Setelahnya, Nina tidur dan terbangun beberapa kali. Nina termasuk jarang sakit, apalagi sampai dirawat seperti ini. Wajar saja ia jadi risih saat pertama tidur di rumah sakit. Nick bilang ia menderita geger otak ringan. Namun, untuk memastikan tidak ada kerusakan serius untuk sementara ia harus mendapatkan perawatan di rumah sakit. Karena Nick yang menjaga malam ini, Nina memilih tetap memejamkan mata meski tidak sedang tertidur. Ia terlalu sungkan jika harus berbicara atau minta tolong pada pria itu.
Om Sandy benar, pria itu benar-benar gila kerja. Tiap Nina terbangun, pasti Nick sedang berada di depan laptopnya. Ia berhenti hanya ketika akan salat, lalu kembali menghadap layar.
"Perasaan kerjaan kantor gue gak sebanyak itu deh. Eh, apa bagian gue aja yg kurang banyak, ya? Auah. Kebayang kan kalo lo jadi istrinya, istri pertamanya kerjaan, Nin. Gak ada harapan bahagia lo emang," gumam Nina saat Nick ke toilet.
Saat Nick keluar, Nina juga kembali pura-pura memejamkan mata. Ternyata pria–yang Nina kira hanya mikirin kerja itu–lanjut salat malam. Bagian ini cukup membuat hati Nina sedikit tersentuh, sebab ia sangat jarang melakukan ibadah spesial itu. Saat sakit begini pun, ia bahkan tak mengerjakan salat. Setelah menimbang rasa bersalahnya, ia pun bangkit dari tidurnya, lalu menenteng infusnya sendiri menuju toilet.
"Eh, biar saye tolong," sambut Nick.
"Gak usah, gue bisa sendiri. Eh, lo bisa keluar bentar, gak? Gue mo ganti baju," pintanya. Sebenarnya ia mau mengerjakan salat isya yang terlambat, tapi terlalu malu jika ada Nick didekatnya.
"Nak saye panggil nurse, ke?" tawar Nick.
"Gak usah, gue bisa sendiri." Nina pun segera berlalu.
***
Mama dan Bia datang keesokan paginya, lalu Nick pun izin pulang. Nina sempat menguping, sore ini kedua orang tua Nick akan datang. Bahkan, pertemuan yang sudah terjadwal akhirnya dialihkan ke rumah sakit, sepertinya Nick merasa sangat bersalah atas kecelakaan yang menimpa Nina.
"Dia sedih banget tau, Nin. Duh, Mama ampe terharu liat dia begitu. Ya kan Ma?" cerita Bia.
"Terharu liat anak orang, tapi anak sendiri ditinggalin," gerutu Nina masih kesal.
"Idih, masih ngambek dia, asma mama kambuh, Sayang. Karena buru-buru ke sini, inhaler Mama ketinggalan," jelas Mama sambil mencolek pipi Nina.
"Halah, Lele. Sakit dikit aja hebohnya sekelurahan, lo. Gue kira geger otak beneran," potong Bia sambil menjitak kepala Nina.
"Adaw, kejam lo emang, Mujaer. Adenya sakit juga, simpati dikit kek. Emang geger otak gue!"
"Ish, Bia. Adeknya sakit itu. Seumur-umur baru sekali ini dia pingsan, makanya mama panik," bela Mama.
"Tauk nih, kakak durhaka emang," balas Nina.
"Iye deh, maap. Cup... Cup.. Cup, kasihan sekali adikku sayang." Bia membelai kepala Nina.
"Halah, basi. Dah, ah. Lu bawa pesenan gue, gak?" tanya Nina sambil melirik apa yang dibawa saudari satu-satunya itu.
"Dih, sakit-sakit selera lo tetep aja ye. Nih, gue ampe gedor-gedor tokonya buat beliin lo bolu pisang. Gue bilang adek gue sekarat, makanya dia mau jual meski tokonya belum buka."
"Tuh kan, Ma. Sadis dia emang," rajuk Nina.
Mama refleks mencubit lengan Bia, "Tau nih, tega bener ngatain adeknya sekarat."
Bia yang terpojok memilih cengengesan biar aman dari amukan Mama.
Menjelang sore, Bia sibuk menjadi EO dadakan buat acara pertemuan keluarga Nina dan Nick. Dari memilihkan baju, dan dandan. Semua ia persiapkan meski lengan Nina masih memakai infus.
"Duh, napa pake dandan segala, sih. Orang sakit dandan malah aneh, Sis," keluh Nina ketika Bia membubuhkan Fondation ke pipinya.
"Dih, ni bocah. Namanya juga ketemu camer, ya poles dikit lah biar gak keliatan kulit gersang lu itu. Ya ampun, besok sebelum nikah lu musti perawatan full body ke klinik gue, ya. Malu gue Nin, masak pemilik klinik kecantikan, plus ipar seorang dokter kulit ternama, adeknya dekil begini, aib keluarga lu emang."
"Gretong kan ye?" tawar Nina.
"Enak aja, dua kali lipatlah. Kan calon laki lu orkay." Bia lanjut melukis alis Nina dengan pensil alis.
"Gak jadi kalo gitu. Mending gue ke klinik yang terkenal aja sekalian."
"Ish, emang dasar si Lele. Gua dandanin kayak lele juga ni ntar," ancam Bia.
"Gak apa, biar ilfeel camer gue, trus mereka langsung ngeloyor balik ke KL," sambut Nina sambil tertawa bak tokoh antagonis di sinetron.
"Ih, dasar. Eh, nikah ntu enak tau Nin. Rasain deh, pasti lo nyesel. Nyesel kenapa gak dari dulu, hahaha."
"Dih, mesum ni orang."
"Elo yang mesum, orang gue bilang enak karena ada temen. Hayo, lo mikir apa?" goda Bia.
Wajah Nina memanas. Bukan karena membayangkan apa yang dicurigai Bia. Hanya tak terbayang saja jika ia menyandang status baru menjadi seorang istri. Jantungnya tiba-tiba saja berdegup lebih cepat dari biasanya, penasaran bercampur cemas membayangkan bagaimana reaksi calon mertuanya nanti.
Nina sadar, Bia ada benarnya. Ia memang jarang sekali terpapar kosmetik dan produk perawatan wanita. Skin care miliknya hanya sebatas sabun cuci muka dan pelembab. Itu pun baru mulai ia pakai sejak berteman dengan para rekan wanitanya di kantor. Selebihnya, ia seperti Nina yang sejak dulunya memang tomboy dan cuek. Ia khawatir, calon mertuanya nanti akan menilai negatif dirinya. Meski tak cinta, menghindari penilaian negatif tentu saja keinginan setiap wanita.
Sebuah ketukan kembali membuat Nina dan semua keluarga inti yang ikut hadir jadi deg-degan. Seorang wanita paruh baya; berwajah teduh, langsung menghampiri Nina. Nina cukup kaget ketika wanita tersebut dengan pandangan berkaca-kaca langsung memeluknya.
"So sorry, sebab jadi macam ni ye, Nak. Yaa Allah, " ujarnya haru.
"Eh, ehem, iya gak apa-apa. Bu," balas Nina grogi.
"Panggil Mommy je pun tak pe, MasyaAllah lawenye die." Ibu Nick membelai pipi Nina lembut.
Nina jadi ikut terharu, sepertinya make up tipis Bia cukup berhasil. Buktinya ibunya Nick bilang kalau dia cantik. Nina kemudian berkenalan dengan ayahnya Nick yang dipanggil Nick dengan sebutan Daddy. Pria bertubuh tinggi itu sangat mirip dengan putranya, hanya saja dengan rambut yang mulai memutih.
Selanjutnya pertemuan keluarga yang pindah lokasi itu berlangsung cukup hangat. Rupanya keluarga Nina pun telah mempersiapkan jamuan sederhana untuk memanjakan tamu mereka. Nina cukup senang melihat keluarga mereka yang seperti telah kenal lama. Semua terlihat tanpa kendala, meski di dalam hati Nina tentu saja belum tercipta rasa untuk calon suaminya itu.
"Nin! Woy, lele bangun!"
"Eh, iye Mommy...."
"Mommy ... Mommy ... Ngigo lo?" Bia ketawa melihat adiknya yang gelagapan.
"Eh, udah kelar acaranya? Gue ketiduran ya?" tanyanya polos.
"Ih, parah lo emang. Mana ngorok lagi, ck... Ck... Ck..."
"Ha? Yang bener? Duh, mati deh gue," gumamnya. "Ah, tapi biar deh. Mereka jadi ilfeel, trus batal jadiin gue menantunya, kan? Hahaha." Nina berusaha menutupi rasa paniknya.
"Yee ... ngimpi. Jangan lupa, lo masih ada alibi sakit. Dan mereka tentu aja masih ngerasa bersalah karena Nick terlibat. Eh, sini gue bilang ya. Keluar dari sini langsung kawin lo, hahaha," balas Bia tertawa bahagia mengerjai adiknya.
"Ha? Serius? Emang udah deal gitu? Ngelamarnya gitu aja? Emang gue keluar rumah sakit kapan?"
"Besok, hahaha. Mampus!" Bia tertawa penuh kemenangan.
"Ha? Besok? Duh, kepala gue makin sakit kayaknya."
"Nicholas Adams Stewart, kek gak asing nama belakangnya. Di mana gue pernah baca, ya?" gumam Bia saat membaca formulir pengajuan nikah Nina. Semua berkas itu sudah selesai, hanya tinggal sidang mereka di kedutaan Malaysia esok hari.Nina memang terima bersih dalam urusan ini. Semua diurus oleh Nick dan keluarganya. Nina seakan tanpa beban, setelah keluar dari rumah sakit ia beraktivitas seperti biasanya."Auah," balas Nina cuek. Ia sedang mencari sesuatu di dalam lemari."Titus," cetus si kecil Hana. Keponakan kecilnya itu menyela sang Bunda saat sedang bermain puzzle di kamar Nina."Ho, iye, si tikus, pinter anak Bunda, nama tikus di film itu ya, Hana, hahaha," ejek Bia."Stuart itu woy!" sela Nina tanpa menoleh."Eh, salah. Oh, iya, kan yang main Twilight itu, ya, Nin. Wah, Tante Nina bakal semarga ama artis Hollywood loh Han."Hana yang tidak paham masi
Apa yang Nina lihat tadi malam membuatnya tak fokus seharian. Beberapa kali ia mengawasi Nick secara diam-diam, meyakinkan kalau yang dilihatnya kemarin tidaklah benar."Hey! Ngapain sih lo, Nin. Celingak-celinguk, hayo, ngintipin Nick, ya? Lo naksir, ya?" tanya Sisca–teman sekantornya.Orang di kantor memang belum tahu mengenai rencana pernikahan Nick dan Nina. Mereka sepakat akan memberi pengumuman setelah undangan selesai dicetak."Eh, Sis. Menurut lo, si Nick itu normal, gak?" tanya Nina saat mereka minum kopi di cafetaria samping kantor. Nick saat itu baru saja lewat."Nggak!" jawab Sisca asal."Nah ... Nah, bener kan kecurigaan gue. Lo pernah liat dia jalan ama cowok juga, ya?" tanya Sisca."Ya pernah lah, sama Pak Sandy, sama Dio, Bagas, semua temen kantor kita kan emang dominan cowok." Sisca menjawab cuek sambil memaikan ponselnya."Ih, bukan
"Bohong! Masa sih sodara? Beda gitu tampang kalian," balas Nina tak mau kalah telak."Seriously, sebenanye Daddy saye sebelum berkahwin ngan Mom, pernah menikah di Bali. Lepas tu die orang divorce. Justin, abang saye tu stay ngan Mak die di Bali. Kenape die blond, sebab Mak die from USA. Kite orang jumpe pun mase tu je, sebelumnye tak pernah." Nick dengan tenang menjelaskan. Ia justru merasa lucu karena tuduhan yang Nina beberkan berdasarkan foto itu."Oooh." Seluruh yang hadir mendengar penjelasan Nick dengan khidmad."Kalau tak pecaye, ni saye vcall jap." Nick kemudian membuat panggilan video dengan Justin–abangnya.Di sisi lain, Nina ingin siap-siap mau kabur, tapi dengan sigap Om Sandy menangkapnya. Nina pun terpaksa duduk di ujung sofa sambil berharap tubuhnya benar-benar tenggelam."Hay, bro. Are you busy?" tanya Nick ketika panggilannya dija
Sejak hari itu, jarak Nina dan Nick makin terasa jauh. Setiap berpapasan dengan Nick, Nina memilih menghindar. Hal tersebut cukup kontras terlihat. Gosip mengenai Nick perlahan memang mulai padam, seiring sebuah undangan pernikahan mendarat di meja masing-masing karyawan.Nina sama sekali tidak diberi tahu perihal ini sebelumnya. Untunglah ia menemukannya satu di meja security sebelum masuk kantor. Kebiasaannya nongkrong bersama bapak-bapak keamanan ternyata cukup berguna hari ini."Ha? Udah disebar hari ini? Mampus gue. Bakal diserbu gue hari ini, mending gua kagak masuk aja dah." Nina beringsut meninggalkan area perkantoran."Eh, Nin, lo mau ke mana?" tanya Sisca yang berpapasan dengannya di gerbang depan."Eh, itu, anu ... Hp gue ketinggalan. Mau balik dulu, ye. Oke, bye!" Nina buru-buru kabur sebelum Sisca menyadari kebohongannya.Dugaan Nina benar, belum sampai separuh jalan menuju ru
Pagi-pagi Bia sudah sibuk menarik paksa Nina untuk melakukan persiapan pranikah yang hanya tinggal menghitung hari. Nina beruntung, Om Sandy memberikan kelonggaran pekerjaan padanya. Jadi Nina bisa fokus mempersiapkan dirinya menjelang pernikahan. "Ogah! Duh, kenapa sih pake perawatan segala. Orang nikah formalitas juga, demi hubungan bilateral dua negara," tolak Nina saat Bia memaksanya ikut. Ia lebih memilih berhela-hela di kasur sambil bermain game di ponsel pintarnya. "Set dah, lo kira lo putri mahkota yang nikah karena menyelamatkan negara? Udahlah cepet! Jangan bikin malu lo, ya, Lele. Masak penganten muka gosong kayak pantat panci, kuku kayak manusia purba abis garukin tanah, parah lu emang. Itu lagi rambut, kapan terakhir lo keramas? Huwek, sumpah, ye, lo bener-bener bau ikan lele di empang tau gak?" komentar Bia kejam. "Tau, yang mulutnya mangap tiap lo boker, ya kan?" balas Nina cuek.
Pria di hadapan Nina memang tak seperti saat pertama berjumpa, enam tahun yang lalu. Nina masih ingat ketika itu, mereka bertemu saat selebrasi mapala ke Gunung Gede. Nina menyukai penampilan Luka yang santai, berambut gondrong, dan suka berpetualang. Memori pertemuan mereka pertama kali pun masih terekam jelas di pikirannya, ia memang sulit melupakan semua itu. Pria itu pernah menyelamatkan hidupnya. "Eh, lo rombongan mana?" tanya seorang pria pada seorang gadis yang tersasar di gunung ini karena asik mengambil foto. Udara dingin di puncak gunung membuat tubuhnya mulai membeku. Beberapa kali ia sudah mencoba menyusuri jalan yang ia yakini sebagai jalan yang sama ketika rombongannya mendaki tadi. Namun, entah kenapa ia selalu kembali ke tempat yang sama. Tenaganya mulai habis, kelelahan dan ketakutan membuat energinya mulai menipis. Langit senja tiba, keindahan matahari menjelang terbenam tak lagi mampu ia nikmati. Jarak pandang sa
Subuh belum lagi tiba, tapi kesibukan sudah mulai terdengar di rumah Nina. Meski acara tidak dilangsungkan di rumah, tapi semua persiapan dimulai dari tempat ini. Sebuah taman di komplek rumah Nina akan menjadi lokasi sekaligus latar belakang pengucapan janji suci dan resepsi. Nina mau tak mau harus rela wajahnya didandani full cover meski sebelumnya wajah polosnya itu hampir tak pernah tersentuh kosmetik. Nina sudah berpesan sejak awal kalau make-upnya haruslah minimalis. Ia tak ingin terlihat a memakai topeng, meski topeng itu sendiri melekat di wajahnya, ya, topeng kebahagiaan semu. Ia harus mengatur senyum, meski dalam hatinya kini kembali terluka.Pertemuannya dengan Luka masih membekas di hatinya, menyisakan gelisah yang berkesinambungan. Apalagi karena ponselnya rusak setelah itu. Nick memang sudah membelikan Nina yang baru karena merasa ikut bersalah menarik Nina. Namun, bukan itu yang Nina sesali. "Duh, tahan dikit dong, Mbak
Mau tak mau Nina dan Nick harus mengulang adegan tadi. Nick menyentuh bahu Nina pelan, lalu mengecup kening istrinya itu dengan lembut. Desir panas mengalir cepat ke jantung Nina, menyisakan perasaan aneh yang memutar perutnya. Mereka menyelesaikan adegan dengan pose pelukan yang kaku. Untunglah setelahnya dilanjut foto keluarga. Kehebohan keluarga akhirnya mampu mencairkan kegugupan pasangan baru itu. *** Nina sudah berusaha agar tidak lekas masuk kamar. Ia menyibukkan diri dengan bermain bersama Hana–keponakannya. Nick sepertinya masih asik ngobrol bersama orang tua Nina dan keluarganya. Hana kemudian terlihat mengantuk dan akhirnya tertidur di pangkuan Nina. Bia pun segera menggendong anaknya menuju kamar. Nina mengekor. "Mau ngapain lu ikutin gue, Lele. Sono ke kamar lu, siap-siap kek," usir Bia. "Siap-siap apa?" tanya Nina polos. "Halah, Lele, sok lugu lu. Ciye... Ciye, ada yang