Sinar lembut matahari pagi menyusup di sela-sela gorden jendela kamar Andin. Menerangi ruangan yang temaram tanpa cahaya lampu. Di tempat duduknya di dekat jendela, dia berdiri. Andin menyingkap gorden menyaksikan kehidupan kota berkecamuk seperti koloni semut, bergerak dengan ritme yang berdenyut seperti nadi bumi. Dengung lalu lintas di kejauhan seperti orkestra kendaraan yang tak pernah berhenti, menari-nari di jalanan yang tak pernah tidur, sementara kicauan burung yang sesekali terdengar seperti melodi lembut, mengiringi setiap pikirannya yang melayang jauh. Di tengah gemuruh itu, Andin merasa seperti pelaut yang terhanyut gelombang ombak. Namun tetap merasa terlindungi oleh pelukan hangat alam semesta, memeluknya dalam ketenangan yang mengalir seperti sungai yang tak pernah kering.Hati Andin berdegup kencang tak terkendali, mengingat kembali saat-saat sebelum Lukman berangkat kerja. Seperti bayangan yang tak pernah pudar. Lukman telah menawarinya sebuah pernikahan kontrak, s
Hari telah berlalu begitu cepat bagi Lukman. Dari pagi hingga senja, ia terperangkap dalam rutinitas kantor yang melelahkan. Namun, yang lebih menguras tenaganya adalah ketegangan yang dirasakannya sepanjang hari ini. Setiap langkahnya terasa berat, setiap nafasnya terasa terengah-engah di tengah tekanan yang terus menerus menekan dari segala arah. Meski ia mencoba menyembunyikan kelelahannya di balik senyumannya, namun batinnya menjadi medan perang yang penuh gejolak."Aku harap Andin tidak berpikir buruk dengan lamaranku yang tiba-tiba itu," gumam Lukman. Melepas dasi dan jasnya dengan gerakan lambat, Lukman merasakan beban berat dari hari yang panjang dan penuh tantangan mengendap di pundaknya. "Apa dia masih mengurung diri di dalam kamarnya?" tanyanya entah pada siapa. Sejak pagi Lukman belum bertemu dengan Andin. Perempuan yang biasanya menyambut dirinya dengan senyum itu, tidak menampakan batang hidungnya bahkan sampai dia pulang dari kantor. Dia menghela nafas dalam-dalam,
Andin merasakan getaran kecil pada ponselnya yang terletak di meja samping tempat tidurnya. Meskipun matanya masih tertutup, dia merasakan kehadiran sambutan pagi yang lembut, memenuhi ruangan dengan aroma harum yang menyegarkan. Dengan gerakan yang pelan, matanya perlahan-lahan terbuka. Andin menyapu pandangannya ke sekitar kamar yang terang benderang oleh sinar mentari yang memancar melalui jendela. Udara segar pagi itu meresap ke dalam napasnya. Dia menatap layar ponselnya, melihat angka di jam digital menunjukkan pukul 4:30 pagi. Senyum tipis menghiasi bibirnya ketika dia menyadari bahwa dia telah bangun lebih awal dari biasanya.Tanpa berpikir panjang, Andin bangkit dari tempat tidurnya dan mengenakan piyama yang nyaman. Dia merasa dorongan yang kuat untuk memasak pagi ini, sesuatu yang jarang dia lakukan belakangan ini. Dengan langkah ringan, dia melangkah menuju dapur, membiarkan aroma kopi hangat memimpin jalannya.Saat dia tiba di dapur, dia menemukan Bibik yang sibuk memper
Suasana pagi di kantor Lukman terasa berbeda dari biasanya. Udara terasa tegang, terisi dengan ketegangan. Langit yang biasanya cerah dan menyegarkan, sekarang terlihat berawan. Di luar pintu kantor, sejumlah media berkumpul dengan sabar. Menunggu dengan penuh antisipasi. Kamera-kamera siap merekam setiap gerak dan kata yang akan keluar dari mulut Lukman, sementara mikrofon-mikrofon berdiri kokoh, siap untuk menangkap setiap kata yang diucapkannya.Kehadiran para wartawan itu menambah beban di kantor. Setiap langkah yang diambil terasa diawasi, setiap kata yang diucapkan menjadi potensi bahan berita. Lukman menyadari bahwa hari ini adalah hari yang akan menentukan banyak hal dalam hidupnya. Di dalam kantor, Lukman duduk di depan meja kerjanya, memikirkan kata-kata yang tepat untuk diucapkan. Setiap detik terasa seperti berjalan dalam lautan pikiran yang berombak-ombak, di mana setiap kata memiliki bobot yang besar dan konsekuensi yang mungkin akan berdampak jauh ke masa depannya. D
Dewi duduk di tempat persembunyiannya, di sebuah apartemen yang tersembunyi dari pandangan polisi. Dalam kegelapan ruangannya yang sepi, dia menatap layar televisi dengan tatapan kosong. Seolah-olah sedang mencoba memecahkan teka-teki yang rumit dalam labirin pikirannya, tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar seakan dunia yang dulu ia kendalikan terbalik oleh sebuah pernyataan yang tidak dia harapkan sama sekali.Wawancara Lukman yang mengungkapkan niatnya untuk menikahi Andin membuatnya terdiam seketika. Seolah dia sedang dihantam oleh gelombang badai yang menggulung batinnya. Raut wajahnya yang biasanya penuh dengan kesombongan dan kecongkakkan, kini bermuram durja. Selama ini, Dewi telah menghabiskan waktu dan energinya untuk menjatuhkan Andin. Dia telah merencanakan berbagai cara licik dan jahat untuk menghancurkan reputasi wanita itu, termasuk menyebarkan rumor dan melakukan sabotase. Namun, semua usahanya telah gagal, dan sekarang Lukman malah ingin menikahi Andin. "
Setelah berkeliling sejenak, mereka akhirnya sampai di toko gaun pengantin. Ruangan itu dipenuhi dengan berbagai macam gaun yang indah, dengan desain yang beragam dan warna yang memukau. Gaun-gaun tersebut tergantung dengan anggun di atas manekin, menciptakan pemandangan yang memukau bagi Andin dan Siska.Ada gaun-gaun putih murni dengan renda halus dan detail bordir yang rumit, serta gaun-gaun dengan potongan modern dan tata busana yang menawan. Setiap gaun terlihat seperti karya seni yang hidup, mencerminkan keanggunan dan kemewahan yang tak terbantahkan.Andin dan Siska berjalan di antara gaun-gaun tersebut, mata mereka berbinar dengan kegembiraan dan antusias. Mereka melihat-lihat setiap gaun dengan seksama, membayangkan bagaimana nanti Andin akan terlihat indah dan anggun dalam gaun pengantin yang sempurna."Mana yang paling kamu suka, Andin?" tanya Siska.Andin tersenyum, matanya tat kalah berbinar melihat gaun-gaun yang dipajang di depannya. "Semua gaun ini begitu indah. Aku s
Lelah dengan kemeriahan hari pernikahan mereka, Lukman dan Andin memutuskan untuk bermalam di hotel daripada melakukan perjalanan pulang ke rumah Lukman. Saat mereka memasuki kamar mewah mereka, perasaan tenang menyelimuti dan membuat hati mereka lega karena akhirnya mereka bisa mendapatkan ketenangan. Andin, yang masih mengenakan gaun pengantinnya yang memukau, menghela nafas lega ketika ia melangkah masuk ke dalam kamar mewah tersebut.. "Rasanya tidak bisa bergerak sedikit pun," akunya, suaranya terdengar kelelahan. Lukman tertawa kecil, matanya lesu. "Santai saja malam ini." Saat Lukman menuju kamar mandi untuk menyegarkan diri, Andin memutuskan untuk berganti pakaian yang lebih nyaman. Sedikit payah, ia menanggalkan gaun pengantinnya dan berganti dengan piyama sutra yang lembut. Sementara itu, Lukman berdiri di bawah pancuran air hangat dari pancuran, membiarkan air panas menenangkan otot-ototnya yang lelah. Saat dia berbusa, dia tidak bisa menghilangkan perasaan yang tak b
Andin telah dengan cermat memilih tempat peristirahatan di pegunungan yang indah sebagai tujuan bulan madu mereka. Terletak di tengah-tengah pepohonan pinus yang menjulang tinggi dan menghadap ke danau yang tenang, penginapan yang terpencil ini menjanjikan ketenangan dan sedikit terasing. Di bawah naungan rindangnya pepohonan pinus, mereka akan menemukan kedamaian yang mereka cari, menjauh dari keramaian dunia luar dan menikmati kedekatan yang intim di antara alam yang mempesona.Dengan pemandangan yang menakjubkan dari danau yang memantulkan cahaya matahari terbenam, mereka akan menikmati momen-momen yang tak terlupakan, berjalan-jalan di tepi danau sambil merasakan embusan angin sepoi-sepoi yang menyejukkan. Di malam hari, langit yang berbintang akan menyaksikan kemesraan mereka di bawah gemerlapnya cahaya bulan, memancarkan kilauan magis yang hanya dapat ditemukan di tempat-tempat terpencil seperti ini."Tempat yang kami pilih bagus," ucap Lukman saat dia melihat keseluruhan resort