Sebuah mobil berhenti tak jauh dari rumah duka. Mobil yang ditumpangi oleh tiga orang gadis muda yang terlihat matanya mengmbang oleh air mata. Dengan tergesa ketiga gadis itu turun dari mobil, kedatangan mereka ternyata yang paling ditunggu dari semua yang berada di rumah duka itu. Mereka adalah yang paling terakhir datang sebelum jenasah akan diberangkatkan ke pemakaman umum yang agak jauh dari rumah duka.
Anggota keluarga yang sudah datang lebih awal sebagian besar berdiri di tepi jalan depan rumah, mereka menyambut ketiga gadis itu. Memeluk mereka dengan erat, membisikkan sapaan dan kata-kata penghiburan untuk ketiga gadis itu.
“Syukurlah kalian sampai dengan cepat, Kalian memang gadis-gadis hebat yang kuat... ” bisik Tuan Lukman dan Tuan Frans hampir bersamaan sambil menepuk pelan bahu ketiga gadis itu bergantian.
Ke tiga gadis itu adalah Luna, Shinta dan Lili, mereka langsung menghampiri papanya, yang menyambut mereka dengan pelukan. Papa memeluk mereka dalam satu pelukan bersama. Ada air mata yang sempat menetes di mata Papa. Namun cepat-cepat dihapusnya dengan punggung tangannya.
“Kalian sempat beristirahat?” tanya papanya sambil melepaskan pelukannya.
Lili, Shinta, dan Luna saling bertatapan. Mereka bahkan tak memikirkan hal itu. Bahkan mobil mereka terus melaju sepanjang waktu dan sama sekali tidak beristirahat di perjalanan ke sini. Semua karena mereka tak mau ketinggalan waktu untuk datang tepat waktu sebelum pemakaman.
Nyonya Ambarwati dan Mama mereka mendekat. Lalu mereka bergantian memeluk Luna. Mengusap-usap kepala gadis itu. Menghapus air matanya. Menggandengnya ke dalam rumah.
“Mama nggak sedih?” tanya Luna perlahan di telinga mamanya, mamanya menatap Luna lalu berkata lembut.
“Nggak Non. Insya Allah Mama sudah ikhlas melepas eyang putri,” jawab Mama.
Panggilan 'Non' adalah salah satu panggilan khusus Mama untuk ketiga anak gadisnya.
“Nanti saja kita bicara ya? Nanti kita akan cerita-cerita semua ,” kata nyonya Ambarwati sambil menatap ketiga cucunya.
“Baik, Uti,” kata mereka hampir bersamaan.
Tak lama, beberapa pria mengangkat peti jenazah untuk dibawa ke halaman depan. Para pelayat yang sudah berkumpul terlihat berdiri berdekatan. Saling berangkulan. Saling menguatkan.
Mata Luna kembali berkaca-kaca, masih mellekat di matanya sosok Eyang Putrinya. Eyang putri adalah seseorang yang memenuhi seluruh memori masa kecilnya, kini dia telah pergi dipanggil Yang Maha Kuasa. Sosok wanita baik hati yang setiap pagi selalu mengantarkannya ke sekolah taman kanak-kanak, menyuapinya dengan kue-kue tradisional buatannya sendiri, juga hampir setiap malam membacakannya kisah-kisah inspiratif dari majalah Islami langganannya.
Luna pun selalu antusias mendengarkan saat dia bersiaran di Radio Bercahaya selama setahun lebih tiap Minggu pagi, selalu ingat ulang tahun semua anggota keluarga besar, kini telah pergi. Di belakangnya, keempat putra-putri Eyang yang lain menangis. Lili dan Shinta bersama para sepupu pun meneteskan air mata. Laras mendekat. Lembut menyodorkan sehelai tissue.
“Aku tidak percaya.., eyang putri kini telah tiada,” desah Laras. Gadis 21 tahun itu membantu Luna menghapus air matanya.
“Iya, aku juga.” jawab Luna sambil mengambil tisu dari tangan Laras.
Prosesi pengantaran jenasah akan di mulai, seorang pria paruh baya maju. Dia mewakili keluarga besar memberikan sambutan sebelum pemakaman dimulai. Satu ucapannya sempurna menyentuh langaung ke hati Luna.
“Hanya satu teman yang paling dekat di dunia ini, dia adalah kematian.”
Tepat pukul sepuluh, jenazah diberangkatkan ke pemakaman. Para pelayat bergegas mengikuti dengan menggunakan beberapa unit kendaraan pribadinya. Mereka yang ingin mengantar almarhumah ke peristirahatan terakhir. Satu per satu mobil meluncur menuju tempat pemakaman.
Shina salah satu sepupu Luna, mengemudikan mobilnya. Dia berusaha mengemudikan mobilnya untuk tidak mengebut seperti saat dia memburu waktu tadi. Gadis 23 tahun ini sekarang terlihat lebih tenang dan tak tergesa-gesa. Lili duduk di sampingnya sambil memangku Zaki, adik sepupu mereka yang masih berusia 7 tahun. Di jok tengah duduk Papa, Laras dan Luna. Sedangkan di jok belakang ada Mama dan nyonya Ambarwati yang terlihat hanya diam dan termenung.
Keheningan seakan mengisi mobil tersebut, masing-masing orang sibuk dengan pikirannya sendiri, sibuk dengan kehilangan yang begitu terasa menusuk di hati mereka. Walau masing-masing berusaha untuk terlihat tegar dan kuat.
“Laras tolong Ceritakan padaku kronologinya,” bisik Luna pada Laras yang ada di sampingnya.
Laras menoleh ke arah Luna, lalu dia menghela nafas dalam-dalam. Meremas tisu yang ada dalam genggamannya. Perlahan dia mulai bercerita dengan suara yang pelan. Luna dengan serius mendengarkan kata demi kata yang keluar dari bibir Laras dan terus mendengarkan hingga selesai.
“Semoga eyang putri husnul khotimah, dilapangkan kuburnya, diterangkan kuburnya, dan diterima di sisi Allah SWT,” ucapnya dengan lirih saat Laras selesai bercerita.
“Aamiin.”
Namun tiba-tiba Shinta menghentikan mobil dengan mendadak. Shinta mengerutkan dahi, wajah cantiknya terlihat kebingungan. Sambil mengaruk-garuk kepalanya yang tak gatal dia melirik ke sana ke mari sambil memperhatikan jalan.
“Ada apa, Shinta?” Papa bertanya cemas.
“Maaf Pa, seperti aku sudah lupa jalan ke pemakamannya. Apa bisa pakai GPS aja ya?” kata Shnta sambil menoleh ke arah Papanya.
“Nggak, nggak usah. Ikuti mobilnya Om di depan. Ayo Gadisku, ikuti mobilnya,” kata Mama dari jok belakang sambil menunjuk ke arah mobil yang bari saja melintas melewati mobil mereka.
Shinta cepat-cepat menyalakan lagi mesin mobilnya dia langsung menuruti perkataan Mama. Shinta melajukan mobilnya mengikuti Inova milik Tuan Daus. Lili melirik adiknya sekilas, dia tak sempat menyarankan atau berpendapat pada Shinta, sebab terlalu sibuk mendengarkan celotehan Zaki. Pemuda kecil di pangkuannya ini begitu ekspresif dan banyak bicara.
“Mbak boleh tahu, Rankingmu naik, Dek?
"Tenti saja mbak, rangkingku naik terus," jawab Zaki.
"Kamu Pinter ya dek, trus gimana shalat Dhuha-nya?"
"Insya Allah kak, aku selalu sempatkan, aku juga belajar jadi imam loh kak," katanya dengan bangga.
"Alhamdulillah, kakak senang mendengarnya, kalau Kamu jadi Imam,” puji Lili sambil tersenyum pada Zaki.
lima belas menit kemudian, mereka tiba di pemakaman. Mobil-mobil berderet rapi. Luna mulai memperhatikan setiap mobil itu dengan Sepasang mata kelabu miliknya. Dia meneliti deretan mobil seakan sedang mengharapkan sesuatu.
“Kakak, Keluarga di Surakarta sudah diberi tahu?” tanya saat tak menemukan yang dicarinya.
“Sudah, mereka sudah di britahu,” jawab Laras.
Luna sesaat terdiam lagi, lalu tiba-tiba dia menepuk dahinya sendiri.
“Oh iya... harusnya aku kasih tahu Mas Indra tadi.”
“Nanti saja Luna, Tadi mereka sudah ngucapin bela sungkawa kok,” jawab Laras pelan.
Di gerbang pemakaman tuan Daus menyalami Luna dengan erat, dia adalah mantam hypnotherayst. Dia menempelkan keningnya di kening Luna.
“Kalian memang jagoan..., kamu dan Mbak-Mbakmu bisa datang secepat dengan secepat ini. Jazakillah...” pujinya sambil mengelus pundak Luna.
Luna hanya tersenyum, dia lalu melanjutkan langkahnya ke dalam lokasi pemakaman dan bergabung bersama Mama, Nyonya Ambarwati, Laras, Ishak, dan Kevin.
Upacara pemakaman dimulai dan berlangsung. Para pelayat mengikutinya setiap prosesi dengan khidmat. Doa-doa mengalir dan dilantunkan penuh ketulusan. Disetiap doa ada kesedihan, namun ada pula keikhlasan melepas almarhumah eyang putri.
Taburan bunga di atas pusara eyang putrinya, menjadi perlambang betapa wangi dan indahnya keikhlasan dari semua anggota keluarga yang di tinggalkan. Doa-doa punnterus dipanjatkan sebagai pelipuran hati. Kesedihan berganti dengan rasa ikhlas dan kehilangan bergantk dengan ketelaan hati untuk melepas.
***
Usai pemakaman, keluarga besar berkumpul. Bersama-sama bangkit dari kesedihan. Syukurlah mereka semua cepat melepaskan diri dari deraan kesedihan dan cepat mengikhlaskan. Mereka semua senang bercanda. Apa pun bisa mereka jadikan bahan candaan dan bisa membuat mereka tertawa.Saat si kecil Zikri yang tampan dan adiknya yang cantik, Fitri, tiba di rumah, suasana hangat dan ceria makin terasa. Celotehan Fitri dan tingkah lucu Zikri amat menggemaskan.“Zikri... sini Sayang, sini. Aduh, kamu ganteng banget sih. A
“Luna, Mama pergi dulu ya? Kamu di rumah saja..,” kata Mama setiba di teras depan.Luna mengalihkan pandang. Menatap Mamanya yang telah berpakaian lengkap. Nyonya Ambarwati pelan menyentuh tangan kirinya.“Mama mau kemana?” tanyanya.“Mama mau belanja. Buat keperluan Tahlilan nanti malam. Kamu di rumah saja ya?” ulang Mama.“Iya...”“Jangan khawatir,” Nyonya Ambarwati berkata menenangkan.“Anakmu bersamaku.”Mama mengangguk, lalu melangkah menuju mobil. Luna menatapi mobil Mamanya yang perlahan menjauh, lalu meneruskan ceritanya. Nyonya Ambarwati mendengarkan dengan sabar. Sekali-dua kali ekspresinya berubah. Dielusnya rambut gadis itu penuh kasih. Dirangkulnya pundak gadis itu hangat. Kesedihan terpancar di wajahnya.“Uti bisa merasakan apa yang kamu rasakan. Su
Malam ini, malam kedua keluarga besarnya berkumpul. Ada beberapa kesepakatan yang dibuat oleh mereka semua tanpa menimbulkan pertentangan apa pun. Kesepakatan yang mereka putuskan tentang beberapa barang yang di wariskan, rumah dan rencana untuk berkumpul kembali di akhir tahun serta lebaran tahun depan. Luna hanya terdiam di antara hiruk pikuk kehebohan yang terjadi di depannya, dia melihat bagaimana om dan tantenya juga mama, papanya yang saling menggoda.Namun Luna merasakan kalau hatinya saat ini sangat kesepian walau berada di tengah keramaian, itu karena eyang putrinya sudah tak ada lagi di sampingnya. Mamanya yang sempat melirik ke arah Luna seakan mengerti dengan apa yang dirasakan anaknya itu.“Luna, sini Dear. Tolong bantu Mama,” panggilan lembut Mamanya itu menyadarkan Luna.Dear? Seperti panggilan sayang yang dilontarkan Arun untuknya. Luna sempat menatap heran Mamanya.“Lho, kenapa Mama tiba-tiba
Menjelang dini hari Luna terbangun, dia tak menemukan Shinta tidur di sampingnya. Dengan perasaan khawatir, dia pun mencari Shinta dan dia terkejut saat mendapati Shinta kakaknya tidur di kamar sebelah. Kamar tempat eyang putrinya di temukan meninggal. Shinta tergeletak tidur di sana dengan laptop yang masih menyala. Luna hanya menggelengkan kepalanya saat mendapati Shinta yang seperti itu.Rupanya Semalaman Shinta berkutat dengan pekerjaannya, Luna menarik napas dalam -dalam dengan tingkah kakaknya itu. Sudah jadi kebiasaan Shinta jika mengejar deadline pasti akan seperti itu. Shinta memang sudah sangat kental dengan sifat pekerja kerasnya, yang tentunya dia warisi dari Mama. Tapi bukan hanya Shinta yang seperti itu Luna dan Lili juga sudah tak biasa dielakkan lagi dan seluruh keluarga besarnya mengakui hal itu.Luna menyelimuti kakaknya yang tertidur pulas, dia tersenyum kecil melihat Shinta yang tak ada takut-takutnya tidur di kamar eyang putri sendiri
Hari ini Luna bersama Syifa sedang berada di rumah duka, Dewa pacar Syifa telah meninggal dunia. Dia terus menangisi kepergian pacarnya itu. "Luna, aku masih belum bisa mempercayai kalau Dewa sudah enggak ada, aku tak percaya ini.....," isak Syifa di pelukan Luna. Syifa gadis cantik berdarah sunda itu langsung Shock saat mendapat kabar kematian Dewa kekasihnya. Gadis supel yang berperasaan tajam dan penyabar. Sejak Luna mengenalnya, dia selalu memprioritaskan orang lain, jarang sekali Luna melihat Syifa mementingkan egonya sendiri. Selama mereka sekolah di SMAN Bunga Bangsa, Syifa aktif menjadi pengurus OSIS bahkan dia sampai menjabat selama 2 periode. Dia tumbuh menjadi gadis yang penuh dengan rasa sosial dan pandai. Dia juga terkenal sangat ekspresif ketika mengikuti teater di sekolah. Setelah lulus Syifa menempuh S1 di Psikologi Linguistik dan menjadi salah satu pelatih teater di kampusnya. Dia juga salah satu alumni yang masih peduli dan masih ser
Syifa Amalia, gadis itu menyeka air matanya. Air mata duka tepatnya. Sepasang mata beningnya menatap sendu pada sepasang nama yang terukir indah di pelaminan. Atmosphere bahagia yang mengisi setiap sudut ballroom hotel ini bukanlah miliknya, musik romantis yang di mainkan pianis itu dengan jemarinya pun bukan untuknya. Begitu pun keluarga besar yang berkumpul, semua bukan keluarganya walau sesungguhnya sebagian besar dari mereka dia sudah mengenalnya.Pesta pernikahan Reno yang mau tak mau harus dia hadiri karena janjinya sendiri, ini perpisahannya untuk hatinya."Selamat berbahagia Reno dan selamat tinggal, aku melepasmu bukan berarti karena aku tak mencintaimu lagi....," kata Syifa dalam hati sambil menatap ke pelaminan.Pesta pernikahan yang sudah berhasil mematahkan hati gadis cantik berdarah sunda yang mengabdikan hidupnya sebagai seorang perawat. Syifa Amalia melepas cinta pertamanya untuk wanita lain yang sudah dipilih.***Arun turun dari mobilnya, dia melangkah tertatih memasu
Menjelang tengah malam, Syifa kembali mengontrol ruang rawat. Dia terkejut saat menyadari kalau Arun masih berada di samping tempat tidur gadis yang tadi sore terluka di gendongannya. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, Arun harusnya beristirahat di ruangannya bukan menunggui gadis kecil ini."Hai, kamu kenapa masih di sini?" Kata Syifa dengan pelan menghampiri kasur di mana gadis kecil itu terbaring dan belum sadarkan diri."Iya, aku sudah janji pada gadis kecil ini untuk tidak meninggalkannya," jawab Arun."Tapi bukannya kamu harus istirahat juga. Ohh maaf aku sudah banyak tahu tentangmu dari dokter Tiara dan dokter Aris," jawab Syifa cepat sebelum Arun menanyakannya."Oh...., mereka sudah cerita banyak. Rupanya kita belum kenalan, siapa namamu?""Aku Syifa." Kata Syifa sambil mengulurkan tangannya."Sepertinya aku tak perlu menyebut namaku ya, hehe...," kata Arun sambil menyambut uluran tangan Syifa."Iya aku tahu, ta
Keesokan paginya Luna bangun, lingkaran hitam terlihat di keliling matanya. Setelah mengambil wudu lalu melaksanakan Shalat subuh, masih ada air mata yang mengalir di kedua matanya. Saat doa yang dia panjatkan untuk Arun, pemuda yang begitu melekat di hatinya.Matanya tertuju pada rekaman semalam, menurut para ahli terapi, musik salah satu sarana yang mampu menguatkan dan menghibur hati secara psikologis, apalagi musik instrumen. Musik juga mampu memulihkan kesehatan jiwa seseorang.Kepercayaan dari ilmu psikologi itu, yang membuat Luna yakin untuk mengirim rekaman musik dari permainan pianonya semalam untuk Arun. Sebenarnya dia tak sabar menunggu tanggapan Arun saat rekaman itu sudah terkirim, dia berharap rekaman itu mampu membantu Arun melewati semua kesulitan yang sedang dia hadapi dan rasa sakit dari penyakit yang selama ini belum tuntas proses penyembuhannya.Setiap hari dia menunggu kabar dari Arun dan seminggu kemudian, di pagi hari saat be