Share

Chapter 9

Aku dan ummi segera mengunjungi Alina. Kata ibunya, Alina sedang tidak enak badan. Bibi Ayna baru saja mengirimkan pesan kepada ummi. Abi segera ke kantor karena abi harus menemui beberapa klien dari Qatar. Jadi aku yang menemani ummi ke rumah Alina. 

Di rumah megah itu, aku segera turun dan berjalan masuk. Bibi Ayna menyambut kami dengan sangat ramah. 

“Kecapean mungkin, Ayna,” sahut Ummi kepada sahabatnya itu. Kami duduk di ruang tamu. Aku menatap bibi Ayna yang terlihat panik. 

“Nggak tahu juga nih Sarah.”

“Tadi malam, setelah pulang dari rumah sakit, Alina sudah demam. Mungkin kebanyakan shiff malam. Tapi biasanya nggak begitu juga sih.”

Seorang wanita paruh baya datang dan memberikan kami secangkir air hangat. “Mau lihat Alina?” tanya Ummi. Dia menatapku. Aku menganggukan kepala dengan cepat. Aku ikut panik mendengarkan kabar jika calon istriku tiba-tiba sakit. 

Aku masuk ke dalam kamar itu. Aku hanya berdiri di depan pintu. Tidak berani untuk masuk ke dalam. Ku lihat, dia berbaring lemas di tempat tidur. Bibi Ayna sudah mengatakan kepada Alina jika aku ingin melihatnya sehingga wanita itu segera memakai jilbab. 

Wajah Alina terlihat pucat namun dia masih saja tersenyum memandangiku. 

“Mas Faizal nggak usah terlalu repot datang.”

“Hanya demam biasa kok.” Suaranya terdengar serak. Aku menggeleng. “Kamu sakit, itu bukan demam biasa,” jawabku dengan cepat. 

Dia terdiam namun senyuman masih saja terlihat di wajahnya yang cantik. 

“Mas dari mana?” tanyanya. 

“Lagi temani Ummi di panti tadi. Aku sekalian ke sini. Panik dengar kamu sakit,” jelasku. 

“Insyallah akan sembuh kok Mas, aku kan dokter,” serunya. Aku tersenyum. Ummi menghampiri kami. Ummi masuk ke dalam kamar. 

“Faizal, bisa pergi sebentar nggak?”

“Ada yang perlu ummi jelaskan kepada Alina,” serunya. Aku menatap Alina. 

“Oke Ummi.”

Aku segera pergi meninggalkan kedua wanita cantik itu. Di ruang tamu, aku menunggu ummi. Bibi Ayna sibuk menyiapkan cemilan untuk kami. Dia juga bertanya mengenai aku yang sedang mengajar di kampus sekaligus membantu abi di perusahaan. 

Semua orang mendukung apa yang aku kerjakan. Mereka melihatku sebagai sosok yang keren karena bisa bekerja di berbagai tempat. Nyatanya, aku tidak sekeren itu. Allah lah yang mempermudah setiap jalanku. 

Ummi keluar beberapa menit kemudian, dia menatapku dengan sangat lama. Aku sama sekali tidak mengerti arti tatapan ummi. Apa yang ingin dia katakan? 

“Tadi lagi bahas apa sih?” kekehku. Ummi tersenyum dan kembali duduk di sampingku. 

“Urusan perempuan!” bisiknya. 

Setelah berbicara dengan bibi Ayna, kami kembali pulang. Ku lihat Ummi terdiam cukup lama di dalam mobil. Tidak seperti biasanya. 

“Ada apa sih Ummi?”

“Dari panti tadi kok, Ummi diam terus?”

“Ummi sakit?” tanyaku dengan cepat. Aku sangat takut jika Ummi sakit. Wanita yang ku cintai itu menggelengkan kepala. 

“Nggak Faizal, hanya saja Ummi sedikit bingung.”

“Bingung?” tanyaku tidak mengerti. Ummi memandangiku. Dia menyentuh tanganku dengan lembut. 

“Kamu sudah yakin ingin menikahi Alina?” Mobil berhenti tiba-tiba. Aku menatap Ummi dengan terheran. 

“Kok Ummi tanya gitu sih?” tanyaku. Ummi menatapku tanpa berkedib sedikit pun. Dia menunggu jawabanku saat ini. Aku menghela napas panjang. 

“Insyallah.”

“Kamu yakin Faizal?” ulang Ummi lagi. Aku menatap Ummi sambil menganggukan kepala. “Insyallah Ummi, Faizal yakin menikahi Alina. Lagi pula, Alina adalah wanita baik, keluarganya pun sudah ummi kenal dengan baik, bukan?”

Ummi melepaskan gengaman tangannya. Dia menghela napas panjang. 

“Ya sudah!” suaranya hampir saja tidak terdengar sedikit pun. 

Sesampai di rumah, aku segera berganti pakaian. Besok, aku akan mengajar di kelas Bea. Tentu saja, moment seperti itu adalah hal yang ku nanti. Wajahnya yang cemberut dan kesal adalah kesukaanku. Memikirkan gadis aneh itu, entah mengapa aku malah tersenyum tidak jelas. Ya ampun. 

Dring!

Ponselku berbunyi. Dengan cepat aku mengangkatnya. 

“Nanti kamu datang ke kantor?”

“Ada yang abi mau bicarakan.” Suara abi terdengar dengan jelas dari sambungan telepon. 

“Apa abi?” tanyaku dengan cepat. 

“Tadi, anak pak Rudi datang. Hafid, kamu kenal anaknya?” Tentu saja aku mengenal Hafid. Dia adalah sahabatku saat magister dulu. 

“Iya Hafid, kami pernah ketemu kok Bi, ada apa?” 

“Minta tolong temui dia lagi. Abi ada urusan dengannya. Nanti abi kirimkan berkasnya.” Setelah mengatakan itu, Abi menutup sambungan telepon dengan salam. 

Sesuai keinginan Abi. Aku menemui Hafid di sebuah cafe. Aku mengirimkan pesan kepadanya. Hafid seorang desainer dan abi selalu memakai jasanya. Sejujurnya abi ingin Hafid bekerja di perusahaan kami. 

Di cafe Organik miliknya, aku menemui dirinya. 

“Abi cari tuh!” kekehku saat aku masuk ke dalam cafe dan dia segera menyambutku. 

“Proyek kemarin, nggak bisa aku tanggani Faizal. Lagi sibuk banget,” jawabnya. Aku duduk tepat di depannya. 

“Jadi gimana? Mana abi sukanya sama kamu,” gumamku. Hafid menghela napas panjang. Dia mengaruk kepalanya yang tidak gatal. Bingung juga saat ini. 

“Ya sudah deh, nanti aku pikir lagi,” serunya. Setelah membahas pekerjaan, Hafid cukup tahu perjalanan cintaku. 

“Katanya kamu dah mau menikah yah?”

Aku tersenyum. 

“Bisa dibilang gitu sih,” gerutuku. 

“Padahal aku baru mau kenalin kamu sama seorang perempuan. Mana cakep lagi,” kekeh Hafid mengoda. 

“Ini!” 

Dia memperlihatkan layar ponselnya ke arahku. Bola mataku terbelalak melihat foto Bea di dalam sana. 

“Kamu kenal Bea?” 

Hafid cukup terkejut saat aku mengatakan nama Bea. 

“Wanita yang di samping Laura ini, namanya Bea?” 

“Kamu nggak tahu, Hafid?” tanyaku terheran. Hafid menggeleng. “Maksud aku, perempuan yang mau aku kenalin ke kamu tuh, si Laura, bukan Bea,” ucapnya mengoreksi. 

Hafid menyimpan ponselnya kembali. 

“Aku kenal Bea, baru kenal sih. Anaknya asik. Baru beberapa bulan kenal sama dia. Manis banget orangnya. Aku satu tim di taekwondo dulu.”

Aku mendengarkan Hafid membahas Bea. Dari tatapan wajahnya, sepertinya Hafid tertarik dengan Bea. 

“Sudah, sudah, nggak usah bahas perempuan itu.”

“Besok, aku ada acara taekwondo. Semacam reunian. Dia pasti datang,” jelasnya lagi. Entah mengapa saat dia tersenyum waktu menyebut nama Bea, hatiku menjadi tidak karuan. Aku tidak suka saja. 

“Lo kapan nikah Faiza? Sebulan lagi kan yah?” tanya Hafid membuyarkan lamunanku. Aku mengangguk. 

“Iya, sebulan lagi,” ucapku malas. Sejujurnya aku menjadi malas menatap Hafid. 

“Ya sudah, kalo kamu sibuk, langsung aja besok ke kantor. Ketemu abi dan bahas proyek desain ini. Abi sangat percaya sama kamu loh Hafid,” ucapku. Aku berdiri dari tempat duduk. 

“Mau langsung pulang?” tanyanya terheran. Aku mengangguk. 

“Ya, ada urusan penting,” seruku dengan cepat. 

Tanpa menunggu waktu lama, aku segera pergi dari cafe itu. Aku tidak suka melihat wajah Hafid yang tersenyum saat menyebut nama Bea. Apa dia menyukai gadis aneh itu? Ya ampun!

Di dalam mobil, aku menghubungi Bea. Ah, dia tidak membaca pesanku. Tanpa menunggu waktu lama, aku segera meneleponnya saja. 

“Assalamualaikum,” ucapku. 

“Waalaikumsalam, ada apa pak?” tanyanya ketus. Suaranya terdengar sangat dingin. Tidak seceriah kemarin. Apa karena aku tidak mengatakan dia cantik? Apa seperti itu dirinya? Haus akan pujian?

“Kamu ada urusan besok?”

“Aku mau ke panti, ada urusan yang diberika abi terkait proyek kemarin. Kamu sibuk? Aku nggak tahu wilayah pesantren. Lagi pula, setelah dari kampus, aku akan ke sana. Sekalian saja kamu ikut,” jelasku panjang lebar. 

Bea terdiam, dia tidak menjawab pesanku. 

“Insyallah besok saya temani pak Faizal,” jawabnya. 

“Oke, besok yah.”

“Assalamulaiakum.”

Setelah berbicara dengannya, aku memutuskan sambungan telepon. Aku segera menghubungi Abi lagi membahas pertemuan dengan Hafid dan juga beberapa proyek. 

“Assalamualaikum abi,” jawabku. 

“Walaikumsalam nak, bagaimana dengan Hafid? Apa dia masih mau terima proyek dari abi? Soalnya abi suka jika dia yang handel proyek desain ini,” jelas abi kemudian. 

“Katanya dia sedikit sibuk, tapi kalo abi yang minta langsung, aku yakin dia akan luluh. Oh yah abi, mengenai proyek yang kemarin. Nggak usah lah si Hafid yang datang ke panti. Aku juga bisa kok surveynya,” jelasku dengan cepat. Abi tertawa. 

“Faizal, mana mungkin? Apa kemarin kamu ambil kelas desain? Yang tahu masalah itu kan si Hafid,” jawab abi. Suara abi yang tertawa terdengar jelas. 

“Kemarin di Inggris, Faizal belajar kok abi, lagi pula di Fisika bukan hitung-hitungan saja. Kalo abi nggak percaya, nanti Faizal yang datang bersama Hafid, tapi Faizal harus datang. Nggak enak gitu kalo Hafid sendiri. Pasti dia merasa aneh aja.”

Aku berusaha menjelaskan banyak hal kepada abi. 

“Ya sudah, terserah kamu saja.”

“Besok, kamu saja yang urus,” gumam abi. Aku tersenyum.

“Baik abi, assalamulaikum.”

Aku memutuskan sambungan telepon dan merasa bahagia. Ah sungguh, perasaan seperti apa ini?

***

Hai gusy, bagaimana bab ini? Koment dong biar aku tahu kalian suka atau tidak ^^

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status