ZOLA
“Terima kasih, Pak,” kataku pada Ariq setelah kami tiba di rumah.Ariq mengangguk singkat, kemudian tanpa aku duga membuka pintu di sebelahnya dan memutari mobil lalu membukakan pintu untukku.Aku mengucapkan terima kasih sekali lagi. Bukannya pergi dia malah berdiri di sebelahku. Aku memandangnya bingung.“Bapak nggak pulang?”“Saya mau pamitan dulu sama mertua kamu.”Aku mengikuti arah pandang Ariq yang tertuju tepat pada beranda. Di sana Mami berdiri tegak entah sejak kapan. Mungkin dia keluar saat mendengar suara mobil. Di keheningan malam seperti saat ini suara sehalus apapun akan begitu menarik perhatian.“Nggak usah, Pak, Bapak langsung pulang saja.” Aku menolak permintaannya.“Nggak bisa begitu dong, mertua kamu sudah terlanjur melihat saya. Saya jadinya yang nggak enak.”Aku terpaksa membiarkannya.Tatapan Mami masih menyorotku dan Ariq saat aku membuka pintu pZACHAku bertemu dengan Cassandra di kantor. Ya, mau nggak mau aku tidak bisa menghindari perjumpaan dengannya karena kami berada pada team yang sama.Tadi kami meeting membahas ekspedisi ke Alaska besok lusa. Sepanjang meeting berlangsung Cassandra tidak banyak bicara seperti biasa. Bibirnya terkatup rapat sementara matanya menyorot sendu. Dia terlihat sedih. Atau apa ini hanya perasaanku saja?Aku sudah berada di dalam jeep-ku dan siap-siap untuk pulang ketika Cassandra melintas. Kasihan juga melihatnya jalan kaki sendiri. Padahal biasanya dia selalu ke mana-mana bersamaku.Aku menahan diri untuk tidak memanggilnya dan memberi tebengan. Aku benar-benar harus menjaga jaraknya dengannya.***Cassandra muncul pukul delapan malam dengan wajah lesu. Aku pura-pura tidak melihatnya datang dan terus mengisap rokok sambil menikmati tayangan berita di televisi.Selama hitungan menit Cassandra hanya berdiri di ujung sofa
ZOLATanpa terasa sudah sebulan tidak ada kabar dari Zach. Dan itu membuatku resah. Sebelum pergi dia memang mengatakan bisa saja nanti komunikasi kami akan terputus. Dan sekarang hal tersebut benar-benar menjadi kenyataan.Aku hanya bisa menghela nafas setiap kali mencoba menghubunginya tapi nomor tujuan tidak merespon. Zach memang pernah menghubungiku setibanya di Alaska, tapi hanya pada beberapa hari pertama. Selebihnya hingga saat ini aku kehilangan kontak dengannya.Aku begitu merindukannya. Pun dengan Fai yang sering menanyakan papanya.“Gimana? Zach masih belum bisa dihubungi?” tanya Mami pagi ini saat aku mencoba menelepon Zach untuk kesekian kalinya.“Belum, Mi,” jawabku lesu sambil memasukkan ponsel ke dalam tas.“Positif thinking aja ya, La, mungkin di sana sedang ada kendala,” ujar Mami menghibur hatiku.“Iya, Mi.” Aku kemudian berpamitan pada Mami.Di dalam perjalanan ke kantor
ZOLA“Gimana, Zel, menurutmu Pak Ariq, oke nggak?” tanyaku saat kami pulang ke rumah sore ini.Zeline yang sedang menyetir lantas menoleh ke arahku. Tadi dia sendiri yang meminta untuk menyetir begitu melihat mobilku yang perkasa.“Oke banget, Mbak. Kok nggak cerita sih kalau Pak Ariq itu masih muda? Kirain udah bapak-bapak yang perutnya buncit.” Zeline tertawa terpingkal-pingkal. “Kamunya juga nggak nanya.”“Tapi harusnya Mbak Ola kasih tahu aku jadi aku kan nggak perlu mikir panjang dulu.” Zeline masih memprotesku.“Memangnya sebelum ke sini kamu mikir panjang dulu?”“Ya iyalah. Kalau bukan karena kasihan sama Mbak Ola aku nggak bakal mau ke sini. Tapi beneran aku di sini cuma sementara?”Saat melobi Zeline aku memang mengatakan padanya bahwa dia di sini hanya sesaat, sampai Ariq mendapat penggantiku. Sebelumnya aku berpikir pasti Zeline nggak akan mau kalau dia adalah penggantiku yang sesunggu
ZOLASetibanya di kamar aku langsung menerima telepon dari Zach dengan tidak sabar. Seketika wajahnya menghiasi layar gawai. Aku rindu ingin memeluknya, mengacak-acak messy hair-nya agar bertambah kusut, serta mengusap-usap rahangnya.Zach mengulum senyum sambil menyugar rambutnya.“Kamu ke mana aja? Susah banget dihubungi.” Aku langsung menyerbu dengan pertanyaan. Dan dia langsung nyengir. Mungkin merasa lucu melihat ekspresiku saat ini.“Sorry, Sayang, kemarin-kemarin kita terpaksa lost contact. Ada badai besar dan itu bikin jaringan juga terputus.”“Beneran? Bukannya kamu lagi asyik sama Kessi dan jadi ngelupain aku?” Tiba-tiba aku jadi kesal saat ingat kata-kata Zeline kemarin.“Tuh kan mulai lagi. Bukannya bilang kangen malah ngomong yang nggak penting. Padahal aku nelfon mau kangen-kangenan sama kamu."Aku menghela nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Zach benar. Tidak seharusnya aku membahas orang lain di saat kami sudah sekian lama berpisaah dan lost contact.“Sorry, a
ZOLALima hari sudah Zeline berada di sini. Dan dalam rentang waktu itu aku juga sudah mengajarinya mengenai banyak hal. Zeline dengan begitu mudah mengerti dan mampu melakukan tugas-tugas yang sebelumnya menjadi tanggung jawabku.“Nggak nyangka banget kalau Pak Ariq suka clubbing. Udah gitu enak banget diajak becanda. Tadinya aku pikir orangnya kaku gitu,” ocehnya saat sore ini kami main ke rumah Mbak Zoi.Dari cerita Zeline aku tahu kalau dia dan Ariq akan menjadi partner terbaik. Zeline yang suka kehidupan bebas tentunya tidak akan keberatan menemani Ariq happy-happy.“Terus kamu juga ikutan minum?” tanya Mbak Zoi menyelidik.“Dikit sih, Mbak. Tapi jangan bilang Mama sama Papa ya?”“Harusnya kamu nggak ikutan, Zel, biar aja dia sendiri,” kataku berkomentar.“Ya ampun, Mbak, masa aku cuma bengong?” Zeline merotasi bola matanya.“Yang dibilang Mbakmu bener, Zel. Harusnya kamu cukup cuma nemenin, nggak usah pake ikutan minum segala. Dulu waktu Mbak Ola nemenin dia clubbing nggak perna
ZOLA Ariq membuatku sedikit gugup dengan caranya menatap. Aku segera memalingkan muka, menghindari tatapannya. Aku mungkin bisa mengelak dari matanya, tapi telingaku nggak bisa lari dari kata-katanya. Ariq terus meracau mengungkapkan isi hatinya.“Coba kalau kita kenal dari dulu pasti kejadiannya nggak akan begini. Mungkin kamu nikahnya sama saya, bukan sama Zach Mahanta.”Meski bibirku terkatup rapat tapi aku mendengar semua perkataannya.“Tahu nggak, La, sampai saat ini saya masih nggak rela melepas kamu. Tapi saya juga bukan tipe laki-laki yang akan menghancurkan hubungan orang. Saya akan kejar kamu sampai dapat selama kamu masih sendiri, tapi haram hukumnya buat saya mengganggu istri orang.”Aku mengangkat muka memandang ke arah Ariq. Kata-kata terakhirnya membuatku kagum. Dan aku harap ini bukan hanya sekadar lip service.Ariq ternyata laki-laki yang baik. Ya, kalau dia berniat jahat sudah dari dulu dia melakukannya. Apalagi kesempatan untuk itu terbuka lebar. Ariq bisa saja mem
ZACHAku yang kaget atas tindakan tiba-tiba Cassandra langsung mendorongnya hingga terjengkang ke belakang. Sama denganku Cassandra juga tak kurang terkejut. Dia terlihat kesakitan akibat bokongnya berbenturan keras dengan lantai.“You’re so rude!” kecamnya sambil mengeluh kesakitan.Aku berdiri dengan cepat dari lantai sambil mengusap-usap bibir bekas ciumannya tadi dengan keras. Aku nggak rela atas kecupan yang tadi dicurinya.“Kamu yang nggak tahu malu! Apa begitu sikap perempuan baik-baik? Kalau kamu bilang aku laki-laki yang takut pada istri, jadi kamu apa namanya? Sebutan apa yang cocok untuk kamu, Ra? Sebutan apa yang paling pas untuk perempuan yang mencium laki-laki? Padahal laki-laki itu adalah suami orang!”Cassandra lalu berdiri dari lantai lalu berdiri tepat di hadapanku. “Aku sengaja ngelakuin itu agar kamu ngerti perasaanku. Agar kamu tahu sebesar apa perasaanku untuk kamu. Masalahnya dari dulu kamu nggak pernah peka. Aku udah kasih kode, signal, segala macam, tapi kam
ZACHCassandra agaknya memang sudah gila. Aku nggak tahu di mana dia meletakkan otaknya yang selama ini katanya cerdas. Dia salah kalau berpikir aku akan bernafsu melihat tubuh setengah telanjangnya. Dia bukan lagi Cassandra yang kukenal dulu. Dia sudah berubah. Dia berbeda.Apa cinta membuat orang bisa segila ini?“Ayo, Zach, tunggu apa lagi? Mana kameranya?” Dia memajukan langkahnya kemudian mengelus rahangku.“Go fak yourself!” Aku menepis tangannya dengan keras. Sepanjang dua puluh tujuh tahun usiaku aku belum pernah main fisik dan berlaku kasar pada perempuan. Tapi Cassandra membuatku melakukannya.“Zach, kamu nggak usah khawatir, aku nggak bakal kalah dari Zola. Lihat sendiri bodyku jauh lebih indah dari dia.” Cassandra meremas dadanya yang membusung.“Stop fucking around! Mau aku panggilin 911?”“Aku juga nggak lagi main-main. Kamu nggak percaya kan kalau aku cinta sama kamu sejak dulu? Aku pengen buktiin sama kamu. Satu kali aja, Zach …”Aku sudah kehabisan kata untuk mengum