Hidangan makan malam sudah tersaji di meja makan. Ibu Reta memang memiliki hobby memasak. Sehingga setiap makan malam, selalu terhidang makanan yang lezat. Rahman dan Ayahnya masih sedikit canggung. Keduanya memang pernah terlibat perbedaan pendapat yang sempat membuat hubungan keduanya sedikit renggang.
Namun seiring waktu Ayah Rahman dapat menerima setiap keputusan yang Rahman ambil. Perbedaan pendapat setelah gagalnya pernikahan Rahman dengan Cindy, menciptakan celah yang kurang baik. Untung saja semua itu tidak berlarut terlalu lama.
“Take this.” Ayah Rahman mengambilkan sepotong shell yang diracik dengan taburan cabai merah dan peresan jeruk nipis. Rasanya sangat enak bagi yang menyukainya.
“Thank Dad.”
&n
Pagi-pagi sekali Niken sudah datang ke rumah Rahman. Sudah tiga hari ini Aisyah seperti sedang dimata-matai. Untung saja kedatangan Niken tidak membuat Aisyah merasa terganggu, hanya saja merasa tidak enak diperhatikan. Niken hanya melaksanakan tugas yang disuruh oleh Rahman untuk memenuhi kebutuhan Aisyah. Hari ini Niken akan mengajak Aisyah pergi ke sebuah mall untuk membeli baju, karena setelah kepulangan Rahman akan ada pertemuan penting. Aisyah harus terlihat lebih menarik memakai baju, bukan gamis lusuh yang dipakai setiap hari. Pakaian baru atau lama bagi Aisyah tidak begitu penting, kehidupan di penjara suci telah mengajarinya banyak hal tentang keprihatinan hidup. Asalkan hati bahagia itu sudah cukup untuk merasa bahwa hidup ini benar-benar memiliki makna.
Setelan jas warna hitam menempel di badan Rahman dengan pas. Seperti tidak ada celah. Tubuh kekarnya kelihatan bertambah gagah. Shelin menggoda Rahman dengan sindiran ringan. “Are you happy going to see your girlfriend?” Rahman hanya senyum saja. Candaan Shelin tidak mempan bagi Rahman. Sementara Ibu dan Ayahnya tampak tersenyum melihat dua anaknya itu masih seperti anak kecil saja. Tiba-tiba Ayah Rahman memanggil Rahman ke ruang tamu. Ada obrolan yang ingin disampaikan untuk Rahman. Berita tentang Robi yang mengincar anak cabang resort baru sudah sampai ke telinga Ayah Rahman. Saham yang dimiliki Robi semakin hari semakin melonjak sangat cepat. Jika Rahman masih bersikap santai terharap rivalnya bisa-bisa Rahman akan kehilangan peluang untuk menjadi pe
Pesawat S-airline mendarat dengan mulus di bandara Soekarno Hatta. Rahman menjinjing tasnya menuju ke penjemputan. Pak Darto sudah stand bye di sana. Rahman langsung mengintruksikan Pak Darto untuk langsung ke kantor. Ada urusan penting yang harus dibicarakan langsung dengan Niken. Pak Darto pun mengiyakan. Siapa yang tidak tahu kalau jalanan di ibukota pasti macet. Rahman sesekali memandang jam tangannya. Pak Darto melirik dari kaca. Rahman mengeluarkan handphonenya dan menelepon rumah. Lama tidak ada yang mengangkat. “Apa Mbok Darsih tidak di rumah?” “Di rumah Tuan.” Jawab Pak Darto. Sebelum berangkat menjemput Rahman tadi, Mbok Darsih sedang membersihkan kamar tuan
Makan siang tersaji dengan komplit. Rahman duduk sambil memandang piring kosong di depannya. “Aisyah…” “Iya, Tuan.” “Temani aku makan.” “Baik Tuan, tapi saya tidak makan.” “Kenapa?” “Sunah, puasa Kamis.” Rahman menganggukkan kepalanya, l
Lampu di taman mala mini tampak lebih berbeda. Pancaran redupnya di bawah langit malam menambah kesahduan. Langit yang ditemani bintang-bintang kelihatan menghidupkan suasana malam.Rahman menuruni anak tangga dengan pakaian rapi dan bau wangi yang tidak terlupakan. Bahkan sepintas saja lewat, aroma parfum masih dapat tercium oleh hidung. Malam ini tidak ingin ada yang terlewatkan untuk menentukan pilihan.Awalnya Aisyah merasa bingung kenapa ada Niken malam ini di rumah Rahman. Apakah sebagai sekretaris pribadinya bisa sampai malam begini. Ternyata tidak enak menjadi seorang sekretaris pribadi.Niken menyiapkan dinner dengan cahaya lampu lilin merah di tengah meja. Bunga mawar juga tertata sangat cantik. Melihat Niken yang cantic membuat Aisyah menjadi berpikir yang tidak-tidak.Dengan langkah tegak Niken menghampiri Aisyah yang bersama Mbok Darsih sedari tadi mengintip. Melihat Niken yang berjalan ke arah mereka, dua orang itu lalu membuat kesibukkan ma
Percuma menangisi nasib. Tidak akan mengubah apa pun. Itulah prinsip yang akan Aisyah lakukan. Menyanggupi syarat sebelum menikah sama saja semakin merendahkan dirinya sebagai seorang perempuan. Hatinya sudah cukup lega untuk keluar kamar. Baru saja tangannya hendak membuka pintu, bersamaan dengan Rahman sehingga membuat merasa kaget. Namun dia tidak melihatkan perasaan bersedihnya. Rahman langsung mendorong tangan Aisyah masuk ke kamar lagi. “Mau apa kamu?” “Ada yang ingin aku bicarakan.” “Maaf, tidak ada lagi yang harus dibicarakan.” “Kamu salah paham Aisyah.”&nb
Sepulangnya dari café Rahman melihat lampu dapur masih menyala. Dia mengira apakah Mbok Darsih atau Aisyah masih belum selesai pekerjaannya. Rahman menuju ke dapur dan melihat mereka berdua sedang asyik mengobrol kelihatannya. “Tuan sudah pulang?” Mbok Darsih langsung berdiri. Sementara Aisyah hanya diam tanpa suara. “Kalian belum tidur?” Eghh! Tiba-tiba Aisyah merasa kaget mendengar suara penuh kelembutan meluncur tanpa halangan dari mulut Rahman. “Eh, Non… hati-hati minumnya.” Mbok Darsih mengambil serbet dan mengelap muncratan minuman Aisyah.
Di dalam kamar Aisyah masih merasa bingung. Tidak mungkin menikah tanpa doa restu dari orang yang dianggapnya sangat penting sebagai pengganti orangtuanya. Bu Narsih, pengurus asrama yang tidak pernah bosan memberikan wejangan hidup untuk Aisyah. Bahkan sosok wanita paruh baya itu, sudah dianggap sebagai ibu sendiri. Sampai tidak sadar tercium aroma gosong. Penggorengan mengeluarkan asap sampai Mbok Darsih kaget dan berteriak histerius. “Non…,” “Astaghfirullahalaziim…” Aisyah segera mematikan kompor. Untung saja dapur menggunakan kompor listrik yang canggih langsung ada penyaring asap dan minyak, jadi tidak terlalu memenuhi ruangan.&nb