Untung aja waktu itu belum sempat mewek aku udah keburu tidur. Jadi paginya pikiran udah fresh lagi, gak sempat sedih berlebihan dan larut bayangin yang iya-iya.Penjelasan Om Bas tentang tugas seorang manajer kemarin ada yang nyangkut di otakku. Di mana dirinya dituntut untuk pandai berstrategi. Berarti bisa diterapkan juga, dong, untuk istri yang tersolimi karena belum pernah mencicipi yang emak-emak KBM bilang bernama nafkah batin.Ya, Sisy harus pintar berstrategi buat taklukin Om Bas. Setelah beberapa kali gagal dengan sistem bar-bar, gimana kalau sekarang dijungkirbalik jadi kalem. Meskipun itu bukan aku banget, tapi demi urusan anuan aku gak boleh menyerah gitu aja.Aku masih ingat alasan Om Bas yang pernah disampaikan ke mama. Dia gak tega sentuh aku karena selalu terbayang-bayang tingkah absurd waktu kecilku dulu. Nah, berarti sekarang aku harus bikin dia amnesia. Caranya? Jedotin aja kepalanya ke tembok. Hihihi ... sinetron banget, cuma kepentok batu aja bisa hilang ingatan.
Beberapa pasang mata lihatin aku sama Om Bas gandengan tangan. Aku bisa menangkap ada jiwa-jiwa jomblo di sana. Kasihan ... semoga aja gak sampai berliuran kepingin kaya kita ini--pasangan paling uwuw dan dicintai emak-emak."Om, mau itu, dong!"Aku menunjuk mas-mas penjual aneka pentol alias bakso tanpa kuah. Namun, khusus jajanan satu ini campuran tepungnya lebih dominan ketimbang daging sapi atau ayamnya. Gak kaya yang di bakso-bakso kuah pada umumnya."Ya sudah beli sana, saya tunggu di sini." Om Bas duduk di bangku berkapasitas dua orang."Uangnya mana?" Aku menengadahkan telapak tangan.Om Bas menoleh kanan kiri, mungkin malu dengan tingkahku yang kaya anak kecil minta duit jajan sama bapaknya. Oh iya, aku kan lagi belajar jadi dewasa. Belum ada sehari sudah lupa. Buru-buru kutarik lagi tangan yang terlanjur terulur."Nih!" Om Bas menarik selembar uang berwarna biru dari dompetnya.Gerobak Mas Pentol mulai sepi antrean karena matahari sudah mulai meninggi. Aku lebih leluasa memil
Aku meraba-raba kening sendiri, kening yang semalam jadi tempat landing-nya kecupan Om Bas. Terus senyum-senyum sambil topang dagu. Stop Sisy! Simpan kebahagiaanmu dulu. Jangan sampai udah diterbangin tinggi-tinggi, eh gak tahunya diterjunin lagi. Kan, sakit. Pura-pura polos aja dulu seakan gak terjadi apa-apa. Cuma gak bisa dimungkiri kalau perkembangan Om Bas lumayan pesat. Sekarang, pikirin caranya dulu gimana biar dia bisa jatuh cinta. Kalau cinta itu udah tertanam di hati Om Bas, bukankah urusan yang lain jadi lebih mudah? Sayangnya, saat ini aku gak bisa melancarkan aksi frontal. Dari kemarin emosi naik turun gak jelas gara-gara mens. Mana nyeri banget ini perut dan pinggang. Gak bebas ngapa-ngapain, rebahan aja sampai miring sana sini nahan perut yang terasa melilit. Gimana gak kepingin marah-marah kalau kaya gini caranya. "Ini jamu titipan Mama, barusan diantar sama kurir." Om Bas menaruh botol plastik berisi cairan berwarna kuning-kining oranye. Belum dibuka saja, sudah te
"Permisi, Om!" Terhitung sudah empat kali bocah perempuan kelas 5 Sekolah Dasar itu mondar mandir di depanku. "Ya." Keempat kali pula aku menjawab dengan ucapan sama. Dia tidak akan beralih memandangiku sebelum respons diterima. Setelah mendengar jawaban yang diinginkan, pasti senyuman khas bocahnya keluar. Senyuman yang sulit kuartikan untuk bocah berusia 10 tahun. Namanya Sisy, keponakan Jatmiko--rekan kerja di salah satu perusahaan di Surabaya. Entah ini pertemuan ke berapa, aku lupa. Tiap aku bertandang ke rumah Jatmiko, selang beberapa menit kemudian pasti gadis cilik dan dekil itu langsung muncul entah dari mana datangnya. Tahu-tahu sudah mondar-mandir, entah bawa karet, bola bekel, atau sekadar panjat-panjat pohon jambu dan bergelantungan di sana. Kali ini dia tidak sendirian, tapi bersama dua bocah yang sepertinya berusia sepantaran. Sekilas kulihat dari balik jendela, mereka tengah bermain masak-masakan. Pantas Sisy sibuk mengambil air, gayung, sendok dan entah apa lagi
"Aduh!" Plastik tahu Sumedang di tangan sampai terjatuh saat Om Bas mengerem mendadak. "Maaf! Lampu merahnya nyala." Om Bas mengarahkan jari telunjuk ke tiang lampu pengatur lalu lintas di sudut pertigaan. "Om bikin jantungan aja." Aku menunduk mencari plastik makanan yang terjatuh di bawah kabin mobil. Untung masih bisa diselamatkan. "Maaf. Sekarang jadi tahu, kan, pentingnya pakai sabuk pengaman?" Kadang aku memang suka bandel, malas pakai sabuk pengaman. Lagi-lagi aku bersyukur kepala ini gak sampai terantuk kabin. Eh, tapi masa iya gara-gara lampu merah? Orang mobil Om Bas gak terlalu mepet juga dengan mobil di depannya. "Terus, soal burung tadi gimana, Om? Kok bisa kliniknya buka praktik untuk penyakit manusia sekaligus hewan?" Jujur, aku masih penasaran dengan penyakit aneh yang baru kudengar ini. "Mmm ... soal itu, mungkin Bapak lebih paham." Tumben gak bisa jawab, biasanya Om Bas kaya mesin pencarian google, tahu segalanya. Namun benar juga, Bapak mungkin lebih tahu kar
"Sy, are you okay?" Om Bas masih terheran-heran. Gak kaya dulu yang langsung mengamankan benda pusaka pas aku iseng lihat bawah perutnya. Kali ini biasa aja, justru aku yang gak baik-baik aja. Apa ini alasannya? Karena dia memiliki kelemahan yang masih dirahasiakan. Gak mau berbagi dengan orang lain, termasuk aku istrinya. Kalau iya, duh menyesalnya udah mikir yang enggak-enggak. Harusnya aku kasih support, dong. Bukan senewen sendiri. Siapa tahu Om Bas malu mau jujur. Barangkali dia menyuruh aku bersabar karena ingin mengatasi permasalahannya sendiri. Bisa jadi memang membutuhkan waktu yang gak sebentar. Coba gak Googling tentang penyakit itu. Mungkin sampai nanti-nanti aku bakalan berburuk sangka terus. "Sisy, hellow!" Om Bas sampai menggoyang-goyangkan telapak tangan di depan wajahku. Mengobrak-abrik lamunan. "Gak papa kok, Om." Biasanya aku paling suka curi-curi pandang perut kotak-kotak itu. Namun sekarang kok kaya hambar, gak ada rasa kepingin cubit saking gemasnya.Aku put
Aku membuka mata, kedip-kedip dulu buat kumpulin kesadaran yang masih berceceran di mana-mana. Setelah kesadaran utuh menyatu, lanjut bangun dan kucek-kucek mata. Pegang kening, hidung, pipi, terakhir ... bibir. Aku gak mimpi, kan? Bahkan saat bangun tidur pun sentuhan selembut es krim itu masih berasa. "Aaaah, Sisy jadi malu. Tapi suka." Aku menutup muka, memukul-mukul guling, gemas. Gak lama kupeluk, terus kupukul-pukul lagi. Gara-gara satu ciuman singkat aja bisa bikin aku segila ini. Apalagi kalau udah anuan. Ups! "Sisy bangun! Astaghfirullah, ini anak sudah nikah masih males-malesan. Jangan-jangan, di Surabaya kamu kaya gini juga." Ibuk gedor-gedor pintu kamar. Gak bisa banget lihat anak lagi bahagia setelah semalam .... Uwuuuw, kan ... jadi malu eh mau lagi. "Gak perlu gedor-gedor kaya mau gerebek pasangan selingkuhan juga kali, Buk." "Biarin. Kamu kebiasaan kalau gak digedor-gedor gak mau bangun. Lupa, kalau sekarang sudah punya suami." "Gak lupa, kok." Ya kali bisa lup
"Saya langsung berangkat ke kantor, ya!" Gak pakai istirahat lama setelah perjalanan dua jam lebih dari Malang, Om Bas langsung siap-siap dengan rutinitasnya. "Iya." Aku mengantar lelaki itu hingga pintu depan. Gak lupa ritual wajib cium tangan, cium yang lain hukumnya masih sunnah. Eh, ternyata Om Bas tarik kepala ini terus kasih kecupan di kening. Berasa mulai disayang. Semoga besok-besok gak lupa. Aku menunggu hingga Avanza putih itu meluncur keluar pagar dan menghilang dari pandangan. Setelahnya masuk lagi dan melancarkan rencana yang sempat terlintas di pikiran sejak di Malang kemarin. Pertama, mulai browsing-browsing tentang dunia lelaki dengan segala kelemahannya. Terutama kelemahan tentang satu penyakit yang gak sengaja kubaca di brosur kemarin. Entah kenapa aku tertarik untuk mempelajarinya lebih dalam. Siapa tahu Om Bas memang tidak ingin membahasnya karena malu. Merasa kurang percaya diri karena belum bisa menjadi suami yang sempurna. Aku sudah menikah, dan ini bukan