Share

Bab 6. Konflik Kakak Adik

Farhan yang baru pulang dan sempat mendengar cibiran Farida pada Alisha, merasa kesal melihat kakak iparnya diperlakukan demikian oleh adiknya. Farhan melangkah mendekati meja setrika dan meraih baju yang saat itu sedang disetrika oleh Alisha.

“Aku ambil ya, Mbak,” ucap Farhan, memotong aktivitas Alisha. Alisha kaget karena Farhan tiba-tiba muncul dan merebut baju yang sedang dia setrika. “Tapi itu belum selesai disetrika.”

Tanpa menjawab ucapan Alisha, Farhan melangkah mendekati Farida yang masih duduk di sofa ruang tengah sambil nonton tv. Dengan tegas, ia melempar baju tersebut ke arah Farida hingga menutupi mukanya, “Setrika sendiri! Itu baju kamu kan?” teriak Farhan dengan nada tinggi.

Farida kaget dan buru-buru menyingkirkan pakaian dari mukanya. “Mas Farhan!! Kamu apaan sih?”

“Kamu yang apaan? Ngapain tadi ngata-ngatain mbak Alisha males? Yang ada kamu sendiri yang males! Masa iya baju kamu dicuciin, disetrikain sama mbak Alisha?” bentak Farhan dengan penuh kekesalan.

“Emang kenapa sih? Orang biasanya juga gitu!” Farida berkelit dengan nada kesal.

Farhan melihatnya dengan tatapan penuh penyesalan. Bagaimana mungkin adiknya menganggap perlakuan terhadap Alisha seperti itu adalah hal yang wajar?

“Biasanya gitu?” Farhan tertawa sarkas, “Wah, jadi udah lama kamu nyiksa mbak Alisha kayak gini?”

“Nyiksa apa sih, Mas? Aku kan gak pernah mukul mbak Alisha. Emang salah kalo mbak Alisha nyuci sama nyetrika baju aku? Toh mbak Alisha juga numpang di rumah ini,” Farida berusaha membela diri.

Alisha yang sejak tadi menahan pusing dan mual merasa kondisinya makin memburuk saat mendengar perdebatan Farida dan Farhan. Alisha menoleh ke arah kedua adik iparnya itu, namun saat ia akan berusaha melerai keduanya, Alisha kembali merasa mual—dan hanya bisa membekap mulutnya untuk menahan muntah.

“Mbak Alisha itu istri mas Faisal, kalo dia tinggal di sini itu karena dia udah jadi bagian keluarga kita, bukan berarti dia numpang!!” jelas Farhan, mencoba membuat Farida sadar akan posisi Alisha dalam keluarga.

Kata-kata Farhan membuat Farida terdiam sejenak, namun ekspresinya terlihat kesal seolah tidak terima jika disalahkan oleh kakaknya.

Sementara Alisha yang rasa merasa mualnya sedikit berkurang, menoleh kembali ke arah Farhan dan Farida. Perasaannya campur aduk, ia sedikit merasa lega mendengar pembelaan Farhan, namun ia juga merasa tidak nyaman karena secara tidak langsung sudah menjadi penyebab pertengkaran antara Farhan dan Farida.

Melihat adiknya yang terus diam setelah ditegur, Farhan jadi makin kesal.

“Kenapa diem? Kamu ngerti gak aku ngomong apa tadi?” tegas Farhan.

Farida semakin terpancing emosi melihat sikap tegas kakaknya. “Mas kenapa sih? Nyalahin aku mulu?!! Belum lama di rumah, tapi marah-marahin aku terus!” protes Farida dengan suara yang semakin meninggi.

Farhan menatap adiknya dengan serius, “Aku marah juga karena kamu salah, Farida!”

Alisha yang melihat pertengkaran antara Farhan dan Farida menjadi panik. Ia buru-buru mencabut kabel setrika dan menghampiri mereka berdua, mencoba menenangkan situasi yang semakin memanas.

“Udah, kalian kenapa malah jadi debat gini sih?” kata Alisha. Dia lalu menoleh pada Farhan dengan ekspresi memohon. “Farhan udah ya? Gak usah marahin Farida. Farida gak nyuruh mbak nyetrikain bajunya kok, mbak inisiatif sendiri.”

Alisha berharap dengan penjelasannya, situasi bisa kembali tenang tanpa ada lagi pertengkaran yang tak perlu. Namun Farida semakin jengkel mendengar pembelaan Alisha yang menurutnya sangat munafik. “Gak usah sok belain deh, mbak Alisha pasti sebenernya seneng aku dimarahin sama Mas Farhan?” gerutu Farida dengan nada sinis.

Alisha terkejut mendengar tuduhan Farida. “Nggak, Farida. Kenapa kamu mikir mbak seneng sih?”

“Halah, muna! Padahal aku sama Mas Farhan berantem juga gara-gara kamu!” seru Farida penuh kebencian.

“Farida, kamu jangan keterlaluan!!” Bentak Farhan, tak tahan lagi dengan sikap adiknya yang semakin kelewat batas.

Suara bentakan tersebut begitu keras hingga terdengar sampai kamar Nur. Nur yang sedang tidur siang pun terbangun, wajahnya masih agak lesu namun ia segera bangkit karena penasaran dengan apa yang terjadi. Wanita baya itu pun bergegas keluar dari kamarnya.

Sementara itu, Faisal juga keluar dari kamarnya setelah mendengar suara Farhan yang begitu keras.

Tiba di ruang tengah, Faisal dan Nur kaget melihat Farida yang menangis sesenggukan. Mereka berdua bingung dengan apa yang terjadi, tidak mengerti mengapa Farida menangis seperti itu.

Nur menghampiri Farida yang terduduk di ruang tengah, isak tangisnya begitu membuat Nur khawatir. Nur segera duduk di samping Farida, lalu dengan cemas bertanya, “ada apa, Nak? Kok kamu nangis?

Farida tak menjawab, dan langsung memeluk ibunya. Tangisnya makin menjadi saat wajahnya terbenam di dada Nur.

Suasana di ruang tengah menjadi hening. Alisha terdiam, ia masih begitu pusing dan mual, kini juga kebingungan dengan situasi yang terjadi.  Sedangkan Farhan diam karena menahan kekesalannya.

Faisal memandang Farhan dengan tatapan curiga, “Kamu yang bikin Farida nangis sampe kayak gitu, Han?”

Farhan dengan cepat menjelaskan, “Aku cuma negur dia biar lebih mandiri, biar nggak ngelimpahin semua kerjaan ke mbak Alisha. Tapi dia malah marah-marah nggak terima, aku jadi kelepasan bentak dia.”

Faisal menatap Farhan dengan tatapan penuh kekesalan. “Kamu tuh kebiasaan, ngerasa paling bener! Semua orang kamu tegur, tadi aku, sekarang Farida! Harusnya kamu ngaca, kelakuan kamu itu menyinggung orang lain.”

“Gak salah tuh?” sindir Farhan.  “Salah kalo ditegur harusnya berbenah, bukannya malah tersinggung!”

Nur yang tak tahan dengan pertengkaran anak-anaknya, bangkit dari duduknya. Langkahnya mantap menuju Farhan. “Sudah cukup!!” tegas Nur.

Farhan akhirnya langsung diam ketika ibunya mulai turun tangan. Faisal pun diam, merasa jika ibu mereka akan lebih didengar oleh Farhan.

“Kamu itu kenapa nyari gara-gara mulu sih?” ucap Nur dengan suara lembut, namun cukup menusuk perasaan Farhan. Sejak dulu— ia selalu jadi anak yang disalahkan jika terjadi pertengkaran. Pendapatnya tak pernah didengar, pembelaanya tak pernah berarti. Bahkan jika Farhan berada di posisi korban, ibunya tak pernah berdiri di pihaknya. Hal itu yang membuat Farhan kecewa, hingga memutuskan untuk memilih ‘ibu yang lain’ yaitu bibinya di luar kota.

“Aku nggak nyari gara-gara, Bu,” jelas Farhan.

“Tapi kamu bikin adik kamu nangis, bikin kakak kamu tersinggung, kamu ngapain aja sih?” suara Nur mulai meninggi karena rasa jengkelnya.

Farhan menghela napas panjang, merasa tak berguna jika ia menyampaikan pendapatnya. Toh ibunya akan tetap menganggapnya salah. Diam-diam, Alisha menatap Farhan dengan pandangan iba. Tak tega melihat adik iparnya selalu dipersalahkan. Dalam situasi ini, Alisha merasa jika dirinya dan Farhan berada di posisi yang hampir sama.

“Ibu nggak mau ada pertengkaran lagi, pokoknya akhiri sampai di sini,” tegas Nur. Farhan hanya diam, menahan diri agar emosinya tidak meledak di depan ibunya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status