetap tenang meski ada kerutan tipis di dahinya. Arya bangkit dari kursinya seraya melangkah cepat menyusul Mahira sebelum wanita itu sempat pergi lebih jauh. "Mahira, aku ingin bicara sebentar denganmu. Jangan keluar dulu," kata Arya dengan tatapan lembutnya. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya terdengar tenang. Mahira berhenti sambil menghela napas pelan lalu berbalik menghadap Arya. "Dokter Arya
Ada gemuruh di hati Mahira saat ini. Beberapa jam lalu Birendra menjemputnya ketika pulang kerja dan mengatakan ingin membicarakan sesuatu. Mahira hanya mengangguk seraya memikirkan hal apa yang Birendra bicarakan.Sesampainya di rumah, Mahira hanya menyeduh teh di dapur sembari menunggu Birendra yang ada di kamar. Mahira tidak lagi berada di rumah ini dan lebih memilih menempati apartemen bersama Abisatya."Kamu tak ingin tinggal di sini lagi, Mahira?" tanya Birendra yang baru datang dan sudah berganti pakaian."Maaf, Mas. Aku tidak bisa. Dan maaf jika hak asuh Abisatya jatuh padaku meski aku tahu anak itu bukan darah dagingku.""Aku menyayanginya lebih dari apapun. Bersama dia, aku bisa menemukan kebahagian," ucap Mahira seraya menyunggingkan senyum."Aku tahu kamu bisa merawatnya. Lagipula aku tak bisa merawat atau menjaga Abisatya. Bik Sum sudah pulang kampung sedangkan Maya menghilang.""Terima kasih, Mas sudah percaya sama aku mengasuh Abisatya."Duduk berdua di teras membuat Ma
Di kantor kepolisian yang diterangi lampu neon putih, seorang penyidik duduk termenung di hadapan papan bukti. Foto-foto berserakan di mejanya, salah satunya foto Sarayu yang sudah meninggal dalam kecelakaan tragis.Andi---penyelidik itu menatap tajam pada foto Fatma dan Maya, dua perempuan yang telah lama dicari. Sudah hampir seminggu keberadaan mereka hilang. Mereka tak mungkin kabur ke luar negeri kecuali mereka kabur keluar kota."Kita harus temukan mereka," gumamnya lirih, matanya tak lepas dari peta yang menunjukkan tempat-tempat yang sudah mereka selidiki.Pintu ruangannya terbuka perlahan saat dia sedang serius. Seorang pria berpangkat kapten masuk dengan langkah tenang membawa amplop cokelat.“Saya menemukan bukti lagi, Pak," ucapnya sambil meletakkan amplop itu di atas meja.Andi meraihnya dengan cepat, membuka amplop dan menemukan beberapa foto baru. Salah satunya foto seorang wanita sedang menggendong bayi perempuan."Siapa ini?" tanyanya sambil mengernyitkan alis."Ini ib
"Coba jelaskan padaku, Agustin. Kenapa Hira ada di rumahmu?""Kamu tahu aku dan dokter Arya tak tahu lagi mau ke mana mencari Hira. Ternyata dia ada di sini."Birendra dan Arya tak pernah sekalipun menyangka jika Mahira datang ke rumah Agustin siang kemarin. Kini mereka berdua mendapat telepon jika Mahira sedang dalam keadaan tak baik-baik pagi ini."Kemarin siang Mahira datang ke rumahku. Dia terlihat lelah, tapi aku tidak menyangka kondisinya seburuk itu. Ketika aku mengajak masuk ke rumah, dia tiba-tiba jatuh pingsan.""Aku tak sempat menelepon, Bi. Jadi aku pikir kubawa dia masuk dan menunggu dia siuman. Saat siuman, dia melarangku untuk menghubungimu atau Arya kecuali ayahnya.""Di mana dia sekarang?" tanya Arya dan mendapat tatapan tak menyenangkan dari Birendra. Seharusnya dia yang bertanya bukan Arya."Pagi ini Pak Rahmat datang menjemput Mahira dan membawanya pulang ke rumahnya," kata Agustin memerhatikan kedua pria di depannya."Lalu bagaimana keadaannya sekarang, Agustin?"
"Ayo Mahira ....""Kamu pasti bisa melewati ini semuanya. Berjuanglah."Di ruang operasi yang dipenuhi suara mesin pemantau detak jantung dan alat-alat medis, Dokter Gatot berkeringat di balik masker bedahnya. Tangannya yang bersarung tangan lateks bergerak cepat, berusaha menghentikan pendarahan hebat di otak Mahira. Para perawat dan petugas anestesi bekerja dengan cekatan, saling bertukar pandang setiap kali tekanan darah pasien turun drastis.“Tekanan darahnya anjlok lagi, Dok!” seru seorang perawat, suaranya tegang.Dokter Gatot mengatupkan rahangnya dengan napasnya yang tertahan. “Tambahkan satu ampul epinefrin. Kita harus stabilkan dia dulu.”"Baik, Dok."Jarum jam terus berdetak, tapi keadaan Mahira tak juga membaik. Sudah tiga jam lamanya Dokter Gatot yang menggantikan Arya mengoperasi Mahira, keadaan di ruang operasi sungguh mendebarkan."Dokter Mahira, jangan menyerah. Anda harus berjuang demi dokter Arya!" seru perawat Raka mendampingi dokter Gatot.Para dokter dan perawat
Mahira membuka pintu kamar rawat inap dengan pelan agar tak menganggu ketenangan pasien di ruangan. Mahira berjalan mendekati ranjang yang berada di dekat jendela. Di sana tampak Arya terbaring diam dan tubuhnya tak bergerak sedikit pun, tertelan oleh ketenangan alat medis yang terus berbunyi terus menerus. Mahira menatapnya sejenak, ada rasa rindu dan sedih tercampur dalam tatapan matanya yang berkaca-kaca.Mahira berdiri dalam diam seakan takut mengganggu tidur Arya yang terlalu panjang. Wajahnya yang dulu penuh semangat kini tampak pucat, bekas air mata masih terlihat di sudut matanya. Setelah sekian lama berdiri di sisi tempat tidur Arya, Mahira mengulurkan tangan, menyentuh jemari Arya yang dingin dan tak merespons."Halo Dokter Arya ....""Tiga hari lagi memasuki tahun baru dan sudah empat bulan anda tidur. Apa anda tidak ingin bangun?""Banyak kawan-kawan yang menantimu membuka mata."Mahira berjalan ke jendela dan menutup tirainya karena malam telah tiba. Kemudian Mahira kemba
Mahira perlahan membuka mata dan penglihatan yang buram. Ruangan putih yang asing menyambutnya, dengan bau karbol yang khas. Dia mencoba duduk, tetapi seketika rasa nyeri menusuk di kepalanya membuatnya meringis. Tangan kanannya bergerak memegang pelipis, sementara matanya menyipit menahan sakit yang kian terasa."Jangan banyak bergerak dulu, Hira," kata suara berat dan tenang milik Dokter Agustin terdengar di sebelahnya. Dia berdiri dengan tangan terlipat di depan dada disertai sorot matanya yang lembut."Kamu baru saja pingsan. Mahira. Untung Birendra segera membawamu ke sini.""Kenapa dengan saya, Dok?" tanya Mahira berusaha untuk bicara."Kondisimu semakin parah, Hira. Hematomamu sudah terlalu besar dan kita harus melakukan operasi secepatnya. Tidak bisa kamu biarkan seperti ini terus."Mahira terdiam, dadanya terasa sesak mendengar kata-kata itu. Bibirnya mengatup rapat seraya matanya menatap lurus ke depan dan berusaha mengusir pikiran-pikiran buruk. Sambil menarik napas dalam-d
Di balik jeruji besi yang dingin, Maya duduk bersandar pada dinding yang lembap. Wajahnya pucat, matanya sembab dan bahunya sedikit bergetar, menahan perasaan yang berkecamuk dalam dada.Hidupnya telah berubah. Dia bukan lagi Maya seorang mahasiswi kedokteran atau adik asuh kesayangan sang nona. Dia telah mengecewakan sang nona juga ibunya yang malu kepada dirinya."2012 ada yang menemuimu. Keluarlah." Seorang sipir wanita membuka jeruji besi tempat Maya berada sekarang."Siapa yang mau menemui saya, Bu?" tanya Maya. Hampir dua bulan tak seorang pun sudi menjenguknya."Kamu akan tahu nanti."Maya didampingi dua sipir wanita dengan tangan yang terborgol. Langkah-langkah halus terdengar mendekat ke ruang pertemuan dan tak lama kemudian seorang wanita berdiri di hadapannya. Mahira.Wanita itu tetap anggun meskipun ada kelelahan yang terlihat di matanya. Dengan ekspresi tenang, tetapi sarat kekecewaan, Mahira menatap Maya dalam-dalam. Maya menundukkan kepala seraya jari-jarinya saling men
"Apa yang ingin kamu bicarakan, Mas?" Mahira menatap Birendra dengan pandangan serius. "Ini tentang kita, Hira. Tentang pernikahan yang telah kita jalani," kata Birendra. Birendra duduk di ruang tamu seraya menghadap Mahira yang duduk di seberangnya. Tatapannya berat seolah menimbang setiap kata yang akan dia ucapkan. Kedua tangannya berada di pangkuan dan jemarinya saling mengait erat, sesekali bergerak gelisah. Mahira menatap Birendra dengan lembut, wajahnya tenang walau ada sedikit kerutan di dahinya menunjukkan kekhawatiran yang dia coba sembunyikan sejak tadi saat Birendra memanggilnya. "Aku siap mendengarnya, Mas. Katakan saja," sahut Mahira ingin mengetahui keputusan yang diambil Birendra. Dia sudah tahu Birendra hendak membicarakan perceraian. "Aku tidak tahu harus memulai dari mana pembicaraan ini, Hira. Kamu tahu sendiri pernikahan kita bukan didasari oleh cinta di hatiku. Aku hanya menganggapmu sebagai adik bukan seorang istri," ucap Birendra mengungkapkan isi hati
Sanur berdiri di terminal keberangkatan memandang pesawat yang akan membawanya dan putrinya, Alya, meninggalkan Indonesia. Hatinya terasa berat, tetapi dia yakin bahwa ini adalah keputusan yang tepat. Dia sudah berpamitan dengan Mahira juga Birendra dan mereka mengerti alasannya pergi. Namun ada satu orang yang tak diberi tahu, Sanur tak bisa membiarkan Wisnu ikut terikat dalam kehidupannya yang penuh luka. Dia merasa dirinya tak pantas bagi Wisnu. “Semua akan baik-baik saja,” bisiknya pada diri sendiri meskipun hatinya masih bimbang sembari menggandeng tangan kecil Alya. "Ibu, kita akan ke mana? Kenapa naik pesawat?" Alya gadis kecil berjaket dan bertopi itu tampak bingung. "Kita akan ke Amerika, Nak. Kita akan memulai kehidupan yang baru di sana," jawab Sanur memberi pengertian pada Alya. "Apa Paman Wisnu dan Kakek Rahmat ikut juga bersama kita?" tanyanya lagi. "Hanya kita berdua, Nak." Sanur melihat kesedihan di wajah Alya. Dua bulan bersama Wisnu dan Rahmat ayah Mahir
Tanpa disadari oleh Fatma, seorang polisi diam-diam berjalan di belakangnya. Polisi tersebut mendekati Fatma dengan sigap dan sebelum dia bisa melakukan sesuatu yang lebih berbahaya, polisi berhasil melumpuhkannya."Sudahi permainan anda, Ibu Fatma!""Tidak ... aku tak berakhir seperti ini!" Fatma berteriak tidak terima.Pistol yang dia genggam jatuh dengan bunyi keras ke lantai beton. Bayi Abisatya yang hampir terlepas dari genggamannya langsung diselamatkan oleh seorang petugas polisi dan dengan hati-hati diserahkan kembali kepada Mahira.Mahira meraih Abisatya dengan tangan gemetar, dan begitu dia mendekap putranya, air mata mengalir deras di pipinya. Rasa syukur dan kebahagiaan meluap-luap di hatinya setelah berhari-hari terjebak dalam mimpi buruk ini."Ibu di sini, Sayang. Kamu aman sekarang," kata Mahira memeluk erat Abisatya."Jangan menangis lagi. Kita pulang ya sekarang," imbuh Mahira sembari mencium wajah Abisatya yang sudah berhenti menangis.Birendra dengan cepat menghampi
Mahira berdiri terpaku, tangan gemetar saat menatap pisau di hadapannya. Fatma menunggunya membuat keputusan, tetapi bagaimana mungkin ia bisa memilih? Di satu sisi ada Abisatya, putranya yang bahkan belum bisa berbicara. Di sisi lain, ada Sanur, yang meski bukan siapa-siapa baginya secara pribadi, tetaplah seseorang yang berharga bagi Wisnu."Kenapa anda begitu menginginkan kematianku, Bibi Fatma?" tanya Mahira sengaja untuk mengalihkan pembicaraan.Fatma mendengkus kesal, dia menatap Mahira dengan tatapan kebencian. Tidak ada rasa iba pada Mahira yang notebene adalah keponakannya. Rasa bencinya telah mengakar di hatinya."Karena dengan kematianmu, aku bisa mewarisi harta ibumu. Semua yang dia miliki seharusnya jatuh kepadaku bukan kepada ibumu. Sejak kecil aku diabaikan dan tak seorang pun menyayangiku hanya karena ibumu memiliki penyakit jantung," ucap Fatma sinis."Bukankah anda telah mengambil semuanya? Kenapa anda masih menginginkan kematianku?" ulang Mahira."Wajahmu mengingatk
Malam semakin larut saat Mahira menyetir seorang diri di lenggangnya jalanan ibu kota. Jari-jarinya mencengkeram erat setir mobil. Ini pertama kalinya ia menyetir setelah setahun tak pernah menyentuh mobil karena trauma kecelakaan yang pernah dialaminya. Tubuhnya terasa kaku, dan setiap tarikan napasnya berat.Satu jam lalu Mahira mendapat telepon dari Fatma untuk menemuinya secara langsung di tempat yang sudah ditunjuknya. Mahira awalnya ingin menolak, tetapi ancaman Fatma membuat dia harus menghadap.["Jika kau tak ke sini sendirian, jangan harap kamu akan bertemu dengan salah satu dari mereka."]Suara dingin Fatma memerintahkannya datang sendiri tanpa ditemani siapa pun. Jika Mahira membawa polisi atau siapa saja, salah satu sandera — anaknya, Abisatya atau akan dilukai. Tidak ada waktu untuk berpikir panjang. Tanpa memberitahu Birendra ataupun Wisnu, Mahira mengambil kunci mobil dan pergi di tengah malam yang sunyi.Angin malam menyapu wajahnya saat dia membuka sedikit jendela mob