Hari ini aku pulang lebih awal, aku berencana mengajak keluargaku liburan, kami akan menginap selama 2 hari di Bandung. Selama menikah mereka belum pernah liburan ke luar kota. Teringat janjiku dulu, kalau kita sudah punya mobil akan ku bawa dia jalan-jalan tiap weekend.
Dia selalu ingin ke Bandung, sayangnya 18 tahun pernikahan, aku belum pernah mengabulkannya. Terobsesi ingin punya segalanya, membuatku lupa. Dulu Ayu kuajak ke Bandung saat kami belum menikah dan masih satu kerjaan, itu pun ramai-ramai, dengan teman kerja, mana mau dia, kuajak pergi berdua.~~Karena ingin cepat sampai rumah, aku mengambil jalan pintas, jalan ini memang sepi karena kanan kiri masih hamparan persawahan. Semoga saja usahaku kali ini berhasil membuat Ayu mau berbicara padaku, tak masalah kalau dia belum memaafkan, yang penting Ayu lebih banyak berbicara.~Aku mencari Ayu, dia terlihat berada di ruang salat, syukurkah aku merasa lega sekali, setidaknya dia baik-baik saja, sungguh aku takut dia menjadi seperti ibunya Ilham.“Dek boleh Abang tahu apa yang Adek minta setiap malam di sini?”Aku memberanikan diri duduk di samping Ayu yang tengah berzikir. Ayu hanya diam, enggan menjawab pertanyaanku, tapi dapat kulihat dia menghentikan aktivitasnya memindahkan biji-biji tasbih dalam genggamannya.“Adek pasti capek ya, selama ini nyari tambahan buat nutupin kebutuhan rumah, belum lagi harus ngurus anak-anak kita, Abang udah gagal jadi suami dan ayah yang baik buat anak-anak kita, Abang terlalu mengikuti nafsu buat punya segalanya, rumah mewah, kendaraan bagus, sampai Abang lupa tugas Abang kasih kebahagiaan buat keluarga kita.”Ayu masih diam saja, bahkan enggan untuk sekedar menatapku, pandangannya tertunduk ke arah sajadah.“Kalau Adek mau marah, Adek marahin aja Abang, Adek juga boleh pukul Abang, tolong Abang dek.”Aku menarik tangan kanan Ayu kuletakan didada.“Tolong kurangi rasa sakit Abang sedikit aja. Abang harus bagaimana? Bilang sama Abang, jangan dipendam sendirian!”Aku menangis tergugu di hadapan Ayu, sungguh baru kali ini kurasakan benar-benar takut kehilangannya. Ayu menepuk bahu menundukkan kepalanya, jarinya menyeka air mataku, lihat saja Ayu seperti seorang ibu yang tengah menenangkan anak kecil yang menangis karena benda kesayangannya hilang. Kuciumi punggung tangan Ayu.“Jangan tinggalkan Abang Dek, jangan tinggalin Abang, Abang minta maaf, Abang Abang Abang.....”“Heiy Bang, aku enggak ke mana-mana, aku masih di sini.” Suara itu suara yang begitu aku rindukan.“Adek harus percaya, Abang enggak pernah melakukan hubungan badan Dek, demi Allah. Adek percaya kan?”“Abang, tolong berhenti mempertaruhkan nama Tuhan!”“Terus Abang harus ngapain lagi, Adek mau Abang dan Tiara visum, Abang siap dek, ayo kita ke rumah sakit sekarang!”Tiba-tiba Ayu tersenyum, melihatnya tersenyum seakan ada angin segar yang merasuk ke dalam hati, senyum itu, senyum yang begitu kurindukan, akhirnya aku melihatnya lagi.“Ingusmu Bang!” katanya, sembari bersiap berdiri, mencopot mukenanya dan berlalu meninggalkanku.Aku tak peduli ingusku Dek, biarkan saja dia mengalir asalkan itu bisa membuatmu tersenyum. Apakah harus sesakit ini, aku memiliki raganya tapi tidak dengan jiwanya. Akhirnya aku pergi ke kamar mandi untuk membasuh wajah, takut kalau ketahuan anak-anak.Aku sudah biasa diabaikan, ini bukan pertama kalinya Ayu seperti ini. Hanya saja senyumannya tadi. Sungguh itu adalah secercah harapan, mungkin Ayu hanya perlu waktu untuk bisa memaafkanku.“Dek besok pagi kita ke Bandung ya, kita menginap di sana,” ucapku kini kami sudah berada di kamar.“Iya,” ucapnya singkat sekali.Tak ada raut kebahagiaan yang terpancar di wajahnya, aku pikir dia akan langsung menghambur memelukku, karena yang kutahu dia sangat ingin pergi ke kota itu, tak menunggu lama kemudian Ayu memasukkan beberapa helai pakaian ke koper, aku pun membantunya menyiapkan keperluan yang lain.Saat menyiapkan keperluan untuk besok tiba-tiba aku teringat Dian, tetangga kami, dia cukup dekat dengan Ayu, walau pun dia seorang ibu rumah tangga ku dengar dia Sarjana Psikologi, kalaupun liburan kami gagal membuat Ayu mau bicara, aku akan menyuruh Dian untuk menemui Ayu.Masa bodoh orang jadi tahu masalah rumah tanggaku, ketakutanku kalau Ayu akan depresi jauh lebih besar.~~Seperti dugaanku liburan ke Bandung kami gagal. Sepulang dari sana Ayu tak banyak berubah, tetap hemat bicara, apalagi sekarang Reno sudah mulai curiga karena ibunya yang tak lagi ceria seperti dulu.Aku terpaksa berbohong kalau ibunya mungkin sedang banyak pikiran. Maafkan papah Ren, Papah terlalu pengecut untuk mengakui kesalahan Papah pada mamahmu.Hari ini seperti rencanaku, aku telah mengatur Dian, untuk bertemu dengan Ayu, kuceritakan semuanya dengan Detail, Dian sampai menangis mendengarnya. Dia berinisiatif untuk membuat kue dan memberikannya esok hari ke rumahku, tak lupa kupasang CCTV berbentuk pen yang aku sembunyikan dibalik vas bunga. Supaya aku tahu apa yang mereka bicarakan nantinya.Keesokan harinya, aku pergi ke kantor seperti biasa, di kantor aku tak bisa fokus. Setelah Dian memberitahu bahwa dia akan pergi ke rumah, aku langsung bersiap membuka ponsel untuk melihat keadaan di rumah lewat CCTV, Dian benar-benar datang Ayu terlihat menyambutnya dengan ramah.“Mbak ke mana aja, kok gak pernah kelihatan, Ibu-ibu sini juga pada nanyain loh, malah kemarin Bu sari udah gembar-gembor mau nengokin takut sakit katanya,” ucap Dian“Aku baik-baik aja kok, Di.”“Mbak, anggap aku adik ‘kan?”“Kenapa tanya gitu, Di?”“Mbak bisa bohong sama orang lain, tapi aku bisa lihat mbak enggak lagi baik-baik aja.”Ayu terdiam sejenak.“Mbak, enggak apa-apa kalau mbak enggak mau cerita, setiap orang pasti punya masalah tapi enggak baik kalau kita terus memendam semuanya sendirian,” ucap Dian.Mata Ayu terlihat mulai berembun.“Aku enggak akan paksa Mbak buat cerita, Mbak kalau mau nangis enggak apa-apa, jangan di tahan.”“Aku baik-baik aja Di,” ucap Ayu sembari, memalingkan wajahnya, seperti berusaha keras menahan matanya yang mulai berembun agar tak tumpah.“Mbak lihat Ilham deh, dulu dia anak yang periang, Ilham suka sekali main kartu, apalagi ada Aksan, mereka berdua selalu bersitegang , sampai aku yang melihatnya pusing sendiri, sekarang lihatlah dia hanya mau memainkan hafiz dollnya, Mbak ingat dulu Mbak yang membelikan Ilham mainan itu, Mbak sering menyuruh Ilham mendengarkan itu, tapi Ilham malah memilih kabur ke rumahku,” tutur Dian, Aksan adalah anak Dian umurnya sama dengan Ilham.“Mbak tahu artinya apa? Ilham sedang mencari perhatian Mbak, Ilham merasa dia telah berbuat salah, sehingga dia berusaha melakukan apa yang membuat Mbak senang,” tutur Dian.“Ilham merepotkanmu, Di?"“Enggak sama sekali, aku suka anak kecil, terlebih Ilham sudah kuanggap ponakanku sendiri. Justru kalau enggak ada Ilham Aksan gak ada temen main,” ucap Dian.“Terima kasih, ya.”“Mbak, Istri itu seperti cuaca dan suami serta anak-anaklah penduduknya, kalau cuacanya cerah pastilah penduduknya akan merasa senang tapi kalau cuacanya mendung.”Untuk sejenak Dian berhenti menghentikan ucapannya, seperti sengaja memberi jeda untuk Ayu berpikir.“Mbak pasti tahu kan maksudku?”Tiba-tiba saja Ayu malah berlari ke arah dapur.Air mata Ayu luruh, bahunya berguncang hebat, dia mulai menangis terisak.“Aku tahu Mbak orang yang kuat, menangis enggak akan membuat Mbak jadi orang lemah, setidaknya itu mengurangi sedikit beban dihati mbak.”Dian terlihat di camera tengah menyusul Ayu ke dapur, sepertinya Ayu tak ingin anak-anak melihat mamahnya menangis.“Aku bisa terima semuanya Di, tapi tidak dengan ini.”Ayu semakin tergugu bahunya sampai naik turun.“Bisa-bisanya dia menghinaku di depan perempuan itu. Aku yang melahirkan anak-anaknya, Di.”“Dia berubah Di, dia berubah semenjak jabatannya naik. Aku sudah tak mengenalnya lagi. Apakah menjadi tua adalah suatu kesalahan?"“Enggak Mbak, kita enggak bisa mengelak. Masa itu pasti akan datang pada setiap makhluk yang bernyawa,” ucap Dian mencoba menenangkannya.“Kamu tahu Di, dari dulu Aku berusaha menjadi anak yang baik tapi orang tuaku cuma sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Mereka hanya peduli keluarga baru mereka, Aku dibuang. Aku dari kecil tinggal sama Nenek, tapi Tuhan lagi-lagi menghancurkan duniaku. Dia begitu cepat mengambil Nenek dariku."“Di saat aku hancur, dia datang. Memberikan rasa aman hingga aku mau merima lamarannya. Aku selalu berusaha menjadi istri yang baik tak banyak menuntutinya, tapi tetap saja akhirnya dibuang juga. Aku ini hanya manusia golongan sampah yang hanya pantas untuk dibuang.""Aku hanya manusia bia
“Dek, boleh Abang tanya sesuatu?” Setelah selesai menunaikan kewajibanku, ternyata aku tak bisa tidur. Begitu pun Ayu. Jujur saja aku masih penasaran kenapa Ayu tak mau memberitahu kehamilannya.“Hemm,” sahutnya.Cuek seperti biasa.“Perut Adek kok maaf ya, kayaknya agak buncit.”Ayu terdiam sejenak, kemudian membalikkan badannya.“Abang mau tahu?” tanyanya“Aku hamil Bang udah 3 bulan.”Akhirnya mengaku juga kau Dek.“Kenapa Adek baru bilang?” tanyaku.“Abang kan punya Tiara. Aku takut kehamilanku kali ini, enggak Abang harapkan.”“Dek, kita pernah mati-matian berjuang agar bisa hamil Ilham. Puncaknya Adek masih inget, Adek sampai mendatangi setiap orang yang mau haji atau umroh untuk minta di doain sama mereka. Supaya, Adek bisa punya anak, padahal Adek ga kenal mereka.” Kutangkupkan ke dua telapak tanganku di wajah Ayu yang tertunduk, agar dia bisa melihat wajahku.“Maaf, Bang,” lirihnya.“Ga usah minta maaf. Abang yang salah. Oh ya, urusan Tiara, sudah Abang selesaikan. Dia mili
“Dek, boleh Abang tanya sesuatu?”Ayu tak menjawab hanya menatap wajahku.“Kenapa Adek lebih milih diemin Abang? padahal bisa aja marah?”“Adek takut mulut Adek nyakitin hati Abang.”“Adek masih aja mikirin hal itu, padahal Abang udah nyakitin banget.”“Apa ada jaminan kalau Adek marah, Abang bakal ninggalin perempuan itu?”Aku tersenyum kecut ke arahnya, perkataan Ayu memang benar adanya.“Justru diamnya Adek yang bikin Abang sadar. Apa Adek pernah berpikir buat ninggalin Abang?”“Enggak pernah.” “Kenapa?”“Aku hanya berpikir setiap orang pernah salah dan semoga ke depannya Abang enggak akan pernah mengulanginya lagi.”“Makasih ya, Adek udah mau kasih kesempatan buat Abang.” Ucapku.“Adek cuma mencoba berdamai dengan diri sendiri, enggak semua hal bisa berjalan semau kita.”“Bener, Dek.”Aku mendekatkan kepala ke perut ayu, perutnya tampak sedikit membuncit terlihat begitu menggemaskan bagiku. Bagaimana tidak, ada benihku di dalamnya yang sebentar lagi akan jadi makhluk hidup yang b
“Dek, percaya sama Abang, itu bukan anak Abang.”Lagi-lagi ayu hanya diam.“Kau mau berkilah Bang, ini foto-fotomu lihat!” tunjuk Tiara ke ponselnya, di sana ada fotoku bertelanjang dada.‘Sial! Dari mana dia dapat foto itu?’Ayu ikut melihatnya bersamaku, saat layar di ponsel Tiara menunjukkan aku yang tengah terlelap dengan bertelanjang dada sedang dipeluk Tiara, bisa kulihat mata Ayu mulai berembun. Lantas dia memalingkan wajah, namun tetap tak ada satu kata pun yang terucap.“Mbak kamu masih mau percaya sama suamimu hah? Di mana harga dirimu Mbak? Kau bela mati-matian laki-laki yang sudah tidur dengan wanita lain?” ucap Tiara berapi-api.“Aku lebih percaya suamiku,” ucap ayu.Seketika duniaku berasa berhenti.“Gila kau Mbak, apa aku harus melakukannya di depanmu baru kamu percaya?”“Atas nama Tuhan suamiku bersumpah tidak pernah tidur denganmu!” Ayu setengah berteriak di hadapan Tiara ku lihat bibirnya bergetar.“Mbak percaya hanya karena dia bersumpah atas nama Tuhan hahaha. Dia
Sambil menggenggam tangan Ayu. Entah kenapa rasanya berat sekali untuk mengatakannya, tetapi ada sedikit lega saat aku berani jujur mengatakan yang sebenarnya meskipun aku tahu itu akan sangat menyakiti hatinya. Ayu memalingkan wajahnya, kali ini dia enggan menatapku lagi. Apa sekarang kamu merasa jijik padaku, Dek? “Abang tahu, meskipun fakta di depanku membenarkan kalau anak di kandungan Tiara itu....” Ayu mendongakkan wajahnya ke atas, dia berusaha menahan agar air matanya tak tumpah ruah. “Astaghfirrullahaladzim.” Ayu memejamkan matanya, hingga berkali-kali melafalkan istigfar. Sungguh itu membuat hati ini bagai tersayat mendengarkan kalimat suci berulang-ulang keluar dari mulut Ayu. “Abang masih ingat Abang yang memaksaku percaya dengan bersaksi atas nama Tuhan? Aku percaya Bang, tapi kenapa hari ini Abang jelasin lagi sesuatu yang enggak ingin aku denger?” Lidahku kelu, rasanya tidak bisa di gerakkan saat lagi-lagi Ayu mengungkit sumpahku. “Aku permisi Bang, kasih aku wakt
PoV Tiara “Ah, kenapa dari tadi perutku mual?” Kring, kring, kring! Ya ampun berisik amat sih! Mau tak mau aku harus keluar dari kamar mandi, meraih gawai di atas meja riasku, kutatap layar ponselku yang menunjukkan pukul 07:00 10 September 2020. Sontak saja membuatku melotot tidak percaya, melihat tanggal yang ditampilkan layar ponselku Sejak mengundurkan diri aku tidak memperhatikan tanggal dan hari, hingga baru menyadari kalau aku sudah telat datang bulan selama seminggu. Jangan-jangan mual-mualku barusan karena hamil? Untuk memastikannya kembali kubuka aplikasi ojek secara daring. Selain itu aku juga meminta tolong abang ojek itu membelikanku test pack. Pokoknya aku tidak mau sampai ketahuan orang-orang sini kalau aku hamil. Nyaliku terlalu ciut untuk menunjukkan kehamilanku pada semua orang. Beruntungnya Abang tukang ojek itu bersedia membelikannya. Tentunya dengan alasan kalau perutku sakit tidak bisa berjalan akhirnya. Meski begitu aku cukup tahu diri. Aku tak lupa mem
Aku mencoba meneleponnya sialnya nomornya tidak aktif. Mungkin dia sudah ganti kartu, tapi sepertinya aku pernah menyimpan nomor istrinya. Kukirimkan beberapa foto mesraku dengan Mas Andi, pasti dia akan kepanasan.Ternyata nomornya aktif bahkan pesan dariku sudah centang biru.“Hallo Mbak, masih ingat aku? Aku Tiara Mbak, calon madumu?”Dengan angkuh aku mengawali pembicaraan di telepon. Sialnya dia tidak menjawab apa pun.“Mbak sudah lihat kan foto-foto yang aku kirim kan, asal Mbak tahu aku tengah mengandung anaknya Mas Andi.”“Suamiku tidak pernah tidur denganmu,” balas Istri Mas Andi di ujung telepon“Hahaha dari mana Mbak tahu, apa mbak mengikuti Mas Andi ke mana saja?” Naif sekali wanita ini.“Mana buktinya kalau di perutmu itu anak dari suamiku?” tanya Ayu.Pertanyaannya membuatku tersentak apakah bukti ini tak cukup. Di saat seperti ini tiba-tiba teringat saat aku memapah Pak Andi ke hotel saat vertigonya kambuh. Kenapa aku tidak memanfaatkannya.Aku akan mengambil rekaman CC
Pov Andi Setelah mendapatkan kepercayaan Ayu, rasanya seperti mendapat suntikan semangat. Hari-hariku jadi lebih berwarna karena senyum dan tawa Ayu serta anak-anakku tak pernah lepas. Aku sampai melupakan urusan Tiara, entah hal apalagi yang akan dia lakukan demi menghancurkan rumah tanggaku. Terhitung sudah sepekan setelah Tiara dengan tidak tahu diri melabrakku di Mall. Ayu sering bilang kalau Tiara masih sering mengirimnya pesan yang isinya hanya mengompori Ayu agar mau meninggalkanku, kuminta saja Ayu untuk mengabaikan pesan dari Tiara, biar dia tahu kalau kita sudah tidak peduli. Suatu hari saat aku berangkat ke kantor awalnya semua berjalan normal hingga tiba-tiba, aku dipanggil ke ruangan HRD. Sepanjang perjalanan menuju ruang HRD semua karyawan yang aku temui menatapku dengan pandangan yang tidak biasa, terkesan merendahkan menurutku, aku mulai merasa risi setahuku mereka biasanya tidak peduli saat aku bulak-balik ke ruangan ini. Tidak biasanya aku dipanggil dadakan seperti